14.

Selamat hari raya maulid dan malam minggu!❤️

Maaf aku telat bgtbgt

Aku gabisa janjiin apa2 selain usaha buat improve.
Teman2 kalo ada yg typo atau rancu atau gmn komen aja ya soalnya aku belum baca lagi, xoxo

Minta pattrick-nya boleh? 🌚

Sunset Rollercoaster - My Jinji

KURANG lebih sepuluh menit sudah Abel berdiri di depan kelas XII IPS 4 menunggu sosok yang ternyata tidak ada di dalam ruangan kelas tersebut. Entah apa yang merasukinya, hingga ia nekat keluar dari kelasnya begitu bel istirahat berbunyi.

Abel menyuruh teman-temannya ke kantin duluan, membiarkannya menyelesaikan urusannya. Atau lebih tepatnya, mencari tahu keadaan sosok yang sama sekali tak menjawab panggilan dan chat-nya kemarin.

Perempuan yang rambutnya dihiasi bandana pink itu menggigiti bawah bibirnya, ia gelisah. Kedua matanya yang terpejam erat ketika degup jantungnya tak kunjung kembali normal. Ia begitu gugup, takut jika desas desus tentang Widura kecelakaan kemarin itu benar adanya.

Tepat setelah Abel membuka mata dan membalikkan tubuhnya, seorang laki-laki yang berambut platinum blonde muncul di belakang bersama gerombolannya. Abel refleks bergerak dari tempatnya dan memberikan jarak untuk kakak kelasnya.

Bukan hanya gugup, tetapi Abel juga ngeri kalau dikepung empat orang kakak kelas, apalagi ini cowok semua.

"Cari siapa?" Tanya Eja, kedua tangannya dimasukkan ke saku.

"Uhm— Kak Widura?"

"Oh, orangnya masih di rumah sakit," kali ini Kievlan yang menyahut.

"Jadi dia beneran kecelakaan?"

"Tau tuh, padahal gue juga ngarepnya boongan."

Eja, Tamam, dan Rajas refleks mengumpat, dan menertawai joke sampah temannya.

"Serius, Kak."

"Gue bukan Sal Priadi."

Abel mendengus malas.

"Emang ada apa gitu nyari-nyari Widura?" Kali ini yang bertanya Tamam.

Yang ditanya tidak langsung menjawab. Gadis itu menelan ludah dan berpikir sejenak, matanya memandangi keempat laki-laki di hadapannya bergantian.

"Nggak... waktu itu ada titipan," sahut Abel, akhirnya.

"Titipan apaan?"

"Ya... adalah pokoknya." Abel enggan membahas lebih lanjut.

"Lah?" Rajas refleks tertawa.

"Gak jelas nih bocah."

"Jangan gitu, guys. Degem gue ini," ujar Rajas menoleh ke Kievlan dan Tamam.

"Yaudah mana sini titipin ke gue aja, ntar gue yang kasih ke orangnya," ujar Eja.

"Nggak usah kak. Aku aja. Kan yang diamanahin aku?" Abel mulai lelah.

"Alah. Mau modus lu ya? Ketaker banget," cibir si pirang tanpa dosa.

Sontak, Abel langsung gelagapan, gadis itu mengalihkan pandangan, kakinya melangkah mundur begitu saja.

Terus terang gadis itu menyesali perbuatannya, lagi serius begini masih saja ada yang meledek. Rasanya ingin sekali ia meneriaki ketiga kakak kelas yang tengah mengepungnya, terutama yang rambutnya pirang. Dia yang paling nyebelin menurut Abel.

"Bego lu, Pli." celetuk Eja, melotot. Laki-laki itu menutup mulutnya, menyembunyikan tawanya.

"Eh, anjir langsung pucet, dong dia!" Seru Tamam.

Kievlan, Tamam, dan Rajas langsung terbahak-bahak menertawai keterkejutan yang terlihat jelas di wajah adik kelasnya. Sementara yang ditertawai hanya terdiam seribu bahasa, dia benar-benar bingung harus berbuat apa.

"Si tolol... si tolol..." Rajas geleng-geleng kepala dengan sisa tawanya.

