55. Yang Terdalam

First of all, maaf update telat+malem bgt. Ekwkwk baru ngide plus mood gt hehe

Untuk part ini, dinda berharap semoga kalian bahagia. Gt aja hehehehe

Vote yuk untuk dukung cerita ini, karna vote itu gratis guys

Halsey - Sorry

X

Freya Ridings - Lost Without You

Tak terasa, satu jam sudah Giska, Eja, Aci dan Mayang  mengobrol seputar hal-hal yang sedang hype saat ini. Banyak sekali yang dibahas. Mulai dari musik, film, hingga desas desus politik. Diantara mereka berempat Acilah yang sering dijadikan obyek bully, yah... kalian tahu sendiri kan gimana lola-nya Aci. Mungkin kalian berpikir Eja akan membela perempuan itu, nyatanya tidak.

Laki-laki itu terkadang ikut bully Aci.

Waktu  menunjukkan pukul  sembilan  malam  dan  keempat orang  itu  masih  tidak  beranjak  dari tempatnya. Aneka snack ringan dan segelas sirop yang masih penuh jadi saksi keseruan mereka. Padahal Eja sebelumnya  mengatakan kalau setelah  ini ia punya jadwal lain, namun belum  menampakkan tanda-tanda akan pulang. 

"Eh, minum dulu, ayo minum!"

"Oh iya astaga gak nyadar kalo udah seret nih tenggorokan,"

Diam-diam Giska memperhatikan perempuan yang sedang meminum sirop. Mayang memiliki paras yang cantik, tubuhnya ideal ala body goals perempuan masa kini. Rambutnya sebahu, kulitnya pun tidak seputih dirinya ataupun Aci. Tipikal perempuan eksotisnya Jawa, dan siapapun yang lihat Mayang pasti kesan pertamanya enak dipandang, nggak ngebosenin.

Tambah lagi, personality-nya yang super humble dan seru. Berbanding terbalik dengan adiknya. Selain bicara soal hal-hal tadi, Mayang juga menceritakan bagaimana kehidupan kampusnya.

Kalau boleh jujur, Giska senang mengenal Mayang.

Dan jika harus meladeni obrolan mereka sampai pagi, Giska menyanggupinya.

"Tapi susah gak sih, kak masuk UI?" Tanya Aci begitu melihat Mayang meletakkan gelasnya.

"Tapi sesusah-susahnya masuk, lebih susah keluarnya," kedua bahu perempuan itu merosot, pertanda menyerah. "Gue pengen modar sumpah rasanya, ini aja gue terakhir mandi tadi pagi lho. Gue gak mandi sore. Gak pernah mandi sore malah."

"Jorok lu." Celetuk Eja, laki-laki itu membuka toples berisikan cookies.

"Nanti lo ngerasain, deh gimana hectic-nya dunia perkuliahan," ujar Mayang. "Mumpung masih SMA nikmatin masa-masa ini. Karna apa ya... masa SMA emang beneran masa yang paling indah buat gue. Karna temen segila dan segokil di SMA belum tentu ada lagi di kampus lo nanti. Sekalipun ada, yah gak semuanya se-real di SMA,"

Pandangannya sekilas melirik Aci yang hari ini mengenakan jaket berwarna pink dan rambutnya diikat satu ke belakang. Sementara Giska hanya tersenyum simpul sambil memilin ujung kaosnya.

"Ngomong-ngomong," kata Giska lagi. "Kenapa lo ambil teknik industri, Kak?"

"Sebenernya sih gue gak suka, tapi gue ngerasa everything made by technology," ujarnya, kembali menceritakan hal yang ia ceritakan pada semua orang. "Jadi ya saat itu gue pick what the world's needed, not what i like. Dan sekarang gue bener-bener yang se-nyesel itu,"

"Karna kalo lo kuliah gak sesuai sama passion lo itu percuma," lanjut Mayang. "Mubazir uang dan waktu,"

Eja menyipitkan matanya, sebenarnya ia membenarkan juga maksud omongan Mayang, karena ia pernah terjebak di situasi yang sama. Ia salah mengambil ekskul, hanya karena memang ikut-ikutan temannya. Namun, laki-laki berjaket hijau tua itu hanya memasang raut muka datarnya. Toh, ekskul gini kan... bukan jurusan pendidikan.

