9. Terima Kenyataan
Grace Carter - Why Her Not Me
"Tante Sandra?"
Detak jantung Kievlan berdenyut lebih cepat saat dilihatnya Sandra duduk dengan bahu bergetar di sofa ruang tamu apartemennya, wanita itu menoleh dengan wajah yang sudah dipenuhi air mata.
Bisa dirasakan punggung Kievlan memanas saat dilihatnya beberapa botol minuman keras yang tergeletak di atas meja. Tetapi ada hal lain yang membuat matanya terpaku. Sebungkus plastik bening berisi butiran kristal di asbak.
Kievlan menegapkan posisi berdirinya dengan helaan napas yang terasa berat.
"Ternyata ini, Kiev?" Suara Sandra akhirnya terdengar. Wanita itu menyampirkan selendang sutranya sambil beranjak dari sofa, matanya belum lepas dari Kievlan. Sementara cowok yang berdiri di hadapannya berdeham pelan.
"Tante--"
"Gautama!" Tiba-tiba Sandra berteriak. Benar-benar kecewa dengan perilaku keponakannya. "Kamu anggota Gautama. Kamu tau itu!"
Kievlan menelan ludahnya susah payah. Lagi-lagi predikat itu membuat tenggorokannya mengering.
Kali ini Sandra menunjuk wajah Kievlan. "Keberengsekan apa lagi yang kamu sembunyiin dari tante, hm?"
Baru juga Kievlan hendak mengklarifikasi, Sandra keburu bicara lagi. "Tante tau kamu sakit hati! Tante tau kamu belum bisa terima keadaan! Tapi gak kamu aja! Semuanya juga! Jangan bertingkah seolah kamu yang paling sakit hati di sini!" Seru Sandra dibarengi isakan, sebelum akhirnya berjalan keluar apartemen.
Kievlan yang masih berdiri di ruang tamu, hanya bisa tertawa getir. Kata-kata Sandra begitu menamparnya. Mendadak Kievlan merasa dirinya lebih hina dari seorang bajingan. Bahkan ia merasa dirinya tidak layak disebut manusia.
Semua mata tertuju pada sepasang sahabat yang berdiri di depan papan tulis. Suara mezzo Estrella yang beradu dengan petikan gitar Giska memenuhi pendengaran seisi kelas.
Yeah, I got issues
And one of them is how bad I need you
Yeah, I got issues
And one of them is how bad I need you
Estrella menghentikan nyanyiannya, sementara Giska masih memetikkan pelan gitarnya. Hingga suara tepuk tangan dari guru dan teman-teman kelasnya menjadi penutup penampilan mereka.
"Hebat, ya!" Puji Bu Syifa. "Ibu suka suara Estrella ada perkembangan. Giska juga menguasai kunci gitarnya gak hanya yang dasar. Pertahankan bakat kalian!"
Bu Syifa kini berdiri di depan papan tulis, menghadap murid-muridnya. "Baik anak-anak," kata Bu Syifa. "Berhubung di ulang tahun yayasan nanti ada acara pentas seni, siswa kelas sebelas wajib menampilkan band."
Mendengar kata-kata itu murid-murid mengeluarkan ekspresi beragam. Mulai dari; girang, malas, kesal, hingga masa bodoh.
"Dan, sebagai wali kelas kalian, ibu ingin kalian menampilkan yang terbaik, lagunya wajib lagu bahasa Indonesia tidak boleh lagu barat," kata Bu Syifa. "Ibu sudah tetapkan kelompoknya. Tolong dengarkan baik-baik."
Estrella menggamit tangan Giska. "Semoga kita sekelompok, ya!"
"Amin! Dan, semoga kita sekelompoknya sama orang-orang yang jelas," kayak Ghazi. Giska melanjutkan dua kata itu dalam hati.
"Kelompok satu; Abigail, Amira, Bagus, Nabila, Robby." Setelah kelompok satu disebut, Giska memfokuskan pendengaran dari sebelumnya.
"Kemudian, kelompok dua; Estrella, Ghazi, Geriska, Kievlan, Widura. Kelompok tiga...."
Seisi kelas masih memfokuskan telinga menunggu namanya disebut oleh Bu Syifa. Namun tidak dengan anak-anak kelompok dua. Ekspresi keempat dari mereka memang terlihat kaget. Terutama Giska. Raut Giska mengalami perubahan begitu drastis, dari yang biasa saja menjadi masam.
Widura? Bahkan Giska tidak pernah tahu wujud orang itu seperti apa.
Bagaimana tidak? Orang bernama Widura itu bahkan tidak pernah sekolah sama sekali sejak awal masuk hingga sekarang. Memang sih Giska sempat mendengar desas-desus tentang cowok itu dari teman-teman kelasnya. Dan itu buruk semua.
Tetapi yang membuat Giska semakin keki, mengapa harus ia sih yang disatukan oleh dua orang macam itu? Sekelompok dengan Kievlan yang super sableng saja sudah membuatnya pusing. Apalagi Widura? Yang sepertinya lebih gila dari Kievlan.
"Gue gak nyangka kita bakal sekelompok." Suara laki-laki dari belakang membuat Giska mendengus pasrah.
