04.

Wkwkwk ada yg nungguin Gulma ga sih? Aku update cepet gatau knp lagi pengen ajaaa🙈

Semoga kalian suka yaa💕

Jgn lupa divote^^

Jeremy Passion- Lemonade

X

Green Day - Platypus

LANGKAH Estrella terhenti persis di depan jendela studio musik. Ia terdiam melihat sosok laki-laki berambut gondrong, yang tengah duduk sendirian di kursi piano, namun kali ini ia tidak memainkan piano. Tetapi saxophone.

Terlihat, posisi duduk laki-laki itu membelakangi piano, tangannya dengan mahir mengatur toots saxophone. Pembawaannya tenang, melankolis, dan romantis.

Jauh berbeda dengan sifatnya.

Tetapi, bagi Estrella dia adalah definisi indah yang sesungguhnya.

Satu tangan Estrella mempererat cengkraman pada ransel ungunya saat melihat Widura masih meniupkan saxophone-nya.

Sebelum Widura berhenti dan memergoki keberadaannya, Estrella buru-buru bersembunyi dibalik pilar pembatas toilet untuk menelepon sosok itu. Saat ponselnya berdering, Widura berhenti memainkan saxophone-nya. 

Namun  tidak  seperti  yang  dibayangkan Estrella— Widura akan me-reject panggilannya seperti biasa. Dibalik pilar, Estrella masih bisa mengintip. Ia bisa melihat lelaki itu menatap ponselnya sebentar, sebelum menempelkan benda itu di telinganya.

"Apa?" Itu kalimat pertama yang keluar dari mulut Widura.

Jantung Estrella berdebar-debar sendiri. Perutnya mendadak bergolak. Mulut gadis itu terbuka, namun tidak ada kata yang keluar. Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan.

"Halo?" Tegur yang laki-laki.

"A— Ada yang mau aku omongin ke kamu," Estrella memelankan suaranya sambil berjongkok.

"Soal kemaren?" Tembaknya, saklek.

"Ng— banyak pokoknya yang mau aku omongin." Estrella meringis pelan. Tidak dapat menyembunyikan kegugupannya. "Bisa?"

"Yaudah buruan gue tunggu di studio musik tiga."

"Sekarang?"

"Taun depan."

Suara Widura terdengar begitu dingin sebetulnya, namun tetap manis untuk Estrella. "Ok, on my way!" Estrella tak sadar jika suaranya meninggi.

Ya Tuhan.

Estrella ingin sekali berteriak sekarang!

Gadis itu memasukkan benda pipih ber-case ungu ke saku sambil mengulur waktu untuk masuk ke studio yang sebetulnya hanya berjarak seratus meter kurang dari tempatnya sekarang. Setidaknya lima menit lagi, lah ia baru berjalan, biar Widura gak curiga.

Satu menit—

Dua menit—

Tiga menit—

Ah! Estrella sudah tak tahan.

Alih-alih meyakinkan diri untuk berjalan sekarang, ia langsung bangkit, menuju studio dengan degupan jantung yang luar biasa kencang. Dari jendela terlihat Widura tak lagi memainkan saxophone-nya. Laki-laki itu malah memainkan ponselnya.

"Hai..." ujar gadis yang baru saja memasuki studio. Laki-laki yang duduk di bangku piano itu mendongak.

"Kenapa?" Widura menatapnya datar.

Tenggorokan Estrella mendadak kering.

"Duduk."

Degupan jantung Estrella menggila. Rasa-rasanya perutnya mendadak seperti dikocok-kocok.

"Di samping kamu?"

"Kalo mau di lantai si gak papa," ujarnya. Ia lalu bergeser, membiarkan Estrella kebingungan di tempatnya berdiri.

Pintu tertutup, Estrella duduk membelakangi piano, di sebelah Widura persis. Tubuh mereka saling mendempet, karena ukuran bangku yang teramat kecil.

Lengan dan bahu mereka bersentuhan. Dan, Estrella sama sekali tak dapat mengelak getaran hebat di tubuhnya, mengingat mereka hanya berduaan di ruangan ini.

