59. Bunga Terakhir

Menuju ending, gak kerasa asli:(

Kali ini aku ngga maksa minta vote atau apa, tp semoga part ini berkenan buat kalian, hopefully worth for u:)

Grace VanDerWaaal - Beautiful Thing

Entah sebatas ikut-ikutan atau memang ada ketertarikan untuk melihat-lihat koleksian Rajas, Kievlan mengerubungi temannya yang tengah men-zoom in foto seorang perempuan di ponselnya.

"Anjas..." Tamam langsung menjentikkan jarinya, airmukanya berseri-seri. "Nah yang kayak gini nih gue demen nih,"

"Cakep kan?"

"Cakepan yang tadi, bego." Eja men-swipe ke kiri, layar ponsel memuat foto perempuan lain.

"Cakepan yang itu si kata gue."

Kievlan dan Rajas yang menyaksikan perdebatan dua anak itu hanya saling bertukar pandang, sebelum akhirnya fokus lagi ke ponsel.

"Dih, yang ini bibirnya tipis banget kayak amplas,"

"Loh? Emang kenapa?"

"Gak enak lah ntar ciumannya." Sahut Eja, disusul gelak tawa teman-temannya.

"Wah, jangan-jangan lu udah ya sama Aci?" Kievlan menimpali.

"Bego lo!" Tamam menggeplak kepala Kievlan.

"Udah gapapa, ciuman doang mah,"

"Emang, kok. Koleksian gue tuh badai-badai semua." Rajas lalu menyatukan ibu jari dan telunjuknya membentuk 'ok'. "Enjoy. Aman."

"Sok Bimo lo anying!" Seru Tamam, teringat youtuber kondang Bimopd a.k.a PickyPicks. "Kebanting ntar kalo lo nge-date sama dia yang ada,"

"Nah ini nih," Rajas menggerakkan kepalanya dramatis. "Buktinya diantara mereka mana sih yang gak klepek-klepek sama gue? Based on reality aja nih ya, bapak-bapak. Mon maap."

Sudut bibir atas Kievlan naik sebelah. "Sumpah cringe abis lo ngomong gitu, nying."

"Ye, udah buruan, Pli," Rajas langsung menyodorkan ponselnya ke Kievlan. "Lo mau yang mana?"

Kievlan sontak menautkan alisnya. "Oh jadi ini semua kandidat gebetan baru gue?" ujarnya, kaget tapi masih berusaha kalem. "Bekasan lo semua? Seriusan, Om?"

"Yee, lu mah." Rajas memutar matanya. Ia lalu menggeser layar ponselnya ke kanan, memuat foto perempuan berparas Oriental. "Yang Tamam sukain ini namanya Vita, baru gue ajak nonton-nonton doang, sih belum gue apa-apain."

Lalu Rajas menggeser ke kanan lagi. "Kalo yang Eja demenin itu namanya Tasya, yah... cuma gue ajak ngopi-ngopi doang lah, gak sampe pegangan tangan."

"Terus yang Vita udah pegangan tangan?" ujar Tamam, lugu.

"Belom sih, tapi pas dia jumpscare gue sempet kayak rangkul sambil ngusap-ngusap bahu dia gitu," Aku Rajas kalem, santai, tanpa beban.

"YEEE ANJING LO!" Tamam sontak mendorong teman yang berdiri paling tengah itu.

"Usap-usap berakhir meluk!" Tambah Eja.

"Fix sih rahim tuh cewek bergetar." Kali ini Kievlan tidak bisa menahan bibirnya untuk tidak menghujat.

"Wetsss.... santui. Itu masih aman." Senyum jahil Rajas mengembang. "Lanjut lagi gak nih?"

"Iya, iya cepet."

Rajas lalu menggeser lagi ke kanan ponselnya, memuat foto perempuan lain. "Nah," Rajas men-zoom in foto gadis berambut sebahu itu. "Kalo yang ini namanya Mia, dia anak basket gitu, sih."

"Terus udah lu apain aja si Mia itu?" Sahut Kievlan, frontal.

"Baru makan-makan doang," kata Rajas. "Dia mah tipikal jinak-jinak merpati, manisnya di awal chat doang. Tiba-tiba ilang, dah masa. Kan anjing ya? Mentang-mentang cantik."

"Nah, baru ini namanya idaman. Udah lo ama dia aja tuh Pli, masih suci dari sentuhan Si PK ini,"

"Tai lu!" Semprot Rajas ke Tamam.