Sementara Estrella yang mendengar suara Kievlan langsung menoleh ke teman sebangkunya. Giska tidak menanggapi ucapan Kievlan, namun ia hanya menghela napas dengan mata terpejam.
Kievlan, dan Widura.
Lengkaplah derita Giska.
"Jinja?! Jinjaneyyeo?!" Suara Aci yang begitu keras membuat ibu kantin menegurnya. Aci syok tapi senang mendengar Kievlan dan Giska disatukan dalam satu kelompok. (Jinja: beneran).
"Siap-siap aja tekanan batin." Kali ini Anika ikut komentar, tangannya mengambil sekaleng milo dari kulkas.
"Lebay lo. Kipli biar gitu kan berbakat. Jago drum." Aci menatap Anika jengkel. Tidak suka cara bicara Anika yang terkesan menyudutkan Kievlan. "Lagipula kan ada Ella."
"Tetep aja! Kievlan kan suka seenaknya, Ci!" Seru Giska diikuti raungan panjang.
"Tapi kan ada Ghazi?" Estrella menunjuk wajah Giska dengan lolipopnya.
Sontak, Giska balas menunjuk wajah Estrella dengan telunjuknya. "Nah kan? Si Ella mulai gak waras nih," katanya dengan nada sok diplomatis.
"Ciee cieee!" Kedua temannya mengolok, hanya Aci yang tidak. Aci malah bergumam 'najis' berkali-kali.
Tak tahan digoda, Giska memutar punggungnya, menyangga kedua tangannya di kulkas es krim. "Eh, tapi masa gue sekelompok sama yang namanya Widura-Widura itu deh," ujarnya, mengalihkan topik.
Aci tersedak basreng yang ia kunyah. Benar-benar tersedak, sampai milonya Anika ia tenggak hingga setengah. Ucapan Giska barusan sukses membungkam ketiga temannya. Kedua diantaranya saling tatap, namun yang satu hanya diam, terlihat lesu.
"Emang si Widura itu kayak apa sih orangnya?" Tanya Giska tanpa memutar punggungnya, masih menyangga kedua tangannya di kulkas es krim.
Sepertinya mengikuti ajakan Rendy kemarin bukan hal yang buruk untuk Ghazi, laki-laki itu masih menunggu kedatangan Rendy di kantin depan. Hampir sebelas detik temannya tak kunjung datang, ia pun mengirimkan sebuah pesan untuk Rendy.
Hisbatul Ghazi: lo dimana woi
Rendy Oktavian: eh sori bor gua lagi wifian di depan ruang kepsek tadi. Lo tunggu aja gue di kantin bentar lagi gue nyusul.
Ghazi mendengus. Selama menunggu Rendy, ia hanya membuka Instagram, memutar story demi story di beranda akunnya. Hingga suara tawa laki-laki di hadapannya memaksa ia mengangkat mata dari ponsel.
Rendy menghempaskan bokongnya tepat di sebelah Ghazi. "Sori-sori, man. Tadi abis download."
"Yaudah langsung ke intinya aja," kata Ghazi. Laki-laki itu menelan ludahnya. "Dia sekelompok sama gue."
Raut Rendy langsung cerah. "Nah! Itu namanya semesta mendukung!" Seru Rendy. "Tapi, lu udah ikutin saran gue yang dari dulu itu kan?" Lanjutnya antusias.
"Saran yang mana?"
"Yang lo deketin dulu temennya. Dapetin restu temennya dulu. Baru minta comblangin." Rendi menjeda sesaat. "Masa gak ada sih temennya si doi yang deket sama lo?"
Ghazi mendongak, tatapannya menerawang. "Ada sih ada," kata Ghazi setelah jeda tiga detik.
"Siapa?" Rendy melongo.
"Giska."
Rendy menyenggol bahu Ghazi. "Nah! Yaudah lo minta bantuan si Giska-Giska itu aja buat pepet si Stella."
"Estrella!" Seru Ghazi.
Tawa Rendy meledak. "Ah bodo, nama doi lo kesusahan!" Serunya dengan sisa tawa. "Eh jajan ke dalem, kuy. Aus gue." Tambahnya seraya bangkit.
Ghazi mengangguk, lalu bangkit dan berjalan ke dalam. Langkahnya terhenti di depan pintu persis. Matanya mengerjap saat dilihatnya seorang perempuan tengah bersandar di pintu kulkas, berhadapan dengannya.
"... Estrella?" Ujar Ghazi masih bergeming di tempatnya, belum menyadari keberadaan ketiga teman Estrella di dalam.
Sedangkan Rendy di sebelahnya meringis dalam hati. Merasa canggung dengan situasi ini. Cowok berlesung pipi itu memilih masuk duluan ke dalam.
"Lo denger semuanya?" Ujar Ghazi ke Estrella.
Dari tempatnya berdiri, Rendy dapat melihat Giska mengulum senyum terpaksanya saat melihat Ghazi menghampiri Estrella.
Satu kata untuk part ini?
Semoga part ini berkenan di hati shipper Ghazi-Giska😂
/g i s k a/
/a n i k a/
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top