12.

Hai gais!! Ada yg nunggu update Gulma?

Maaf bgt ya aku telat bgt updatenya, karena banyak hal. Semoga kedepannya ga gini lagi:(

Buat yg sayang tim Gulma, minta votenya yaa seperti biasa♥️

Kutunggu komennya untuk part ini🤩

Mac Ayres - Easy

SELAMA memandangi guru di depan, Abel tak dapat berhenti memikirkan seseorang sejak jam pelajaran berlangsung. Bahkan, sebelum masuk kelas. Sebelum berangkat sekolah. Sebelum tidur semalam.

Ekspresi lo kayak baru pertama kali ditembak.

Semakin diingat, semakin terasa debaran jantungnya. Kalimat yang dilontarkan Widura membuatnya nyaris gila sejak semalam. Padahal, ia tahu kakak kelasnya hanya bercanda, ia juga paham kalau semalam itu hanya joke mini seorang laki-laki.

Tapi beda cerita, dong kalau Widura yang bicara. Mungkin, kalau laki-laki lain Abel tak akan se-drama ini. Abel terus-terusan menggerak-gerakkan tangannya, entah sekedar memainkan pulpen atau mengusap dasar meja dengan jari.

Sebentar lagi bel istirahat berbunyi, tetapi Abel sudah resah di tempatnya, ia ingin keluar dari kelas.

"Len,"

"Oi?" Helen berhenti mencorat-coret, halaman belakangnya, menoleh ke belakangnya. Sedangkan Sonia tak ikut berbalik, tetap menopang dagunya.

"Temenin Abel yuk ke toilet."

"Sama Sonia aja, deh. Gue lagi mager banget ngapa-ngapain."

Sonia langsung menoleh.

"Ayo, Son?" ujar Abel, menatap kedua sahabatnya yang duduk bersebelahan.

"Yuk." Gadis berpostur tinggi itu bangkit.

Selama berjalan, mereka berdua tidak berbicara apa-apa. Sonia membuka ponselnya, melihat-lihat notifikasi yang bermunculan di pop up.

"Eh— di toilet atas aja yuk,"

Ajakan Abel sontak membuat Sonia menghentikan langkahnya, dan menatap Abel heran.

"Lah ngapain?"

"Kan biar kita bisa lama-lamain?" Ujar Abel, gugup.

"Oh ya. Pinter juga lo," kata Sonia, kembali berjalan.

Sebetulnya Abel tak sepenuhnya berbohong mengapa ia ingin berlama di toilet, meski di sisi lain ada keinginan khusus yang tak dapat dijelaskan lewat kata-kata.

Begitu menapakkan kaki di ujung tangga, Abel berbelok ke persimpangan kiri menuju toilet perempuan yang terletak di pojok kiri, keringat dingin membasahi punggungnya begitu ia mendekati deretan kelas IPS.

Langkah Abel melambat begitu di depan kelas IPS 4, gadis itu berhenti sebentar dan mendongakkan kepalanya sebentar ke arah kelas sasarannya, matanya mencari-cari sosok yang membuatnya gelisah sejak semalam.

Namun, sosok itu tak ada.

Alasan Sonia tak jadi menanyakan keanehan temannya karena saat ia menoleh ke belakang, matanya melihat sosok gondrong yang berjalan di belakangnya sambil memainkan headset-nya. Sontak, Abel yang ditarik Sonia meminggir, ikut menoleh ke belakang.

Bibir Abel terbuka sedikit.

Tatapan datar tanpa ekspresi itu beradu dengan milik Abel, sama halnya saat menatap Sonia. Perempuan mungil itu langsung menyingkir lebih jauh, memberikan space untuk kakak kelasnya lewat, buru-buru ia menyelipkan rambutnya di belakang telinga.

Jantungnya berdetak tidak karuan, ketika Widura melewatinya begitu saja.

"Bel?" Tegur Sonia, begitu melihat punggung kakak kelasnya semakin jauh.

"Hah?" Lamunan Abel langsung buyar.

"Are you okay?"

"Loh— emang aku kenapa?" Abel terbatuk pelan, menyembunyikan kegugupannya.

"Sebenernya lo kebelet pipis nggak sih?"

"Kopi item, bang, satu."

Setelah kalimat itu terlontar dari mulut Widura, anak-anak tongkrongan warning yang tadinya fokus pada kartu digenggaman masing-masing, mendadak salah fokus. Mereka hanya bisa bengong menatap Widura yang kini berjalan menuju bale dan menjatuhkan bokongnya di samping Kievlan.

"Lah tumben join?" celetuk Kievlan, mengedip berkali-kali.

"Setelah sekian lama bunda mengandung," tambah Tamam geleng-geleng, dramatis.

Widura hanya menanggapinya dengan kernyitan dahi, dan tawa dua ejaan.

