11.

Maaf ya gais kelamaan:(

Buat part ini semoga kalian suka yaa! Ditunggu vote+komentarnya! ✨❤️

Dan sori kalo nggak sesuai yg kalian harapkan:(

SALES — Ivy

WAKTU menunjukkan pukul setengah dua lewat tiga menit ketika mereka sudah di jalan arah Den Hooi. Angin malam yang berhembus agak sejuk dari biasanya membuat Abel menyesal tidak pakai jaket. Udara dingin yang menusuk kulitnya membuat pori-porinya membesar.

"Emang orangtua lo gak marah tau lo keluar malem-malem gini?"

"Hah?"

"Orang tua lo gak marah tau lo keluar malem?!" Widura berteriak begitu kaca helmnya terbuka.

"Kalo tau pasti marah, kan ini mumpung gak tau."

"Lah?" ujar Widura, langsung menutup kacanya lagi. "Udah setengah jalan gini? Balik lagi aja, lah."

"Iiih! Nggak usaah gak papa, Abel udah bilang sama Mbak Rosi."

"Hah?"

"Udah bilang Mbak Rosi, kaaaak!"

"Oh," Widura tetap mengendarai motornya. "Dia mbak yang kerja di rumah lo?"

"Hah?" Abel lagi-lagi tak dapat mendengar.

"Au ah."

"Kakk!" Abel meninggikan suaranya. "Ini jadinya ke Den Hooi?!"

"Gak usah teriak. Lo emang mau ke bar?!"

"Ih bukan! Kita di Mcd-nya ajaaa!" Abel tetap berteriak, ia pikir kakak kelasnya sama budeg-nya dengannya.

"Kenapa malah mcd?"

"Emang kakak maunya di mana?"

"Nasi goreng,"

"Yaudah bebas deh," Abel mulai capek teriak.

Sepanjang jalanan, mata Abel memandangi bangungan-bangunan dan pepohonan. Abel sebetulnya gatal ingin memainkan ponselnya untuk membuat Instastory, tetapi ia ragu. Takutnya, ponselnya jatuh atau kena jambret. Habisnya, Abel bosan jika hanya berdiam diri di motor begini.

"Kak, Abel ijin denger musik ya."

"Apa?" Giliran Widura yang tak dapat mendengar.

"Abel ijin denger musik pake headset!" Ulangnya, lebih keras.

"Kenapa pake ijin?"

"Ya kan daripada kakak nggak ada temen ngobrolnya?"

"Terus kenapa sekarang mau dengerin musik?"

"Karna kakak diem terus." Abel mengusap keningnya yang kejatuhan buliran sisa air hujan dari pohon.

"Ini emang diem?"

"Yaudah, Abel gak jadi dengerin musik!"

"Kenapa emang?"

"IH KAKAK MAH!" Abel jadi gregetan sendiri.

Di balik helmnya, Widura terkekeh. Laki-laki itu bisa membayangkan ekspresi Abel saat bicara seperti itu sembari memundurkan tubuhnya.

"Lah? Gue nanya."

"Ya udah intinya boleh apa nggak siiih Abel dengerin museeeekk?!"

"Apaan sih? Aneh."

Lagi-lagi Widura terkekeh. Kini otaknya membayangkan tampang keki Abel sembari memiringkan kepalanya.

"Bel!"

"Apa?" Abel kembali memajukan wajahnya dan bersiap untuk mendengar apa yang akan dikatakan Widura setelah ini.

Namun setelah diam menunggu tujuh detik, Widura tidak bersuara.

"Apa, Kak?" ulang Abel.

"Gue ngebut nih."

Entah yang dibonceng tak dapat mendengar atau si pengemudi memang tidak mengerem, tangan kanan Abel yang tadinya berada di atas lutut refleks mencengkram perut Widura saat motor melintasi polisi tidur yang begitu besar.

Abel terkejut, tapi ia seperti kehilangan oksigen untuk bernapas. Jantungnya seketika berdegup tidak karuan, begitu kencang sampai-sampai ia khawatir Widura dapat merasakannya.

"Maaf—" serunya, gelagapan. "Maaf, Kak!"

Abel langsung menarik diri sambil menahan napas, mencoba mengusir debaran yang sedang ia rasakan.

"Gak papa," kata Widura. "Gue tau lo takut jatoh."

Tangan kiri Widura kemudian menarik tangan Abel yang kanan, berusaha memasukkan tangan itu ke dalam hoodie-nya.

Detik setelahnya, tangan Abel yang satu lagi bergerak menempatkan di tempat yang sama, hingga tubuhnya tak lagi berjarak dengan punggung laki-laki itu. Kedua tangannya sekarang melingkari pinggang Widura, tidak tahu harus bagaimana dan entah sampai kapan.

