07.

Hai semuaaa Gulma kembali!!

Ada yg nungguin cerita ini gaseee wkwkwk

Vote/comment-nya jgn lupa yaa supaya aku tau kalian baca apa enggak❤️

NAIF - Cinta Untuknya

DERING ponsel yang berbunyi nyaring membuat gadis yang tubuhnya dibungkus selimut  terpaksa membuka matanya.

Tatapannya  langsung  tertuju pada benda pipih yang terhubung dengan kabel charger di sisi bantalnya, tangan kirinya meraih benda itu dengan malas.

Nama  yang  tertera  di  layar  membuatnya  langsung  menjawab panggilan.

"Halo?"  

"Lo dimana, Bel?!"  Abel reflek menjauhkan ponsel  dari telinga setelah mendengar suara cempreng Helen. 

Matanya langsung terbuka lebar-lebar. Nuansa kamar  yang  nampak begitu asing membuatnya enggan bergerak sama sekali. 

Matanya secara bergantian mengamati setiap sudut ruangan ini. Dinding hijau, poster-poster quotes, dan barang-barang yang dominan warnanya hitam-putih. Butuh waktu enam detik bagi Abel menyadari kejadian semalam.

Astaga!  Kak Widura!

"Eh, udah bangun?"

Sontak Abel menelan ludahnya, dan memutus panggilan, melihat sosok yang baru saja memasuki ruangan tengah mengunyah sisa apelnya dengan keras. Lalu tangannya yang satu lagi menenteng segelas air mineral.

"Kalo masih ngantuk tidur lagi aja," kata Anika, ia memberikan gelas mineral pada adik kelasnya. "Oh ya, gue Anika, btw."

"Aku Abel, Kak."

Anika kini berbaring di atas kasur. Ia menatap langit-langit sebentar sebelum akhirnya matanya terpejam, sampai-sampai Abel  bisa  mengira ia tertidur.

"Lo laper gak?"

Ternyata tidak. 

Kakak kelasnya tidak tertidur.

"Nggak, kok, Kak."

"Yang bener?"

"Iya bener,"

"Yaudah kalo laper bilang ya, ntar gue minta mbak masakin lo," Anika  berguling, membuat ia kini berada di tepi kasur dengan posisi miring menghadap Abel. Jika ia berguling sekali lagi, ia pasti jatuh ke karpet.  

"Iya, Kak, makasih."

"Gimana La Verna?" Anika mengangkat tangan kanannya, menopang kepalanya.

"Gak gimana-gimana, Kak. Baik aja."

Sementara Abel yang masih duduk, memandang kakak kelas yang baru ia kenali dengan tatapan kosong. Sama halnya dengan isi kepalanya yang  terkadang kosong lalu tiga detik setelahnya penuh lagi.

"Pasti masuk sini karena gak dapet negeri?" Anika menurunkan tangannya, kembali meluruskan posisi rebahan dengan tenang.

"Hehe, salah satunya sih gitu, Kak," kata Abel. "Tapi aku di sana karna ikut temen aja, biar solid barengan dari SMP."

"Wow, jadi lo barengan sama temen-temen SMP lo?"

"Iya, dulu aku ngegeng gitu di SMP, sama Helen. Terus, Sonia dulu bukan gengan aku, tapi karna kebetulan satu SMP sama aku dan pernah sekelas juga, jadi ya akhirnya kita jadi akrab banget, sekarang sekelas lagi,"

"Yaampun nge-geng dong," kata Anika tanpa menoleh ke lawan bicaranya. "Sama sih, gue juga nge-geng, tapi ya geng gue sebatas gitu-gitu doang, bukan geng sosialita barbie-nya sekolah."

"Kok aku malah bisa di sini ya, Kak?"

"Gak tau tuh Widura," Anika terkekeh. "Tempat gue jadi penitipan orang mulu,"

Kemudian hening.

Abel menghela napasnya pelan-pelan. Tatapannya tertuju pada langit-langit di atas. Getaran itu seakan-akan masih menjalar di sekujur tubuhnya dan hal tersebut membuat jantungnya tidak kunjung kembali berdetak normal. Jemarinya memperkuat cengkraman pada gelas, menyalurkan ketakutan dan rasa tidak percaya terhadap apa yang semalam tadi ia alami.

Abel meletakkan gelas itu di meja nakas, suhu AC yang terasa lebih dingin memaksa gadis itu membungkus tubuhnya lagi sambil berbaring di sebelah kakak kelasnya.

Gadis itu menggigit bibirnya, ia masih terbayang akan  kejadian-kejadian semalam. Mulai dari pelecehan yang mengerikan itu hingga... kehangatan dari sosok yang tak pernah ia duga.

Abel mengambil ponselnya, membuka kolom obrolan yang sudah ia  baca dari sosok yang membuatnya menunggu semalam.

