17.
Aku ngga bisa ngomong banyak untuk part ini. Yg jelas makasih buat apresiasinya ya
Komen/vote kalian bener2 berarti untuk aku💘
Sleeping At Last — Already Gone
SEPULANG dari rumah Abel, Widura yang baru selesai mandi mengecek ponselnya, dahinya mengerut mendapati missedcall bertubi-tubi dari Affan dan Mayang. Sudah bisa ditebak nantinya akan diisi omelan atau kata-kata pedas menyudutkan yang membuat telinganya sakit.
Maka, laki-laki yang pinggangnya masih dililiti handuk itu mengambil kaos oblong putih dan celana pendek hitam yang tergeletak di kursi.
Belum sempat Widura mengancingi celananya, dering ponselnya kembali berbunyi. Bacot banget anjing!
Dahi Widura mengerut, membaca nama pemanggil. Ia kira yang meneleponnya kalau bukan Mayang, Affan. Ternyata bukan.
Estrella R
Usai mengancingi celananya, Widura langsung menjawab panggilan. Terheran kenapa ada yang meneleponnya sore-sore menjelang maghrib begini.
"Halo?"
Bukannya jawaban yang diterima oleh Widura, laki-laki itu malah mendengar kegelisahan dari sebrang. Kedua alis Widura tertaut, pertanda malas.
"Hey!" Seru perempuan di seberang.
"Chat aja, gak usah nelfon." Tukasnya, dingin. Ia menjauhkan ponselnya dari telinga saat ia mengacak rambutnya yang baru dikeramas.
"Kan aku mau ngasih tau kamu hal penting. Makanya aku telfon."
Tautan alis Widura semakin jelas. "Apaan emang?"
"Kamu keluar kost, deh sekarang."
"Ngapain?"
"Udah keluar dulu aja."
Akhirnya ia membuka pintu kamar, berjalan gontai menuju teras. Bola mata laki-laki itu langsung membulat saat ia melihat sosok perempuan berkaos pink garis-garis putih yang berdiri di depan pos satpam kost.
"Astaga... ngapain coba sore-sore nih orang?" Gumamnya pada dirinya sendiri.
"I got your sweety pie!" Seru si perempuan begitu mereka berhadapan. Tangan kanannya menyodorkan paper bag The Joures ke Widura.
Widura tak langsung menerima paper bag itu malah memutus panggilan. "Lo abis dari mana?"
"Yaudah ambil dulu."
Laki-laki yang rambutnya masih basah itu menggeleng, dan sesaat ia hendak memasukan kedua tangan ke dalam saku celana, tangan mungil Estrella menahannya, dan menyelipkan tali paper bag di jemari kanannya.
Widura menghela napas dan langsung melepaskan tangannya.
Estrella tertegun sejenak, terkejut mendapati respons seperti ini. Gadis itu langsung berpaling ke arah lain, berusaha tidak terlalu mengetarakannya lewat ekspresi wajah.
"Aku abis dari rumah Anika, karena besok kan aku nggak sekolah. Jadi aku ijin ke mama nugas bareng dia deh di rumahnya, terus tadi Mas Alan anter aku," jelas si perempuan.
"Hm, lo mau pergi?"
"Iya. Ke Cibubur, ada acara keluarga."
"Oh." Widura manggut-manggut. "Terus sekarang lo udah mau pulang?"
"Iya, Mas Alan lagi otw jemput."
Widura terdiam. Ia bisa melihat bagaimana fokus yang dimiliki Estrella saat ini hanya tertuju padanya, bagaimana Estrella mengabaikan semua yang ada di sekitar kecuali dirinya.
Sejujurnya, ia merasa risih.
"Terus Anikanya mana?" Tanya Widura.
"Gak tau, dia tadi abis anter aku terus pergi lagi."
Dering notifikasi Whatsapp, memaksa laki-laki itu mengeluarkan ponselnya, mengecek pesan yang masuk. Widura mematung di tempat, tidak bernapas sama sekali.