"Ng— yang kemarin itu—itu bohong ya!" Estrella menatap Widura kikuk. Gadis itu tidak dapat menahan diri untuk tidak memainkan bibirnya.

Widura menoleh, bertatapan dengan Estrella.

"Sama yang kemaren itu jangan bilang siapa-siapa," ujar si gadis, langsung menunduk.

Tatapan Widura beralih ke luka bekas sayatan di pergelangan kiri gadis itu.  "Ini buat bagian yang mana?"

"Yang— dua-duanya!" Sahut Estrella, kelewat cepat.

"Yang chat lo itu—" jeda Widura. "—Itu bohong?"

Estrella mengangguk antusias.

"Dan, soal clubbing?" Sambungnya. "Itu jangan bilang ke siapa-siapa? Gitu?"

"Iya!"

"Sebenernya gue gak peduli lo mau clubbing atau apa, karna ya gak ada urusannya sama gue juga," kata Widura. "Dan soal chat itu, gak ada ceritanya orang mabok bohong. Tapi, gue juga gak peduli lo mau punya perasaan ke gue atau nggak. Karna gak ngefek apa-apa buat gue."

Estrella menelan ludahnya, menelan kepahitan yang nyata di depannya.

Pedih.

Satu kata itu cukup mewakili perasaan Estrella saat ini. Ekspresi gadis itu berubah drastis. Widura lalu meniupkan lagi saxophone-nya sambil mengalihkan toots dan pads-nya.

"Kamu keberatan gak kalo aku di sini?"

"Selama lo gak ganggu, sih biasa aja."

Jantung Estrella yang tadinya sempat mencelos langsung berdegup kencang lagi, terlebih ketika pandangannya mendarat kepada sosok di sampingnya. Pikirannya melayang ke masa-masa mereka sejak SMP hingga sekarang.

Perasaannya terhadap sosok ini tak pernah berubah.

Estrella tak tahu kapan persisnya perasaannya muncul pertama kalinya. Yang ia ingat dulu hanya Widura lah laki-laki yang diam ketika para lelaki di kelasnya dulu mem-bully-nya habis-habisan karena bobot tubuhnya yang besar dan wajahnya yang berjerawat. Semua laki-laki menertawainya, memperlakukannya seperti sampah.

Tetapi Widura tidak.

Hanya dia yang diam.

Meski ia tidak memberi tatapan iba dan sejenisnya, ia ingat persis bagaimana Widura membungkam mulutnya rapat-rapat, dan memilih tidur. Ia juga ingat saat itu dirinya begitu terpukul oleh mulut-mulut jahat laki-laki di kelasnya dulu, ia memilih menangis sejadinya di kelas sendirian.

Lalu hanya Widura yang melihatnya menangis dari balik pintu, dan tak membiarkan siapapun masuk ke dalamkelas saat itu. Meski ia tak memberi dukungan atau menunjukan simpatinya sama sekali, lewat kebaikan kecil itulah Estrella mulai jatuh hati.

Dari sana, Estrella termotivasi untuk mengubah penampilannya. Ia bertekad untuk menjadi perempuan yang cantik, setidaknya ia ingin Widura memandangnya.

Dengan cara yang berbeda.

Nyatanya? Sama saja.

Lambat laun, Estrella mulai jengah ia lalu memutuskan untuk berkencan dengan Kievlan yang dulu juga temen SMP-nya, namun mereka tidak pernah sekelas jadi tak pernah mengenal satu sama lain.

Dan, Widura datang kepadanya.

Ternyata, rasa yang Estrella miliki ke sosok itu masih ada. Bahkan terus berkembang hingga sekarang.

Apakah takdir masih berpihak pada mereka?

Estrella menghela napasnya, tersadar dari lamunannya. Telihat, Widura tetap santai memainkan saxophone-nya. Sementara Estrella termangu, menikmati alunan keys sambil memandangi Widura. Entahlah, ia tidak bisa menahan diri untuk tidak memperhatikan laki-laki itu bermain.

Jika ditanya apakah ini yang dinamakan surga dunia? Dan, jika ditanya apakah Estrella ingin berteriak sekarang? Semua jawabannya adalah ya.