Jangan dijawab: aku udah booking kamar di Grand Premier buat malem ini.

Jangan dijawab: jangan kabur lagi

PINTU rumah terbuka, Halimah menatap anak majikannya dengan sorot khawatir. Ia juga bisa melihat kecemasan dibalik mata tajam Widura yang baru saja memasuki rumah.

Selain kehilangan fokus pikirannya, Widura juga deg-degan menghadap sosok yang hampir dua bulanan tak pernah ia temui. Bukan hanya takut tidak akan mendapatkan motornya kembali, Widura juga takut tidak akan mendapatkan uang  jajan penuh selama  enam bulan ke depan.

Dari belakang terlihat sosok pria berusia empat puluhan akhir tengah bersandar sendirian di sofa.

"Pa," sapaan itu membuat pria itu menoleh.

Desiran aliran darah Widura terasa lebih cepat saat melihat Affan— menuyuruhnya duduk di sofa hadapannya.

Otomatis Widura menahan napasnya saat tatapannya tertuju ke botol-botol kecil di meja.

"Is it yours?" Suara Affan akhirnya terdengar. Pria itu melepas kacamata berbingkai hitamnya, dan meletakannya di atas meja, persis di samping botol-botol kecil yang ia temukan di kost-an anaknya beberapa waktu lalu.

"Pa—"

Affan menangkat wajahnya, tatapannya menghunus ke putra bungsunya. 

"Kamu mau bilang ini gak seperti yang papa kira?"

Perlahan, keringat dingin membasahi punggung Widura saat dilihatnya Affan membanting kasar botol-botol kecil itu, membuat matanya terpaku pada butiran kristal putih yang kini bertebaran di lantai.

Widura meremas kelima jemarinya dengan helaan napas yang terasa berat.

"Is it?" Ulangnya.

"Pa—"

"Cukup!" Teriak Affan. Pria itu menggebrak meja.

Dengan keresahan Widura menggigit bawah bibirnya, melirik ke setiap sisi ruangan dengan waktu singkat, seolah sedang mencari sosok yang ia harapkan keberadaannya. Akan tetapi, ia tidak menemukannya.

"Remember. Your. Position," kata Affan penuh penekanan, telunjuk kanannya menunjuk wajah Widura.

Baru juga Widura hendak mengklarifikasi, Affan membungkamnya lagi. "Apa sih kurangnya saya selama ini?" Seru Affan sambil bangkit dari tempatnya. "Kurang sabar apa saya hadapin kamu?!"

Widura menghela napasnya. Matanya kembali menyapu sekeliling rumah, meski ia tahu sosok yang dicarinya tidak ada di sini.

"Maaf, Pa," ujar Widura akhirnya, dengan suara kelewat pelan.

Mendengar kata maaf yang secara tak langsung dianggap pengakuan itu membuat Affan melepas kancing kemeja atasnya. AC ruangan ini gagal menyejukkan hawa panas rumah ini. Pria itu menggosok wajahnya, menikmati denyutan hebat di dadanya.

Widura tak kalah frustasinya dengan Affan. Anak  laki-laki  itu  melepas kunciran rambutnya yang tiba-tiba terasa berat,  seperti ingin  meledak.

"You can go now," kata Affan akhirnya.

Widura menelan ludahnya, menelan kebohongannya tadi. Sesungguhnya ia berbohong jika ia mengatakan barang itu miliknya. Sesungguhnya ia berbohong bila ia mengatakan dirinya pemakai.

Lagipula percuma.

Tak ada yang mempercayainya juga kan jika ia jujur?

SUARA deritan pintu UKS, membuat Estrella terkesiap. Mengingat hari ini tidak ada guru piket UKS, ia langsung menyibakkan gorden hijau di depannya, menampilkan sosok gondrong yang baru saja memasuki ruangan.

"Kirain aku siapa," kata Estrella dengan helaan napas lega.

Setelah duduk, Widura menoleh sekilas ke perempuan yang kembali berbaring di ranjang pojok kiri.

Hening nyaris lima meni mencekik kerongkongan Estrella, tatapannya kini tertuju pada memar-memar di sudut bibir Widura. Dalam diam, ia terus mengamati laki-laki yang kini mencari obat-obatan di kotak P3K.

"Kamu luka?"

Ditanya begitu, Widura menoleh dengan tatapan gelinya. "Retoris lo."

Estrella yang paham maksud dari perkataan Widura barusan, tersenyum simpul. Ia suka nada bicara Widura yang seperti ini. Dingin-dingin gregetin.

"What happened?" ujar Estrella, gadis itu lalu turun dari ranjangnya, lalu ia berjalan mendekati Widura.

Dengan gerakan kaku, Estrella menarik tangan Widura duduk di sebelahnya, mengambil alih obat-obatan dari tangan laki-laki itu.