"Emang sebenernya lo mau ambil apa, Kak?" Tanya Giska.

"Maybe... yang berbau kesenian gitu," sahut Mayang. "Photography atau design interior gitu sih."

"Hobi moto-moto, Kak?" Ini suara Aci.

"Banget." Sahutnya, semringah. "I'd love aesthetic things,"

"Kalo gitu kenapa gak cabut dan pilih kuliah seni aja?" Eja melirik Aci di sebelah kirinya sekilas sebelum akhirnya melirik perempuan berkemeja flanel di sebelah kanannya.

"Karna gak semudah itu," Mayang menjeda dua detik. Sebelum akhirnya melanjuti, "Pertama, belom tentu dibolehin orangtua. Kedua, belum tentu lo hoki, lolos di universitas yang lo mau."

Ketiga anak yang kebetulan masih duduk di bangku SMA itu hanya saling bertukar pandang, dan diam-diam mulai menyusun siasat untuk persiapan mereka di kemudian hari.

"Kalo aja Si Bengal pinter, pasti gue bebas deh mau kuliah di mana," Mayang melanjuti. "Karna dia bengal sih jadinya ribet gini. Gue mulu yang disorot di keluarga gue,"

"Si Bengal?"Aci berpikir tujuh detik. "Oh, Widura?"

Mayang hanya mengangkat kedua alisnya sebagai jawaban.

Suara dering ponsel Eja mengintrupsi obrolan mereka. Namun, begitu melihat Eja beranjak, ketiga perempuan itu mengobrol lagi. Sekarang pembahasannya lanjut ke make up dan outfit brand kenamaan mall.

"Ci, gue udah ditelfonin, nih." Eja memasukkan ponselnya ke saku. "Yuk ah"

"Gue juga nih nyokap gue udah nge-chat"

"Ih, buru-buru banget?"

"Tau lo, bilang aja mau berduaan!" Tuding Mayang, disambut jentikkan jari dan tawa Giska.

"Yeee! Gak gituuu!" Eja menggeleng geli. "Astaghfirullah, bener-bener, deh kalian."

"Basi. Gue juga pernah ngerasain kali," celetuk Mayang seraya mengumpulkan anak rambutnya dan menguncirnya ke belakang.

"Yaudah nih ya?" Aci cengar-cengir, ia bangkit dari tempatnya.

"Yaudah ya." Eja bersalaman dengan Mayang dan Giska bergantian. "Kita pamit, nih. Makasih loh, Gis, Kak."

"Iya," kata Giska. "Makasih juga ya, kalian udah mampir."

"Yaudah duluan ya," ujar Aci setelah bersalaman dengan Mayang.

"Hati-hati!"

Melihat mobil Eja melintas dari sela-sela gerigi pagar, Mayang dan Giska yang masih duduk di teras hanya saling melemparkan senyum satu sama lain.

"Ng.. Gis, gue pulang agak belakangan gak papa nih?"

"Oh gak papa dong, Kak. Masa gak boleh," sahut Giska, jujur.

"Iya, soalnya ada yang mau gue omongin gitu sama lo, tapi momennya baru pas sekarang,"

Giska sempat tercengang selama dua detik. Pikiran Giska langsung tertuju pada satu hal. Ia connected maksud Mayang, namun ia langsung memasang ekspresi biasa saja, pura-pura tak tahu apa-apa.

"Hm... mau ngomongin apa, Kak?"

Diamnya Mayang setelah Giska menyahut, membuat keduanya terperangkap dalam suasana yang jauh berbeda dibandingkan yang sebelumnya. Ingin rasanya Mayang menutup mulutnya lagi, namun semua terlanjur, lagipula jika ia mengulur waktu lagi, kapan semuanya akan selesai?

Karna dia merasa punya andil di kasus ini.