"Goblok emang lu, Pli."

"Eh enjoy aja kali, dek. Kayak LA Lights," celetuk Kievlan sambil menyatukan ibu jari dan telunjuknya membentuk huruf O.

"LA Lights enjoy aja!" Tiba-tiba Tamam menyanyikan lagu iklan rokok.

"UDAH BEGE KASIAN."

"Udah udah, kalo nggak lo ikut gue aja ntar pulang sekolah jenguk dia." Eja menghela napas dengan kekehan. Laki-laki itu mengusap keningnya.

"Tau, tinggalin nomer lo aja sini, ntar gue yang kabarin." Tambah Rajas tanpa berpikir.

"Anjing lu, Tang modus mulu!"

Eja kini memijat keningnya, dan menarik lengan adik kelasnya menjauh dari gerombolan sablengnya.

"Udah jangan dengerin mereka. Ignore aja," kata Eja. "Sori ya. Emang gitu mereka. Seharian gak ngecengin anak orang tuh kayaknya bisa mati."

"Iya, Kak," sahut Abel, gugup, tetapi ingin tertawa.

"Jadi lo mau ikut nih?"

"Ke RS?" Hasrat ingin tertawa Abel mendadak hilang.

Eja menaikkan kedua alisnya.

"Mau, deh," ujar Abel setelah empat detik.

"Serius?"

"Iya."

"Tapi gak papa juga kan kalo lo cewek sendiri?"

Gadis itu tidak langsung menjawab. Ia melirik ke gerombolan cowok yang tengah berdiri di depan pagar pembatas. Ekspresi wajahnya dari yang khawatir dan ragu langsung berubah biasa lagi begitu menatap Eja di depannya.

"Yaudah, deh gak papa, kak."

"Oke, mobil gue BMW silver yang plat akhirnya 745 AU. Pulang sekolah gue tunggu lo di parkiran ya."

JARUM pendek jam menunjuk angka enam ketika Abel dan Eja berjalan melewati koridor rumah sakit. Entah sudah berapa kali Abel mengecek dalam goodie bag-nya yang berisikan aneka buah dan roti. Eja di sebelahnya sibuk dengan ponsel, mengabari Widura bahwa Kievlan akan datang nanti malam.

Setibanya di depan pintu kamar A57, Eja mendongak sekilas lalu melirik adik kelasnya yang terlihat gugup dan gelisah. Lalu Eja membuka kenop pintu.

Tirai yang menggantung di dekat ranjang dibiarkan tersibak menampilkan ekspresi terkejut dua orang yang ada di dalam ruangan, yang tentu mengejutkan Eja.

"Lah?" ujar Eja. Tawa gelinya pecah begitu saja.

Widura reflek menunjuk Eja, seolah menyuruh laki-laki itu berhenti. Meski sebetulnya pasien yang tengah duduk itu nampak terkejut melihat kehadiran Eja di ruangan ini bersama seorang perempuan yang sempat hadir di mimpinya semalam.

Matanya spontan beralih ke arah Abel yang baru saja menutup pintu, Estrella yang duduk di sisi ranjang mengerutkan keningnya.

"Jadi udah progress nih?" Eja melangkah masuk, lupa tentang keberadaan Abel di belakangnya.

Melihat senyum canggung Abel, Estrella langsung berdiri, mengambil alih goodie bag dan meletakkannya di meja sofa.

"Duduk, dek," ujar Estrella, menunjuk sofa.

Disuruh begitu, Abel langsung menurut.

"Anjing! Demi apa nih?" Eja mendekati Widura yang tengah duduk bersandar. Dengan senyum merekah di wajahnya laki-laki itu melayangkan jitakan kecil ke kepala si pasien.

"Tai."

"Bukan maen," Eja menggeleng tidak percaya, masih berdiri di ujung ranjang menatap Widura dan Estrella bergantian.

"Astaga, Aci mana? Berani banget kamu ajak dedek gemes di belakang dia." Estrella yang duduk di sofa beige melirik gadis yang tengah fokus pada ponsel di sebelahnya.

