09.

Hai semuaa! Aduh kok aku jd lama gini ya updatenya wkwkwk.

Ada yg udh mampir ke PDB?🙈 Buat yg belom 18 tahun jangan ya (serius deh aku jg heran knp tiba-tiba ngide cerita itu☹️)

Yaudah yuk cus aja, votenya jgn lupa yaa supaya aku semangat ketiknya!💕

Seafret - Heartless

ADEGAN William dan Noorah berpelukan bukan lagi yang jadi fokus utama Abel, melainkan bunyi notifikasi benda pipih digenggamannya.

"Astaga, Candy Crush bawel banget, deh," kata Abel, melihat asal notif dari aplikasi itu.

"Lagian mainan jaman bahela masih dimainin,"

Namun setelah itu, hanya ada suara Thomas Hayes dari laptop yang memenuhi ruangan. Helen yang tadi meminta Abel memutar series tersebut, kini membuka ponselnya, mencari-cari hal menarik di sana. Ternyata memang ada yang menarik perhatiannya.

Instastory dari kakak kelasnya yang diunggah tujuh menit lalu.

"Btw, gue udah tau siapa gebetannya Kak Ghazi," ujar Helen, begitu membuka akun Ghazi.

"Wait, what?" Sonia mengedip-ngedipkan matanya tak percaya.

"Siapa? Siapa?" Abel tak kalah antusias. Ia langsung menekan spasi keyboard laptopnya.

"Kak Estrella,"

Abel yang posisinya duduk di tepi kasur menutup mulutnya dengan tangan kanannya, tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan Helen. Begitu pula Sonia yang langsung mengubah posisi duduknya jadi bersila.

"Anjrit," Sonia melotot kaget. "Yang suka diomongin anak cowok kelasan itu ya?"

"Iya yang suka diaku-akuin cewek gue tuh!" Seru Abel, mengingat kehebohan anak-anak cowok kelasannya saat menyebut nama itu.

"Iya. Dia."

"Wtf, cantik banget dong?" Sonia mengambil laptop dipangkuan Abel yang nyaris terjatuh, meletakkan benda itu di nakas.

"Ihhhh!!! Mana sih liat IG-nya coba!"

Helen sang true stalker langsung mengalihkan akun ke akun palsunya, dan mengetikkan nama di kolom pencarian. Begitu menemukan akun yang diincarinya, gadis itu menyodorkan ponselnya ke Abel.

"Weh, anjir..." gumam Abel, refleks.

1.978 likes

EstrellaRivera happy moiii✨

View all comments 106

Ranggasaputra iya sayang iya🙂

"Auto bye udah komuk kentang kayak kita," Helen mengambil bantal yang ia duduki, dan memeluk benda itu.

"Gini ceritanya kita gak perlu mundur perlahan deh, udah otomatis kok dia yang menang," tambah Sonia, tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel digenggaman Abel.

"Iyalah gila aja kali kita mau nandingin dia, seleranya kak Ghazi sebadai ini. Kebanting banget lah kita." Abel lalu men-zoom in foto itu. "Tapi kalo diliat-liat emang mukanya glowing parah sih,"

"Yakin gue skin care-nya sekelas Suhay Salim,"

"Iya kali ya?" Helen mengambil alih ponselnya. "Liat aja si mukanya kayak manekin saking beningnya,"

"Tapi kalo kata aku dia tuh kayak adem gitu nggak sih?" ujar Abel, mengingat wajah kakak kelasnya.

"Iya ya? Gak biasa gitu auranya?" Sonia menyetujui statement Abel.

"Keliatannya orangnya juga baik ala perempuan alim gitu," tambah Helen.

"YA SUDAH LAH YA MEREKA COCOK."

"Udah udah, menyerah sajalah kalian wahai gadis kentang,"

"Tapi emang mereka udah jadian?"

"Nggak tau sih kalo itu," sahut Helen.

"Tapi rumornya si Kak Estrellanya b aja sama dia,"

"Yaudah lah ya," ujar Sonia. "Dia mah mau dapet cowok modelan mana aja juga bisa, secakep itu si cowok mana coba yang mau nyia-nyiain?"

"Kalo gue cowok gue naksir dia kali ya?"

"Feeds IG-nya juga aesthetic banget," Helen membuka lagi akun Estrella, scrolling dari atas ke bawah. "Aduh ini orang apa sih ya kekurangannya? Heran deh,"

Suara Helen perlahan menghilang dari telinga Abel seiring dengan kedua matanya yang membaca notifikasi di pop-up ponselnya. Dua nama itu tertera dengan jelas, membuat Abel kehilangan fokus.

Jangan dijawab: kok ga dateng?

Gadis itu terpaku, memandang ponselnya dengan tatapan tidak percaya ketika memuat pesan yang baru saja muncul. Kali ini sungguh menegangkan, benar-benar membuat jantung Abel spontan berdebar-debar.

"Ya Allah.. masih, Bel?"