Eja memeluk kedua lututnya, dan menempelkan dagunya, sebelum fokus lagi pada poker-nya. "Biasanya yang begini-gini, nih."

"Apa?" Sahut Widura, datar.

"Oh!" Kievlan sok paham.

"Apa?!"

"Apaan si apaan?" Tamam menggaruk jidatnya.

Sontak, Eja dan Kievlan saling bertukar pandang dengan tatapan mupeng.

"Yang mana anaknya, Wid? Yang mana?"

Widura tak menjawab, ia hanya terkekeh singkat.

"OH. LU JADIAN, WID?" Seru Tamam, heboh.

"Apaan sih lu pada, kayak cewek," timpal Widura geli.

"Eh— ini giliran siapa yang jalan, woi?" ujar Rajas, sewot. Teman-temannya tak lagi fokus bermain.

"Maap— maap," ujar Eja. "Gue ya tadi?"

"Gue!" Sahut Kievlan.

"Wid, lu mau ikutan gak?"

"Nggak, ah."

Widura lebih memilih menyumpal kedua telinganya dengan headset, sambil mengintipi kartu Kievlan.

Lalu ia beralih ke ponselnya, dan memilih lagu I Wanna Be Yours milik Arctic Monkey di Sportify. Matanya terpejam, diam-diam ia memaknai tiap bait lagu,

Secrets I have held in my heart
Are harder to hide than I thought

Tarikan napas Widura mulai berubah.

Maybe I just wanna be yours

Di bait itulah ia tak sadar jika alisnya telah berkerut.

I wanna be yours, I wanna be yours

Perlahan, Widura membuka matanya, ia teringat kejadian semalam—sebetulnya ia tak ingin menganggapnya menjadi sesuatu— karena, ia sendiri tak serius saat mengatakannya. Namun, jika diingat-ingat kejadian semalam pure atas dasar spontanitas manusia saklek seperti dirinya.

Dan ia yakin seratus persen jika perempuan yang tadi berpapasan dengannya di persimpangan toilet juga tahu soal itu.

Sebetulnya, persetan juga sih jika Abel menganggapnya itu serius, karena Widura sendiri kan tidak ada unsur serius saat mengatakan itu.

Eja yang tadinya berselonjor di lantai, berpindah di sebelah kiri Widura, dan mencopot satu headset temannya, mengabaikan delikan sinis dari sang maung.

"Wid, kopi lo dingin tuh ntar!" Tegur Jefri, sebetulnya agak dongkol melihat kopi yang sejak lima belas detik lalu dianggurin Widura.

Widura mengangguk pelan sebelum menyesap lamat kopinya.

"Lo kenapa gak mau maen?" tanya Eja.

Dengan nada datar Widura menjawab, "Males."

"Gimana sekarang udah ada gebetan baru?" Eja melanjutkan sesi interview-nya.

Widura menggeleng pelan dengan kernyitan dahi.

Setelah itu tidak ada lanjutan percakapan, sebenarnya laki-laki gondrong itu merasa heran dengan tingkah Abel pada malam itu. Selama perjalanan pulang, gadis itu tak lagi mengeluarkan lelucon yang konyol dan garing bagi Widura, entah bagaimana secepat itu tingak gadis itu berubah, mendadak canggung.

Terbukti saat berpapasan tadi, Abel hanya menatapnya detik, tapi Widura bisa menilai di mata perempuan itu ada tatapan malu-malu canggung.

Tapi, Widura memilih masa pura-pura tak tahu, tidak mau ambil pusing.

Meskipun secara tidak langsung Widura yang memulai permainan konyol itu, tapi Widura adalah Widura, laki-laki yang tidak mau lagi memperpanjang sesuatu yang seharusnya tidak perlu diperpanjang. Seperti menyuruh Abel lupakan soal itu, misalnya.

"Eh ini kenapa gue sekop semua si?!" Kievlan berteriak, tapi tetap membalik kartunya di atas paha.

Warung yang dengan dominasi cat kuning lebih riuh karena anak-anak menyoraki kebodohan Kievlan, Widura yang menyaksikan adegan ini dengan posisi tumit kanan ditumpu di atas lutut kiri hanya terkekeh.

Saat masih tenang mendengarkan lagu di telinga kanan, ada jeda sejenak yang diikuti deringan membuat Widura langsung mengalihkan pandangannya ke ponsel saat benda pipih itu bergetar, tak terkecuali Eja, yang sepertinya mulai jengah dengan permainan.

Dengan malas, dibukanya pesan yang masuk.

Estrella: kamu dimana?

Estrella: aku tadi lewatin kelas kamu, kamunya nggak ada

Widura refleks mengumpat ia merasakan embusan napas di sisi kiri, kontan ia mencopot headsetnya.