"Eh, eh, berarti dia tipikal Anika gitu, dong ya?" Tamam mulai julid, lalu disambut tawa teman-temannya.

"Ooooh... ngunu toh yoo?" Eja mengacak pinggangnya, lalu menumpukan sikunya di bahu Tamam, mengikuti pose Dilan 1990.

Yah, anggaplah Tamam motornya, dan Eja Dilannya.

"Emang sih seleranya gak jauh-jauh dari Anika udah harga mati kayaknya juga."

"Kan, kan... terus aja kaitin,"

"BH, dong?" sahut Kievlan tanpa dosa, ketiga temannya kembali tertawa.

"Goblok lo!"

"Hahahah! Gue jadi inget kutang nenek!" Ujar Rajas antusias, jokes 'Kutang Nenek' ini hanya mereka berempat yang mengerti.

"Goblok! Hahahahaha!"

"Punya neneknya Galang yak?" Tambah Kievlan sambil tertawa.

Karena terlalu semangat ketawa, Tamam terbatuk, tersedak ludahnya sendiri. Lalu setelah batuknya mereda, Tamam bersuara lagi. "Asli dah sampe sekarang gue mikir Galang tu siapa, anjir?"

"Temen bayangan dia, ege." Sahut Rajas, dagunya menunjuk Kievlan yang kini mesem-mesem di tempatnya.

"Bahagia banget hidupnya punya temen bayangan nenek-nenek."

"Berkah, coi," kata Eja. "Orangtua ketemu intisari."

"YHA!"

"Si tolol... si tolol...." Seolah tak ingin senasib dengan Tamam, Rajas hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum geli. Lagipula, capek juga loh ketawa sambil berdiri.

Dering ponsel di saku celana, membuat Kievlan langsung mengeluarkan benda itu sambil melangkah mundur. "Bentar, bentar," ujarnya. "Adek gue nelfon,"

"Iya? Halo?" Sapa Kievlan begitu menerima panggilan.

"A..."

"Iya?" Kievlan menegakkan posisi berdirinya, satu tangannya mengacak pinggangnya.

"Aa dimana?" Suara Aufar dari seberang terdengar lebih kencang dibandingkan yang awal.

"Rumah temen. Kenapa, Far?"

"Aa bisa susul Aufar gak sekarang?"

"Susul kemana?" Kievlan memutar tubuhnya, memperhatikan teman-temannya yang kini berpencaran.

"Ke mama,"

"Hah?" Kievlan langsung menurunkan tangannya. "Aufar di sana sama siapa?"

"Udah cepetan, jangan nanya terus," ujar Aufar. "Kita mau potong kue nih,"

Kievlan menghela napas, memejamkan matanya sejenak sebelum ia bicara lagi. "Far."

"Dah, ya..."

"Far, Far!"

Tut.

Sambungan diputuskan oleh Aufar. Sontak, Kievlan mengumpat pelan. Jantungnya berdebar tak karuan. Laki-laki itu langsung bergegas ke meja ruang tengah, menyambar kunci mobilnya.

"Kenapa, Pli?"

"Tanggal berapa, sih sekarang?"

"Dua lima?" Ujar Tamam malah terdengar seperti bertanya pada dirinya sendiri.

"Kenapa, dah?" Tambah Eja.

"Gue cabut dulu ya,"

"Jadi kamu kesininya berduaan aja sama Kak Giska?" Sophia yang duduk di sebelah Giska, tatapannya fokus ke anak bungsunya yang duduk di depannya.

"Iya, Ma," ujar anak itu, polos. "Kan dia pacarnya aa,"

Kelopak mata Giska yang hendak tertutup, langsung terbuka lebar lagi.

"Oh ya?" Sophia sontak menoleh ke gadis di sebelahnya. "Udah berapa lama?"

"Tiga bulan, tante," sahut Giska seraya menggosok-gosok lengannya yang masih dibaluti jaket.

"Gimana rasanya pacaran sama Kievlan?" Sophia mendekatkan tubuhnya, nampak begitu antusias.

Giska tersenyum kikuk. "Ya... gitu, kayak naik roller coaster,"

Sophia tertawa. "Dari kecil dia memang suka absurd kelakuannya, tante juga heran sama dia, tapi ya begitu lah dia,"

"Iya, Tante, dia baik, walaupun kadang suka jail,"

Sophia tersenyum, mengiyakan kata-kata Giska barusan.

