42. Jalan Tengah

Hai gaiiisss!!! Happy satnight!

Btw khusus part ini gue kok ngerasa deg-degan ya? Wkwkwkw semoga aja kalian ga ngerasain hal yang sama soalnya gamang gitu rasanya

Wkwkwk apasi gue yaudah yuk tekan votenya demi kesejahteraan naif team🌝

The Japanese Dream - Saw You in a Dream

X

We The Kings feat. Elena Coat - Sad Song

Anika langsung menurunkan ponselnya dan memasukkan benda itu ke saku. Selain terkejut melihat kedatangan Giska di rooftop, ia juga merasa bersalah atas ucapannya tempo hari.

"Hai." Sapa Giska, serak.

"Hai..." Anika menyahut kikuk.

"Aigoo, why are you look so bare?" Aci langsung mendekati Giska, memegang lengan temannya itu.

Bibir Giska tidak menjawab. Ia hanya menggeleng sambil terkekeh pelan.

"Bentar lagi birthday party Ella nih, guys."

Anika menoleh ke Aci, alisnya terangkat dan matanya membesar seakan-akan memberi peringatan kepada temannya bahwa tidak seharusnya ia menyebut nama itu. Karena ia yakin jika hal ini ada kaitannya dengan Estrella—entahlah, itu yang Anika rasakan.

Nggak connect maksud Anika, Aci hanya memutar matanya dan menatap Giska lagi.

"Iya. Dia ulang tahun," kata Giska. "Kita surprise-in apa ya enaknya?"

"Mmm ala-ala Tumblr aja kali ya?"

Anika diam, memandangi Giska dan Aci bergantian, berusaha memahami mood Giska dari guratan mata hazel itu. Ada luka dan amarah yang terpendam di sana. Karena, ia tahu betul jika Giska bukanlah pembohong yang pintar.

"Contohnya kayak gimana?"

"Bentar, dia sukanya apa?"

"Dia suka Little Pony, dan every single purple things. Noted." Kali ini Anika yang bersuara.

"Kalo menurut lo enaknya kasih apa nih, Gis?"

"Gis!" Tegur Anika. "Jangan bengong!"

Giska terenyak, dan tersadar dari pikirannya yang mendadak penuh dengan hal-hal random, Giska kehilangan seperbagian fokusnya. Berusaha terlihat normal, perempuan itu melipat kedua tangannya di depan dada.

"Gue pasif aja."

"Oke, fixin aja dulu kira-kira kita perlu patungan berapa buat acara ini."

"Bebas," kata Giska.

"Are you okay?"

Pertanyaan yang dilontarkan Anika, spontan memicu Giska menahan napasnya dan menegang di tempatnya berdiri. Meski ia yakin Anika dan Aci tidak melihat perubahan kecil itu, tapi perasaan Giska semakin berkecamuk.

Alih-alih menghirup udara, perempuan itu mengangguk mantap. "I'm fine. Super fine."

"Come on. Just tell us," Anika merendahkan intonasinya, berusaha membujuk temannya. "Belakangan ini lo tuh aneh banget, Gis."

Giska langsung menoleh ke Anika. Ia menurunkan tangannya, dan meremas kesepuluh jemarinya dibalik pinggang bagian belakang.

"Sekalipun gue kasih tau apa penyebabnya. Memangnya kalian bakal jujur ke gue?" Giska tidak sanggup lagi berpura-pura.

"Maksudnya?" Ini suara Aci. Terus terang ia deg-degan meskipun ia tidak terlalu paham maksud pembicaraan Giska itu apa.

"Udah lah."

"Gis." Anika maju, dan meraih tangan Giska. "Just let it out. You won't get hurt, don't you?"

"But, i am now." Giska mulai merasakan matanya memanas lagi, perempuan itu mendongak, mencegah buliran yang menggumpal itu turun merembesi pipinya.

"Wae-yyeo?" Aci langsung khawatir, ia mendekati Giska dan memegang pundak kanan Giska.

Giska terdiam.

Anika dan Aci juga diam, masih setia menunggu mulut temannya terbuka.

