57. Melangkah

Gak bisa bicara banyak, intinya maaf bgt atas terlambat updatenya:(

Insha Allah kedepannya gak gini lagi (insha Allah) hehehe

Minta vote-nya boleh bro/sis?😁

The 1975 - Be My Mistake

Tamam kembali menutup kabinet begitu mendapati cabe yang ia cari, semuanya telah busuk sudah tak layak konsumsi lagi.

"Cabenya udah pada busuk semua, lagi,"

"Yah, gak pedes dong ntar?"

Tamam tak merespon ucapan Eja, ia mengecilkan volume api di kompor sebelum ia mengambil saos dan bon cabe. Mereka sekarang bersantai di ruang tengah sambil bermain PUBG. Meski Kievlan masih tak seheboh biasanya, tapi laki-laki itu bahagia akan keberadaan sahabatnya sekarang.

"Pli, mending lo order makanan,deh. Soalnya ini mie bakal jayus banget gak ada cabe, cuy." ujar Tamam, melihat Kievlan yang masih berkutat pada ponselnya.

"Iya, Pli." Eja menambahi. "Bakmie MG gitu, Pli."

"Lo aja ah, gue males," sahut Kievlan tanpa mengangkat matanya dari ponsel.

"Emang lo gak laper apa?"

Yang ditanya hanya menggeleng, pandangannya masih fokus ke ponsel.

"Bentar, gue ganti item dulu," gumam Rajas ke Kievlan.

Setelah itu, tak ada lagi yang bersuara di setiap sudut ruangan selain backsound dari game. Eja hanya menggulir feeds Instagramnya. Dan, Tamam mematikan kompornya sebelum mengangkat panci.

"AH, AH!"

Sontak jeritan Kievlan membuat Tamam dan Eja menoleh dengan raut kaget. Tamam yang tengah membuang air panas ke wastafel cuci piring terlonjak kaget. Untung saja, ia bukan orang latah yang refleksnya berlebihan.

"Anjing," cetus Eja. "Kaget gue!"

"Tang, Tang, jangan mati dulu, Tang!" Seru Kievlan.

Di tempatnya masing-masing, baik Tamam maupun Eja sebenarnya mendengarkan seruan Kievlan. Namun mereka, ia tidak memberikan respon apa-apa.

"TANG, BACKUPIN GUE, TANG—"

Jeritan Kievlan kembali memenuhi ruangan.

"Tai, tai, tai! Jangan mati dulu, Tang!" Kievlan kembali heboh, Rajas yang sejak tadi belum menelan ludahnya sama sekali mulai merasa tercekat begitu melihat wilayahnya dan Kievlan dijarah musuh.

"Ah, anjing!" seru Kievlan seraya melempar ponselnya ke sofa. Ia mengusap kepalanya. "Monyet ah, noob!"

Kievlan mengusap wajahnya begitu melihat kekalahannya, sedangkan Rajas, masih memandangi ponselnya dengan raut sedih, ia lalu kembali ke menu, dan mengeklik opsi exit dari game itu. "Tai, nyaris dapetin chicken tuh padahal,"

"Lu sih, gak pake taktik." Kievlan menghela napasnya.

"Lagi gak nih?"

Yang diajak kini menggeleng.

"Tang, lu mending order makanan, dah."

"Lah, emang mienya kenapa?" tanya Rajas. FYI, tadi dia terlalu fokus main, jadinya tidak mendengar keluhan Tamam tadi.

"Cabenya gak ada."

"Yaudah, gue dah yang orderin," kata Rajas, ia membuka aplikasi Grab. "Emang Grab kalian pada kenapa?"

"Gue apus, memori gue kepenuhan,"

"Makanya jangan diisi bokep mulu."

"Haha anjing lo!" Mendengar celetukan Rajas, Tamam refleks beranjak dari tempatnya dan tertawa. Begitu pula Eja, dan Kievlan lagi-lagi menyumbang tawa.

"Kalo lo kenapa, Ja?"

"Ovo gue tinggal gocap," aku Eja. "Mager top up sekalian irit."

"YEEE ANJING."

"Bisa bener lu ya!"

Kievlan dan Tamam langsung heboh dan melemparkan bantal ke arah Eja yang hanya bisa menepisnya sambil tertawa.

"Nying lu." Rajas melirik temannya tanpa mengubah posisi sama sekali. Alisnya mengerut, wajahnya terlihat serius. "Yaudah, pada mau apa nih?"

"Gue mau yang bakar-bakar gitu, Tang," kata Tamam.

"Kalo gue bakmi," Eja menambahi.

Kerutan alis Rajas semakin dalam.

"Apaan sih lo berdua? Dimana-mana mah menunya hampir-hampir mirip, gitu. Ini malah brutal banget dari bakmi sama yang bakar-bakaran."

