60. Kucari Kamu

Tadinya mau pake lagu kucari kamunya payung teduh, tp gatau knp lagu ini kayaknya lebih pas gt wwkkw

Buat yg suka play mulmed naif makasih yaa! Semoga ngefeel dengan adanya lagu-lagu ini♥️

Finding Hope - Love

"Wey? Ayo masuk, Ki."

Disuruh begitu oleh Eja, Kievlan yang tengah sibuk memainkan ponselnya di depan pintu rumah neneknya, akhirnya melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam. Memang. Biasanya Kievlan tidak merasa sekaku ini jika ke rumah neneknya seperti sekarang. Lagi-lagi alasannya hanya satu; rahasianya kemarin.

Eja yang berdiri di samping Kievlan menyikuti temannya, memberi kode supaya temannya itu memasukkan ponselnya sebentar, dan duduk di sofa, berhadapan dengan neneknya.

Karna, Eja tahu. Dari cara neneknya duduk di sofa, dan menyesap teh terlebih dahulu, ada hal yang ingin ia sampaikan.

"Minum dulu tehnya," ujar  Ainun, matanya  perlahan beralih  dari teh dalam cangkirnya ke  dua anak laki-laki yang kini ikut menyesap tehnya sambil beradu pandang.

"Iya, Nek."

"Jadi, alasan nenek nyuruh kalian ke sini, nenek tuh mau minta tolong sama kalian," kata Ainun. "Kira-kira kalian mau gak jadi panitia nanti di acara anniversary PT?"

Laki-laki yang masih meminum tehnya reflek memberhentikan  gerakan  tangan  kanannya yang masih memegang cangkir.

"Hah?" Kievlan menatap neneknya, jengkel. "Ogah, ah."

"Kok gitu sih?" Ainun langsung menjauhkan cangkirnya, jadi ikut jengkel. "Kamu loh justru bagian yang paling penting. Kamu ini kan anggota Gautama!"

Melihat keributan antara nenek dan cucu ini, Eja langsung bersuara. "Kalo Eja mah mau aja, sih nek. Asal Kiki yang nge-mc,"

"Wah, auto mic drop si gue, cuy." Kievlan tertawa, lalu ia menumpukan tumit kanannya di atas lutut kirinya.

"Apa sih maksudnya?" Ainun mengernyit, memasang ekspresi bingung.

Lantas, Kievlan tersenyum sumringah. Dan senyum itu kini berubah menjadi tawa saat ia melihat ekspresi lugu neneknya. "Like, i'm out, gitu, Nek."

"Ah, pusing nenek sama bahasa anak sekarang!"

Kievlan mengangkat satu tangannya ke arah Eja, hendak mengajak high five, namun Eja yang melihatnya hanya mengernyit. High five-nya tak disambut, Kievlan sontak tertawa sambil menepuk perut temannya.

"Ajak juga tuh sekalian pacarmu, Ki, yang waktu itu,"

Wow.

Kontan, tawa Kievlan langsung berubah jadi kekehan, begitu pula Eja.

"Insya Allah," kata Kievlan, ia mengangguk dengan  ragu, meski dalam diri merasa  kurang  yakin dengan  usul neneknya tadi. Namun, senyumnya masih mengembang.

"Insya Allah ajak pacar apa nge-mc nih?" Celetuk Eja, mencoba mengusir kecanggungan di diri temannya.

Kievlan tidak menjawab, ia hanya melirik Eja dengan tatapan yang tak terbaca, dan Eja refleks menahan tawanya. Laki-laki berambut blonde itu berdiri.

"Eja juga kalo ada pacar ajak aja," kata Ainun sebelum menyesap lagi teh black currant-nya.

"Oke, Nek." Eja mengangguk, kedua tangannya menepuk lututnya dua kali. "Tenang aja."

"Yaudah kita ke atas dulu ya, Nek." Kievlan  sekilas  menoleh ke neneknya.  Kakinya  bergerak lalu menuju  tangga. "Kiki pengen ngambil joystick,"

"Naik juga, Nek."

"Iya," kata Ainun. "Kalo laper makanannya di bawah ya, udah dimasakin nih sama Mbak Eli!"

"Beres, Nek!"

Selama  ia  menaiki  tangga,  Eja  menoleh  ke  bawah,  mencari sosok anak kecil yang hingga kini belum memunculkan batang hidungnya.

"Aufar mana, dah, Pli?"

"Les," sahutnya, kalem. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana.

"Les pelajaran?"

"Kagak, nari tor-tor."