"Yaelah," ujar Eja, ikut mencopot headsetnya. "Masih belom di-fix in juga nih?"

"Berisik lo."

"Ya ampun," kata Eja, tatapannya berubah geli. "Apa sih kurangnya dia?"

Tanpa berminat menyahut, Widura kembali menarik napasnya. Rambutnya yang terkuncir terasa lebih berat di saat seperti ini.

Widura menutup kolom chat dan mengunci ponsel tanpa membalas pesan dari Estrella. Mencoba kembali pada atmosfir sekitar meskipun tidak seratus persen.

Sampai ponselnya bergetar lagi.

Estrella: whatever you do or wherever you are right now plis jangan lupa makan

Estrella: aku nggak mau maag kamu kambuh. Ok?

Estrella: 🙂🙂

"Astagfirullah ya!" Tamam tiba-tiba berdiri dengan wajah kesal bukan main.

"Apaan, sih?" Rajas jadi heran. "Kenapa?"

"Joker merahnya ilang!"

"Apaan si," sentak Kievlan. "Daritadi bloopers mulu."

"Ngaca, gablak," sahut Jefri.

"Ntar, kalo lagi di IPS 1," Kievlan menggosok batang hidungnya dengan jari tengah.

"Hah? Kenapa IPS 1?" Sahut Ipang, anak SMA Purnama.

"Kan cewek gue yang bawa kaca."

Senyum Widura sempat memudar sejenak, namun ia buru-buru tersenyum lagi.

"APAAN SI CRINGE," seru Dandi.

"Bucin mulu lo tai."

"Ah kan, gue lupa ngabarin Kikah lagi di warning," kata Kievlan.

"Ngemeng aja, jalan, Met."

"Cewek kayak dia stoknya over limited, Wid." Lagi-lagi Eja menceramahi. "Jangan sampe lo nyesel."

Memilih tidak peduli, Widura kembali mengunci layar ponselnya tanpa menoleh ke samping dengan jari tengahnya teracung untuk temannya yang kini menggeleng-geleng menatapnya.

Caesario F: gue tunggu lo di rumkos jam 5.

Caesario F: pastiin lo bawa temen2 lo ya ke sini. Kalo bisa ajak polisi juga

Caesario F: takutnya kalo lo mati nanti gaada yang urus bosq WKWKWK

"Monyet!"

Sontak seisi warning menoleh ke sumber suara. Tanpa berpamitan terlebih dahulu, laki-laki itu beranjak dan keluar warning menuju parkiran motor.

"Kenapa baru sekarang kamu dateng ke saya?"

Kalimat dokter tadi terus terngiang di kepala Estrella, tarikan napas Estrella terasa lebih berat begitu pandangannya jatuh ke lembaran amplop di genggamannya.

Estrella yang masih mengenakan seragam, memutuskan untuk tidak langsung pulang ke rumah, dan meminta tidak dijemput sopirnya ataupun Alan— kakaknya. Ia memilih naik taksi online.

Gadis itu memasukkan amplop putih ke dalam saku ransel ungunya. Awalnya, ia merasa sangat ragu saat membuat keputusan apakah ia akan melakukan hal ini atau tidak. Namun setelah melewati petimbangan selama dua minggu, akhirnya Estrella tahu apa yang seharusnya ia lakukan. Ia yakin keputusannya kali ini tak salah.

Ia hanya bilang ke ibunya dan Alan bila ia ingin ke toko buku bersama teman-temannya. Entah sudah ke berapa kalinya ia berbohong seperti ini kepada ibunya. Sebetulnya Estrella tak ingin begini jika bukan karena keadaan yang memaksa.

Estrella sama seperti orang-orang.

Ia benci kebohongan, apapun itu motifnya.

Baginya, kebohongan adalah sumber dari sebuah kesalahan.

Tetapi apa?

Kini ia melakukan hal yang ia benci.

Tak ada lagi alasan bagi Estrella untuk tak membenci dirinya sendiri.

Sebetulnya, bisa saja ia mengatakan semuanya dengan jujur, tapi ia tak ingin memperumit keadaan.

"Komplek Bumi Indah blok berapa, Mbak?" ujar sopir, begitu tiba di gapura komplek.

"Blok F,"  jawab Estrella. Tangan kanannya mendorong rambutnya ke belakang, dan tangan kirinya memegang ponsel.  "Nanti yang di barisan tengah, pagar putih ya, Pak."

"Oke siap."

Estrella tersentak di tempatnya ketika ponselnya berdering. Jantungnya berdebar-denar, deru napasnya yang mulai tak beraturan. Begitu ia melihat nama pemanggil di layar ponselnya, bibir Estrella membulat.

Widura.