"Kenapa, sih kalian gak pernah kasih tau gue?" ujar Giska, tujuh detik kemudian.

Baik Anika maupun Aci cukup terkejut mendengar pertanyaan yang diajukan kepada mereka. Otomatis Aci bergeser, dan pindah di depan Giska, ingin menatap lekat wajah temannya yang terlihat kuyu dan bengkak itu.

"Kasih tau apa?" Sebisa mungkin Anika menyembunyikan hal ganjil yang sempat terbesit di kepalanya. Sebisa mungkin ia memasang mimik wajahnya yang tetap tenang.

Sementara Aci garuk-garuk kepala, bingung harus berkata apa.

"Why did you guys hiding it from me?" Suara Giska nyaris hilang di dua kata terakhir.

"Giska... mereka berdua itu udah selesai. Gak ada yang perlu dibahas lagi," kata Anika, yang sejak tadi paham arah pembicaraan ini.

"Tapi kenapa gue kayak orang tolol di sini? Kenapa kalian biarinin aja gue di posisi gak tau apa-apa kayak gini?" Intonasi Giska meninggi walaupun patah-patah.

"Sebenernya ini alasan kenapa gue larang lo pacaran sama Kievlan." Anika berujar pelan, namun tegas. "Cause i know it'll be happen. And now, it just happened."

"But why haven't you told me?"

"Itu bukan kapasitas kita, Gis buat kasih tau lo. Yang punya cerita itu mereka bertiga, dan mereka bertiga yang berhak ceritain." Anika lalu berpaling ke Aci. "Ci, lo ngomong dong jangan diem aja."

Aci membenarkan posisi berdirinya dan mengeluarkan sebungkus basreng dari saku kemejanya, dan meremas cemilan itu kuat-kuat.

"Ya gimana? Gue juga bingung jelasinnya. Yang gue tau sih dulu mereka pacaran gak sampe dua bulan, gara-gara Ella selingkuh sama Widura."

Selingkuh? Ella?

"Gak mungkin," Perempuan berjedai pink itu menoleh ke kanan, tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan Aci.

"Everybody is a sinner, Giska, jadi gak menutup kemungkinan seorang Estrella Rivera yang dicap polos bin alim itu gak punya dosa," jelas Anika, memperjelas statement Aci barusan.

"Ya okay tapi—" Giska menelan ludahnya. Tenggorokannya tercekat. "Yang gue gak habis pikir tuh kenapa harus Ella sih?"

Aci dan Anika terdiam memandangi Giska.

"Dulu lo pengennya gue sama Ghazi kan, Nik. Oke, gue sempet baper sama dia. Tapi apa? Dia naksir Ella." Giska menjilat bawah bibirnya yang memucat. "Yaudah. I've let it be."

"But, then, gue sempet ngerasain something sama Widura, ternyata apa? Dia gebetannya Ella."

Aci berhenti meremas basrengnya. Ia langsung berpaling ke Anika yang kini menatapnya. Entah apa yang ada di kepala Anika sekarang, pokoknya Aci merasa sepemikiran dengan Anika sekarang.

"Terus sekarang... Kievlan. Cowok gue sendiri mantannya dia. Like— why always her?!" Emosi Giska semakin meradang. Anika kini memberi usapan lembut di pundak sahabatnya. Setidaknya, hanya itu yang dapat ia lakukan saat ini.

"Kenapa harus percintaan gue terus-terusan berkaitan sama Ella?" ujar Giska. "Kenapa harus Ella? Kenapa harus Ella sahabat sekaligus temen sebangku gue sendiri?"

Giska menunduk, menatap batu bata merah-abu yang kini dibasahi rintik-rintik gerimis kecil. Pergerakkan kepalanya ini jugalah yang mendorong airmatanya tumpah.

Bukan hanya merasa dibohongi, Giska juga merasa dipermainkan.

Jika saja bukan Estrella yang ternyata dulu diincari oleh Ghazi. Jika saja bukan Estrella kekasih dari Widura. Jika saja bukan Estrella masa lalu dari kekasihnya sendiri.

Semuanya tidak akan sesakit ini.