"Bego." Eja tertawa. "Tapi adek lu, mah pinter ya gak kayak lu." Ia lalu merogoh sakunya, mencari permen mint.

"Tapi dia kan ansos gak segaul gue,"

"Najis. Lu mah semrawut." Eja menjeda sejenak, ia lalu membuka bungkus permennya, "Ngomong-ngomong, kok Si Giska kemaren instastory-nya lagi di kantor polisi, deh?"

Sontak Kievlan mengeluarkan tangannya dari saku. "Hah?" Ia menahan suaranya agar tidak  terdengar  terlalu  kencang. Wajahnya  menunjukkan  kalau  ia  kaget, namun sahabatnya tetap datar. "Foto apa emang dia?"

"Emang lo gak liat?"

Kievlan menggeleng.

"Caelah, ketimbang liat instastory mantan aja gengsi lu, jamban!" Eja tertawa.

"Emang dia posting foto apa?"

Di undakan terakhir, Eja memilih maju duluan menuju lantai dua, melewati Kievlan. "Liat sendiri, lah."

Kievlan mendengus. "Elah, Ja!"

"Cuma kaki, terus dikasih sticker location doang, nying." Eja memutar matanya. "Panik amat."

"Bukan gitu—"

Sebelum Kievlan  melanjutkan apa  yang  akan  ia  lontarkan dari  mulutnya,  otaknya  tiba-tiba bekerja  lebih  cepat.  Ia  berpikir  apakah  perlu  ia  menceritakan kejadian kemarin, tentang Giska tiba-tiba bilang ingin kembali seperti di awal?  Ah, tapi nanti Eja berpikir Kievlan seperti keberatan.  Jadi, Kievlan  memutuskan untuk  tidak  mengatakannya.

"Kemaren lo jengukin nyokap lo kan?" Meski zona mereka aman dari telinga Ainun, Eja tetap merendahkan suaranya.

"Iya," sahut Kievlan begitu berhenti di depan pintu hitam, ia meraih kenop dan mendorongnya hingga terbuka.

"Sama Giska?" Eja kembali memastikan.

Kali ini hanya dijawab anggukan kecil oleh Kievlan.

"Nah kan, pantes. Soalnya gue liat juga di IG-nya Aufar. Ada lo, dia, nyokap lo, sama Giska,"

Mata Kievlan membulat, ia menghentikan langkah kainya. Jantungnya langsung berdebar-debar. "Demi apa lu Aufar nge-post?"

"Iya tapi cuma di instastory,"

Kievlan menghela napasnya. "Sejak kapan lo follow-follow-an sama adek gue?"

"Lah followers dia aja cuma dua, gue sama Mayang doang," ujarnya. "Lo parah banget si, Pli adek sendiri gak difollback,"

Kievlan tidak menjawab, ia hanya meraih remote AC dan menurunkan suhu ruangannya. Sementara Eja yang baru masuk, langsung melepas sepatunya dan merebahkan diri di kasur king size hadapannya.

"Tapi, Pli," ujar Eja. "Lo deg-degan banget tuh pasti ya kemaren?"

"Deg-degan kenapa?"

"Halah," Eja  yang  sedang  terlentang  di  kasur  temannya  hanya  menaikkan kepalanya sedikit saat mengeluarkan ponselnya. "Sok bego, ah males gua."

"Yaelah, Giska?" Kievlan duduk di tepi kasur, ia mengeluarkan ponselnya, membuka aplikasi PUBG. "Gue sama dia udah biasa-biasa aja, kali."

"Biasa-biasa aja tapi masih kode-kodean di story Whatsapp?"

"Siapa yang kode-kode?" sahut laki-laki yang masih sabar menunggu loading game-nya.

"Yaelah," Eja langsung duduk, ia mendekati Kievlan dan menyodorkan ponselnya. "Nih."

"Apaan, sih, Ja." Kievlan mendorong tangan Eja, "Gue sama dia udah sepakat jadi temen."

"Tai. Temenan tapi modus." Eja mulai gregetan. Ia lalu kembali merebahkan diri. "Yang smooth dong modusnya!"

"Dih? Gue aja gak tau kalo Aufar ngajak dia ke sana?" Kievlan mulai jengkel.

"Terus segala anter pulang, dan pasti adalah curhat-curhatnya pas macet. Gak mungkin nggak."

Sejauh ini, Eja tahu kalau usaha Kievlan untuk menepikan posisi Giska di hatihya masih belum berhasil. Oleh karena itu, ia langsung bersemangat saat melihat ada sedikit celah dan kemungkinan yang bertolak belakang dari keputusan Kievlan saat itu.