"Halo?" Sapa Estrella langsung. Sebetulnya heran juga kenapa Widura meneleponnya duluan.

Alis perempuan itu langsung tertaut ketika samar-samar suara kerumunan laki-laki memenuhi telinganya.

"Halo— halo?"

Mata Estrella refleks membelalak lebar begitu mendengar suara orang asing di seberang, firasatnya langsung nggak enak.

"Ini siapa ya?" tembak Estrella langsung.

"Mbak, maaf ini keluarganya Mas Widura bukan?"

"Ini— ini siapa?!" Ulangnya, semakin panik.

"Saya Fahru," suara laki-laki di seberang terdengar panik. "Ini tadi –" kalimatnya terputus. "Yang punya handphone kecelakaan, Mbak. Saya nelfon Mbak –eh, iya hati-hati, Mas. Tadi kontak Mbak yang sempet muncul di notifikasi—"

"Widura kecelakaan?!" Estrella tak dapat menahan infonasinya.

Tak ada jawaban, yang terdengar hanyalah suara riuh laki-laki.

"Ini— Widuranya kecelakaan?!" Ulangnya, panik. Pandangannya memburam.

"Iya, Mbak –"

"Astagfirullah!" Estrella menutup matanya dengan satu tangan. Perempuan itu langsung menyandarkan punggungnya ke jok, sekujur tubuhnya mendadak lemah tak berdaya.

"Udah daritadi, sih, Mbak kecelakaannya."

"Ya Allah –" Refleks, Estrella mengusap wajahnya.

"Ini lagi mau dirujuk ke rumah sakit, Mbak."

Air mata Estrella jatuh begitu saja. Tangannya yang masih menggenggam ponsel mulai gemetaran.

"Mas tolong ya bawa dia ke RS terdekat segera," kata Estrella, terisak. "Saya minta share location-nya ya, Mas, sekarang."

"Baik, Mbak," jawab Fahru, gelagapan. "Paling kita ke RS Pertamina, ya, Mbak."

"Makasih ya, Mas." Estrella mengapus airmatanya sebelum menurunkan ponselnya. "Saya titip dia."

Setelah sambungan terputus, gadis yang duduk di jok belakang itu langsung memajukan tubuhnya.

"Pak, bisa anter saya ke rumah sakit nggak?" Tanya Estrella, tangannya dengan cepat mengusap air matanya.

"Oh, mau balik lagi, Mbak?"

"Kali ini saya mau ke RS Pertamina, Pak," kata Estrella, dengan sisa sendatan. "Saya bayarnya dua kali lipat, deh. Soalnya urgent banget, Pak. Tolongin ya, saya mohon."

"Oh, yaudah saya puter balik ya, Mbak."

Kepala Estrella mendadak blank. Secepat kilat, gadis itu kemudian membuka lagi ponselnya hendak mencari kontak Eja atau Kievlan, tetapi keburu masuk panggilan masuk dari lain.

Dengan cepat, Estrella langsung menjawab.

"Ghazi!" Seru Estrella, refleks. Air matanya kembali merebak.

"Halo?"

"Zi— Ghazi dimana?" Estrella tak dapat menahan sendatannya.

Di seberang, Ghazi bisa mendengar dengan jells  kalau perempuan yang mengangkat teleponnya tengah menangis. Meskipun ada niat lain menghubungi Estrella, namun laki-laki itu langsung mengurungian niatnya.

"Uh—Baru mau otw The Joures. Kenapa, Es?"

"Widura, Zi—" Estrella semakin sesak. "Widura kecelakaan."

"Hah? Ya Allah—" Ghazi menjeda sejenak. "Yaudah, yaudah jangan panik. Insha Allah kok dia baik-baik aja, yakinin itu."

"Aku takut—" Estrella mencengkram kerah kemejanya, berupaya menyalurkan rasa takutnya.

"Sshh... take a deep breath." Suara Ghazi melemah.

"Astaga, Zi, asli — asli aku bingung harus gimana—"

"Istighfar, dulu istighfar." Potong Ghazi, lebih pelan, seperti obat penenang.

Estrella menarik napasnya dalam-dalam, dan mengembuskannya perlahan sambil melafalkan istighfar dalam hati.

"Lo dimana sekarang?"

"Aku lagi di jalan ke RS Pertamina." Estrella menghapus airmatanya.

"Yaudah, gue susul ya. Berkabar aja. Jangan sampe handphone lo mati."

"Makasih, ya."

"Take care ya, Es," kata Ghazi. "Jangan lupa kirim Al- Fatihah."

Ya Allah, Ghazi:(

Gimana part ini gais?

Jadi, gimana nih? Masih kekeuh Widura-Estrella atau berpaling ke Ghazi-Estrella?👀

Btw, Caesario itu siapa? Dan kenapa smsnya tengil?🤔

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top