Aroma oakmoss dari hoodie Widura menguasai indera penciumanbya karena posisi mereka sekarang begitu dekat. Abel memejamkan mata, meski bukan pertama kalinya ia merasa sedekat ini dengan laki-laki. Tetapi, duduk berduaan di motor, sambil berpelukan. Sama kakak kelas pula!

HELEN, SONIAAA! ENTAH APA YANG MERASUKI KAK WID!

Samar-samar, Abel merasakan lengkungan di bibirnya melebar.

TENGAH malam begini, McDonalds sebelah bar Den Hooi masih ramai. Alih-alih lelah boomerang dan selfie menggunakan filter kucing di Instagram, Abel mengalihkan pandangannya dari ayam tepung, lalu terhenti ke kakak kelas yang duduk di hadapannya, yang tengah asyik memainkan ponselnya.

Jujur, ini memang bukan kali pertamanya Abel makan malam berdua dengan laki-laki. Tetapi ini otomatis jadi yang pertama kali baginya makan tanpa banyak mengobrol.

Pertanyaan yang keluar dari mulut Widura tadi sebatas, "Punya lo pedes gak?" lalu, "Lo suka tulang muda gak?" Dan, "Lo coke kan?"

Gadis berkaos lengan pendek itu mulai mengenali tipikal kakak kelas di depannya yang; gak bakalan ngomong kalo gak diajak ngomong duluan.

"Kak Wid, Kak Wid."

Widura mengangkat matanya sekilas, sorotnya datar, tak bergairah.

"Kok kakak gak bawa kamera analog?"

"Buat apa?" jawabnya, fokus ke ponsel lagi.

"Sumbangin." Abel menatap kakak kelasnya dengan malas. "Ya foto-foto, laaah kaaaak."

"Mager," sahutnya, datar dan singkat. Tanpa menoleh ke lawan bicaranya.

"Mulai besok jadiin starter pack ya, Kak."

"Mager."

Abel mendengus. Ia lalu menempelkan dagunya di atas meja.

"Kak, aku mau nanya, deh."

"Apa?" Lagi-lagi Widura menyahut tanpa mengalihkan pandangannya.

"Kalo orang ngomong liat mukanya kenapa, sih?"

Widura mengangkat matanya sebentar, dengan dengusan malas.

"Kenapa kita gak jadi makan nasi goreng?"

"Gak tau. Tiba-tiba gue pengen kulit ayam." Widura lagi-lagi tak menatap lawan bicaranya.

"Ih, liat aku loooh!" Suara Abel terdengar seperti rengekan bocah SD yang tengah berebutan hadiah lomba tujuh belasan.

"Apaan sih lu." Saat mengangkat matanya, Widura mengernyit, lalu kembali fokus ke ponselnya.

"Serius aku, kan nggak baik loh, Kak kayak gitu."

"Gitu apa?" tanya Widura dengan suara pelan, sehingga tidak menarik  perhatian orang-orang di sekitar mereka.

"Ya gini. Ngomong tapi orangnya gak diliat," kata Abel. "Sombong kesannya."

Tanpa sadar, Widura mengubah posisi duduknya. Laki-laki itu membalik layar ponselnya di atas meja. Tertarik dengan dua kata terakhir Abel, Widura  mengerutkan alisnya selama  dua  detik.  Ia  lalu  membuka mulutnya, menyahuti gadis yang pernah ia bentak di depan teman-teman kelasnya.

"Emangnya gue sombong ya?" Jujur, ia mulai tertarik dengan obrolan ini.

Abel menghela panjang. "Kakak jawab sendiri aja ya."

"Tuh." Widura memundurkan tubuhnya, bersandar pada jok. "Ini lo juga gak sopan."

"Kok aku?" Abel refleks ikut memundurkan tubuhnya.

"Ya orang nanya gak mau dijawab?"

"Abisnya ntar kalo aku jawab, aku kena baku hantam sama kakak?" Abel meraih coke miliknya setelah  mengatakan hal itu, berharap agar Widura tidak menanyakan lebih lanjut tentang argumen yang dimaksud.

Seolah paham betul maksud Abel, Widura menghela napas, memutar matanya dengan malas.

"Yaudah. Gak perlu lo jawab, gue udah tau jawabannya."

Tubuh Abel langsung maju lagi, tangannya menggerak-gerakkan cup-nya dengan antusias. "Tuh. Mandra banget emang kakak!"

"Mandra?" Widura mengernyit.

"Iya., 'shombong amat!'"

"Apaan sih," Entah keberapa kalinya, alis Widura terus tertaut karena celotehan adik kelasnya.