"Gue cuma mau bilang hati-hati aja, jangan sampe salah langkah lagi," Eja lalu mengubah posisinya menjadi tengkurap. "Semua orang kan pernah ngerasain nyesel, ya jangan sampe lah ngerasain hal itu lagi."

Kievlan tidak menjawab, karena loading game-nya  sudah mencapai 100%, meski di sisi lain dia juga merasa tertampar, karena ada pembenaran di kalimat Eja barusan. Pandangan laki-laki itu masih ke ponsel, namun diam-diam ia juga memikirkan ucapan sahabatnya barusan.

"Tapi, kemaren kan ada yang minta nomor Giska ke Aci,"

"Hah?"

Respon yang diberikan oleh Kievlan sontak membuat  mata Eja membulat karena kaget. Kievlan langsung mengumpat, namun ekspresinya langsung berubah tenang, meski genggaman pada ponselnya menguat.

Dan, Eja jelas tidak kuasa menahan tawa kecilnya karena ekspresi Kievlan. "Lo tau Davin anak MPK?"

Kali ini Kievlan hanya mengernyit.

"Gue ga tau ya persisnya gimana. Tapi, dia minta nomor Giska gitu ke Aci." Eja mengeluarkan permen mint-nya dan menyodorkan ke temennya. "Mau gak? Biar gak panas?"

Kievlan mengumpati Eja, ia tidak langsung memandang ponselnya lagi. Rahangnya terkatup rapat. Ekor matanya memandang lampu tidurnya, ke lemari, ke dinding, lalu berakhir ke rak koleksi game-nya, dan balik lagi ke dinding.

"Langsung kepikiran nih ceritanya?" Eja yang masih tiduran sambil memegangi ponselnya, tertawa geli sambil geleng-geleng kepala.

"Mana ada, bego!" Kievlan menolak untuk melihat ekspresi jahil sahabatnya yang menjengkelkan menurutnya.

Eja tertawa, merasa menang akan satu hal. Menang atas dugaannya selama ini.

Selang sepuluh detik kemudian, hanya ada backsound game yang memenuhi telinga mereka.

"Ngomong-ngomong, Si Widura kemana ya? Di kosnya udah gak ada, masa?"

Ucapan Eja sontak membuat Kievlan menoleh lagi, eskpresinya lebih kaget dibanding sebelumnya. Ia reflek yang tadinya hendak me-resume game, kembali mem-pause-nya.

"Hah?"

Eja menghela napasnya, lalu terduduk. "Kosnya bener-bener kosong, njir," katanya. "Baju-bajunya udah gak ada semua."

Tujuh detik selama Pak Mukti mengabsen para siswa,  pikiran Giska melayang ke kejadian kemarin. Tangannya  yang  menumpu dagunya  bergoyang mengikuti gerakan kepalanya.

"Anggita Yusriahasya?"

"Hadir, Pak."

Melihat huruf A di kolom absen selama seminggu di barisan terbawah, Pak Mukti menjeda sesaat. "Ada yang tau Widura kemana?"

Sebenarnya Pak Mukti tidak kaget-kaget amat sih melihatnya. Namun, ia hanya ingin memastikan.

Kali ini, Giska tidak dapat menahan diri untuk tidak menoleh ke sebelahnya.

"Ghazi?"

"Saya nggak tau, Pak."

"Teman-teman dekatnya masa nggak ada yang tau?"

Estrella balik menatap Giska. Ekspresinya masih tetap sama. Datar. Entah memang Estrella pandai untuk menyembunyikan apa pun yang ia rasakan. Giska mengalihkan pandangannya lagi.

"Kamu ada pembalut gak?"

Giska langsung menoleh, ia mengerjap dua kali. "A—ada, kok."

"Minta, dong satu," kata Estrella. "Nanti aja tapi."

"Oh, okay..." Giska mencoba santai, meskipun dadanya berdebar-debar.

"Nanti istirahat di kantin IPA aja yuk?"

Akhirnya.

Akhirnya Estrella sudah mau lagi bicara dengannya.

"Ayo," Giska tak dapat menahan senyum bahagianya.

Sementara laki-laki yang duduk di barisan pojok kanan terbelakang, terlihat menggerak-gerakkan kakinya. Pandangannya memang tertuju pada Pak Mukti di depan. Akan tetapi, ia tidak dengan pikirannya.  Pikirannya  kembali  teringat kata-kata Eja kemarin. Mulai dari Widura yang kembali hilang, hingga pengagum rahasia Giska.