"Dan, parahnya gue gak pernah tau tentang mereka berdua. Entah memang Kievlan yang gak mau terbuka ke gue atau gimana, gue nggak ngerti sama jalan pikiran dia."

Merasa lebih membaik, Giska menghirup napas lewat mulut. Ia butuh pasokan oksigen yang banyak. Hidungnya tersumbat karena dipenuhi cairan putih di dalamnya.

"Giska, mungkin Kievlan tuh gak mau kasih tau lo karna dia tau endingnya lo bakalan sakit hati banget. Terus kalo dipikir-pikir di sini gak ada yang salah, kok. Karna posisi Kievlan dan Ella kan udah pisah, jadi dia pikir ya buat apa juga ceritain kisah yang udah gak ada artinya lagi, gitu." Anika bersuara lagi setelah melihat pernapasan Giska yang kini lebih teratur dibandingkan tadi. Sementara Aci hanya mengangguk, menyetujui argumen Anika barusan.

"Percuma. Sekarang gue juga udah sakit hati."

"Sekarang gini, deh. Lo lebih baik tau tapi sakit hati atau gak tau tapi bahagia?" Anika menoleh  ke  kanan,  bertanya  pada Giska yang sedang mencoba mengatur perbapasannya.

Perempuan berjedai pink itu terdiam seribu bahasa.

"Mungkin Kievlan mikirnya lo lebih baik kayak yang di opsi ke-dua, jadi ya lo tetep bahagia aja walaupun lo gak tau apa-apa. Dan, pasti cepat atau lambat Kievlan bakal ceritain kronologinya kayak gimana. Percaya deh sama gue." Anika menambahi.

"Lagipula udahlah, Gis. Mereka juga kan udah lama. Kievlan pasti udah lupain Ella dari lama juga." Ini suara Aci.

"Oh, berarti dengan cara simpen kenangannya sama Ella itu tandanya dia beneran udah lupa? Begitu?" Tepat saat mengatakan itu, suara rintikkan gerimis di udara berganti dengan gemuruh dibalik awan.

Di lorong kantin, Tamam dan Eja  yang sedang berjalan tidak sengaja berpapasan dengan perempuan berjedai pink yang  sejak  kemarin selalu kemana-kemana sendirian.  Meski mereka satu kelas, melihat Giska agaknya seperti melihat sosok yang stranger di mata mereka.

Terlihat Giska berjalan sendirian menuju perpustakaan, dan mereka tentu heran melihat tingkah Giska yang sudah hampir seminggu ini berperilaku seperti itu.

Diam, dan mengunci diri.

"Otang mana Otang?"  tanya Tamam dengan satu tangan memutar tongkat baseball.

Yang  ditanya  mengangkat  kedua  bahunya  bersamaan.  Namun  tepat  setelah  ia  berhenti melakukan gerakan tersebut,  seseorang  yang  sangat  mereka  kenali  datang  dari  arah belakang. 

"Gue kebelet boker nih, Ja."  ucap Tamam, berhenti memutar tongkat baseball.

"Terus butuh jasa cebok?"  Eja mengernyit.

"Boleh tuh."

"Tunggu Kipli, mau kok dia ntar."

"Yeee apaan si. Receh lu, kambing!" Tamam tertawa. Ia lalu merangkul bahu Eja.

"Ngomong-ngomong si Kipli sama Otang mana ya?"

"Belom bangun paling."

"Pagi, my men." Seperti biasa, Kievlan menerobos di tengah mereka dari belakang. Laki-laki itu melepas rangkulan Tamam di bahu Eja, dan dengan tengilnya ia berjalan di tengah Tamam dan Eja.

Meski seperbagian hatinya masih terasa sakit, Kievlan merasa bahwa dirinya bukanlah korban di sini.

"Wes! Panjang umur!"

"Eh, Pli, barusan ada si Gis—"

"Iya gue juga liat," potong Kievlan. "Tiap hari juga liat."

"Kenapa sih kalian?" Ujar Eja. "Berantem lagi?"

"Berantem mulu dah perasaan new couple ini."

"Anjay new couple, dong."

