38. Bukan yang Pertama

ANAK KECIL DILARANG BACA PART INI. (Part ini panjang bgt astaga)

Wkwkwkw ini part momen Giska-Kievlan doang. Pokoknya parah sih kalo gak divomment😔

Maka dari itu marilah kita sama-sama tekan pattrick. Thank you💜

The Chainsmokers ft. Rozes - Roses

X

Velvet Moon - Confetti

Cahaya oranye menghiasi langit di tiap sisi jendela mobil. Hari sudah sore, sebentar lagi maghrib. Giska memperhatikan laki-laki yang tengah mengendalikan stir mobil di sebelahnya. Laki-laki itu masih mengenakan jersey basket sudah dipenuhi keringat.

Merasa diperhatikan, Kievlan menoleh sekilas ke Giska sebelum akhirnya fokus lagi ke jalanan.

"Masa tadi aku nyaris dikolongin sama si Ipang, tau, Wir."

Giska mengusap belakang kepalanya. Tampak gusar karena terus terbayang kejadian di studio musik tadi. "Tapi kamu gak kenapa-kenapa kan?"

Kievlan menoleh dengan kening mengerut. "Hah?"

"Iya. Gak apa-apa kan?" Suara Giska berubah.

"Loh? Emang harusnya kenapa?" Kievlan masih heran.

"Tadi kamu bilang kamu dikolongin?"

"Maksud gue---" Kievlan tertawa, dan buru-buru meralat. "Eh aku kolongin itu kayak nyaris kerebut gitu bolanya, Wir."

"Oalah, kirain kali..."

"Mulai sekarang kita aku-kamuan aja nih?" Tawar Kievlan, menoleh lagi.

"Terserah kamu," sahut Giska. "Aku pasif aja,"

"Btw, kamu beli air dimana tadi?"

Jantung Giska berdebar tidak karuan dan ia menegang di tempatnya. Gadis itu tidak langsung menjawab.

"Kantin." Giska berdeham. "Bukannya aku udah bilang ya?"

"Aku kira kamu beli di Alfa," ujar Kievlan. "Abisnya lama banget perasaan."

Napas Giska mulai sesak seiring otaknya berusaha untuk mencari argumen yang tepat. Apa jadinya jika Kievlan tahu yang sebenarnya? Giska bahkan tidak berani membayangkan hal itu. Semoga kejadian tadi hanya seperti mimpi yang besoknya terlupakan.

"Iya tadi makan bentar." Giska menatap lurus jalanan di depan. Entah mengapa, ia tidak punya power untuk menatap mata kekasihnya.

"Oh, sama Anika-Aci?"

"Nggak."

"Kok aku gak dikasih makan juga?"

Giska memainkan bibirnya, melawan gugup. "Aku kira kamu udah makan."

"Yaudah kita makan dulu aja yuk."

"Nggak ah pulang aja."

"Kenapa?"

"Aku pengen kerjain makalah Sosiologi."

"Rajin bener si cewek gue." Kievlan mendorong lengan Giska, bercanda. "Ntar kalo udah beres pap ke gue ye."

"Iya."

Lalu, tidak ada lagi yang keluar dari mulut keduanya.

"Kiev?"

Kievlan menoleh. "Hm?"

"Ada flashdisk gak?"

"Ada," ujar Kievlan. "Kenapa?"

"Mau pinjem boleh?"

"Oh, coba cari dah di dashboard."

Giska mengikuti intruksi Kievlan, sementara cowok itu mematikan tape, dan menyalakan TV mobil. Ia lalu menghubungkan hotspot dari ponselnya ke TV. Laki-laki itu membuka situs streaming film, dan mengetikkan Venom di kolom pencarian sebelum akhirnya ia memutar film itu.

"Ada?" Kievlan kembali bersuara.

Giska menutup pintu dashboard, dan menggenggam flashdisk berwarna putih abu. "Ada."

"Bukanya jangan sampe ada Gita ya."

"Loh? Kenapa emang?"

"Banyak bokepnya."

Giska langsung melotot. "Kievlan ih!"

Kievlan tertawa. Giska tetap diam, fokusnya kini tertuju pada pajangan basket dan drum di atas dashboard. Pandangannya lurus, dan nampak kosong.

"Lo kenapa sih? Banyak bengong gitu?" Ujar Kievlan yang sejak tadi diam-diam memperhatikan gadis di sebelahnya.

Yang ditanya hanya menggeleng, pandangannya masih fokus pada dekorasi. Laki-laki itu menepikan mobilnya di pinggir jalan, persis di hadapan gerobak siomay.