Abel terdiam, ia menggaruk pipinya yang tiba-tiba gatal, meski sebetulnya merasa malu sekaligus bingung harus membuka obrolan seperti apa lagi.

"Lo IPA atau IPS, deh?" Kali ini Widura yang bertanya. Kedua  tangannya ia lipat di  atas  meja  sebelum ia  menopang dagu dengan  tangan  kanan.

"IPS," sahut Abel.

"Oh,"

Widura menunrunkan tangannya lalu kembali bersandar ke jok. Lengan jaketnya yang digulung  entah mengapa membuat penampilan laki-laki itu  nampak lebih menarik.

"Oh ya, waktu itu kakak udah baca belum amplop titipan Bu guru?"

"Apa? Bu guru? Amplop titipan?" Widura semakin heran dengan pilihan verbal adik kelasnya.

"Iya," Abel menyandarkan punggungnya ke jok. "Amplop yang waktu itu, loh. Yang aku selipin di kolong meja kakak,"

"Emang lo naro amplop?"

"Iya?" Abel langsung memajukan tubuhnya. "Ih! Kakak nggak ambil apa?"

"Emang Bu siapa yang nitipin?"

"Abel juga gak tau namanya," jawab Abel. "Bu serem lah pokoknya,"

"Terus kenapa bukan dia aja yang ngasih ke gue?"

"Nggak tau." Mungkin karna kakak lebih serem? Sengaja Abel menahan kalimat itu dalam hati.

"Ah lo taunya apa sih?"

"Yang kakak gak tau," sahut Abel, cengengesan. "Aku tau semua."

Abel bermaksud nge-jokes, tapi sepertinya Widura nggak nangkep. Widura mengerjap dua kali dalam sedetik.

"Hah?"

"Ah, udah lah! Kakak nggak nangkep." Abel mengibaskan tangannya. "Intinya yang ngasih amplop itu, Bu Serem. Yang mukanya serem."

"Apaan sih?"

Kekehan Widura kembali hadir, suara kekehannya yang pelan namun serak-serak basah, membuat telinga Abel betah mendengarnya. Tambah lagi, lengkungan bibirnya yang juga membuat mata Abel enggan beralih ke objek lain.

Melihat perubahan ekspresi Widura sekarang—atau lebih tepatnya sisi lain Widura, membuat Abel throwback ke masa awal ia berkenalan dengan kakak kelasnya. Sosok laki-laki dingin yang hobi kamera analog.

"Kenapa malah ngeliatin gue?" ujar Widura empat detik setelahnya, dengan sisa kekehan.

"Enggak— kakak keliatan beda aja."

"Hah?" Alis Widura lagi-lagi tertaut.

Laki-laki itu melepas kunciran rambutnya, dan menguncir ulang rambutnya. Bila biasanya laki-laki terpesona saat melihat perempuan menguncir rambut, kali ini kebalik. Laki-lakilah yang justru kelihatan lebih tampan ketika sedang mengunciri rambutnya.

"Kak,"

Sambil menguncir, Widura menoleh dengan kedua alis tertarik.

"Kalo menurut kakak, Abel sombong nggak?"

"Lo?" Sahutnya, begitu selesai menguncir.

"Iya. Aku. Menurut kakak aku sombong gak?"

Pertanyaan yang diulang dengan penekanan itu berhasil membuat senyum Widura kembali hadir.  Posisi  duduknya berubah,  dan  tatapan matanya juga  jadi  berbeda. Abel  di  hadapannya memandabgihya dengan sorot mata  yang seperti bocah SD tengah meminta ijin beli es ke orang tuanya.

"Lo tuh kelewat SKSD,"

Sekarang giliran alis Abel yang tertaut. "Ih, kok SKSD?"

"Iya." Widura mengangguk kalem. "Sok kenal, sok deket, sok asik, ah gitu lah pokoknya."

"Yang penting aku baik!" Seru Abel, tak terima.

"Lo tuh kebangetan gak ada yang muji, jadi suka muji diri sendiri ya?"

"Ya daripada aku menghina diri sendiri?"

Bener juga sih nih bocil, batin yang laki-laki.

"Tapi, Kak," kata Abel. "Kakak tuh emang sebenernya baik tau."

Widura tak merespon ucapan Abel lewat omongan atau ekspresi, ia hanya menatap adik kelasnya dengan sorot datar. Karena, itu bukanlah kata-kata yang baru didengarnya.

"Kalo aja malem itu kakak nggak ada, aku nggak tau bakalan masih napas atau nggak hari ini," sambung Abel, lirih.

Widura menghela napas pendek. "Santai aja."

"Tapi makasih ya, Kak Wid. Maaf aku telat ngucapinnya."