Matanya juga tidak berkedip. Terkejut melihat nama si pengirim pesan. Nama yang tak ia sangka-sangka akan muncul lagi di list chat Whatsapp-nya.
Paula Regina: besok tolong kamu dateng ke rumah. Ada hal penting yang mau dibicarakan.
"Estrella," panggil Widura.
"Ya?" Estrella tersenyum semringah.
Widura mengembuskan napas perlahan dan memandang sekeliling. Ia menunggu kalimat yang akan dilontarkan gadis itu. Namun setelah hampir lima belas detik gadis itu tak membuka mulutnya, Widura akhirnya bersuara.
"Kalo lo mau nungguin Anika atau Alan, yaudah. Tunggu di sini aja, soalnya gue mau rebahan lagi di dalem."
PAGI tadi hampir seluruh siswa SMA La Verna dikejutkan dengan sebuah pemandangan yang luar biasa dan mampu membuat Abel jadi sorotan setiap kali ia berjalan di area sekolah.
Pasalnya, pemandangan tidak biasa di parkiran sekolah terlihat dari mata para murid saat ia turun dari motor Widura.
Perempuan itu mendapat pesan dari Sonia dan Helen yang menyuruhnya untuk tidak istirahat di kantin dulu hari ini. Mereka berniat makan bersama di kelas— setidaknya hanya itu yang dapat mereka lakukan untuk menyelamatkan temannya dari serangan tatapan aneh dari para siswi.
Padahal, posisi duduk mereka tidak mendempet atau bagaimana, kok. Dan, setelah turun Widura juga tidak mengantarnya ke kelas atau bahkan berjalan bersama ke koridor.
Jadi, ketika tadi pagi Abel menuju koridor, Widura belok ke arah gerbang— bisa dipastikan jika laki-laki itu membolos.
Sebenarnya Abel tidak menyangka kalau ternyata hal sesepele itu bisa menjadi hal besar di sekolahnya. Bahkan, beberapa teman-teman perempuan di kelasnya yang tadinya tak begitu notice tentang keberadaannya mendadak berubah.
Semua orang menyorotinya.
Antara bangga dan takut, Abel jadi bingung harus mendeskripsikan perasaannya seperti apa.
Pertama, mungkin karena Widura famous di sekolah membuatnya ikut kecipratan. Tapi, Abel sedih jika dirinya terkesan pansos (panjat sosial)
Yah, mengingat status Widura siapa di sekolah membuat beberapa perempuan tak dapat menahan mulut julidnya. Tak hanya perempuan sepertinya, laki-laki juga.
Sudah bad boy, pemilik sekolah, banteng pula. Yang kastanya lebih mengerikan dibanding macan— kata Helen, sih begitu.
Abel tahu ini memang bukan hal yang perlu didramatisir, tapi ia merasa dirinya jadi sorotan yang kurang menyenangkan di sekolahnya. Ponsel yang tergeletak di meja berbunyi, layarnya menyala.
Helena Farasya: siomaynya abis Bel. Mau diganti apa?
Membaca pesan dari bubble membuat kedua bahu Abel merosot, gadis itu langsung mengambil benda pipih berwarna rose gold tersebut.
Rayvanna Nabila: terserah Helen aja
Helena Farasya: Roti bakar aja mau?
Rayvanna Nabila: ah nggak kenyang
Helena Farasya: tadi katanya terserah gue gimana sih😑
Abel memejamkan matanya sejenak, dan menarik bibirnya selebar emoji itu.
Rayvanna Nabila: tadi kan kamu nanya roti bakar apa engga, aku ngga kenyang len😑
Helena Farasya: yaudah cepetan maunya apa ketoprak? Karedok? Apa mie aja ya? Antrinya pada panjang
Rayvanna Nabila: yaudah ketoprak boleh
Mendapati status pesan terakhirnya ceklis biru, Abel lalu keluar dari aplikasi Whatsapp-nya, dan membuka Instagram.
