22.
Gais maaf ya aku telat, parah bgt udah buat nunggu:(
Kali ini aku mau publish 2 part sekaligus dalam satu hari sebagai gantinya. I'm really sorry ya:(
Semoga kalian tidak bosan menggibah lewat vomment di cerita ini❤️
Mindy Gledhill - Crazy Love
ESTRELLA keluar dari toilet setelah buang air kecil dan berjalan di koridor yang sepi. Bel istirahat berbunyi. Langkah perempuan itu langsung berhenti di pilar pembatas kelas IPA dan IPS, karena kehadiran anak laki-laki baru saja muncul.
Estrella berhenti sejenak menatap Ghazi yang tengah menatapnya.
"Lo mau belok lagi kan cari makanan?" Tanya Ghazi.
Dengan mulut terbuka, Estrella mengangkat tangannya, bingung mau menunjuk arah mana. "Ah— aku mau nyamper temen-temen."
Ghazi menggut-manggut dan mengeluarkan cokelat berbungkus ungu dari dari saku celananya. "Ini buat lo."
Estrella tertegun, merasakan hangat tangan Ghazi yang meraih tangannya, dan mengepalkan cokelat itu dalam genggamannya. Ia tak tahu harus bersikap bagaimana.
Ghazi mengernyit dan tertawa melihat ekspresi gugup Estrella saat menerima cokelat itu. "Lo mau nyamper temen lo kan?"
Estrella menatap Ghazi lurus-lurus. "Iya. Kenapa?"
"Gak papa. Ingetin doang. Takutnya lo lupa."
"Lupa?" sahut Estrella linglung, dan Ghazi tak dapat menahan tawanya melihat keluguan teramat murni di wajah gadis itu. Gadis itu membuka bungkus cokelatnya dan mengunyahnya lamat-lamat.
Sebetulnya ini sangat biasa, namun lagi-lagi bagi Ghazi pemandangan Estrella yang langsung mengunyah cokelat pemberiannya di depan dirinya— adalah hal yang menggemaskan.
Melihat beberapa siswa yang meramaikan koridor, Estrella langsung berpamit dan membalikkan punggungnya.
"Es!" Seru Ghazi.
"Ya?" Estrella memutar punggungnya lagi, menghadap Ghazi.
"Sori." Ghazi terkekeh singkat dan membersihkan sisa cokelat yang belepetan di ujung bibir Estrella. "Nanti pulang sekolah ke rumah gue yuk?
ENTAH sudah yang ke berapa kali Widura melirik jam tangan berwarna hitam yang melingkari tangannya. Rasanya, gerakan jarum jam lama sekali saat sedang menunggu Abel keluar dari toilet. Laki-laki itu menyandarkan tubuhnya ke tembok sebelum menghela napas lagi, dan mengeluarkan ponsel dari saku celana.
Widura: Gc
Widura: lemot
Melihat pesan yang baru saja masuk, Abel refleks mengumpat pelan lantaran mascara-nya belepotan. Gadis itu langsung mengusapi sisi matanya sebelum memutuskan kembali menunduk, dan memakainya dengan gerakan zig zag untuk menambah volumenya agar lebih terlihat tebal.
Merasa lebih baik, pandangannya beralih ke bibir yang terlihat semakin fresh berkat sapuan liptint peach-nya. Meski tak membawa tas, liptint dan mascara merupakan starterpack di saku kemejanya sejak masuk SMA.
Setelah puas touch up, Abel lalu berjalan gontai ke luar toilet. Lalu ia langsung menghampiri sosok gondrong yang tengah menyandarkan punggungnya di tembok dengan satu tangan menggenggam ponsel.
"Lo ngapin aja sih?" Widura menatap Abel sewot.
"Touch up."
"Ribet bener!"
"Orang cuma make mascara sama lip tint..." Abel cemberut.
Widura mengabaikan perempuan itu, dan membuka ponsel sebentar.
"Ini kita mau ke mana lagi, Kak?"
"Balik lah." Widura memasukkan ponselnya ke saku.
"Ih! Kok balik sih?" Abel menyelipkan helaian rambutnya yang tidak dikuncir ke balik telinga.
"Ya mau ngapain lagi emang? Tadi kan makan udah."
"Tapi kan aku udah dandan, Kak! Masa main dipulangin gitu aja?"
Widura memilih tak peduli, tetap berjalan.
"Yaudah sana kalo mau pulang! Abel masih pengen di mall! Loss!"
