Intro Menuju Refrain

Ini jg aku revisi, kasih tau ya bila ada kritik/saran wkkw

Marc E. Bassy feat. Groovy People - Morning

Giska menoleh sekeliling koridor. Ternyata bangunan sekolah barunya tak kalah keren dari sekolah lamanya. Bahkan, untuk segi fasilitas, cukup jauh berbeda dibandingkan sekolah lamanya.

Pagar utamanya tinggi dan kokoh, tanpa karat. Pekarangan sekitarnya asri, seperti kampus-kampus swasta ternama. Setiap sudut dipenuhi pepohonan dan kursi taman yang terbuat dari kayu jati.

Lapangannya dua kali lebih besar dari milik sekolah lamanya, dilengkapi pula dengan fasilitas kolam renang indoor yang dapat dilihat melalui kaca transparan besar. Tapi ah, bukan itu prioritasnya!

Alasan dia pindah; dia ingin bersekolah dengan normal, dan mengubah nasibnya. Itu saja.

Giska berbalik, menghampiri pintu bertuliskan, 'Ruang Kepala Sekolah'. Lalu mengetuknya. "Masuk," terdengar suara bariton dari dalam.

Cewek itu membuka pintu, menampilkan seorang pria paruh baya tengah sibuk dengan laptopnya. Lalu membungkuk sopan pada Pak Wayan--- pria itu mendongakkan kepala dari laptop, menatapnya. "Ada perlu apa, nak?" kata Pak Wayan terdengar ramah namun tegas. Ia menunjuk kursi di depannya. "Silakan,"

Giska duduk di kursi. "Um... saya anak baru, Pak. Belum tau kelas mana."

"Nama lengkap?"

"Geriska Cantika, Pak." Jawab Giska dengan senyum simpul.

Pria berkumis itu kembali fokus pada laptopnya, dan menggulir data para siswa. "Kelasmu di XI IPS 4," Ujar Pak Wayan. "Nanti saya akan minta Bu Dewi antar kamu. Jadi, tidak perlu ikut upacara dulu, ya."

Giska mengangguk paham.

"Barangkali butuh akses wifi, passwordnya 'Reswirah',"

"Ini kelasmu." ujar Bu Dewi. Giska mengangguk, lalu menatap pintu kelas didepannya. Dari luar, kelas itu terdengar gaduh. Sepertinya bukan karena diskusi kelas, lebih tepatnya seperti adu guyonan.

"Bu," kata Giska sebelum masuk, membuat Bu Dewi menoleh. "Di kelas ini kok rame banget?"

Dewi mengernyit sebentar, lalu tersenyum. "Kalo sepi namanya bukan kelas dong?" ucap Dewi lembut lantas masuk kedalam kelas, Giska segera menyakinkan diri kalau sekolah ini gak segila sekolah lamanya.

Walaupun ragu, Giska melangkah memasuki kelas, seketika kelas itu hening. Kini semua mata tertuju padanya. "Anak-anak kalian punya tema n baru," kata Bu Dewi, dan detik berikutnya, kelas itu kembali riuh.

"Indahnya pemandangan!" Celetuk seorang cowok dengan aksen Papua yang dibuat-buat.

"Anjay bening!"

"Hiya hiya hiya!"

Bu Dewi mengacungkan telunjuknya, intruksi supaya mereka diam. Kemudian mempersilakan Giska memperkenalkan diri. "Nama saya Geriska Cantika, pindahan dari SMA Bakti Luhur," kata Giska. "Biasa dipanggil Giska."

"Jauh amat Giska, E sama R-nya dikemanain?"

"Udah? Gitu doang? Nomor WA atau username IG gak mau bagi gitu?"

"Hai, Giska. Nama gue Tamam rumah gue di Cireundeu."

"Cantika, aku ramal, aku belum suka kamu. Gak tau ntar, tunggu aja."

"Najis! Sok Dilan lu!"