"Bang, satu campur ya. Dibungkus aja." ujar Kievlan ke tukang siomay, lalu ia menoleh ke gadis di sebelahnya. "Lo mau gak?"

"Nggak,"

Tak berapa lama, Kievlan menutup jendela mobilnya setelah membayar siomay, ia lalu memajukan mobilnya di jejeran mobil lain. Ini nih yang membuat Giska gregetan; Kievlan hobi parkir sembarangan.

"Streaming film sambil makan siomay, enak nih."

"Gue bingung kok kita malah stuck di sini ya?" tanyanya.

Kievlan memutar bola matanya. TV mobil yang menyala di hadapannya sedang memutar Venom sejak lima menit yang lalu. "Bodo," jawab Kievlan.

"Gue serius, maksudnya, gue di sini gak jelas banget. Gak ngapa-ngapain juga."

"Enggak."

"Ih."

"Ya beda lah, Wir, ada dan nggak adanya lo di sini."

"Sama aja, Kiev," Giska tidak mau kalah.

"Beda."

"Sama."

"Beda, kan gue yang ngerasain. Beda," Kievlan menegaskan. Siomay panas yang tadi ia beli dilempar ke jok belakang. "Lo pengen jalan atau ada janjian sama orang?"

"Ya enggak lah gila, gue kan tadi gue udah bilang gak mau kemana-mana, mau kerjain makalah."

"Ya kirain."

"Jangan-jangan lo bosen ya sama gue?" tanya Giska. Ia menggenggam ponselnya dengan kedua tangan, karena posisi duduknya bersandar ke pintu mobil.

"Lah?"

"Eh, ya udah deh gue pulang aja, mesen taksi." Giska menegakkan posisi duduknya, ia membuka aplikasi ojek online.

"Ih apaan si lo bacot, diem udah!"

Giska menoleh sewot, "Kasar banget sih!"

"Iya-iya maap." Kievlan berkata prlan. Padahal, ia tahu bukan itu yang dimaksud. Tapi laki-laki itu tidak bisa melepas sifatnya yang suka asal bicara.

"Udah ah, gue balik ya?" Giska lagi-lagi berkata begitu.

"Nggak boleh."

"Lah ya udah gue tetep balik." Giska sudah membuka aplikasi ojek online. Namun, belum ia sempat membuka menentukan lokasi, Kievlan menggertak.

"Diem deh, Gis." Suaranya tegas, meski masih dibilang tenang, namun dua kata itu membuat Giska jadi berpikir dua kali. "Jangan-jangan lo kali ya yang lagi bosen sama gue?"

Giska sontak mendengus, matanya mengamati Kievlan yang sedang menatap ke arahnya di jok pengemudi. Wajah laki-laki itu nampak lelah.

"Siomaynya kok gak dibuka?"

"Ntar kalo gue buka, lu minta lagi."

Sebelum perempuan itu membalas ejekan Kievlan, ponselnya bergetar. Sontak gadis itu langsung mengambil benda pipih itu.

Layarnya menyala dan satu nama tertera di sana. Nama yang belakangan ini selalu membuatnya dihantui rasa takut dan bersalah. Nama yang membuat ia mematung hingga Kievlan menegurnya.

"Kenapa?" Kievlan tidak tahu jika ada yang menelepon Giska.

"Nggak."

Giska langsung membalik benda itu, hingga layar ponselnya agar nama yang tertera tidak terbaca. Lalu Giska melihat TV, pura-pura ikut nonton.

Giska langsung menggigit bawah bibirnya, dongkol setengah mati kenapa Widura menghubunginya. Kenapa Widura malah terkesan ingin berkomunikasi intense dengannya, bukan Estrella. Kenapa harus Giska yang jelas-jelas pacarnya Kievlan sekaligus sahabatnya sendiri?

Giska mengumpat dalam hati. Pandangannya belum ke Kievlan lagi karena ia memandang jejeran tiap ruko di jendela kiri.

Kievlan memerhatikan. Dari tempatnya duduk, laki-laki itu fokus pada Giska.

"Gue mau nanya sesuatu boleh nggak?" Ujar yang gadis tiba-tiba.

Kievlan menyandarkan punggungnya ke pintu mobil dengan pandangan berslih ke TV.

"Nanya apa?"

Giska meghirup napas pendek. "Lo sama mantan lo udah baikan?"

Mengetahui Giska langsung melontarkan pertanyaan itu, Kievlan langsung berpaling dari Venom. Ia diam sejenak, memandangi Giska yang sedang menunggu jawaban.