Widura melongok, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar dari mulut perempuan itu. "Lo gila ya?"
Abel mengangkat kedua bahu bersamaan. Entah kenapa ia rela memakai waktu untuk menebak sedang bersama Widura yang mana dirinya saat ini. Yang menyebalkan kah? Yang dingin? Atau ada lagi Widura yang lain setelah ini?
"Kenapa sih susah banget ngehargain orang?" Abel meyelipkan rambutnya lagi.
Sebelum Widura membalas perkataan adik kelasnya, ia memilih berbalik meninggalkan gadis itu. Hal tersebut membuat bahu Abel merosot. Memang. Ini bukan pertama kalinya Abel mendapat pengabaian dari Widura.
Tetapi, entah mengapa kali ini terasa berbeda.
Padahal, niatnya touch up tadi untuk membuat Widura terkesan. Setidaknya, Abel hanya ingin terlihat sempurna di mata kakak kelasnya. Abel merasa begitu insecure jika harus terlihat lusuh dan kumal saat di dekat Widura.
Abel takut Widura ilfeel.
Abel takut Widura malu saat bersamanya.
Abel takut perbuatan manis Widura tadi hanya sebentar.
Abel takut Widura membuangnya begitu saja.
Melihat punggung Widura semakin jauh, bibir Abel mengerucut tanpa sadar. Perlahan, pandangannya memburam. Ia lalu menggigiti bibirnya, dan memilih membalikkan punggungnya.
Namun ketika ia baru mengambil langkah dua kali, ia kembali memutar punggungnya. Punggung Widura semakin jauh. Tanpa sadar air matanya jatuh begitu saja, ia tak menyangka Widura bahkan tak bermain-bermain dengan ucapannya.
Dan, apa yang paling ditakuti Abel terjadi.
Widura benar-benar pergi meninggalkannya.
SETELAH bel pulang berbunyi Estrella segera merapikan barang-barangnya dan bergegas keluar kelas. Perempuan yang rambutnya diikat ke belakang itu duduk di bangku, beberapa kali pamit ke teman-temannya untuk pulang duluan.
Semakin banyak yang berlalu, Estrella semakin resah menunggu sebab sosok yang ia cari tak kunjung menampakkan batang hidungnya.
Ghazi ke mana sih? batin Estrella.
Terus bertanya-tanya perempuan itu akhirnya memutuskan untuk menyusul laki-laki itu di kelasnya. Ia berdiri di depan pintu kelas Ghazi yang ternyata sudah kosong, tak ada satu orang pun di dalam.
Estrella langsung mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Ghazi.
Estrella: kamu di mana?
Tiga menit berikutnya, pesan tersebut belum juga dibaca oleh penerima. Estrella menghela napas dan melangkah ke ruang OSIS. Mungkin Ghazi di sana. Tapi, pencarian itu tidak juga zonk. Estrella jadi jengkel. Ke mana sih orang ini? Katanya mau pulang bareng?
Estrella: kalo emang nggak jadi aku hubungin Mas Alan
Hisbatul Ghazi: Sebentar. Lagi bayar SPP
Estrella mengerutkan dahi, meninggalkan ruang OSIS lalu berbelok ke kiri. Masih ada beberapa siswa yang meramaikan sekolah, sebagian menunggu dijemput atau berkumpul dengan teman-temannya.
Begitu berhenti di depan ruang TU, Estrella menemukan sosok yang ia cari. Akhirnya ia memutuskan untuk duduk di kursi depan TU sambil memainkan ponselnya.
Hingga melihat pantulan bayangan tubuh laki-laki di lantai. Estrella mengangkat wajahnya dan mendapati Ghazi sudah berdiri di hadapannya.
"Lama ya?" tanya laki-laki itu.
Estrella hanya mengangguk pelan.
"Sori." Ghazi memasukkan kedua tangannya ke saku celana. "Ini jadi ke rumah gue kan ya?"
Estrella menatap Ghazi malas. "Iya."
"Yang semangat, dong!"
Perempuan itu berdiri sembari menarik tali tasnya. Ia tetap mendelik, kesal melihat Ghazi.
"Eh!" Ghazi menyenggol lengan Estrella. "Yang ceria dulu ah. Nggak boleh lesu-lesu kayak gitu."
Dengan terpaksa, Estrella menoleh ke laki-laki di sebelahnya dengan senyum lebar. "Ayo!"
