05.
Cigarettes After Sex - Appocalypse
SUARA gemuruh terdengar setelah Abel turun dari mobil Sonia dan masuk ke rumah. Ia tidak mengatakan apa-apa selama di perjalanan tadi selain kata terima kasih. Sonia dan Helen menatap sahabatnya sangsi, mereka memastikan perempuan itu masuk ke rumahnya terlebih dahulu sebelum meninggalkan tempat.
Dengan langkah tergesa-gesa, gadis itu masuk ke dalam rumah. Cepat-cepat ia mengusap pipinya dan berjalan menuju tangga. Mbak Rosi yang kebetulan baru selesai menyetrika terkejut melihat anak majikannya itu nampak tidak baik-baik saja.
Bahkan ia tidak tahu kalau anak itu sudah pulang ke rumah. Karena tidak ada ucapan salam ataupun ketukan pintu seperti biasanya.
"Bel?" Tanya Mbak Rosi, khawatir. "Kamu kenapa?"
Sesampainya di kamar, gadis itu langsung duduk di pinggir kasurnya. Ia lalu menyumpal kedua telinganya dengan headset, dan memutar satu lagu, menaikkan volume-nya jadi yang paling tinggi.
SEJAK satu jam yang lalu, yang dilakukan Widura hanyalah duduk di pinggir kasur kosnya, ditemani Eja. Mood-nya sedang di level terbawah saat ini. Ingin sekali ia melampiaskan amarahnya.
Tak pedulikan AC kamarnya menyala, Widura mengisap dalam-dalam rokoknya yang sudah terbakar. Persetan kamarnya jadi bau atau apa. Ia masih kesal.
Maksud hati ingin menasehati, Eja malah diam seribu bahasa. Meski ia memainkan ponselnya, sebetulnya ia sendiri tidak tahu harus mulai dari mana. Tambah lagi Kievlan si laki-laki penghibur sedang sibuk ngebucin, Eja kan jadi keki kalau begini.
Karna kalau Eja ajak Tamam pasti temannya itu akan mengajak Rajas, yang otomatis akan ditolak mentah-mentah oleh sosok itu. Jadi ya percuma, hanya membuang waktu.
"Lo kenapa sih sama adek kelas tadi?" Eja memasukkan sekeping ciki ke dalam mulutnya sambil mengalihkan pandangan dari ponsel.
"Jangan bahas ini dulu, Ja."
Widura kemudian bangkit dari tempatnya, ia berbalik menghadap ke cermin di depan lemari pakaiannya. Laki-laki itu lalu melepas kemejanya, ia menatap bayangan dirinya yang shirtless, menampilkan tatto bertuliskan MADE BY HEAVEN di pundaknya, dengan sorot kebencian.
Surga?
Apakah tempat itu benar-benar ada?
Bukankah itu hanya dongeng belaka? Karena selama ini, Widura percayanya seperti itu. Dan, jika ditanya kenapa ia malah memilih tato bertuliskan itu? Jawabannya simpel; sebatas seni.
Selama hidupnya ia lahir dan tumbuh juga dengan rasa itu.
Bahkan, ia juga dibesarkan dengan rasa itu.
Ia sadar keberadaannya di dunia ini sejak awal tak diharapkan. Tetapi, ia memilih diam dan pilih jalurnya sendiri. Itulah kenapa, setiap kali ada yang ingin begitu dekat padanya, selalu saja Widura memandangnya dengan cara yang berbeda.
Lain halnya dengan kedua sahabat masa kecilnya, Eja dan Kievlan.
Meski, ia pernah dikecewakan oleh Kievlan, kini terasa semuanya impas. Bahkan, ia yang menang telak. Kievlan 01 - Widura 02.
Tatapan Widura beralih ke mata elangnya. Dibalik sifat anti sosial tidak pedulinya, sebetulnya ada banyak sekali kegundahan yang tersirat di sana.
Namun, ia tak tahu cara untuk menyikapinya.
Widura menoleh ke Eja yang tengah berbaring memainkan ponsel. Setidaknya, keberadaan sahabatnya cukup menghibur. Meski, ia tahu sahabatnya sebentar lagi akan pergi, berkumpul lagi dengan sahabat-sahabatnya yang lain.
Akhirnya kaki laki-laki itu memutuskan untuk melangkah ke kamar mandi.
ANGIN pukul enam sore menusuk kulit pergelangan tangan yang tidak tertutup bahan, usai berpamitan kepada para staff kafe Ghazi keluar dari tempat itu. Jam kerja paruh waktunya selesai.
Laki-laki itu lalu mengambil sepedanya di parkiran karyawan, dan mengayuhkan benda itu. Letak The Joures yang berada cukup dekat dari rumahnya membuat laki-laki itu sengaja membawa sepeda.