"Mama tiup lilinnya pas aa udah dateng aja gak papa kan?" Aufar menyala-matikan korek api,

"Iya, gak papa," kata Sophia. "Malah mama sedih kalo aa kamu gak ada,"

"Iya," sahut Aufar, singkat. Anak itu membuka tutup korek api elektriknya.

"Aufar, jangan main api!"

"Nggak panas, kok, Ma."

Giska tersenyum, kalau lagi begini, tingkah Kievlan dan Aufar 11:12 banget.

"Denger nggak?" Tegur Sophia lagi, melihat anaknya masih memainkan korek.

Aufar menghela napasnya, ia langsung menutup koreknya. "Tapi kelamaan gak nih? Ntar takutnya mama keburu disuruh masuk,"

"Coba biar Kak Giska aja yang telfon, biasanya kalo pacar yang nyuruh kan lebih semangat dia,"

What?

"Emang ya?" ujar Aufar, ia menatap Giska bingung. "Yaudah kalo gitu, coba Kak Giska telfon aja aa nya,"

"Ah—" Giska mendadak gagap.

"Udah gak papa, gak kita ledekin tenang aja. Iya kan, Ma?"

Mati gue.

"Oh okay... dicoba ya," Giska bangkit dari tempatnya, dan menuju ke tempat yang lebih sepi. Tangan kanannya merogoh saku jaketnya, mencari sesuatu. Alih-alih menelan ludahnya, ia mengeluarkan benda itu, mencari kontak Kievlan sebelum akhirnya ia putuskan menelepon laki-laki itu.

"Halo?" Sapanya, begitu panggilan diterima. Terdengar suara musik heavy metal di seberang.

"Halo?"

Untuk yang kesekian kalinya Giska menelan ludah, benar-benar frustrasi dengan usulan dari ibunya Kievlan . Masalahnya, ia juga sih yang sebenarnya ceroboh pakai bilang kalau hubungannya dengan Kievlan masih berjalan tiga bulan.

"Halo?" Tegur laki-laki diseberang.

"Nggak, lo lagi dimana?"

"Hah?"

"Dimana?" Giska meninggikan intonasinya.

"Ntaran aja ya ngomongnya, gue lagi di jalan."

"Oh yaudah," Giska langsung menjauhkan ponsel dan mematikan sambungan teleponnya, dan kembali ke tempat duduknya.

"Apa katanya?"

"Dia lagi di jalan, Tante."

Sebuket bunga daisy digenggaman laki-laki berkemeja putih lengan panjang itu menyita perhatian beberapa orang yang memasuki Kapolda Metro Jaya, langkah yang ia ambil membawanya semakin dekat tempat yang hampir setahun lamanya tak pernah ia datangi.

Kievlan menarik napas dalam-salam, membayangkan ibunya tengah duduk manis menunggu kedatangannya dengan Aufar yang sejujurnya ia melawan keraguan di hatinya. Debaran jantungnya semakin terasa. Kievlan berusaha mengendalikan dirinya.

Tarikan napas yang Kievlan ambil lebih panjang dibanding sebelumnya. Ia berusaha mengontrol dirinya. Laki-laki itu memasuki ruang pembesuk yang dipenuhi jejeran bangku di setiap sudut.

Saat ekor matanya masih sibuk mencari ibu dan adiknya, suara Aufar terdengar memanggilnya. Ia melihat Aufar berdiri sambil melambaikan tangan ke arahnya, memberi tahu keberadaan mereka.

Kievlan terpaku sejenak ketika tatapannya terhenti pada sosok yang ia tak sangka-sangka berada di sini, di sebelah ibunya. Airmuka laki-laki itu mendadak berubah matanya bertemu dengan mata Giska terlebih dahulu, bukan ibunya. Rahangnya seketika mengeras.

Namun, ia langsung mengalihkan pandangannya ke ibunya, Kievlan berusaha tersenyum, memeluk tubuh perempuan berseragam oranye itu sebelum ia tidak sengaja melihat sosok yang seketika meredupkan senyumnya.

"Mama kangen banget sama kamu, Nak."

"Iya, iya." Kievlan mengusap punggung ibunya. "Udah jangan nangis, Ma. Enjoy."

Sophia menyeka air matanya, tidak kuasa menghadapi kenyataan kalau anak pertamanya mendatanginya lagi, setelah lima bulan berlalu. Setelah berjuang dari ancaman Sandra.