"She's exactly what I need—" Estrella bersenandung pelan, mengingat nada lagu yang Widura mainkan. Melihat Widura meliriknya, ia langsung salting. "Maaf."

Widura berhenti meniup. "Nyanyi aja kalo tau lagunya."

Ketika Widura mulai meniupkan lagi, Estrella melanjutkan lirik yang tadi.

"She's so beautiful,
sometimes I stop to close my eyes,"

"Ini ya, mumpung masih istirahat. Kamu tolong kasih ke Widura anak kelas XII. Terus, tolong kamu bilangin ke dia, jangan pernah lagi keluar masuk kelas sembarangan. Itu sama aja bolos. Kalo mau bolos mending selamanya aja, gak perlu balik lagi, bilang."

Dihukum adalah bukan hal baru bagi Abel. Namun, yang paling baru adalah hukumannya itu menyampaikan titipan surat dari guru untuk kakak kelas. Mungkin jika hanya menyanyi di kelas orang atau bersih-bersih di sekolah itu biasa. Lalu, jika ditanya apa salah Abel sehingga dihukum?

Jawabannya gampang; ketahuan makan di kelas dan tidak pakai dasi.

"Bu, tapi gak ada hukuman lain aja?" ujar Abel, begitu menerima amplop cokelat yang diserahkan Bu Murni.

"Ini bukan pasar. Gak ada tawar menawar!"

Abel menghela napasnya.

Perempuan berambut agak kemerahan itu lamgsung membuka ponselnya, membuka obrolan di groupchat LINE.

Helena Farasya:  ya tapi emang dia ganteng kok

Helena Farasya:  orang ganteng tuh bebas

Sonia Rouly:  apaan sih?

Sonia Rouly: Ganteng apanya coba mata minimalis gitu?

Helena Farasya: ih eyeshaming deh zbl

Helena Farasya:  EH  DIEM2 AJA NIH YANG ABIS KEGAP MAKAN

Sonia Rouly:  LAGIAN BEGO BGT WKWKW UDAH GUE KODEIN LOH PADAHAL TADI 🤣🤣🤣

Helena Farasya:  maklum

Helena Farasya:  biasa alim, makan di kelas doang tuh kaya dosa besar bgt wkwkw

R Nabila:  sialan

R Nabila: TP GUYS

R Nabila: KALIAN HARUS TAU

R Nabila: SEKARANG ABEL DISURUH KE KELAS DUA BELAS

R Nabila: DANNNN KALIAN JUGA HARUS BGT TAU

R Nabila: ABEL DISURUH TITIPIN AMPLOP KE KAK WIDURA COBA

R Nabila: MO NANGES GA TUH?

Kaki Abel seketika berhenti melangkah saat ia mengangkat matanya dari ponsel, memutar punggungnya lagi ke kiri. Ternyata tak ada yang lebih mengerikan dibanding koridor deretan kelas XII IPS. Hampir seluruh kakak kelas perempuan di sana menatapnya dengan raut tak terbaca.

Sedangkan yang laki-laki,

"Hiya hiya bingung!"

"Ayoloh mau kemana?"

"Nyasar, Dek? Mau dianterin gak?"

"Aluuuussss pisaaan!"

Persetan dengan semua catcaller itu, Abel langsung fokus ke ponselnya lagi. Berusaha mengusir kecanggungan di dirinya, meski sebetulnya jantungnya sudah mau copot.

Helena Farasya: ANJIR

Sonia Rouly: HAAAA?

Sonia Rouly: SUMPEH LO?

Helena Farasya: Jgn gila Bel

Helena Farasya: udah balik ke kelas aja

R Nabila: mana ada! Abis lah aku yang ada!

Sonia Rouly: lo dimana sekarang?

R Nabila: tangga

R Nabila: kalian mau nyusulin aku?

Helena Farasya: ya nggak sih tapi kan..

Sonia Rouly: yaudah loh Bel titip aja

R Nabila: titip ke?

Sonia Rouly: emak gue!

Sonia Rouly: ya ke anak kelasannya dong bel😭

Sonia Rouly: Bel!