"Emang gak ada restoran yang jualan ikan bakar sama bakmi sekaligus ya?" Tanya Tamam, lugu.

Sontak, ketiga laki-laki itu terbahak.

"Seriusan, dah apaan nih?" Rajas menatap Tamam dan Eja dengan sisa tawaz

"Udah, si, Mam bakmi aja, ini juga kan kita mau masak mie,"

"Kita? Gue doang ya yang masak." Suara Tamam terdengar dingin, ada rasa tak terima atas pilihan verbal Eja barusan.

"Gitu banget si, mom." Eja menyenggol Tamam di sampingnya. "Sarangi-ya!"

"Najis lu Aci dasar."

"Yaudah, bakmi aja, Tang."

"Nah, gitu dong dari tadi," ujar Rajas. Ia lalu melirik Kievlan di sampingnya. "Lo mau apa nih, Pli?"

Laki-laki berkaos sobek-sobek hitam itu kembali menggeleng. "Gak ah,"

"Kenapa?"

"Gue gak laper,"

"Kenyang yak abis payungin mantan?"

Tamam dan Eja yang mendengar pertanyaan itu langsung diam menunggu respons Kievlan. Nah ini. Ini nih yang mereka tunggu-tunggu. Soal kejadian halte tadi akhirnya ada juga yang berani membahasnya.

"Hah?"

"Apa? Kenapa?" Tamam pura-pura gak tau, memasang raut dramatis. Sebenarnya dari sore memang ia sudah diceritakan beberapa teman tongkrongannya yang kebetulan di halte. Meski gregetan karena kepo, tetapi Tamam tidak enak menanyakan hal ini ke Kievlan.

"Tadi pas di halte."

"Iya, Pli?" Eja memandang Kievlan dengan alis tertarik sebelah.

"Apaan, sih lu pada?" Kievlan berujar dengan nada datar, namun masih terselip rasa tak suka di sana.

Sampai detik ini, Kievlan samar-samar masih bisa merasakan pelukan tadi. Ia ingat perjuangannya untuk menahan diri tak membalas pelukan itu. Dan, hingga kini ia tak menceritakan kejadian itu pada ketiga sahabatnya.

Jauh di lubuk hati Kievlan yang paling dalam, ia benar-benar merindukan kehangatan dari sosok itu. Tetapi, ia juga harus menegaskan keputusan yang telah ia buat.

Dan, siapa sangka bila bertahan di keputusannya adalah hal terberat baginya sekarang?

Kievlan menoleh sebentar dan menatap Tamam dengan raut tak terbaca. Alih-alih mengambil ponselnya, laki-laki itu membuka Instagram, ia tak sadar jika ia menahan napasnya begitu melihat nama Geriskacantika yang baru saja muncul di update Instatory terpojok kiri.

"Bukannya gimana-gimana ya, daripada lo nyakitin diri sendiri mending ikutin apa yang lo mau, Pli." Eja selaku bapak motivator mulai beraksi.

Sejujurnya, ada sedikit rasa kecewa sekaligus penyesalan ketika ia sadar semua tidak lagi sama. Karena saat rindu itu hadir, Kievlan secara otomatis sadar bahwa perasaannya terhadap Giska masih ada.

"Nah ini."

"Udahlah gak usah bahas ini, gue males," jawab Kievlan sambil membuka aplikasi Gofood, dan mengetik ayam geprek di kolom pencarian.

Padahal, lima menit yang lalu, ia bilang dirinya tidak lapar.

The Joures, 11:13 WIB.

"Makan, Gis." Mungkin sudah kedelapan kalinya Aci memperingati Giska seperti ini.

Sementara gadis yang rambutnya dicepoli jedai itu hanya menatap Aci tanpa ekspresi dan suara. Tak pedulikan lava cake di hadapannya yang masih utuh, belum tersentuh sama sekali.

"Ella udah gak pernah liat snapgram gue lagi, coba." gumam Giska.

"Geumman-hae," Aci mulai lelah. "Lagian dia bukan orang jahat kok, dia gak bakal dendam sama lo, gue tau dia." (Geumman-hae: udah/cukup)

Giska tak menjawab, ia menjatuhkan kepalanya di atas lipatan kedua tangannya di atas meja.

"Toh, dia masih duduk di samping lo kan?"

"Iya tapi dia diem terus, gak sebawel biasanya,"

"Gak ke lo doang dia gini," kata Anika. "Ke kita juga."

"Gue jahat banget gak sih? Ditemenin malah gak tau diri."

"Udah lah, Gis," Anika menghela napasnya. "Yang penting lo udah bener-bener ngehindarin Widura, cepet atau lambat pasti Ella nantinya baik lagi kok,"

"Tau, nih, jangan lesu gitu, deh. Mending makan mumpung masih anget!" Aci menggeser piring itu persis di depan gadis yang duduk di hadapannya, menyuruhnya untuk melahapnya sekarang.