"Langsung ngalihin," sahut Eja. "Lagian jadian aja kalo emang udah—AH IYA IYA WOI!"

Widura langsung meregangkan cengkraman di lengan Eja. Laki-laki berambut gondrong itu menatap Abel yang sejak tadi membungkam mulutnya. Abel mengalihkan pandangannya, berusaha netral atas cibiran Eja barusan.

"Udah pada makan?" Suara Estrella kembali terdengar, otomatis membuat Abel berpaling. Gadis berusaha untuk terlihat biasa-biasa saja walaupun sebenarnya ia merasa gugup, otaknya sibuk mencerna kata-kata Eja tadi.

"Dek?"

Yang merasa paling muda menoleh. "Abel, Kak."

"Oh, Estrella." Estrella balik memperkenalkan dirinya dengan senyum ramah. "Abel Udah makan?"

Anak kelas sepuluh itu mengangguk pelan. Gerakannya terlihat agak lesu, begitu ingat jika yang duduk di sampingnya adalah primadona sekolah.

"Tapi udah mendingan, bro?"

"Udah,"  sahut Widura  serak. Kedua matanya belum berpaling dari sosok  perempuan berambut pirang yang kini sibuk memainkan ponselnya.

"Balik kapan?"

"Besok paling."

"Kok kamu kayak nggak asing ya?"  Suara  Estrella  dari dekat jendela membuat  Widura-Eja  menoleh  sekilas dan membuat  Abel  meliriknya.

"Iya, aku junior kakak," sahut Abel, nyengir.

"Hm, temennya Eja atau gimana nih?"

"Oh—"

"Nggak, tadi kasian nih anak minta nebeng, kebetulan searah," Eja yang menjawab.

"Tapi bener udah makan nih?"

"Bener."

Obrolan  singkat  antara  dua  orang  itu  langsung  keluar  dari  telinga  kiri  Widura.  Fokus  yang ia  punya  sepenuhnya  ia  berikan kepada sosok yang ragu-ragu membalas tatapannya.  Sebuah  senyuman yang terukir di bibir Abel, membuat rongga disela jantung Widura melonggar.

"Kamu anak IPA ya pasti?"

"Enggak, kak. IPS." Abel nyengir lagi.

"Oh sama dong berarti."

Ritme napas Abel melambat seiring matanya berusaha berpaling dari sosok gondrong yang duduk di ranjang. Sekarang ia ingat bahwa gadis di sebelahnya merupakan gebetan dari boy crush-nya dulu.

Sebetulnya, ada hal lain yang membuat hati  kecil  Abel ngilu. Yakni, kata-kata Eja barusan yang terkesan memberi tahu bahwa diantara Widura dan Estrella ada something atau lebih tepatnya mereka berada di tahap PDKT.

Tetapi bisa saja kan kalau itu hanya jokes mini antara kakak kelas cowok? Kan setahu Abel bercandaan anak cowok begitu.

Sadar akan paras Estrella yang berkali lipat lebih cantik di asli dibandingkan di foto membuat Abel merasa begitu kecil.

Tapi kenapa juga dia harus kecewa bila ada something diantara Widura dan Estrella?

Memangnya Abel suka pada Widura? Kan tidak.

"Aku keluar dulu ya, mau nelfon Mas Alan," ujar Estrella, sebelum bangkit keluar ruangan.

"Besok udah bisa sekolah dong berarti?" Tanya Eja, tangannya mencomot jeruk yang tergeletak di atas meja.

"Bisa kalo mood." Widura  menjawab,  untuk  sekalinya  ia  berpaling  dari  wajah Abel.

"Ye, peak lu."

"Lo kok tumben ngajak cewek ke sini selain kakak gue?" Pertanyaan  itu  sebenarnya  hanya  basa-basi.  Tetapi begitu melihat  sosok  adik kelas yang tengah fokus ke ponsel, Widura jadi merasa aneh.

"Selaw. Aci tau, lagian emang dia yang tadi pengen jenguk sekalian ngasih titipan," Eja menoleh ke perempuan yang duduk di sofa. "Yakan?"