Mengingat fakta bahwa dirinya jugalah bukanlah sepenuhnya korban, melainkan pelaku. Ia merasa harus bertanggung jawab atas semua ini.

"Gue mau minta maaf soal Widura, sebagai kakaknya ya paling nggak gue— gue gak ngerti juga kenapa adek gue bisa begini."

"Nggak papa, kakak gak salah, kok." Giska melembutkan suaranya, karna menurutnya ini bukan salah Mayang.

"Dan... soal itu, gue juga minta maaf,"

Juga untuk hal ini, ini hanyalah masa lalu Mayang dan Kievlan.

Lagipula untuk apa disesali?

Tidak ada efek juga. Hal itu kan terjadi bukan karna unsur paksaan, tapi bukan juga sepenuhnya karna kecelakaan. Tapi, karna kekeliruan.

Dan, sebenarnya yang keliru bukan hanya mereka. Giska juga.

"Itu kan udah masa lalu, kak. Gak ada yang perlu disalahin, kok." Giska akhirnya bersuara. "Sekalipun ada— ya gue yang salah, karna gue yang keliru."

Mayang menghela napasnya. Terbesit kekhawatiran dalam dirinya sembari ia merangkai kata-kata yang pas. Mata teduhnya memandangi Giska sedang duduk di teras bersamanya.

"Kievlan orang baik, Gis," ujar Mayang. "I've know him more than ten years. He's my neighbor."

"I know," ungkap perempuan yang kini mencengkram ujung jedaynya dengan ibu jari dan telunjuknya.

"Malam itu, sebenernya yang salah bukan Kievlan, tapi gue. Gue tau sih ini gak etos banget untuk diceritain, tapi gue ngerasa lo berhak tau," ungkapnya, throwback ke masa itu.

Giska menelan ludahnya cukup dalam, bersiap menelan kepahitan yang akan ia terima beberapa detik lagi.

"Waktu itu gue lagi nginep di Puncak sama Widura, dan Kievlan. Kita nginep di villa neneknya Kievlan. Awalnya gue lagi bosen sendirian di kamar. Gue ke kamar Widura, gak ada. Dia lagi pergi, gak tau kemana," jelas Mayang. "Yaudah, gue akhirnya ke kamar Kievlan, dan lo tau apa yang gue liat malem itu? Gue liat dia lagi nenggak aseton."

Giska langsung memajukan kepalanya.

"Aseton? Pembersih kuteks?"

Mayang mengangguk dua kali.

"Jadi gini, pas banget gue liat dia lagi giting gitu. Gue bener-bener kayak shock sampe nangis parah liat dia gitu, dia juga sempet nangis. Tapi nangisnya kayak ditahan-tahan, akhirnya gue pilih buat temenin dia malem itu. Gue yang bener-bener gak kemana-mana, dan stay di sebelah dia sampe akhirnya—" Mayang menjeda sejenak. "We were drunk,"

Giska tidak besuara. Mayang juga tidak mengatakan apa-apa. Gadis berkemeja flanel itu nampak dilema oleh berbagai pertimbangan di kepalanya, dan gadis berkaos putih di depannya masih setia menanti kalimat lainnya.

"Gue sih yang goblok saat itu, gue ngasih dia alternatif lain dengan minuman itu," akunya. "Dan— yah lo tau sendiri lah kelanjutannya."

Meski dengan mata terpejam, Giska tetap diam, mendengarkan.

"Paginya gue bener-bener yang panik. Gue bahkan gak sadar sama sekali kalo gue udah dalam keadaan naked at that morning, dan Kievlan juga."

"Yaudah gue keluar dari kamar Kievlan, terus gue baru buka pintu, dan lo tau apa?" ujarnya. "Gue papasan sama Widura pas keluar dari kamar Kievlan."

Sekilas beradu pandang dengan gadis yang duduk di hadapannya, Mayang bisa melihat bagaimana Giska sekarang merasa tidak nyaman, dari cara gadis itu menggigiti bawah bibirnya, jelas sekali ia terlihat risih. Atau lebih tepatnya; takut mengetahui fakta lain yang belum ia ketahui.

"Setelah kejadian itu hubungan mereka bener-bener gak se-close dulu."