Ghazi malah tertawa. "Ahahaha lucu banget sih," ujarnya menatap Estrella. "Gemesin sumpah."
Bibir Estrella langsung datar lagi. Perempuan itu memasang wajah datarnya dan segera berpaling.
"Nggak usah salting kali!" Ghazi menyenggol Estrella lagi.
"Siapa yang salting?"
"Yang menaburkan garam di lautan," Ghazi menyahut salty, kedua bahunya naik sekilas.
Sambil berjalan menuju parkiran, Estrella memakai masker wajahnya agar laki-laki itu tidak bisa melihat senyum di wajahnya.
Lalu begitu berhenti di depan Ninja hitam Ghazi, ia menerima helm untuknya dari tangan Ghazi, memakainya dan naik ke motor. Dan, tak ada percakapan selama perjalanan yang memakan waktu hampir dua puluh menit itu.
Pada akhirnya motor Ghazi berhenti pada gerbang hitam di salah satu komplek perumahan dinas petinggi negara di daerah Gatot Subroto.
Begitu turun dari motor, Estrella tercengang melihat Ghazi mendorong pintu hitam yang terbuat dari kayu mewah hingga menampilkan ruang tamu yang megah. Para asisten rumah tangga yang sibuk memasak dan bersih-bersih langsung menjawab salam anak majikannya.
Estrella hampir melongo melihat isi rumah ini karena jujur saja kemegahannya tak hanya di luar saja, di dalam juga. Ruangan yang didominasi warna beige itu dihiasi beberapa dekorasi kenamaan negara.Tapi ia buru-buru mengendalikan diri. Tidak mungkin kelihatan ndeso di depan Ghazi apalagi saat sedang berada di rumahnya.
"Weleh, tumbenan Bang Aji bawa cewek?" Ujar Mbak Yuk, wanita itu mengelap tangannya di celemek.
"Bang Aji?"
"Panggilan gue di rumah." Ralat Ghazi, menaruh helm yang tadi dilepasnya di atas meja. "Mama mana, Mbak?"
"Lagi ngasih makan Si Mail kayaknya, Bang."
Melihat ekspresi heran Estrella, Ghazi langsung berujar, "Mail itu nama kura-kura gue."
Kemudian laki-laki itu menyuruh Estrella menunggu sebentar, lalu melangkah melewati gadis yang kebingungan dan Mbak Yuk yang senyum-senyum maklum.
"Udah makan, Dek?"
Estrella manggut-manggut. "Udah, Mbak."
"Oh? Tadi mampir makan dulu sebelum ke rumah?"
"Ah—nggak. Emang udah makan aja."
Mbak Yuk manggut-manggut. "Hoo..."
"IH, ABANG ITU MAHAL TAU!" Suara jeritan anak kecil dari dalam melengking.
Peka melihat tamunya kebingungan, Mbak Yuk akhirnya menyuruh Estrella duduk di sofa ruang tengah. Pandangan Estrella jatuh ke lampu estetik yang menggantung di langit-langit, lalu ke sofa sofa beludru berwarna creme di hadapannya. Lamunan Estrella langsung terinterupsi oleh suara bariton di belakangnya.
"Nadia, salim dulu itu sama temen abang."
Ghazi mengusap bahu anak SD berparas Arab yang berdiri di sampingnya. Terlihat anak itu mengenakan kaos pink garis-garis putih dan celana jeans hitam se-paha.
"Ih, Bang? Bingung mau ngomong apa?"
"Halo, Nadia. Aku Estrella." Estrella mengulurkan tangannya.
"Iya— aku Nadia." Nadia menyalimi punggung tangan Estrella, dan langsung mengumpat dibalik tubuh kakaknya.
"Jiakh salting dia!"
Nadia langsung melototi kakaknya.
"Kakak ini yang suka Little Pony juga loh," kata Ghazi.
"Oh ya? Suka yang mana?"
"Semua. Terutama Fluttershy!"
"Ih, bang! Abang harus pacaran sama kakak ini!" Seru Nadia, anak itu amnesia jika dua menit lalu grogi setengah mati terhadap Estrella.
Estrella yang mendengar seruan itu refleks tertawa.
"Biarin! Gak mau tau. Pokoknya kakak ini aja yang aku setujuin jadi pacar abang!"
"Apasih ketu!" jawab Ghazi menatap Nadia geli.
"Tapi aku ke kamar dulu ya, Kak. Aku mau latihan buat lomba lukis besok."