Helen yang baru melepas porepack dari hidungnya menoleh saat pertanyaan itu terlontarkan dari mulut Sonia yang tengah mengintipi ponsel Abel.

"Apaan? Kenapa?" Ujarnya.

"Biasa," sahut Sonia.

Helen pun bingung, gadis itu mengerutkan alisnya dan melihat gerakan bibir dan bola mata Sonia. Namun ia tidak mau berspekulasi sembarangan. Jadi, siapa yang membuat temannya itu sampai diam begini?

"Siapa sih?" Ujar Helen. "Fadil?"

"Aku—" Antara kehilangan kalimat dan tak mampu berbohong, Abel akhirnya menghela napas panjang, ekspresi wajahnya berubah seratus delapan puluh derajat sejak tiga menit yang lalu.

"Bel," Helen menyipitkan matanya, berusaha membaca tulisan di ponsel Abel. Masih dengan mulut tertutup, Abel menunjukkan layar ponselnya. Wajahnya berubah gusar.

Hening.

"Anjing!" Seru Helen, refleks. "Gila berani-beranian banget ya!"

Helen melirik Sonia sekilas sebelum memajukan tubuhnya, hingga wajahnya hanya berjarak beberapa senti dengan wajah Abel.

"Lah, lah, tapi kok kalian masih contact-an? Bukannya dari kelas 9 semester 2 lo udah block dia ya?" ujar Helen.

"Enggak," kata Abel, pelan. "Aku gak sekuat itu buat nge-block Fadil."

Perempuan itu menghela napas, ia mengusap wajahnya. Beban di pundaknya terasa berat meski tak nampak. Ia mulai berkeringat dan kepalanya terasa panas.

"Wah, gila." Sonia mengubah posisi duduknya, matanya beradu lagi dengan Helen.

Dengan suara parau, Abel akhirnya menceritakan kronologi kejadian dua hari yang lalu, ketika Fadil— mengechat-nya lagi. Abel mendapat pesan dari Fadil untuk segera datang ke sana— ke restoran yang sudah Fadil reservasi, walau pada akhirnya laki-laki itu tak kunjung datang.

Meski, lagi-lagi ia dibuat menunggu olehnya.

Tetapi, ada yang lebih membuat Helen dan Sonia bergidik adalah pesan di dua baris terkhir. Iya, sih Abel memang tak pernah menjawab pesan Fadil, tetapi ia malah dengan bodohnya masih menanggapi lewat perbuatan langsung.

"Bel, kok lo nggak kapok-kapok juga sih?"

"Allahumma..." Helen menghela napas tiga detik. "Jangan mau dibegoin sama orang bego. Buat semua keberengsekan yang udah dia perbuat ke lo, harusnya lo tuh sadar, Bel, kalo dia se-nggak worth itu buat lo. Cukup dia aja yang bego. Lo jangan."

Sonia menjentikkan jarinya saat Helen berkata 'se-nggak worth itu.' "Lo kan cantik, Bel. Imut, udah gitu lucu. Pasti banyak yang suka sama lo."

Abel terdiam, berusaha mencerna argumentasi dari kedua sahabatnya. Semuanya benar. Namun, seperbagian hatinya masih berharap jika itu tidak sepenuhnya benar.

"Gue tau move on emang gak segampang itu, tapi lo harus serius, Bel. Kalo lo mau lupain dia. Dia aja seniat itukan brengksekin lo? Kenapa lo gak bisa seniat itu juga buat lupain dia?"

"Emang sih dulu kita gak terlalu deket di SMP, tapi gue kan tau Fadil kayak gimana, gue sama dia sekelas. Gue tau persis tentang dia. Korbannya juga gak satu orang, kalian tau sendiri kan," tambah Sonia. "Coba deh labelin itu di kepala lo."

Sonia dan Helen diam sejanak, sama-sama mencarikan solusi untuk sahabat tercinta. Sonia yang awalnya niat bepikir, lama-kelamaan malah jadi melamun. Helen melihat-lihat sekeliling kamarnya, mencari inspirasi. Matanya bergerak tak menentu sampai suara notif nyaring menyadarkannya.

Lagi-lagi dari ponsel Abel.

Widura: gue tunggu lo besok di rumkos, Sar

Widura: sori salah kirim

Lagi-lagi pula Abel mengejutkan kedua temannya.

"Lah? Sumpah?" Helen melotot.

"Demi apa lo ada kontak kak Widura, Bel?"

GADIS berseragam putih abu itu sudah duduk di ruang kelas XII IPS 4 menanti seseorang sejak hampir lima belas menit lamanya. Ia resah, tak kunjung mendapatkan apa yang ia inginkan—kehadiran sosok yang merupakan anggota kelas ini.

"Gue rasa Widura lagi cabut keluar, deh."

Tetapi firasat Estrella nggak enak.

"Iya atau nggak masih jajan kali?"

"Atau bisa jadi juga dia lagi bareng cowok gue di warning, El."