"Harap tenang." Tatapan Bu Dewi dingin, lalu melembut begitu menatap Giska. "Giska, silakan pilih kursi."

Giska hanya tersenyum untuk meresponnya. Dia tidak suka situasi seperti ini. Pingin sih Giska menyeringai, tapi ntar dikira sok yes?

"Kalau begitu, saya tinggal dulu," kata Bu Dewi melangkah keluar kelas. Sebelum sampai ke pintu ia menoleh. "Jangan dibully, ditemenin!"

Giska melirik teman-teman
sekelasnya, yang sekarang sudah heboh lagi. "Duduk di sini, aja, Cantika! Adem kok selama ada Bang Rajas mah." seru Rajas genit sambil menepuk bangku kosong di sebelahnya.

"Jangan mau, Otang bau air kobokan!"

Giska memilih bungkam dan berjalan ke arah kursi kosong, hanya tersedia dua pilihan. Satu kursi kosong sebelah cewek dan satu lagi sebelah Rajas, tentu saja Giska memilih duduk di kursi kosong sebelah cewek itu.

Giska duduk disebelah cewek itu. Parasnya imut, rambutnya agak keriting, matanya seperti bulan sabit saat tersenyum. She looks so cute!

"Semoga aja wali kelas kita baik, ya." Bisik cewek imut itu lalu mengulurkan tangan kanannya, dengan kikikan kecil. "Btw, aku Estrella. Salken ya,"

Giska menyambutnya, dan tersenyum. "Giska..."

"Selamat pagi, anak-anak." sapa seorang wanita berumur 30an memasuki kelas dan langsung duduk di kursi guru.

"Pagi, Bu."

"Itu namanya Bu Syifa, Gis. Orangnya baik banget tapi agak kuno. Dia ngajar Kesenian, tahan aja ya kalo sampe bosen sama dia."

Giska terkikik kecil. "Iya,"

"Jadi, ibu yang terpilih jadi wali kelas kalian. Ibu harap kalian bisa tinggalkan kebiasaan buruk kalian di kelas sepuluh. Jadwal akan ibu bagikan ya," kata Bu Syifa sambil mengelus sanggulannya.

Ceklek.

"Dari mana kamu?"

Suasana kelas yang tadinya mulai sepi langsung menegang lantaran seorang cowok membuka pintu kelas dan langsung berjalan menuju bangkunya tanpa permisi.

"Toilet, Bu." Jawab cowok itu terlalu santai sampai tidak menoleh sedikit pun pada lawan bicaranya.

"Tatap mata saya!" Suara Bu Syifa meninggi, membuat cowok itu berhenti melangkah ke arah bangkunya, menatap wali kelasnya yang bersandar di papan tulis dengan kedua tangan terlipat di depan dada. "Habis dari mana kamu, Kievlan?"

Kievlan... dia? Biru?

Kievlan menarik napas pendek. "Kan saya tadi udah bilang dari toilet, Bu." Ulangnya malas. Kemudian ia berbalik, hendak berjalan kembali ke arah bangkunya.

"Kievlan, ibu belum selesai bicara!" Bu Syifa menurunkan tangannya, emosinya sudah meluap begitu saja.

"Apaan lagi sih, Bu?"

"Jawab dengan jujur kamu dari mana?!"

Kievlan menghela napas. "Yaelah, bu kenapa posesif bener sih sama saya?"

Bu Syifa menghampiri Kievlan. Sementara yang dihampiri terlihat santai dan sama sekali tidak terusik.

"Mana tangan kamu?"

Terpaksa Kievlan mengangkat kedua tangannya. Dengan geram Bu Syifa mengambil satu tangan cowok itu dan mengendusinya bergantian. "Bu! Kok malah salim sama saya gin--" Bu Syifa mencubit perut Kievlan dengan keras. "EH ADUH!"

"Kamu merokok di toilet kan?" Tudingnya marah.

Kievlan meringis kesakitan, dan mendongak, frustrasi. "Ya Allah, Bu..."