"Kamu udah mulai ada jenggot, a." Sophia mengusap dagu anaknya dengan ibu jarinya. Sementara anak tertuanya itu hanya terkekeh kecil. "How's your school?"

"Baik, Ma."

"Bener, gitu, Gis?" Sophia langsung menoleh ke Giska, begitu pula Kievlan.

Dan, Giska hanya meresponnya dengan senyum.

"Nah, mumpung masih ada waktu, sekarang waktunya tiup lilin!"

"Oh ya, Alles Gute zum Geburtstag, Ma." Kievlan menyodorkan buket bunga sebelum merengkuh ibunya ke dalam pelukan erat. (Alles Gute zum Geburtstag: Selamat ulang tahun)

"Danke dir," Sophia lagi-lagi tak kuasa menahan air matanya. "Ya ampun kamu segala ngasih bunga," (Danke dir: makasih)

"Abisnya Kievlan bingung mau kasih apa," ujarnya begitu saling melepaskan.

"Buat Giska mana?"

"Nggak ada," jawab Kievlan. Tatapannya kink beralih kepada Giska yang masih diam di tempatnya, memandangi mereka. "Kievlan aja gak tau kalo Giska ke sini."

"Oh ya?"

"Iya, tadi dadakan gitu,"

"Pas banget nih kuenya ada empat! Aa satu, mama satu, aku satu, kak Giska satu!" Seru Aufar.

"Bentar," kata Sophia. "Di dalem sel kan mama gak boleh bawa masuk apa-apa, jadi ini lebih baik untuk Giska, deh."

"Ah?" Giska mendadak kikuk. Tatapannya beralih ke Kievlan yang kini terdiam di tempatnya. "Tan—"

"Beneran. Di dalem itu gak boleh bawa apa-apa." Sophia memegang tangan Giska dan menyelipkan buket itu di kepalan tangan gadis itu. "Keep it."

Ragu-ragu Giska menerima buket itu. Dan, pandangannya masih pula tertuju pada sosok laki yang juga masih menatapnya.

"Ntar kita foto-foto ya!"

Suasana mobil semakin hening. Terlebih, setelah mengantar Aufar pulang, tidak ada percakapan yang tercipta di antara Kievlan dan Giska. Dua-duanya sibuk dengan urusan masing-masing, mulutnya sama-sama tertutup. Yang mengemudi mobil fokus pada jalanan di depan. Yang duduk di kursi pengemudi hanya memainkan ponselnya.

Giska menggeser foto-foto di kantor polisi tadi. Sudut bibir Giska tertarik begitu ibu jarinya berhenti menggeser foto. Di ponselnya termuat sebuah gambar Sophia di tengah-tengah Kievlan dan Aufar. Foto ini hasil jepretannya.

"Radionya gue ganti ya?" Suara Kievlan dari samping membuat Giska serta merta menoleh ke laki-laki itu.

"Ah?"

"Radio. Gue ganti."

"Oh... bebas."

Sebetulnya, tadi Giska ingin pulang sendiri. Namun, Kievlan menyuruhnya ikut di mobilnya dan mengantarnya pulang.

Lagu Won't Live Here milik Daniel Caesar mengalun lembut dari tape. Sambil memainkan ponselnya, sesekali Giska mencuri pandang ke kanan. Laki-laki di sebelahnya terlihat frustasi melihat kenyataan di depannya.

"Kenapa lu?" suara Kievlan terdengar lagi, meski sebenarnya ia menunggu protesan apa yang akan disampaikan oleh gadis itu, seperti biasanya.

"Hm?"

Oh. Gak ada protesan.

"Lo kenapa?" Tanya Kievlan dengan nada yang sama.

"Kenapa apa?" Giska balik bertanya.

"Kenapa ngeliatin gue?"

"Siapa yang ngeliatin lo?" Giska menarik sedikit sudut bibirnya.

"Neneknya Galang!" Sahut Kievlan, asal.

Giska mengernyit, tidak paham maksud Kievlan. Gadis itu mendorong pelan bahu Kievlan. Katakanlah ini usaha untuk mengontrol suasana agar tidak semakin kaku. Mengingat bahwa empat puluh menit sudah Kievlan berada di mobil bersama Giska tanpa ada percakapan setelah Aufar pergi.