"Kok kayak udah lama deh, Pli lo nggak bareng Giska lagi?"

Kievlan belum membahas permasalahannya dengan Giska, kepada siapapun itu termasuk ketiga sahabatnya. Banyak sekali hal yang terjadi dalam kepalanya selama dua hari terakhir. Ia perlu mencerna beberapa kejadian yang masih menimbulkan rasa ngilu di dadanya.

Kievlan merasa kali ini ia perlu menyelesaikan sendiri masalahnya, tanpa harus temannya turun tangan. Ia hanya ingin belajar bertindak sesuai keinginannya sendiri. Bukan orang lain.

"Hoii!" Tegur Tamam. "Ditanyain malah bengong."

"Dia lagi pengen dianter bokapnya Anisa Bahar."

"Wah, gede tuh anaknya." Komentar Tamam. "Boleh juga tuh, Pli."

"Bangsat!" Sontak Eja mendorong bahu Tamam dari belakang.

"Yeee! Anaknya tuh Juwita Bahar, bego bukan Anisa, Anisa mah emaknya!" Timpal Kievlan, ikut julid.

"Lagian berantem kenapa lagi sih lu berdua?" Tanya Eja.

"Yah, biasa dah."

"Sabar  sabar,"  kata  Tamam.  "Cewek mah emang  begitu."

"Lu mah enak, Mam," ujar Kievlan.

"Iya dong. Single tuh bebas dari kebucinan kayak lu berdua."

"Tai."

"Nah ini." Kievlan langsung menoleh ke Eja sambil menunjuk Tamam di sebelah kirinya, "Belom aja ya dia ngerasain, Ja. Kasih tau, Ja!"

"Ntar lu, Mam sekalinya jatuh cinta langsung bucin abis," sahut Eja. "Iris dah kuping gue kalo nggak kejadian."

"Oh, nggak. Gue yang ada dibucinin cewek gue nanti." Tamam mengedikkan kedua bahunya dan menyeringai ala youtuber gapapa-jelek-yang-penting-sombong.

"Berak."

"Ngomong-ngomong, pentas seni besok kan ya?"

Merasakan ponselnya bergetar, Kievlan langsung mengeluarkan benda itu dari sakunya. Layar menyala, menampilkan notifikasi pesan yang dapat terbaca di homescreen.

Geriska Cantika: ada yang mau gue omongin pulang sekolah

Geriska Cantika: gue tunggu lo di atap

"Udah lama nunggunya?" tanyanya begitu berhadapan dengan laki-laki berjaket baseball biru itu.

"Dari jaman masih jadi zigot," jawab Kievlan asal. Meskipun ia terlihat begitu slengean, namun debaran di balik dadanya tidak bisa dielak. Terus terang ia merasa senang melihat Giska di depannya sekarang.

"Nice joke." Giska tersenyum terpaksa. Pandangannya beralih ke awan putih di atas kepala Kievlan. Lalu gadis itu batuk pelan untuk menghilangkan rasa gugup dan keraguan yang ada di dalam dirinya.

Melihat mimik wajah Giska yang agaknya kurang enak dipandang, rasa senang yang tadi menyelinap di dadanya seketika digantikan oleh perasaan gelisah. Meskipun Kievlan tidak bisa menebak apa yang akan dikatakan Giska.

Ralat, bukan tidak bisa, tetapi tidak mau.

Kievlan benar-benar takut jika ekspektasinya untuk berbaikan dengan Giska tidak terealisasikan.

"Nenek apa kabar?" ujar Giska, setelah keheningan panjang.

"Hm—sehat, kok dia." Kievlan mendadak salah tingkah.

"Oh," Giska menghirup napas pendek. "Aufar?"

"Baik juga," kata Kievlan. "Lo sendiri, nyokap sama Gita gimana?"

"Baik."

"Nanti dijemput Pak Bahar lagi?" Tanya Kievlan berusaha menyembunyikan rasa canggung di dirinya. Kedua tangannya yang tadinya dimasukkan ke saku celana, kini ia keluarkan.

"Iya," jawab Giska.