Lalu anak perempuan itu hilang dari lantai satu, setelah mendapati anggukan dari Estrella. Estrella menghela napas dan tidak kuasa menertawai tingkah lugu Nadia barusan.
Kedua matanya lalu menyapu ruang tamu yang dihiasi meja panjang dengan beberapa foto dan lukisan maestro. Di barisan paling tengah, terpajang pigura paling besar.
Foro keluarga dengan pakaian adat Jawa modern. Ghazi dan ayahnya mengenakan beskap. Sementara ibu dan adiknya kompak berkebaya hijau lumut. Sang ibu duduk memangku adiknya. Foto itu seolah, menjelaskan bahwa keluarga mereka adalah keluarga terpandang.
Itu yang Estrella nilai.
Perempuan itu menaruh tasnya di sofa sebelum mendekat ke pajangan foto yang tersusun. Beberapa bingkai memuat foto ayah Ghazi menghadiri acara konferensi negara— bisa ditebak ayah Ghazi adalah seorang petinggi negara. Yang lainnya foto-foto meraka di luar negeri. Sisanya foto-foto Ghazi dan Nadia.
"Kenapa?"
Estrella seketika menoleh ke sumber suara di belakangnya. Ghazi yang belum mengganti pakaian, masih berseragam putih-abu.
"Boleh jujur gak?"
"Apa?" sahut laki-laki yang baru duduk di sebelah Estrella.
"Aku kaget loh." Perempuan itu kembali mengamati foto bapak-bapak di depannya. "Setelah ke rumah kamu dan liat foto-foto—aku baru tau ayah kamu politikus."
"Iya. Dia emang anggota dewan."
"Dan aku bener-bener nggak ngerti kenapa kamu malah kerja part time—"
"—Padahal orangtuanya berada," potong Ghazi, diluar kepala.
"Lo bukan orang pertama yang ngomong gini."
"Terus kamu turunan Jawa ya emang?"
"Nyokap Jawa asli. Bokap Arab asli. Yah, jadinya gue sama Nadia mixed."
"Halo— Eh! Siapa itu, Bang?" Suara cempreng yang tiba-tiba terdengar dari pintu penghubung dapur dengan ruang makan membuat Estrella dan Ghazi langsung menoleh ke sumber suara.
Dan, Ghazi menarik lengan Estrella untuk menghampiri wanita berumur pertengahan empat puluhan— yang Estrella yakini adalah ibunya Ghazi. Wanita berparas Jawa itu mengenakan jubah maroon dan sandal hotel putih.
"Halo, Tante. Aku Estrella." Estrella mencium punggung tangan wanita berambut bob di depannya.
"Eh, kok kamu belum dibuatin minum sih? Par!" Mona— ibu Ghazi menoleh ke belakang, memanggil ART-nya
"Eh nggak papa, Tan. Nanti kalau haus aku bisa ambil sendiri kok!"
"Ambil?" Senyum geli Mona muncul.
"Iya." Estrella menyahut lugu.
"Enak aja. Bayar!"
"Hah?"
Laki-laki berkemeja putih di samping Estrella tak kuasa menahan kedua ujung bibirnya untuk tidak tertarik ke atas, membentuk sebuah senyuman yang melengkung manis di wajahnya.
"Iya bayar kalau mau minum di rumah Ghazi."
"Ah— berapaan, Tan?"
Mona tertawa, ia memukul pelan bahu Estrella. "Yaampun bercanda, keleees!"
Ghazi yang mendengar percakapan kedua perempuan itu spontan tertawa, tidak bisa menahan rasa geli saat mendengar nada polosnya Estrella ditambah lagi dengan raut lugunya.
"Bentar ya, tante urusin masakan dulu," kata Mona.
"Iya, tante."
"Duduk lagi yuk, Es."
Ghazi mengajak Estrella ke ruang tengah lagi, keduanya duduk bersebelahan lagi di sofa beludru tempat Estrella meletakkan tasnya tadi. Estrella yang tadinya berniat memainkan ponsel, malah mengambil bantal dari belakang tubuhnya dan memeluk benda tersebut erat-erat.
"Zi, kayaknya aku nggak bisa lama, deh."
"Hah?" Ghazi langsung meletakkan ponselnya ke meja. Ia menegakkan punggungnya. "Lo mau pulang, gitu?"
"Iya, soalnya gak enak sama orang rumah," ujarnya, meski jauh dalam lubuk hati Estrella merasa enggan beranjak.