"Yaudah yaudah, lupain," ujarnya, terkesan malas bahas lebih lanjut.

"Ya ampun ngomongnya jangan ketus-ketus banget kenapa, sih."

"Emang harusnya gimana?"

"Iya, Abel sama-sama, gitu."

"Iya, Abel sama-sama," kata Widura, dingin. "Gitu? Puas lo?"

"Nggak. Belom."Abel menatap lurus kakak kelasnya. "Kedengerannya masih ngenyek."

"Iya, Abel sama-sama," kali ini Widura berkata kelewat cepat, tetapi intonasinya terdengar lebih manis. "Udah?"

"Masih belom. Kurang ikhlas dan kurang senyum, kak,"

"Dih, bodo."

Abel tersenyum, gadis itu melipat kedua tangannya di atas meja, dan menempelkan dagunya.

"Kak, kak."

"Apa lagi?" gumam Widura, tanpa melirik sedikitpun ke perempuan yang sepertinya mulai lelah menasehatinya.

"Abel boleh nanya sesuatu lagi nggak?"

"Nanya mulu."

Abel mendecak pelan. "Serius loh, Kak."

Widura tak menyahut, namun matanya memandang Abel dengan senyum geli ketika gadis itu menjulurkan kedua tangannya hingga ke ujung meja sehingga tubuhnya menyondong ke depan.

"Kakak kenapa, deh tiba-tiba ngajak aku makan?"

Widura memiringkan kepalanya, menatap Abel bingung.

"Lo sendiri kenapa mau gue ajak makan?"

Sontak, Abel menegakkan tubuhnya. Bibirnya menggerutu tak karuan. Benar-benar gregetan dengan sifat keras kakak kelasnya.

"Ih, jawab dulu pertanyaan Abel!"

"Lah?" Widura menarik lemon tea-nya, dan meneggak minuman yang tinggal sedikit itu.

"Kan Abel yang nanya duluan?"

"Terus kalo gue maunya jawab belakangan?" ujarnya, begitu menjauhkan cup dari mulut.

"Ck. Yaudah." Abel memejamkan matanya sejenak. "Aku mau diajak kakak, karena... aku laper. Your turn!"

"Gue juga ngajak lo karna nemu temen yang lagi laper aja,"

"Lah emang gak ada yang marah tau kakak makan berdua sama aku?"

"Siapa?"

"Nenek aku! Ya, Pacar kakak, laaah?" Abel mulai terdengar lelah.

"Gue gak ada pacar," sahutnya datar, kalem, dan tanpa beban.

"Kok?"

Widura mengangkat kedua bahunya. "Gak ada yang mau, kali."

"Dih, sok merendah!" Detik setelahnya, gadis itu kembali terkekeh.

"Lah?" Widura mengernyit, diikuti kekehan singkat.

"Ya, nggak mungkin banget lah, kak."

"Kenapa emang?"

"Ya walaupun emang sih kakak serem dan galak, tapi kan pasti banyak yang ngarep sama kakak," kata Abel, pelan, supaya tak menyinggung kakak kelasnya.

"Sotoy."

"Ih beneran!" Seru Abel, kelopak matanya membesar. "Abel tuh bisa ngomong gini karna Abel cewek."

"Terus?"

"Ya karna cewek-cewek tuh banyak yang sebenernya ngarepin cowok-cowok jagoan supaya mereka bisa keep kita, gitu loh, Kak." Abel menyilangkan kedua tangannya di depan dada ketika mengatakan, 'keep'.

"Nggak juga, lo aja kali yang mikir gitu."

"Ihhh, kalo dikasih tau!"

"Emang siapa yang mau jadi cewek gue?"

Abel terdiam. Iya ya? Siapa ya? batinnya.

"Ya, gak tau." Sudut bibir Abel bergerak-gerak tak jelas, membentuk cengengesan.

"Lo?"

"Hah?" Abel refleks mengernyit dengan sisa cengirannya.

"Lo emang mau jadi cewek gue?"

KAK WID PLIS YA KAK WID

Gimana part ini gais?

maaf gais buat shipper estrella x widura, hari ini libur dulu ya:(

Adakah tim estrella yang berpaling? Atau malah makin keukeuh?

Ditunggu yaaa pendapatnya! Yuhuuu

Btw buat yg belom liat trailer Gulma, ini ya gais.

[Seharusnya ada GIF atau video di sini. Perbarui aplikasi sekarang untuk melihatnya.]

Atau barangkali yg mau liat trailer PDB juga boleh^^

[Seharusnya ada GIF atau video di sini. Perbarui aplikasi sekarang untuk melihatnya.]

Terima kasih semuaaaa kiss dari Abel😚

/A b e l  x  w i d u r a/

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top