"Kenapa gitu?"

"Cuma nanya."

Kievlan berdeham, matanya fokus lagi ke TV. "Gue kan sama dia gak pernah musuhan."

"Terus putusnya karna apa?"

"Anjir! Bego banget si Eddie!"

Giska menghela napasnya, ini yang membuatnya kesal.

"Kiev?"

Tidak ada sahutan. Kievlan masih asyik dengan Venom. Namun Giska tahu jika laki-laki itu hanya berpura-pura.

"Lo belom bisa move on ya?"

"Apaan sih?" Suara Kievlan berubah dingin.

"Gesture lo tuh ngetarain."

"Ini kok tiba-tiba jadi ngomongin ginian sih?" Kievlan masih berusaha biasa saja. "Udah lah gue gak mau berantem. Kita nonton aja ya."

Melawan perasaan curiganya, Giska kembali menyandarkan punggungnya di pintu mobil. Namun, padangannya tetap terarah ke Kievlan. Dan, tanpa diduga oleh siapapun ia melontarkan pertanyaan yang bahkan sebenarnya dapat menjadi bumerang untuknya sendiri.

"Kalo misalkan kita udah gak sama-sama lagi. Apa kita masih bisa terus kayak gini?"

Kievlan menatap Giska tak percaya. "Lo--"

"Nggak, gue cuma nanya." Potong Giska cepat. Karena ia malas mendengar spekulasi aneh Kievlan.

"Gue gak tau, karna gue gak pernah mau bayangin hal itu," kata Kievlan jujur.

"Terus kenapa lo selalu nggak mau jawab kalo gue tanyain tentang mantan? Kayak tadi."

"Gue cuma gak mau aja bikin lo gak enak."

"Gak enak? Kok gak enak?"

"Ntar lo cemburu lagi kalo gue ceritain."

"Yaelah," Giska memutar matanya. "Mana sih fotonya? Gue penasaran sama muka dia."

Kievlan menghela napas, mau tak mau ia harus mengingat hal yang ingin ia lupakan sejak lama. Mau tak mau harus membahas hal yang sudah lama tak pernah ia bahas dengan siapapun.

"Dia cantik," sahutnya. "Saking cantiknya gue perlu nunggu seminggu buat nungguin jawaban dari dia waktu nembak."

Tahu jika kekasihnya akan bersuara lagi, Giska diam.

"Gue suka dia karna dia lembut, kalem, dan gak neko-neko."

Giska masih menyimak. Meski ada rasa cemburu yang menggerogoti hatinya, ia masih mau mendengar lebih banyak lagi.

"Gue dulu nyaris dibacok sama anak sekolah lain," lanjut Kievlan. "Kalo gak ada dia, mungkin gue udah mati kali ya."

Giska mengernyit. "Dibacok?"

Kievlan mengangguk. "Waktu dulu awal kelas sepuluh, sekolah kita sempet jadi sasaran tawuran gara-gara ada lah masalah sama Widura."

"Biasa lah drama anak cowok." Kievlan mengangkat kedua bahunya. "Gue sih gak ikut tawuran, cuma nyaris kena aja."

"Terus dia nyelametin lonya gimana?"

"Dia bukain pintu mobil buat gue," sahut Kievlan. "Yaudah gue ngumpet di mobilnya, padahal ada sopirnya di dalem."

"Terus dia kasih gue minum, padahal gue gak haus," lanjutnya. "Dan, mungkin itu awalan kenapa gue suka dia. Dia baik. Hahahaha konyol ya?"

Melihat perubahan ekspresi di wajah Kievlan mulai dari yang datar kini tertawa, membuat Giska tertegun. Meski perih, Giska tersadar akan satu hal.

Satu hal yang tak bisa ia ubah---

"Dia sempurna ya?"

---Perasaan Kievlan terhadap mantannya.

Kievlan menggeleng dengan tawa ringan. "Gak ada manusia sempurna, njir."

"Dia satu sekolah sama kita?"

Kievlan mengangguk.

"Seangkatan atau kakak kelas?"

Alis Kievlan naik sebelah. "Kepo."

"Ih!" Giska menatap Kievlan jengkel.

Keduanya terdiam. Hanya ada suara Tom Hardy yang memenuhi telinga.

"Lo punya gitu gak sahabat yang bener-bener sahabatan sama lo dari kecil sampe sekarang?" ujar Kievlan setelah jeda empat belas detik.

"Maksudnya?"

Kievlan menggaruk batang hidungnya. "Ck, sahabat yang udah temenan dari kecil tapi masih awet gitu loh sampe sekarang. Ada?"