Giska tertegun menyaksikan adegan demi adegan. Bukan hal baru untuknya bertemu sosok binal macam Kievlan. Sekolah lamanya pun lebih parah.

"Sepulang nanti bersihkan aula sekolah tanpa pengecualian!"

Estrella menunduk, dan berbisik pelan. "Jangan kaget ya, kelas kita ini mayoritas diisi cowok-cowok nakal model Kievlan dkk. Gak kayak anak IPS 1." Estrella tertawa kecil, "Kelas kita kan kelas buangan."

Giska mengumpat dalam hati. Hampir lima menit sudah cewek itu berbaris rapi di antrean bakso, tetapi selalu saja ia diserobot oleh orang-orang tak berperasaan.

Dan, Giska sama sekali tidak protes, dia malah mundur dan nampak pasrah. Bukannya takut atau apa, mereka berombongan. Giska malas juga bila harus sok jago di hari pertamanya.

Sialan dah! Gue udah duluan padahal!

"Pedes gak?" Suara laki-laki dari samping refleks membuat Giska langsung mendongak menatap Kievlan yang sudah berdiri di sampingnya.

Cewek itu melongo. Detik berikutnya, Kievlan melambaikan tangan di depan wajahnya. "Hoi!"

"Oh?" Giska mengerjap.

"Pedes gak?" Ulang cowok itu diikuti desahan pelannya. Giska mengangguk tanpa ragu-ragu.

Alhamdulillah, baik nih orang.

"Lo tunggu noh di mejanya si Tamam, tuh yang behel ijo." Tutur Kievlan menunjuk arah meja gerombolan cowok-cowok.

Giska meringis pelan, "Tapi gue kan cewek?"

"Yang bilang lu laki siapa?"

Giska terdiam.

"Udah... ntar gue anterin. Gak gue makan selo aja," Kievlan menatap Giska langsung ke matanya.

Tanpa bicara apa-apa, Giska berbalik badan dan keluar dari antrean. Terlihat Kievlan dengan raut tengilnya menghampiri anak laki-laki yang berbaris di paling depan. Murid-murid yang tadinya berniat protes langsung mengurungkan niat begitu melihat Kievlan. Bukannya apa-apa, Kievlan kan terkenal dengan gengnya yang suka jahil.

Intinya mereka malas ribet, jika harus berurusan dengan Kievlan.

Kievlan lalu membisikkan anak itu seolah memberi intruksi. Tak lama, ia mundur keluar barisan, berdiri di samping Giska, menunggu pesanan perempuan itu.

Keduanya berdiri bersebelahan, namun tidak ada yang bicara. Dari jarak yang menipis ini, Kievlan diam-diam melirik gadis di sebelahnya.

Sebenarnya, yang dilirik sadar jika dirinya tengah diperhatikan. Gadis itu lalu merogoh sakunya, berniat mengeluarkan ponselnya. Namun sayang, benda itu tertinggal di dalam tas.

Sial.

Giska menghela napasnya, dan membelah rambutnya. Ia menunduk, ujung matanya melirik laki-laki di sebelahnya. Ia kira laki-laki itu sudah berpaling.

Namun, nyatanya?

His eyes still staring at her.

Apaan, sih ni orang.

"Nih, Pli." Suara laki-laki berserta tepukan di bahu menyadarkan Kievlan. Laki-laki itu menerima sodoran mangkok dari temannya tersebut.

"Thanks, cuy."

"Gue duluan ye." Pamit temannya yang ber-badge nama Miftah. Kievlan menanggapinya dengan anggukan beserta senyum kecil.

Kievlan menyodorkan mangkok pada Giska. "Nih."

"Makasih ya, Kiev." Giska menerimanya, lalu menepuk ringan pundak Kievlan. "Gue duluan." Perempuan yang dikuncir satu itu melangkah meninggalkan Kievlan sendirian diantara kerumunan para siswi.

/g i s k a/

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top