Begitu sampai di persimpangan parkiran, Ghazi memelankan kayuhannya. Lelaki itu memperlihatkan senyumannya saat ia melihat sosok Estrella yang tengah berjongkok di aspal, mengelus seekor kucing. Dan, Ghazi turun dari sepedanya.
Kakinya melangkah menginjak aspal di bawah halaman, pembatas antara kafe dengan halaman parkir yang begitu luas.
"Estrella," panggil Ghazi.
Yang dipanggil langsung menoleh dengan senyumnya. "Hey!" Balasnya, semringah.
"Kok maghrib-maghrib masih di luar?"
"Ini, kasian dia." Estrella mengangkat tubuh kucing itu ke udara.
"Lo emang suka kucing kampung?" Laki-laki itu ikut berjongkok.
"Semua kucing pasti Ella suka, mau kampung atau luar, semuanya lucu."
"Bawa aja kalo gitu,"
"Pengen sih, tapi takutnya Derby cemburu."
Ghazi malah terkekeh. "Tapi, kok tumben di The Joures jam segini? Setau gue kan lo anak rumahan?"
"Iya lagi pengen di luar, mumpung papa lagi di Surabaya tiga bulan, jadi aku bebas mau ke mana aja,"
"Enak ya mama lo, berarti dia lebih gaul,"
"Ini karna aku bilang ada Anika dkk aja, kalo nggak belum tentu..."
Lalu, tidak ada lagi suara yang keluar dari mulut mereka.
Lampu-lampu kekuningan yang berdiri di sudut halaman memberikan efek ketenangan. Derum suara kendaraan-kendaraan dan obrolan orang-orang sekitar menimbulkan sensasi yang berbeda.
"Kirby!" Lontaran itu tiba-tiba keluar dari mulut Estrella, disusul tawa. Tangan mungil gadis itu lalu menekan pipi kucing itu dengan gemas.
"Kirby?" Ghazi mengernyit.
Estrella hanya menoleh dengan sisa tawanya.
Ghazi memilih diam, berjongkok di samping Estrella, menatap kucing kampung yang kini ditimang-timang oleh gadis itu, dan senyumnya mengembang begitu saja.
"Mau coba gendong?" Estrella mengangkat kucing itu ke arah Ghazi yang langsung menggeleng.
Melihat penolakan Ghazi, Estrella tak dapat menahan tawanya. "Kamu takut kucing?"
"Bukan takut, emang kurang suka aja,"
Estrella kembali menimang kucing itu.
"Kenapa namain Kirby?"
"Karna kucingku di rumah namanya Derby," jawab Estrella, dengan cengiran.
"Dia tipe apa?"
"Persia." Estrella meleletkan lidahnya ke arah wajah kucing itu.
Hal ini, jelas menarik perhatian Ghazi lebih-lebih dibandingkan yang tadi. Estrella menurunkan kucing itu ke aspal, dan mengusap lembut kepala hewan itu sampai matanya sayup-sayup terpejam.
"Coba, deh, elus dia. Pasti dia nanti sayang juga sama kamu," bisik Estrella.
"Emang dia sayang sama lo?" Ghazi balas berbisik.
"Iya dong," Estrella mengubah posisi tubuh kucing itu menghadapnya, lalu mendekatkan wajahnya ke wajah hewan itu. "Yakan, By?"
Tanpa sadar, tingkah itu membuat mata Ghazi tak ingin lepas dari sosok di sebelahnya. Senyumnya terulas begitu saja satiap kali melihat perempuan yang kini bersenandung pelan, menina bobokan hewan itu.
"Baby take my hand, I want you to be my Kirby, cause your my ironcat—" Estrella malah memplesetkan lagu I Love You 3000 milik Stephani Poetri.
"Apaan sih, El!" Tandas Ghazi, ia terkekeh pelan.
"Sshh!" Estrella refleks memukul pundak Ghazi, panik melihat Kirby terbangun. "You scared him!"
Masih terkekeh, Ghazi langsung berbisik lagi. "Ok, sorry. I wouldn't say anything."
Rambut ikalnya yang tergerai, mengakibatkan beberapa helaian rambutnya tertiup angin. Disela nyanyiannya, Estrella sesekali terkekeh. Dan, Ghazi rela tidak pulang asalkan bisa lebih lama bersama gadis ini.
Yang membuat Ghazi terpikat adalah bentuk matanya yang menyerupai bulan sabit setiap kali ia tersenyum, seolah tidak ada kesedihan yang di sana. Mungkin, kedengarannya konyol, tetapi itu yang Ghazi rasakan.
Didekat Estrella, Ghazi merasa lebih tenang, dan semua yang gelap jadi lebih terang.
Pandangan laki-laki itu beralih ke matahari yang perlahan pulang dari langit, dari sini Ghazi tahu.
Jika Estrella adalah bintangnya, maka ia harus menjadi rembulan.
Maaf tidak panjang wkwkwk karna aku tidak mau memaksa🤣
JADIIIIIII....
Ghazi...
Atau Widura aja nih?🤣
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top