"Iya, iya." Dengan lesu, Giska menegakkan tubuhnya dan mulai membelah cake-nya.

Melihat Aci yang duduk di depannya tengah melahap tiramisù cake-nya membuatnya teringat kejadian beberapa bulan lalu, kejadian saat Kievlan menolongnya dari SMS terror Nanda. Ia ingat bagaimana Kievlan fokus melahap cake-nya tanpa berbasa-basi menawarkannya. Dan, Giska merindukan momen itu.

Teramat rindu.

"Tapi dia masih sayang gak sih sama gue kira-kira?" Tangan Giska berhenti membelah lava cake-nya.

"Kalo dia udah gak sayang gak mungkin dia masih peduli," kata Anika.

"Ah, kan gue jadi ngarep gak jelas gini!"

Anika yang duduk di sebelah Giska mengusap bahu temannya, mencoba usir rasa sakit di dada Giska yang hingga kini masih menyisakan ngilu di perutnya.

Pengabaian.

Ekspektasi.

Karma.

Giska tak menyangka Sang Illahi mendatangkan ketiga hal ini dalam jangka yang begitu singkat.

Untuk pelukan itu, Giska tidak menyangka jika penolakan Kievlan mampu menjatuhkannya sedahsyat ini. Jika ditanya apakah Giska menyesal melakukan itu?

Jawabannya bisa jadi.

Kabar baiknya; Giska bahagia Kievlan membiarkannya memeluknya.

Kabar buruknya; Giska kecewa akan perubahan Kievlan.

"Pas lo meluk dia, dia bener-bener diem?" Aci yang memegangi ponselnya, kini menatap Giska iba.

"Dia cuma bilang gue udah di-WA yang lain," Giska menghela napasnya, "Seolah-olah— akh gak tau lagi gue,"

Ada jeda tujuh detik sampai akhirnya, Anika yang mengakhirinya.

"Sorry to say," Anika menggeser piring red velvetnya menjauh. "Kalo lo ngehargain diri lo sendiri, mending udah."

"Bentar, bentar," Aci langsung mengubah posisi duduknya. "Kalo kata gue lo jangan nyerah gitu aja deh sama Kievlan, mana tau dia mau liat sejauh mana effort lo untuk hubungan kalian,"

"Astaga," Anika mendengus lelah. "Ngapain sih, Ci?"

Seolah bersiap meng-ultimatum temannya, Anika menunjuk wajah Giska dengan ponselnya.

"Sekarang gini, Giska kan cewek. Sekalipun Kievlan masih ada rasa sama Giska, percuma juga kalo Kievlannya masih terus-terusan kayak gitu. Gak mungkinlah Giska begging terus, jatohnya kayak ngerendahin diri. Fine aja kalo endingnya sesuai sama ekspektasi Giska, tapi kalo nggak? Dapet Kievlan nggak, harga diri ilang iya. Double trouble yang ada."

Penjelasan lebar dari mulut Anika sontak membuat rasa nyeri di balik dada Giska semakin terasa.

"Emang kalo lo di posisi Kievlan emang gak sakit apa, Nik?"

Giska yang masih mendengarkan perdebatan kedua sahabatnya memilih untuk tetap diam. Ia tentu dilema harus mengikuti kata siapa.

"Nah itu," Anika langsung antusias. "Kalo dia mau sembuh harusnya dia bisa buka pikirannya, bukannya malah begini,"

Giska mengunci mulutnya rapat-rapat. Sebab, ia sudah tak tahu harus mengikuti argumen siapa, terlebih baik Anika maupun Aci punya argumen yang sangat bertolak belakang dengan apa yang Giska rasa inginkan dan butuhkan.

Singkatnya begini;

Giska ingin Kievlan kembali.

Tapi, Giska perlu menjaga harga dirinya.

"Intinya gini deh sekarang," Anika menatap Giska sepenuhnya. "Kemaren lo dengerin kata-kata Aci tentang hubungan kalian, sekarang mending lo dengerin kata-kata gue."

"Tuh kan," Aci menujuk Anika dengan senyum malasnya. "Ini nih yang gue sebel dari lo. Lo selalu ngerasa yang paling bener."

Sebelum Anika membalas ucapan Aci, Giska langsung bersuara. "Udah, deh kalian kenapa malah jadi berantem, sih?"

"Lagian rese banget sebel gue."

"Kok gue yang rese, sih?" Anika berujar dingin, dan menatap Aci dengan raut bete.

Niat gue curhat, malah jadi debat merekanya.

"Yaudah, yaudah," Giska terkekeh pelan. "Ayo baikan, jangan marahan kayak anak SD."

Aci dan Anika hanya saling tatap hingga akhirnya dering ponsel Anika menjadi pengakhir sesi perang mata mereka.