Gadis itu celingak celinguk sekitar, mengamati seisi kelas sebelum akhirnya ia membuka kamera, dan memilah-milih filter yang lucu, tiba-tiba ada DM masuk.
AnikaRizkyana: p
Kening Abel mengerut. Siapa ini?
AnikaRizkyana: lo inget gue ga?
"Yah, di-prottect," gumamnya, mendapati profil akun tersebut private.
AnikaRizkyana: wkwkwk yg waktu itu lo inepin?
Bibir Abel membentuk huruf O, kekehannya mulai terdengar.
RayvannaNabila: oh wkwk iya... kenapa ya kak?
AnikaRizkyana: oh.. gpp wkwk, gue follow ya akun lo.
RayvannaNabila: wkwkwk iya kak aku langsung follback ya:)
AnikaRizkyana: btw
AnikaRizkyana: temen gue boleh follow lo juga gak? Wkwkwk
RayvannaNabila: boleh kak, siapa? Cewek/cowok? Hahaha
Semenit-dua menit, tak ada jawaban dari Anika, Abel menghela napasnya sambil mengernyit. Lalu ia melanjuti selfie-nya yang sempat tertunda tadi. Baru juga wajahnya terdeteksi face scanner-nya, muncul lagi notifikasi di pop-up.
Widura: p
Reflek, Abel membuka kolom chat Widura. Nama itu tiba-tiba membuat jantung Abel berdetak lebih cepat, dan dalam waktu yang bersamaan Abel merasa ngeri.
Rayvanna Nabila: w
Widura: hah?
Rayvanna Nabila: posisi wenak😆 (Read 09:45 WIB)
Rayvanna Nabila: ya kan tadi kakak chat p, aku bales w. Yaudah jadi pw=posisi wenak
Widura: gajelas
Rayvanna Nabila: kenapa nih ngechat2?
Widura: lo bisa ke UKS gak sekarang?
"Hah? Mau ngapain?" Gumamnya, pada dirinya sendiri. Keningnya mengerut.
Rayvanna Nabila: mau ngapain?
Widura: bantuin gue cepet
Rayvanna Nabila: bantuin apa?
Widura: ga usah banyak nanya. Mau bantu apa ngga nih?
"Ih? Aneh..." kerutan keningnya semakin dalam.
Rayvanna Nabila: dih malah marah2 (Read 09:48 WIB)
Rayvanna Nabila: yaudah aku ke sana
SATU tangan Abel yang menarik kenop refleks menjadi pusat perhatian Eja dan Widura yang ada di dalam UKS. Mereka berdua tampak sedang bicara serius sampai Eja refleks memindahkan fokus kepada Abel. Laki-laki itu spontan menoleh ke Widura, lalu berdiri. Eja mengangkat alisnya seolah memberitahu Widura bahwa ada yang datang.
"Hehe, permisi kakak-kakak." Gadis itu menyelipkan rambutnya dibalik daun telinga.
Widura pun kemudian menoleh dan melihat Abel sedang berdiri di ambang pintu dengan rambut yang sudah tak rapi lagi tatanannya.
"I'm done with my own," ujar Eja sebelum ia meninggalkan ruangan. Ia lalu menepuk dua kali bahu Abel, seolah mempersilakan gadis itu untuk menyelesaikan urusannya.
Abel menelan ludah sebelum ia melangkah mendekati Widura yang masih berbaring di ranjang. Cengkraman pada ponselnya meregang. Kini ia berdiri di hadapan Widura.
Keduanya bertatapan selama dua belas detik.
"Kakak sakit?" Tanya Abel, khawatir.
"Nggak," sahutnya, malas. Widura yang sedang terlentang di kasur hanya menaikkan kepalanya sedikit saat mendengar suara gadis itu berubah, tidak terlalu memerdulikannya.
"Terus kenapa di UKS?"
"Ngantuk,"
"Ih? Dasar sok sultan!"