Mengira akan dapat penolakan, ternyata Widura malah diam tidak mencegah, membiarkan perempuan itu.

"Kamu berantem sama siapa lagi?"

Widura lagi-lagi tidak menjawab pertanyaan Estrella, tatapannya tertuju lurus ke tangan mungil yang membasahi kapas dengan alkohol.

Hening berkepanjangan selama Estrella menekan pelan sudut bibir Widura. Dalam diam Widura mengamati gadis itu. Wajah imut cantiknya yang membuat siapapun jatuh hati saat memandanginya. Matanya yang menyerupai bulan sabit saat tersenyum.

Widura sadar kalau Estrella itu cantik.

Dari dulu juga Widura menyadarinya.

Tepatnya sejak mereka masih duduk di bangku kelas sepuluh, Widura melihat perubahan drastis sosok Estrella yang bertransformasi dari the duff-nya sekolah ke queen bee.

Wajar bila sosok ini ditaksir berbagai kalangan angkatan.

"Estrella." Panggilnya.

Yang dipanggil berhenti membasahi kapas yang baru. "Hm?"

"Nggak."

Hanya itu respons yang diberikan Widura padanya. Estrella mendengus. Tetapi tak lama ia memutar pelan dagu Widura ke kiri, gadis itu tak sadar jika laki-laki itu diam-diam memperhatikannya.

Melihat pergerakan lembut perempuan itu membuat Widura teringat akan sosok yang sudah pergi jauh meninggalkannya sejak kecil. Sosok yang selalu memberikan penerangan di gelapnya kehidupan. Sosok yang selalu ia rindukan.

Seperbagian hati kecil Widura menjerit, kenapa bukan Estrella saja?

Untuk yang kesekian kalinya, Widura menyesali hal itu. Ia dapat merasakan panasnya kulit gadis itu, dan pandangannya langsung beralih ke arah tangan kanannya yang terluka.

"Lo sakit?"

Estrella menjeda aksinya sebentar. "Cuma demam." Jawabannya tidak sepenuhnya berbohong. Mungkin ada rasa sakit di bagian tubuhnya, namun selebihnya ia merasa sakit karena hal lain.

"Gue pengen order gofood, lo pengen gak?" Suara Widura lagi-lagi berhasil membuat Estrella langsung mengalihkan pandangannya lagi, menatap laki-laki itu sepenuhnya.

Sedetik setelah pertanyaan itu masuk ke telinga, ekspresi Estrella berubah, gadis itu menyahut pelan, "Ya udah terserah."

Widura meletakkan tangan kanannya yang sudah diobati Estrella di kasur. Baru Estrella hendak meminggirkan tubuhnya, tanpa diduga laki-laki itu menyentuh tangannya. Membuat jantung Estrella berdegup kencang.

Estrella otomatis mengerjap.

"Ini gak ada kaitannya sama gue kan?" Widura bersuara lagi, benar-benar pelan. Dan pandangannya tertuju pada luka bekas sayatan di pergelangan gadis itu.

"Nggak," sahut Estrella membiarkan laki-laki itu menggenggam pergelangannya.

Widura menghela napas lelah.

"Gak usah aneh-aneh." Hanya itu yang dapat Widura katakan, yang lainnya masih tertahan di ujung lidahnya.

Sialnya, kata-kata itu mampu membuat Estrella tersentuh.

"Iya."

Estrella akhirnya menggamit lengan kekar itu dan perlahan tangannya bergerak turun sebelum ia menyelipkan jemarinya. Sebuah senyum simpul tersungging di bibir gadis itu saat mereka berdua bertatapan, sadar bahwa ia sedang menggenggam apa yang ia inginkan.

Namun, Widura tidak mencegah. Ia sendiri tak tahu kenapa pertahanan untouchable-nya seketika hilang. Seolah ada banyak makna yang tersirat digenggaman gadis itu yang membuatnya memilih diam. Meski rasanya panas namun, memberikan esensi yang berbeda.

Tatapan mereka bertemu, banyak sekali kata-kata yang terucap di sana. Namun, dengan makna yang berbeda.

Kontak mata mereka terhenti saat suara deritan pintu terdengar menampilkan sosok laki-laki berparas arab yang baru saja membuka pintu dengan sebungkus bubur digenggamannya.

"Sori ganggu," ujar Ghazi. "Ini—ada bubur buat lo, El."

Sontak, Widura langsung melepas tangannya. Begitu pula yang perempuan, langsung gelagapan, kembali ke arah ranjangnya.

Aduh Ghazi☹️

Btw siapa tuh ya jangan dijawab?🤣☹️

Well, so far kalian tim siapa nih?

Widura-Estrella?

Widura-Abel?

Ghazi-Estrella?

Atau... Ghazi-Abel?🤣

/meet the new Estrella, foto dia di setiap part gulma udh diganti/

/a b e l/

/g h a z i/

/w i d u r a/

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top