Giska melepas gigitannya.

"Mungkin Kievlan karna gak enak, dia sok-sok yang biasa aja kali ya sama Widura, act like nothing happens gitu lah. Nah, Widura mungkin yang emang wataknya dingin ya dia dingin ke Kievlan, kayak ke semua orang dan saat itu gue mikirnya Widura gak ngeh-in kejadian itu.

Tapi, setahun beberapa bulan kemudiannya saat baru masuk SMA, Kievlan sempet jadian kan tuh sama... Estrella-Estrella itu."

Giska mengangguk, seolah memberi tahu kalau ia sudah tahu soal dua kejadian itu.

"Dan, yang gue tau Widura sempet flirting ke cewek itu," ujar Mayang. "Posisinya saat itu Kievlan udah pacarin si Estrella itu."

"Caught cheated, they broke up." Alis Mayang tertaut, "Dan setelah itu, Widura jauhin Estrella lagi."

Giska masih belum bersuara, ia tak tahu harus berkomentar apa. Jadi respon bisa gadis itu berikan hanyalah senyum simpul. Karna, ia sadar jika posisinya sekarang the new Estrella diantara dua laki-laki itu.

"Sumpah ya kalo Eja gak ceritain ini semua, mungkin gue gak bakal ada di sini ceritain semua ini ke lo. Makanya gue tau persis kenapa Widura memilih dendam dengan cara seperti ini."

Senyum Giska memudar, ia mulai terusik. "Kenapa?"

"Karna dia tau luka terbesar Kievlan apa."

"Cause he taught, Kievlan will did what his father did." Tutur Mayang. "Mungkin dengan cara rebut Estrella atau lo— he could..."

Satu alis Giska tertarik ke atas, terlihat penasaran dengan maksud statement terakhir Mayang.

"As we know, kejadian Puncak itu bertepatan dengan dua bulan setelah ayahnya meninggal, dan nyokapnya ditangkep."

Posisi duduk Giska berubah setelah mendengar kata akhir yang terlontar dari mulut Mayang. Namun, sebisa mungkin, ia menyembunyikan hal tersebut di balik mimik wajahnya yang tetap tenang.

"Ditangkep?" Tanya Giska, khas dengan nada diplomatisnya.

"Ini mungkin bener-bener gak pantes ya gue ngomongin masalah keluarga orang," kata Mayang. "Emang lo gak tau kalo nyokapnya Kievlan napi?"

Konstentrasi Giska mendadak buyar. "Napi? Narapidana?"

Dengan gerakan kikuk, Mayang mengangguk.

Sementara Giska yang melihat pergerakan kepala perempuan itu langsung meremas kedua lututnya. Gadis itu menutup mulutnya rapat-rapat, tercengang dengan fakta lain yang baru saja ia ketahui.

Ia tidak pernah menyangka, sama sekali, bahwa ada seseorang yang selama ini menyimpan rahasianya serapat itu. Giska tidak pernah tau karena ia tidak ingin memaksa orang untuk menceritakan masalahnya padanya. Ia selalu berusaha membiarkan Kievlan terbuka tanpa desakan darinya.

Giska pikir setelah kejadian kemarin-kemarin, ia mengenal Kievlan lebih dari siapapun. Namun tujuh detik yang lalu, ia mendengar fakta lain yang tidak pernah dikatakan oleh siapapun, termasuk Kievlan sendiri.

"Nyokapnya Kievlan dipenjara karna ngelindungin suami barunya yang kebetulan seorang pengedar."

Seketika awan kelabu menaungi teras rumah Giska.

Mata Giska terasa memanas, gadis itu lupa jika beberapa waktu lalu dirinya sempat tertawa terbahak-bahak.

"Dan lo tau death cause-nya bokapnya Kievlan apa?"

"Kata Kievlan gak sakit,"

Giska menghela napasnya cukup lama, gadis itu harap-harap cemas melihat Mayang yang nampaknya akan mengungkapkan kenyataan lain—yang sejujurnya ia takuti.