"Sekolah gue gini," ujarnya, dingin.
Abel terdiam sejenak, iya juga sih.
"Udah sana lo balik lagi aja ke kelas," lanjut yang laki-laki tanpa menoleh ke lawan bicaranya.
"Loh? Terus tadi katanya minta dibantuin?"
Widura menggeleng singkat. "Nggak usah, gak jadi."
"IH KAK!" Abel jadi keki. Astaga, sudah disuruh buru-buru, belum lagi disoroti siswa di sepanjang jalan tadi. Benar-benar tega.
"Bacot lo ah."
"Ngeselin banget sih dasar orang tua!"
Widura tidak membalas adik kelasnya, ia memilih memainkan ponselnya, mencari hal-hal menarik di sana.
"Ih kak! Abel udah jauh-jauh dari kelas masa diusir gitu aja?" Abel keki setengah mati.
"Ya lo telat. Eja udah bantuin gue duluan tadi."
"Eek lah. Mana aus lagi!" Bibir Abel mengerucut dua centi.
"Tuh minum." Widura menujuk gelas yang tergeletak di nakas dengan dagu.
"Gak mau bekas kakak."
"Emang kenapa? Takut ciuman secara nggak langsung?"
"Mending," Abel menjeda sejenak. "Kan kakak lagi penyakitan, jadi aku nggak mau ketularan."
Makin ngelunjak aja nih bocil.
"Yaudah sana pergi."
Mendengar Widura berbicara sekalem itu membuat Abel tambah kesal. Tuh, kan. Widura terkesan seperti tidak peduli. Meski mereka tergolong sering adu mulut. Maksudnya, beda saja. Kali ini rasanya seperti Widura tidak peduli kalaupun Abel akan merengek seharian.
"Kenapa sih nyuruh dateng kalo ujung-ujungnya diusir? Mana nyuruhnya buru-buru, lagi."
Tidak menjawab keluhan Abel, Widura justru membaringkan tubuhnya lagi di ranjang UKS. Kedua tangannya memepererat dekapan pada guling bersarung putih di tangannya. Tatapannya tertuju lurus ke manik mata perempuan yang masih bergeming di tempatnya.
"Yaudah, Abel pergi."
Widura tetap diam.
"Ih, Abel pergi loh ini, Kak!" Ulangnya, gemas.
"Lah sana." Widura tak dapat menahan senyum gelinya.
"Ih, kakak nggak mau nahan apa?!"
Widura tidak menjawab lewat kata-kata melainkan tatapan yang memberi penilaian jijik.
"Dih. Yaudah ya, bye."
Dengan berat hati, Abel perlahan berbalik, menarik kakinya melangkah keluar.
"Bel! Bel!" Widura mengusap wajahnya dalam keadaan masih terlentang. Kemudian ia bangkit, duduk menatap Abel sepenuhnya.
"Apa lagi?"
"Ntar pulangnya lo tunggu gue di pos satpam." Widura menyangga bobotnya dengan kedua siku.
"Nggak ah, rame."
"Loh, terus di mana?"
Gadis berambut kemerahan itu mengangkat kedua bahunya, dan tersenyum lebar. "Ntar aja di WA. Udah ah! Makananku udah dateng!"
Tiga detik setelanya, Widura ditinggalkan di dalam ruangan, sendirian. Pintu tertutup, laki-laki itu kembali merebahkan tubuhnya. Ia meletakkan satu lengannya di atas kening, otaknya melayang ke percakapan lima belas menit yang lalu antara dirinya dan Eja.
"Saya titip ruangannya ya, Afreza." Pak Mukti selaku guru piket UKS pamit, begitu mendapati delikan dari Widura, seolah memberi kode ke Pak Mukti untuk meninggalkan mereka berdua.
"Iya, Pak."
Eja akhirnya duduk di tepi kasur sebelah Widura. Tidak ada suara sama sekali dalam ruangan bernuansa putih hijau itu. Tidak pun dari ponsel Eja, ataupun miliknya.