"Titipan?" Kening Widura mengerut. "Titipan apa, Bel?"

"Apa?" Abel menoleh, gelagapan.

"Titipan gue."

"Oh—" Abel berpikir dua detik. "Ck, itu loh. Yang dari bu serem?"

"Bukannya itu udah lama ya?" Kerutan Widura semakin dalam.

"Ya iya..." Abel berusaha biasa saja, meski tak sadar jika rona merah di pipinya mulai nampak. "Surat yang kakak bodoamatin itu!"

"Hah?"

"Yaudah sekarang mana suratnya?" Eja mencoba menengahi.

"Enggak tau," kata Abel, nyengir. "Ilang."

"Lah? Peak juga nih bocah."

Enggan menahan hajatan yang tertahan di ujung saluran sejak di perjalanan tadi, Eja berjalan menuju bilik kecil di dekat ambang pintu masuk.

"Mau kemana lo?"

"Toilet," sahut Eja sebelum masuk.

Pintu toilet tertutup, tatapan kedua anak yang duduk berjauhan itu bertemu. Diantara mereka belum ada yang berpaling, sama-sama sibuk mengartikan tatapan itu. Yang perempuan, merasa tengah dihina, yang laki-laki merasa risih saja diperhatikan.

"Apa lo?" Celetuk yang laki-laki.

"Ya, apa?" Timpal yang perempuan, pelan.

"Lo ngapain malah ngeliatin gue?"

"Kakak juga ngapain liatin aku?" Abel akhirnya berpaling.

Widura memutar matanya, malas melanjutkan perdebatan konyol dengan bocil yang satu ini.

"Bel."

Yang punya nama kembali menoleh.

"Sini deh." Widura menepuk sisi ranjangnya, seolah menyuruh adik kelasnya duduk di situ.

"Mau ngapain?"

"Udah apa nurut aja."

Akhirnya yang disuruh bangkit dari tempatnya. Ragu-ragu ia menjatuhkan bokongnya di tempat yang tadi ditepuk Widura. Melihat ekspresi wajah gadis itu memucat membuat Widura refleks menahan tawa.

"Kemaren kenapa nelfon?"

"Kemaren kenapa gak diangkat telfonnya?" Abel menyerang balik, matanya memandang ke sekeliling sudut, terkecuali ke sosok yang mengenakan seragam pasien.

"Kan tadi gue yang nanya duluan?"

"Kan aku maunya jawab belakangan?"

Refleks, kedua alis Widura tertarik.

"Wow, mulai berani ngeselin ya." Ia jadi ingat obrolan dini hari mereka.

Ekspresi wajah Abel berganti tengil. Tetapi, matanya belum juga membalas tatapan gondrong di sisinya.

"Kok sama Eja ke sininya?"

Pertanyaan yang keluar dari mulut Widura hampir saja membuyarkan konsentrasi Abel. Terlebih, Widura mengajukannya dengan sangat cepat dan tidak ada tanda-tanda kalau ia akan mengulang jika Abel mendadak budek.

"Emang kenapa?" Lagi-lagi Abel balik bertanya. Kali ini ia menatap lawan bicaranya.

"Kan tadi gue yang nanya?"

"Kan aku juga nanya?"

"Dih?" Widura mengubah posisi duduknya. "Apaan, dah lu."

"Kakak masih nyeri-nyeri gitu nggak?" Abel mulai random.

"Kenapa emang?"

"Mau aku olesin minyak arab."

"Hah?" Entah sudah keberapa kalinya kening Widura mengerut.

"Ah udah lah gak jadi!" Abel berpaling lagi. Ini kan yang membuat Abel kesal, setiap kali ia ingin berusaha asyik atau santai, Widuranya nggak nangkep. Habisnya Abel kan gak tahu topik yang menarik dibahas apa.

"Lah? Gak jelas."

"Kak, kalo kita pembahasannya begini terus tuh gak akan ada habisnya."

"Terus maunya bahas apa?" Widura menatap Abel lelah.

"Yang biasa-biasa aja."

"Yang biasa-biasa aja itu kayak gimana?"