"Iya emang gak sakit physically. But, mentally." lanjut Mayang. "Karna Om Tara bunuh diri, setelah tau istrinya selingkuh— beberapa hari kemudiannya dia ditemukan tewas di kamarnya."

Air mata pertama Giska jatuh saat itu juga. Sementara Mayang hanya mengubah posisi duduknya, ia menghirup napas panjang sebelum bercerita lagi.

"Sempet masuk berita, kok kejadian itu. Kan kakeknya Kievlan pengusaha tekstil nomor satu di Bandung." Lanjutnya. "Emang Om Tara bunuh dirinya gak yang gantung diri atau loncat dari ketinggian. Tapi, dia nenggak racun tikus dan dua ratus pil tidur."

Setelah menyelesaikan kalimatnya, Mayang mengambil ponselnya yang sejak tadi tergeletak di meja dan menggenggam benda itu erat-erat, menjadikannya sebagai pelampiasan atas rasa bersalahnya dan semua beban yang memenuhi kepalanya sekarang.

"Dan, gue gak kebayang gimana rasanya jadi Kievlan," tambah Mayang. "He only fourteen at that time. He lost his life, his parents and some people that he loved."

Giska tidak dapat menahan isakannya saat mendengar dua kata terakhir dari mulut Mayang. Seolah ingin berbagi empatinya, Mayang memajukan tubuhnya. Ia mengusap bahu gadis di depannya, dan menghentikan ceritanya untuk beberapa detik.

"Gue— mau meluk Kievlan, Kak."

"You could." Mayang mengangguk tiga kali, seolah mendukung niat Giska.

"But he wouldn't."

"Lo belum coba."

Giska menggeleng dua kali.

"You should." Tegasnya.

Giska menghela napasnya, namun tangisannya belum reda.

"Dia mampu kok," Mayang bicara lagi. "Kalo dia gak kuat, gak mungkin dia masih survive sampai sekarang. Walaupun dia gone wild dan gak jelas, dia cuma gak mau neneknya dan Aufar liat dia yang sekarang."

"Dia itu bener-bener gak punya figur yang bisa dia jadiin role model," lanjut Mayang. "Karna selama ini, dia cuma dikasih uang sama tantenya. Hidupnya keliatan fine-fine aja. Orangnya suka ketawa-ketiwi gak jelas kayak orang bego, tapi sebenernya dia— sehancur itu."

Giska benar-benar tercengang dan takut. Gadis itu enggan membuka mulutnya.

"Gak semua orang bisa bahagia karna uang,"

Sendatan Giska mulai terdengar, gadis itu menutup kedua matanya dengan satu telapak tangannya. Enggan membayangkan masa-masa yang telah Kievlan lewati dua tahun yang lalu.

"Worst case-nya he could suicide, if he didn't have Eja, Rajas, sama Tamam surrounding him. Pasti."

Kematian.

Pengkhianatan.

Dua hal itu mengelilingi hidup Kievlan.

Yang Giska tak sangka-sangka bagaimana bisa sosok itu menyembunyikan luka terbesarnya sedemikian rapat untuk dirinya sendiri?

"Dan gue tau banget," kata Mayang. "Widura lakuin ini, supaya Kievlan bakal lakuin apa yang papanya lakuin,"

Hidung Giska mulai tersumbat, ia sudah tak bisa bernapas lewat hidungnya.

"Dia mau Kievlan berakhir seperti mendiang papanya," lanjut Mayang. "That's it."

Gmn part ini guys?

Maaf ya slow update, kalo konflik emg gitu, supaya lebih dapet gt guenya

Oh yaa untuk sekarang gue ga nulis author's note panjang2 karna gue gamau nulis berlandaskan rasa terpaksa atau gak enak gt. Jadi gue hanya ngomong poin2 penting aja yaa

Btw gue kok jd suka mayang ya (lah wkwkw)

Dan buat yg nyariin Kievlan/Widura ada di next chap tenang wkwkw

Terima kasih kalian, ilysb!❤️

/Its Mayang!/

(Gue gak pap giska/kipli/widura dulu. Biarin mayang aja ya wkwkw)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top