"Wid, Wid..." Eja menggeleng-geleng tak mengerti. "Lo kok jadi makin aneh gini sih, Wid?"
"Aneh?"
"Ya Tuhan. Kejadian tadi pagi?"
"Kenapa emang?"
"Anjrit. Lo yang bener aja, deh."
"Lah salah gue apa?"
Eja menggaruk kepalanya yang tiba-tiba saja terasa gatal. "Kasian ntar tu bocah baru sekolah berapa bulan dijadiin bahan sama anak-anak."
"Ya gimana? Masa gue harus pantau mulut mereka? Kan mereka bisanya ngomong di belakang gue, gak ada yang di depan?"
"Bukan gitu."
"Terus gue harus tampolin mereka satu persatu, gitu?"
"Gue harap lo paham arah pembicaraan ini kemana ya." Eja menjeda dua detik. "Atau tepatnya ke siapa."
Sebelum membuka mulutnya, Widura menghela napas paham betul apa dan siapa yang Eja maksud.
"Estrella?"
Mereka berdua diam selama tiga puluh detik. Kemudian, Eja menarik napas dalam-dalam dan menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
"Sampe sekarang gue gak ngerti, deh, nyet. Apa sih kurangnya dia?"
Spontan, suasana UKS terasa dingin. Widura tidak langsung menjawab, karena seberulnya ia sendiri tak punya jawaban atas pertanyaan unquestionably itu.
"Lo nggak kasian apa sama dia? Lo kenapa gak ada mikirin perasaan dia, gitu?" Suara Eja melemah.
"Gue gak pernah minta dia perlakuin gue kayak gitu, dia yang dateng sendiri ke gue. Dan gue gak pernah minta dia baper ke gue juga. Gue gak bermaksud juga ngasih dia harapan, gue gak mau bangsatin dia lagi. Mungkin dulu iya. Tapi yaudah. Cukup dulu aja," ujar Widura panjang lebar, dingin.
Meski Widura bisa menjadi mendung lagi dan Eja langsung bisa merasakan aura itu. Kali ini Eja yang menghela napasnya. Selagi ia duduk ranjang sebelah Widura,ada beberapa hal yang berputar di dalam kepalanya.
Pertama, ia sadar kalau kapasitasnya di sini hanya sahabat dari Widura.
Ia cukup tahu diri jika dirinya tak berhak untuk mencampuri urusan laki-laki itu, apalagi terjun lebih jauh. Tetapi, Eja hanya ingin meluruskan maksudnya. Karena ia merasa Estrella juga temannya, terlebih gadis itu merupakan sahabat dari kekasihnya sendiri, Aci.
Setidaknya Eja ingin memberi advice yang berbobot untuk sahabatnya. Setidaknya, Eja ingin sepenuhnya Widura melupakan Giska, dan hubungan circle mereka baik-baik saja.
"After all she's done, masa lo nggak ada gitu rasa tersentuh apa gimana?"
Widura menarik sebelah alisnya.
"Tersentuh? Tersentuh iba? Ada."
Eja memundurkan punggungnya, cukup terkejut mendengar jawaban laki-laki yang kini duduk bersandar pada tembok.
Widura menghela napasnya. "Asal lo tau, Ja. Gue sebenernya juga kasian sama dia, tapi masa gue harus bohongin dia?" Lanjutnya.
"Bohongin?"
"Iya, kayak lakuin hal yang lo maksud hanya karena unsur kasian,"
"Sekarang gini, deh." "Dia cantik iya. Baik.. banget. Imut, banyak yang naksir, famous, talented juga. She's way too worth! Like, what the hell what's wrong with you?"
"Kalo gitu lo pacarin aja dia!" Seru Widura akhirnya.
Eja tak langsung menajawab serangan itu. Laki-laki itu nampak terkejut begitu melihat Widura menatapnya tajam. Namun, otaknya langsung terpekur satu hal dan satu perempuan lain. Tak ingin memperkeruh suasana, Eja mengulur waktu lima belas detik.