"Udah ah, kakak makan aja mending. Aku udah bawain banyak tuh sama Kak Eja."

"Lo bilang kalo ngomong harus liat muka orangnya, ini lo nggak," kata Widura, dingin.

Konsentrasi Abel langsung hilang. Ia mengedip-ngedipkan matanya. Bahkan, sekilas, ia berharap Widura langsung berpaling untuk sekedar memandangi objek yang lebih menarik dibanding dirinya. Namun nyatanya, laki-laki di hadapannya malah bergeming, tetap memandanginya.

Abel akhirnya menatap Widura dengan kekehan kecil. "Yaudah, yaudah, ngomong lagi."

Widura hanya memicingkan matanya. Mulutnya tetap diam.

Risih dipandangi seperti ini, Abel membuka ponselnya, sesekali ia mencuri pandang ke arah kakak kelasnya yang ia kira sudah berpaling. Ternyata, belum juga. Ah, Kak Wid! Abel kan jadi malu kalo begini!

Tanpa berpikir sama sekali, gadis itu membuka Instagram, dan menge-klik opsi kamera, dan mencari-cari filter lucu di sana.

"Kak Wid, mau ya.molli atau freckless?" Abel kembali random.

Widura mengerutkan keningnya, pertanda bingung.

"Ih lucuuuuu!" Seru Abel, melihat area pipi Widura dipenuhi freckless.

Sadar jika dirinya difoto, Widura langsung melotot.

"Apaan sih lo?" Seru Widura. "Lo moto?!"

Baru Widura hendak merampas ponsel Abel, si empunya keburu lari ke sofa.

"Kakak masih diinfus jangan petakilan!" Tegur Abel, dengan telunjuk.

"Gak usah aneh-aneh, dah." Widura mencoba untuk tak lepas kendali.

"Orang cuma mau jadiin instastory!"

"Alay dasar."

"Biarin."

Widura memutar matanya.

"IG kakak apa?"

Widura tidak menjawab.

"Oke mulai Mandra,"

"Bacot."

"Bigiyagarigin." (Bigiyagarigin: Biarin)

Kerutan pada dahi Eja samar-samar muncul begitu ia keluar dari toilet, karena melihat kedua anak yang saling melempar cibiran di depannya. Sepertinya mereka juga belum menyadari keberadaan Eja.

"Yaelah penting gitu dunia tau lo di sini?"

"Penting lah."

Bingung harus duduk di sofa atau sisi ranjang lagi, Eja memilih diam bersandar pada tembok. Instingnya mulai menelaah sesuatu, ia tidak mematikan logikanya, tidak sedikitpun. Kehebohan suara Abel akhirnya terintrupsi oleh kehadiran sosok yang baru saja masuk lagi ke dalam.

"Guys, aku harus pulang, Mas Alan udah di bawah," ujar Estrella yang kini berjalan ke arah sofa, mengambil tasnya. Pandangannya jatuh ke Widura. "Kamu gak papa kan sendirian nanti?"

"Gue gak sendirian, kok. Kan ada dia." Tanpa disengaja, saat mengatakan kata dia, dagu Widura menunjuk ke arah Abel.

"Ada gue juga," Sambung Eja, begitu melihat ada perubahan kecil pada wajah Estrella. "Sama bocahan yang lain juga pada dateng ntar."

Sebetulnya semalam Eja sudah ke rumah sakit bersama Mayang, kemarin. Nah, sekarang ia datang bersama Abel sebetulnya bukan semena-mena karena permintaan anak itu. Tetapi ia ingin memastikan sesuatu.

Gesture diantara mereka membuat Eja begitu yakin bahwa memang ada sesuatu.

Sesuatu yang terasa janggal.

Yg bisa bahasa G ajarin aku dong😂😂

Yash yash yash...

Jujur, ada yg pindah haluan gak nih ke Widura-Abel?😬😬

Atau pindah ke Widura-Estrella?

Team mana yg lebih kalian suka? Widest atau Widbel?😂😂

Sori ya buat yg req Ghazi, dia di next chapt hehe❤️

/eja my forever luv/

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top