Oh, ralat. Bukan pengagum rahasia namanya kalau sudah berani minta kontak.

Jadi, apa?

"Gebetan barunya gitu?" bisik Kievlan, pandangannya  beralih ke sosok perempuan yang duduk di barisan pojok kiri, nomor dua dari belakang.

"Kievlan Gautama!" Intonasi Pak Mukti meninggi ketika kedua kalinya ia menyebut nama itu, tak kunjung disahuti. Tentu saja hal ini membuat beberapa murid menoleh ke arah si pemilik nama, tidak terkecuali Giska.

"Iya! Hadir, Pak!" Seru Kievlan, gelagapan.

"Ada apa kamu liat-liat dia?"

Jantung Kievlan langsung berdebar-debar. Pipinya memanas.

"Hah?" Menyembunyikan kegugupannya, Kievlan memasang ekspresi datar. "Apa?"

"Kamu ini bukannya nyahut pas dipanggil, malah meratiin Geriska terus."

Sontak, suasana kelas yang tadinya hening langsung berubah jadi—

"CIEEEE!"

Seperti beberapa siswa lainnya, Kievlan tidak langsung pulang setelah bel pulang berbunyi. Kaki yang ia seret berhenti di depan sedan oranye yang lampu lednya sempat menyala sedetik saat ia menekan tombol unlock mobilnya. Tangan kanannya masih menggenggam kunci mobil, saat ia hendak membuka pintu mobil. Di tempatnya berdiri, laki-laki itu menoleh ke belakang, matanya menyapu seluruh koridor sekolah.

Namun, perasaannya masih saja tak tenang.

Ia masih penasaran akan suatu hal.

Dan, Kievlan tak bisa pulang begitu saja. Ia tak mau pulang dengan kondisi penasaran begini.

Tanpa menimbang-nimbang lagi, ia akhirnya berbalik keluar parkiran mobil, melewati kerumunan orang yang memenuhi koridor. Ekor matanya terus mengitari seluruh sudut, sampai langkahnya terhenti di area kantin. Jumlah orang yang ada di sana membuat usaha Kievlan semakin sulit untuk menemukan sosok yang dicarinya.

Ia berdiri di dekat pohon ceri sambil mencengkram tali tas backpack-nya yang hanya bertengger di pundak kanannya. Hingga selang satu menit lebih, Kievlan akhirnya tidak dapat menahan helaan napas leganya begitu melihat ketiga perempuan yang tengah duduk di bangku panjang.

Dan saat matanya beralih ke arah stan kebab, laki-laki itu tidak dapat menahan senyumnya begitu menemukan sosok perempuan berjedai pink tengah berdiri di sana sambil memainkan ponselnya. Kievlan dengan lugunya tetap di sana, memperhatikan gadis itu. Meski diam-diam ia bingung harus mengambil langkah seperti apa. Entah sekedar lewat atau sok-sokan jajan.

Paling tidak ia hanya ingin eksistensinya dilihat.

Alih-alih meyakinkan diri untuk ambil opsi ke-dua, Kievlan langsung mengurungkan langkahnya begitu melihat seorang laki-laki berbadge XII di lengannya, tengah menghampiri Giska.

Dan— Kievlan yakin seratus persen, orang itulah yang bernama Davin.

Oh, jadi ini orangnya.

Terlihat Davin menegakkan tubuhnya dan berpindah dari yang di depan Giska kini di sebelah gadis itu. Dari cara Davin mengajak Giska mengobrol nampak santai, meski tak bisa dipungkiri dari gesturenya laki-laki itu terlihat agak salah tingkah.

Selama memperhatikan kedua orang itu, alis Kievlan tertaut tanpa sadar diikuti debaran jantungnya yang menggila.

"Apaan sih, anjing?" Ujarnya disertai tawa, berusaha mencoba menepis perasaan aneh dibalik dadanya.

Yaampun Kipli. Maunya apa sih? :(

Btw, dinda mau kasih tau kalo next chap adalah ending

HAHAHHA GA KERASA BGT GASIH😭

btw Widura kemana? Kok aku kangen? 😭😭

Entah knp gue rada ga rela gt deh pisah sm tokoh2 Naif. Tapi, ya ga mungkin juga ya cerita ini terus lanjut, karna memang ajalnya udah menjemput🙃

Btw makasih banyak ya temen2 udah stay sm aku, dan tokoh2 Naif! Kalian adalah alasan Naif berlanjut sampai akhir♥️

Love, Dindastdj♥️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top