Giska lalu menunduk sekilas. Ia memasukkan ponselnya ke dalam saku kemejanya. Masih memperhatikan lantai keramik di bawah, tanpa ingin mengeluarkan suaranya. Membuat Kievlan gemas sendiri. Pikirannya sudah tertuju kepada kejadian kemarin yang berharap Giska menerima permintaan maafnya atas sikapnya. Tapi gadis di depannya masih saja diam.

Si Jawa lemot banget yak heran gue. Udah kek buruan bilang iya gue maafin lo. Kan gue capek puasa nyiumin pipinya!

Gregetan, Kievlan berdecak dan maju satu langkah hingga akhirnya Giska mendongak dan menatap jelas dirinya bayangan dirinya yang tengah mati-matian menahan diri untuk tidak memeluk Kievlan sekarang juga.

Ya Allah, kenapa cewek ribetin banget?

"Gis?" Kievlan akhirnya bersuara.

"Iya?"

"I'm happy you're here with me right now." Kievlan tak sadar jika ia menekankan kalimatnya.

Giska menghela napas. Selain dapat merasakan ketulusan di kalimat tadi, ia juga dapat melihat kejujuran di mata biru depannya. Gadis itu menegakkan punggungnya, matanya kini beralih pada kening kekasihnya.

Tanpa diduga gadis itu menyentuh kening laki-laki itu pelan. Membuat jantung Kievlan berdegup kencang. Kievlan otomatis mengerjap.

"Ini kenapa?" Giska mengusap pelan memar di kening kekasihnya.

"Kejedot," sahut Kievlan membiarkan tangan gadis itu mengusap keningnya.

Giska menghela napas lelah.

"Jangan luka lagi." Hanya itu yang dapat Giska katakan, yang lainnya masih tertahan di ujung lidahnya.

"Iya."

Kievlan akhirnya menghentikan usapan tangan lembut di keningnya. Diremasnya tangan gadis itu dan tak lama ia genggam.

Namun, genggaman kali ini berbeda. Tidak sehangat dan senyaman yang dulu. Telapak tangan laki-laki itu terasa dingin dan kaku. Tidak seperti dulu.

Itu yang Giska rasakan.

Perlahan, Giska melepaskan genggaman Kievlan. Kievlan tentu terkejut, degupan di balik dadanya sudah tak terelakkan lagi. Perutnya mendadak sakit.

"Jadi lo mau ngomongin apa?" Kievlan melembutkan intonasinya. Sontak Kievlan mengumpat dalam hati, ia menyesali mulutnya yang malah mengeluarkan kata-kata itu. Sebenarnya menebak apa yang akan keluar dari mulut kekasihnya saja ia tak berani.

Apalagi untuk mendengarnya nanti.

Berusaha terlihat santai, Kievlan sekarang bersedekap dada. Sementara Giska membisu. Ia bahkan juga terlalu takut untuk mengatakan hal ini.

Di tengah keheningan yang cukup lama, Kievlan malah mengambil langkah maju.

Terlalu naif, laki-laki itu ternyata kalah oleh nalurinya sendiri, kedua tangannya terulur, memeluk tubuh kekasihnya begitu erat. Ia menghirup dalam aroma stroberi yang menguar di setiap helaian rambut gadis itu.

Biarlah Giska marah setelah ini. Biarlah Kievlan egois untuk hari ini. Biarlah apa yang terjadi nantinya. Biarlah resiko apa yang harus ia tanggung nantinya. Biarlah.

Kievlan tidak peduli.

"Gue kang—"

"Gue mau kita break dulu, Kiev." potong Giska dengan suara yang nyaris hilang.

HIYAT GIMANAA PART INI?

Wkwkw kira2 kalian lebih setuju team yang mana nih?

Kievlan-Giska?

Giska-Widura?

Giska-Ghazi?

Atau Giska-Gama?

Nahloh kok Gama dibawa2 ye? wkwkw

Dan, kalo menurut kalian sendiri lebih baik di posisi gatau tapi bahagia atau tau tp sakit hati?

Insha Allah akan cepet update karna aku makin semangat kalo makin banyak komennya hehe. Luv luv❤️❤️

/captured by Giska/

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top