Semua spekulasi ketiga sahabatnya tak mampu mengusir keresahan dibalik dada Estrella. Gadis itu menyelipkan rambutnya dibalik telinga, dengan raut wajah kepalang gelisah.

Istirahat akan berakhir lima belas menit lagi, harusnya mungkin saat ini ia sudah kembali ke kelasnya. Tapi hatinya gundah, ia memilih bergeming di sebelah Aci, yang kebetulan anak kelas XII IPS 4.

Tanpa beranjak dari tempatnya, gadis itu membuka log panggilan dan menelepon sosok yang ditunggunya—Widura. Namun untuk yang kesekian kali, panggilannya hanya tersambung, tak dijawab. Ia tambah gelisah.

Bukan apa-apa, tapi karena barusan ada desas desus kalau laki-laki itu sedang menemui pentolan SMA Purnama, Estrella jadi memikirkan hal-hal buruk.

Pantang menyerah, gadis itu mengabaikan tatapan dari ketiga sahabat yang mengerubunginya.

Begitu di sambungan ke-sebelas, Estrella melihat sosok yang baru saja memasuki ruang kelas.  Perempuan itu refleks membanting ponselnya ke meja begitu ia melihat Widura berdiri dengan noda bekas darah di bagian atas kerah kemejanya.

Sudut bibirnya berdarah, tatapannya sempat bertemu dengan Estrella, namun ia hanya mengambil sekotak rokok dari tasnya dan berjalan keluar kelas lagi dengan santainya.

Jangan panggil Estrella jika tidak mengikuti sosok itu. Sementara yang sedang diikuti sadar jika ada yang mengekorinya, begitu di pilar persimpangan tangga dan toilet ia memilih berbelok masuk ke dalam toilet.

"Wid!"

"Estrella—"

Dan lagi, logika Estrella sudah tak lagi berfungsi karenanya. Estrella tak peduli jika ia harus dihukum karena masuk ke toilet laki-laki. Ia tak peduli jika perbuatannya kali ini salah. Ia tak lagi peduli apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Where have you been?"

Tatapan mereka terkunci. Saling menyiratkan makna. Tak tahan melihat sepasang mata cokelat di depannya sudah berair, tangan laki-laki itu terbuka dan merengkuh tubuh Estrella.

Begitu erat. Laki-laki itu menenggelamkan wajahnya di lekukan perempuan itu dan berembus dengan amat perlahan.

Terkejut tetapi terluka, tanpa membalas pelukan Widura, Estrella membeku di dekapan laki-laki itu dan ia merasakan cairan hangat membasahi pipinya dengan cepat. Sesak di dadanya kian bertambah hingga ia tak sanggup lagi menahan tangis.

Firasatnya benar, Widura berkelahi dan kali ini entah mengapa rasanya sangat mengecewakan. Bukan karena ia kesal telah menunggu lama, tapi karena dua luka yang didapatinya lebih parah dibanding yang kemarin, Estrella jadi seperti hilang harapan.

Harapan untuk Widura berubah. Harapan untuk Widura agar berhenti menyakiti dirinya sendiri.

"Why are you messing arround?"

Air mata Estrella tambah deras. Kedua tangannya masih belum bergerak.

"Why you didn't answer my call?"

"Just stop, everything's fine." Widura melepas pelukannya dan memegangi kedua bahu Estrella sambil menatap wajah perempuan itu. "I'm here. I''m okay,"

Kali ini Estrella yang merengkuh tubuh laki-laki itu.
Gadis itu dapat merasakan Widura meletakkan dagunya di atas kepalanya dan mengusap punggungnya.

Estrella tetap tidak bicara.

"Sshh..."

"Kamu kapan berubah sih, Wid?!" suara perempuan dipelukannya meninggi. "Kamu bukan jagoan, Wid! Kamu bukan banteng kayak yang mereka bilang!"

"God, okay," ujarnya, melepas pelukannya lagi.

Estrella terisak.

"Hey, hey Estrella, Estrella," lanjutnya lebih pelan. "Lo juga jangan begini, dong. Tolong jangan bikin gue makin ngerasa gak enak."

Sambil berusaha menghentikan isakan, Estrella menggigiti bagian dalam pipinya. Widura mengamati gerakan perempuan itu mengapus air matanya.

Jujur, ada rasa sedih melihat perempuan yang begitu mencintainya menangis, meski ia tak mencintai Estrella, ia juga tak ingin membuat gadis itu menangis karena ulahnya.

Cukuplah Widura melukai perasaan gadis di depannya sekali. Setidaknya jangan lagi.

Widura terlalu lelah dengan kekejamannya sendiri.

Estrella akhirnya tidak diam saja. Lagi-lagi gadis itu memeluk Widura dengan erat, tak ingin kehilangan, tak ingin terluka. Tanpa syarat ataupun ikatan, Estrella ingin Widura baik-baik saja. Selalu.

Iya wid iya:))

Btw gimana gais wkwkw

Tim siapa nih jadinya?🤣

/a b e l/

/s o n i a/

/h e l e n/

/w i d u r a/

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top