Sonia Rouly: Ya Allah ya

Helen Farasya: demi apa si lo ke sana sendirian?!

"Lagi nyari orang?" Sampai akhirnya ada seorang perempuan bermata hazel mendekatinya, Abel langsung mengunci layar ponselnya.

"Anu—" Abel semakin gugup ketika ada seorang laki-laki berambut platinum blonde berdiri di samping gadis itu.

"Gak ada yang namanya anu di sini," potong laki-laki berambut blonde itu.

"Kiev?" Tegur Giska, lalu Kievlan hanya menyatukan ibu jari dan telunjuknya membentuk OK sebelum akhirnya meninggalkan mereka.

"Ng... kakak tau gak kakak kelas yang namanya Kak Widura?"

"Oh. Lo nyari dia?" Tanya Giska pada gadis kini bengong menatapnya.

Tidak ada sahutan.

"Hey!" Giska menjentikkan jarinya di depan wajah adik kelasnya.

Otomatis Abel mengerjap.

"Lo cari Widura?" Ulangnya, sabar.

"Oh—iya. Yang gondrong itu orangnya," kata Abel.

"Kelasnya yang itu," Giska langsung minggir mengarahkan jalan. "Biasanya sih orangnya gak ada. Ntar lo taro aja di kolong mejanya."

"Oh, yaudah makasih ya, Kak." Abel nyengir, lalu mengangguk sopan.

Abel berjalan masuk dan berhenti di depan kelas, lalu tatapannya jatuh pada laki-laki yang duduk di pojok belakang. Dengan langkah kaku, ia berjalan mendekat dan berakhir berdiri di samping Widura.

Terlihat laki-laki itu tertidur. Posisi kepalanya miring ke kiri, membelakanginya. Takut bangunin banteng tidur, Abel sekarang dilema. Ia bahkan sudah tak peduli lagi jadi sorotan para siswa XII IPS 4.

Berupaya meyakinkan diri, Abel menghirup napas panjang sebelum membungkuk, untuk menyelipkan amplop cokelat itu di kolong meja Widura.

Tepat saat ia ingin mengeluarkan tangannya, ia malah menjatuhi botol kecil. Gadis itu sontak memungutnya, di botol itu ada sedotannya di atasnya, di dalamnya terisi serbuk kristal bening. Sebelum mengembalikan benda itu ke tempat semula, Abel menegakkan tubuhnya sambil mengamati benda itu. Teksturnya, mengkilap... kok kayak gula tapi bukan gula?

"ANJING!"

Spontan, seisi ruangan menoleh.

Jantung Abel spontan berdebar tak karuan saat Widura berteriak seperti itu sambil merampas benda itu darinya. Bibirnya bergetar, bahunya naik turun seiring deru napasnya mulai sesak.

Dengan mata memerah, Widura buru-buru memasukan benda itu ke dalam saku celananya.

Pandangan Abel mengabur, seketika air mata membasahi pelupuk matanya. Baru kali ini ia dibentak oleh laki-laki sebegitu kencangnya, di depan orang-orang, kakak kelas semua pula.

Bukan hanya malu, tetapi Abel juga merasa begitu kecil. Abel benci posisi ini.

Posisi di mana ia tidak bersalah tetapi ia tak bisa melawan. 

"Gak usah lancang!" Widura berteriak lagi.

Dengan keras, laki-laki itu menendang mejanya, sebelum akhirnya ia bangkit dari tempatnya dan berjalan meninggalkan kelas, mengabaikan bisik-bisik penasaran seisi kelas, dan adik kelasnya yang terperangkap dalam ketakutan di tempatnya.

Nah kan! Ngamuk juga akhirnya.

Gt dong emosi🙂🙂

WKWKWKWK btw kalian lebih suka bagian yg mana nih? Yang momen Estrella-Widura atau Abel-Widura? Kasih tau dong biar greget wkwkw

Tp mending part ini apa yg kemarin so far?😂😂😂

Makasih semuanya, kalo ada yg mau disampein atau apa komen aja, pasti kubalas💕✨

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top