"Iya, Pa?"Anika membalikkan badan  begitu menerima panggilan.  Matanya memperhatikan sekeliling kafe.

"Iya."

"Yaudah iya ini lagi di jalan." Anika menarik napasnya dalam-dalam.

"Iya, iya."

"Wa alaikum salam." Anika menurunkan tangannya setelah panggilan terputus. "Tuhkan gue udah disuruh balik, acara sunatan sepupu gue udah mulai, coba."

"Udah lo pulang aja," kata Giskaz

"Yakin lo?"

Giska mengangguk. "Kan ada Aci."

"Temenin loh, Ci."

"Ne." (Ne: iya)

"Pertimbangin saran gue yang tadi," kata Anika begitu berdiri.

Mendengar pernyataan Anika, Aci langsung mengacungkan jari tengah ke arah sahabatnya tanpa menggubris nasehat Giska. Melihat punggung Anika yang semakin jauh, Giska berpaling ke Aci di hadapannya yang kini memainkan ponselnya.

"Lo gak ada komunikasi lagi sama Ella?" Giska bertanya begitu pelan dan hati-hati.

"Kemaren gue udah nyoba chat dia, tapi ya gitu dijawabnya singkat banget." Aci menatap Giska sangsi. "Pokoknya bukan Ella banget deh."

Melihat ekspresi sendu Giska, Aci jadi tak enak sendiri. "Dia marahnya gak sama lo doang, tenang aja."

"Ya gue malah jadi makin gak enak lah, ibaratnya gue kan orang baru diantara kalian, tapi gue malah ancurin semuanya,"

"Tuh ah, males deh gue bahas ini terus," ungkap Aci, sejujurnya ia mulai lelah dengan perubahan sifat Giska yang belakangan ini jadi melankolis. Meskipun Aci paham, sih penyebabnya apa, tetapi Aci tak suka melihat sahabatnya seperti ini.

"Pokoknya di sini semuanya salah." Aci menegaskan suaranya. "Gak lo doang."

"Lo salah. Widura salah. Kievlan salah. Ella juga salah. Gue sama Anika apalagi, gak ada benernya." Lanjutnya, mengundang kekehan ringan dari Giska.

"Gue ke toilet sebentar ya," ujar Aci. "Kebelet pipis."

Tiga belas detik setelah keepergian Aci, Giska menoleh ke kanan, dilihatnya sepasang kekasih berseragam SMA swasta tengah selfie berdua, seolah tak peduli mereka berdua jadi sorotan. Dan hal tersebut mencekiknya, membuatnya rasa yang tidak mengenakkan menyelimuti dirinya.

Tentu ia teringat momen-momen bersama Kievlan. Rasa rindunya terhadap sosok itu kian menggebu. Meski mereka masih berada dalam ruang kelas yang sama, dan masih sering bersitatap satu sama lain, nyatanya laki-laki itu seolah benar-benar jauh dari dirinya.

Dekat di mata, jauh di hati.

Itulah mereka.

Ingin sekali ia mengerahkan usahanya lagi. Tapi, ia sadar. Ia perempuan. Ia harus menjaga harga diri sebagaimana mestinya. Gadis berjaket pink itu berpaling ke kanan di sela lamunannya.

Alih-alih menetralkan pikiran, gadis itu menoleh ke arah pintu kafe. Selang beberapa menit, matanya menyipit saat dilihatnya seorang anak laki-laki yang baru saja masuk ke dalam kafe ini.

Debaran jantung Giska mulai berpacu. Ia tak menyangka lagi-lagi ia dipertemukan sosok itu. Meskipun anak laki-laki itu tak menyadari keberadaannya, mata Giska tak berpaling dari sosok itu.

Kini ia dilema. Ia bingung harus berbuat apa.

Setelah berpikir panjang, gadis itu beranjak dari tempatnya menuju laki-laki itu dan memilih berdiri di belakangnya. Beberapa saat kemudian, dalam jarak yang kian menipis, wajah sosok itu terlihat semakin jelas olehnya.

"Sendirian?" Giska akhirnya bersuara pelan.

Tak butuh waktu lama untuk anak laki-laki itu memutar tubuhnya, menghadap Giska.

Hayooo siapakah itu? Yg bener nebaknya tak kasih hadiah wkwk (seriusan loh ini)

Maaf ya guys dinda telat update udh gt kemaleman huhuu:(

Oh ya guys, diantara kalian ada yg minat join grupchat naif gt ga di wa? Dinda mau buat kayaknya seru aja gt🙈

Btw kalian yg udh masuk sekolah lagi semangat yaa jgn bolos2 kayak geng kipli🙈

Untuk keluh kesah, silakan diungkapin ya entah di komen atau dimanapun, kritik saran selalu ditungguu🐣

Aku cinta kalian tiga ribu guys🖤

/mereka cinta kalian lima ribu/

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top