Kesalahan Kievlan melintasi kawasan padat membuat mereka terjebak pada macet padat. Padahal, biasanya Kievlan tidak mengambil jalan ini. Namun karena tadi pikirannya melayang kemana-mana, ia jadi salah jalan.

"Udah dari jam berapa di sana?"

"Jam dua apa setengah tigaan gitu, kenapa?"

"Kok bisa?" Kievlan malah bertanya balik.

"Kan ikutin yang ada di maps, jadi ya gitu,"

"Bukan," Kievlan menghela napasnya. "Maksud gue, kok lo bisa tau nyokap gue ada di situ?"

"Iya kan dikasih tau?" Giska malah terdengar seperti tengah bertanya pada dirinya sendiri.

"Sama Aufar?"

"Iya?"

"Ya, makasih juga, sih sebenernya," kata Kievlan. "Paling nggak, adek gue akhirnya ketemu lagi sama nyokap. Walaupun gue harus siap bentar lagi ada yang— ya gitu lah."

Kievlan diam beberapa saat. Memperhatikan Giska yang terlihat gelisah di tempatnya, gesturenya seperti tidak nyaman. Sebetulnya niatnya mengantar Giska pulang bukan sepenuhnya untuk ungkapan terima kasih saja.

Tapi, ia juga ingin berdamai dengan keadaan, dan membiasakan diri dengan keadaaan mereka yang baru.

"Gue gak ada maksud ikut campur urusan keluarga lo, Kiev." Giska berujar pelan, hal ini mengharuskan Kievlan mengecilkan volume tape dari yang 8 jadi 6. "Sama sekali gue gak ada maksud."

"Gue tau."

Kievlan tidak terlalu memedulikan Giska ketika gadis itu mengatupkan rahangnya lagi. Pada akhirnya mereka kembali terjebak dalam keheningan selama dua belas detik.

"Now you know," Kievlan bersuara lagi. Namun kali ini intonasinya lebih pelan dari yang sebelum-sebelumnya.

Seolah paham arah pembicaraan ini, Giska menjawab tak kalah pelan, dengan anggukkan, "I did."

Meski kini ini Kievlan benar-benar di sisinya, namun mengapa rasanya sulit sekali untuk tergapai?

Terasa jauh.

Seharusnya Giska tidak perlu heran karena laki-laki di sebelahnya itu tak bermain-main dengan keputusan yang telah dibuatnya. Sedrastis ini perubahannya.

"Gak cuma ini kan yang lo tau tentang gue?

Alis Giska langsung tertaut. "Apaan, sih."

"Yaelah, gue gak bakal ngorek juga siapa yang udah kasih tau soal ini ke lo, karena udah gak ada artinya juga. Dan, hidup gue emang udah begini aslinya."

Tautan alis Giska langsung hilang. Tatapannya berubah.

"Gue gak lagi ngeratapin hidup gue, kok, Gis."

Giska masih diam. Namun tatapannya masih terkunci pada sosok yang tengah mengusap stir mobil dengan jemarinya. Hingga akhirnya suara embusan napas berat lolos dari mulut Kievlan membuat Giska merasakan ada lagi keresahan di diri laki-laki itu.

"Gue kadang wondering," Kievlan menelan ludahnya. "Gue beruntung juga, kok. Hidup gue gak seterpuruk yang orang-orang kira. Gue punya temen-temen gue yang loyal, hidup gue serba berkecukupan, orang-orang pada baik sama gue. Ya walaupun ada lah satu orang yang mungkin masih benci sama gue,"

"Kiev,"

"Gue sadar, kok kebangsatan gue emang separah itu. Unforgivable. Dan semua orang juga mengiyakan itu. Gue emang rusak, tapi bukan berarti hal ini terjadi karna gue berasal dari keluarga yang rusak juga. Justru, karna kemauan gue sendiri. Ini jalan yang gue pilih. Dan selama ini gue gak jadiin itu beban."

Rentetan kalimat itu masuk ke telinga Giska, rahangnya perlahan mengeras. Tetapi ia jelas tahu siapa Kievlan sebenernya sekarang. Terlepas dari baik buruknya orang ini, Giska percaya jika sosok di sampingnya ini bukanlah orang jahat.

"Karna beban terbesar gue sendiri itu ya maaf dari sahabat gue sendiri, gak tau ibaratnya meteran berapa, tapi peluangnya itu kecil banget."

Mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Kievlan, Giska terpaku di tempatnya. Ia tidak tahu sebelumnya tentang rasa bersalah yang dimiliki laki-laki itu. Selama ini yang ada di dalam kepalanya hanya rasa bersalah yang ia punya. Ia juga merasakan hal yang serupa, dan rasa itu muncul setiap kali ia bersitatap dengan lawan bicaranya sekarang ini.

Jelas, orang itu Kievlan.

Mungkin sampai kapanpun Giska takkan pernah memaafkan dirinya sendiri atas apa yang telah terjadi diantara mereka. Atas kecerobohannya sendiri, tepatnya.

"Gue yang rusak ini emang rusakin idup orang juga, apa sih istilah jaman sekarang?" Kievlan menjeda sejenak, "Oh, toxic."

"Kadang gue makanya milih gak kasih tau ke siapapun celah rahasia gue di sekolah, karna gue takut temen-temen gue sama toxic-nya kayak gue,"

Giska lagi-lagi menghela napas.

"Apaan, sih, Kiev?" Suara Giska berubah. "Lo tadi bilang gak ngeratapin hidup? Terus ini apa?"

Kievlan terdiam. Pandangannya masih fokus ke jalanan di depan.

"Seenggaknya lo bersyukur atas segala yang Tuhan berikan ke lo itu membuat lo seperti sekarang," kata Giska, tulus. "Pain makes you human, walaupun lo konyol, lo punya common sense yang sebenarnya lebih baik dibandingkan orang yang benci lo itu."

Bibir Kievlan masih diam, namun kali ini ia menoleh ke gadis di sampingnya, berupaya mencari kesungguhan yang tersirat di mata hazel itu.

Dan, Kievlan berhasil menemukannya.

"Bukan berarti gue anggep dia lebih toxic dari lo, tapi ya kalian tuh jelas beda, Kiev." Genggaman Giska pada buketnya menguat. "Harusnya kalo lo ambil positifnya, mungkin karna ini dia jadi lebih aware untuk urusan yang berkaitan dengan hal-hal yang kayak gitu."

Tatapan Giska melembut. "Dan positifnya di lo, lo jadi lebih—"

"Lebih gak jelas?" Potong Kievlan, datar.

"Gue serius loh ini." Giska jadi kesal. Tatapannya langsung berubah.

"Untung waktu lo sama gue pacaran, lo gak ikutan toxic ya, Gis."

Kievlan kembali menghadap depan, menyaksikan jejeran mobil di depannya yang berbaris rapi. Sedangkan Giska langsung diam, terluka dengan kalimat Kievlan barusan.

"But, I'm really happy at that time."

Akibat ucapan Giska, Kievlan tidak jadi menelan ludahnya, merasa tidak nyaman dalam waktu singkat dan tiba-tiba saja jantungnya berdegup cepat sekali, ia merasakan getaran aneh dibalik dadanya.

"Oh ya?" Kievlan menoleh lagi.

"Yup."

"Baru lo doang loh, Gis. Cewek yang datengin nyokap gue selain Mayang." Suara Kievlan terdengar datar, tak sinkron dengan tatapannya.

"Lo juga," sahut Giska dengan nada menantang. "Baru lo juga loh, Kiev, mantan yang gue akui berhasil bahagiain gue. Walaupun cuma sebentar."

Pandangan mereka lagi-lagi bertemu. Namun, banyak makna yang tersirat di sana. Tidak ada satu pun dari mereka yang ingin memutuskan untuk berpaling, diikuti dengan degupan jantung yang sama.

"I though if it's the better way to realize that our past is just a past." Yang perempuan lagi-lagi membuka mulutnya. "But still, i remember the way you said, you want we back as friends from where we began. But my crazy brain keep denying it. He keep told me that you don't really mean it,"

Giska menghirup napas panjang sambil mengalihkan pandangannya ke jendela. Why do we put each other through hell, Kiev?

"You're just too naive," suara Kievlan lagi-lagi terdengar. Otomatis Giska menoleh, kali ini diikuti kekehan kecilnya.

"I know," ujar perempuan itu. "Thank you for these daisy, by the way!"

TAMAT JANGAN?!

Gimana part ini?

Seneng?

Sedih?

Gantung? Atau something between?

Tp ada yg paham maksud Giska ga nih? Wkwkwkw

Buat yg masih marahan sama mantannya, semoga dapet pencerahan ya🤗

Saranghamnida♥️♥️♥️♥️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top