"Jadi lo beneran naksir sama adek kelas itu?" Suara Eja terdengar pelan, dan hati-hati.
"Nggak," sahut Widura, laki-laki itu mengeluarkan ponselnya.
"Yaudah. Last thing," kata Eja. "Emang apa sih lebihnya adek kelas itu sampe-sampe lo bisa drastis begini?"
"Maksud lo apaan?" Widura menghentikan aktivitasnya.
"Ya lo kan nggak begitu kenal dia, Wid? Sedangkan Estrella? Lo udah kenal dari SMP, Wid."
"Tapi, gue nyamannya sama dia, Ja."
Mulut Eja terbuka. Ia tercengang atas pernyataan temannya barusan.
"Dan, rasa itu gak pernah gue alamin setiap gue lagi sama Estrella."
Suara deritan pintu menyadarkan lamunan Widura, laki-laki itu menghela napasnya dalam-dalam, mencoba menetralkan gejolak aneh dibalik dadanya.
ESTRELLA berdiam sesaat sebelum menuju tangga. Gadis itu mengernyit heran mendengar kegaduhan di belakangnya. Kedua tangannya yang menggenggam ponsel menguat. Perempuan itu berbalik, mendapati tubuh para adik kelas yang heboh dengan urusan mereka.
Tak terlalu bersemangat ke kelas sendirian, perempuan itu akhirnya mengurungkan niatnya menuju tangga, dan memilih memainkan ponselnya di koridor depan. Awalnya Estrella ingin menge-chat Widura, namun ia terlanjur mengeklik grup chatnya.
Estrella R: kalian udah pada di jalan kan?
Biar saja bila dianggap bawel atau bagaimana. Karena, ia merasa perlu memastikan bahwa teman-temannya harus sudah di jalan. Mungkin kalau Giska sudah, tapi kalau Aci dan Anika? Syukur-syukur sudah selesai dandan jam segini. Pasalnya, sekarang sudah jam 06:35 WIB, artinya 45 menit lagi bel masuk berbunyi. Duh!
Rahisya Mentari: gue pengen beli bubur dulu
Anika Rizkyana: ih mau nitip! :(
Rahisya Mentari: sirheo!
Geriska Cantika: ih gue juga mau Ci, titip ya satu lagi buat Kievlan sekalian. Pake uang lo dulu ya, ntar langsung gue ganti
Rahisya Mentari: ne Giska-ah
Rahisya Mentari: nona Estrella gimana? Eolle-yyeo?
Anika Rizkyana: tai
Estrella R: boleh deh tapi jangan pake kacang ya
Rahisya Mentari: oke
Anika Rizkyana: monyet aci
Rahisya Mentari: apasi pagi2 kasar bgt. Toxic anda
Estrella terkekeh, membayangkan tampang rese Aci. Satu tangan gadis itu menyisiri rambutnya yang belum kering total, yang satunya masih menggenggam ponsel.
Bosan berdiam diri di tempat, gadis itu melangkah ke arah kantin. Rambutnya yang digerai bergoyang-goyang bersamaan dengan kakinya yang terus bergerak.
Belum sempat langkahnya sampai parkiran motor, saat kepalanya tak sengaja menoleh ke depan gerbang, Estrella berhenti. Fokusnya langsung buyar begitu melihat motor Ninja yang melintasi lapangan parkir motor.
Tarikan napas Estrella tertahan.
Matanya terkunci.
Bibirnya terbuka, tetapi tak ada suara yang keluar.
"Makasih, Kak Wid!" Seru yang perempuan setelah melepas helmnya.
Gila.
Gimana gais part ini?
Shipper Abel menang banyak udh gini ceritanya mah
Estrella😭😭😭😭
Seketika jd inget pepatah, "cinta gak harus memiliki." Bullshit2 tp can related gmn dong wkwkwk
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top