"No!" Ghazi menggeleng cepat.
"Ya, gimana?"
"Ah parah banget, masa." Ghazi mendengus. Ia kembali menyandarkan punggungnya ke sofa dan kini tangannya terlipat di depan dada. Manja sekali tingkahnya, beda dari Ghazi yang berwibawa di sekolah.
"Ya abis mau ngapain lagi, dong?"
"Ya main aja sama Nadia!" Ghazi kembali menegakkan tubuhnya.
"Nadianya kan ngelukis?"
"Yaudah, kan ada gue?"
"Kan kita masih bisa ketemu di sekolah."
"Tapi kan jarang-jarang gue bawa lo ke sini," kata Ghazi, putus asa.
"Sorry..." Estrella menggumam pelan.
"Yaudah kalo mau lo gitu."
Tak tahan melihat reaksi laki-laki di dekatnya, Estrella tertawa. "Kan masih ada hari besok, besok, dan besoknya lagi. Tenang aja kali!"
"Berarti besok-besok masih mau kan main ke sini?"
Estrella manggut-manggut. Lalu Ghazi mengangkat kelingkingnya. Estrella yang bingung melihat Ghazi menyodorkan kelingkingnya, tertegun.
"Gue gak yakin aja kalo kita gak kelingkingan," lanjut Ghazi tanpa menurunkan kelingkingnya. Bahkan ia terlihat tak peduli dengan reaksi geli Estrella.
Lalu kelingking mereka bertautan.
"Oh iya?" Estrella berusaha memberi respon seimbang, tidak menunjukkan bahwa dirinya menilai hal yang lain.
Ghazi berdiri, menyentuh pundak Estrella sekilas saat melewatinya seolah mengajak ke tempat lain. Yang perempuan pun berdiri, mengikuti di belakang. Ternyata langkah mereka berhenti di dapur.
"Tadi siapa namanya? Sella ya?" "Ini yuk dimakan dulu truffle buatan tante."
Wanita yang berparas Jawa itu menyodorkan toples berisi truffle, ragu-ragu Estrella menerimanya. Pandangannya beralih ke belakang Mona, ke beberapa perempuan muda yang sibuk membersihkan meja makan.
"Duh, tante tapi aku mau pulang... karna nggak enak udah ditunggu orang rumah."
"Loh? Kok buru-buru banget?" Perempuan itu tersenyum lebar. "Nggak nginep aja?"
"Hah? Nginep?" Estrella terperangah.
"Iya, di kamar Nadia atau kamar tamu." Ghazi mengoreksi.
"Aduh— aku udah ditunggu orang rumah,"
"Ya Allah, mana belum dikasih minum lagi. Bawa aja ya truffle-nya? Sayang loh tante udah buat banyak."
"Dia orangnya gak enakan, Ma. Kasih aja."
"Bentar ya, Sella— Parti, Par! Tolong ambilin goodie bag sama truffle matcha-nya, Par!"
"Iya, bu!"
"Aji kalo punya pacar kayak gini tuh harus bener-bener dijaga."
"Ah—" Estrella gelagapan.
"Iya. Udah cantik, sopan, lembut, paket nampol yang begini nih!" Sambung Mona, secepat kereta.
Ghazi sontak tertawa melihat tingkah Mona ditambah lagi ekspresi Estrella yang kelihatan benar-benar kaget tapi awkward.
"Iya, Ma," jawab Ghazi santai. Ia lalu berpaling ke Estrella. "Aji kan cowo baik, yakan, Sel?"
Mona tersenyum. Arah pandangnya lalu berpindah pada Estrella yang kini menyelipkan rambutnya dibalik kedua telinga.
"Beneran nih, Sella nggak mau minum-minum dulu?"
"Nggak papa, kok, Tan."
Mona manggut-manggut, lalu ia mengamati kedua remaja di hadapannya yang berdiri bersebelahab. "Kalian tuh emang pacaran kan?"
"Kalopun iya kira-kira mama restuin nggak?" Ghazi terkekeh, pandangannya tertuju pada Estrella yang semakin pucat.
Gas terus Zi gas terooosss
Btw gais gimana part ini?
Kalo Abel-Widura gimana? Ada yg kesel sama mereka? Kasian bgt si ya ditinggalin🤣🤣🤣
Maaf ya gais aku lama banget, aku emang lagi ada banyak deadline yg harus diurus. Jd soriiiii banget🥺
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top