"Nggak," sahut Giska. "Waktu gue kecil temen gue gak banyak."

"Kok gitu? Lo waktu kecil ansos?" (Ansos: anti sosial)

"Gue tuh waktu kecil gak pernah keluar rumah, punya temen ya di sekolah aja. Di rumah ama tetangga sendiri juga cuma tau nama, gak akrab gitu."

"Kalo gue dari kecil sahabatan sama Eja dan Widura," ujar Kievlan. "Karna rumah kita deketan."

Giska melipat kedua tangannya di depan dada, kembali menyimak.

"Dulu diantara kita bertiga Widura yang paling sok jagoan, pas SD lo tau gak sih saking bandelnya dia di SD gue nyaris di-DO loh."

"Kok bisa?" Respon yang Giska berikan sebenarnya tidak terlalu kaget. Namun, yang Kievlan tangkap; Giska kaget banget.

Karena, ada perasaan campur aduk setiap mendengar nama itu.

"Dia nonjok mata temen gue sampe biru, mana yang dia tonjok itu anak cewek."

"Ih, gak mikir!" Kalau ini Giska beneran kaget. Benar-benar tidak menyangka tabiat tempramental Widura memang alami sejak kecil.

Kievlan terkekeh. "Emang goblok dia mah,"

"Kalo gue dulu di SD malah pinter, dapet ranking terus. Nah pas SMP dah gue mulai nakal, gue suka cabut bareng Widura," Kievlan lanjut menceritakan tentang teman-temannya. "Kalo Eja dari dulu emang yang paling alim diantara kita. Walau akhirnya pas kelas sembilan dia mulai ikut-ikutan cabut sih," tambahnya.

"Terus kalo sama Tamam-Otang temenannya dari kapan?" Giska merespon.

"Kalo mereka dari SMA, gara-gara kita dulu pas diMOS itu sekelompok, terus yaudah mereka suka gabung di tongkrongan gue, dan gue nyambung juga sama mereka, jadi deh."

"Cuma kalo udah bareng Tamam sama Otang, Widura kayak gimana ya...." Kievlan menjeda sejenak. "Kayak jarang gabung kalo lagi kumpulan sama mereka semua."

"Mungkin dia ngerasa temennya direbut?"

"Et, kayak cewek aja." Kievlan tertawa, ia menegakkan posisi duduknya. "Kagak lah, musafir kayak dia mana mungkin begitu."

Giska hanya merespon dengan ekspresi wajah. Kadang ia ikut tersenyum, kadang juga ia melongo.

"Tapi gue gak tau ya etos apa nggak gue ceritain ini." Kievlan menelan ludahnya. Bersiap menceritakan hal yang belum pernah ia ceritakan ke siapapun. "Gue pernah cobain drugs bareng Widura."

"Ih! Bego!" Giska refleks menabok bahu kekasihnya.

"Nyoba doang sih gue." Tangan kanannya menggenggam tangan yang barusan memukulnya, menyuruhnya diam dan mendengarkan. "Tapi kalo dua kali make masih kategori coba kan ya?"

"Apa sih lo bego banget make-make gituan!" Giska marah tapi membiarkan Kievlan menggenggam tangannya.

"Yah waktu itu gue lagi depresi njir."

"Depresi ditinggal mantan?"

"Bukan lah." Kievlan menggoyangkan genggaman.

"Terus?"

Kievlan menyandarkan tubuhnya lagi, mencari posisi yang lebih rileks. "Pas papa udah nggak ada."

"S--sori-sori, gue---"

"Santuy ngapa si."

"Tapi, karna nggak adanya papa, gue jadi bisa mandiri kayak sekarang," ujarnya ketika matanya kembali bertemu dengan mata Giska. "Gue bisa tinggal sendirian di apartemen, bisa jaga diri, yah gue jadi lakuin hal-hal yang gak pernah bayangin sebelumnya."

Giska terus diam mendengarkan. Ia suka momen ini. Ia suka mendengar cerita Kievlan. Ia juga suka usapan lembut ditengah genggaman tangan laki-laki ini.

"Dan, gue sebenernya gak sepenuhnya sendiri. Mama masih ada, hubungan kita baik walaupun gue pilih gak ikut tinggal bareng dia. Terus ada nenek sama Aufar yang sayang sama gue. Sebenernya gue juga pilih gak tinggal di rumah nenek supaya Aufar gak kayak gue. Walaupun secara garis besar memang gue pengen bebas juga sih sebenernya,"

Giska mengangguk samar sebagai respon.

"Terus gue punya temen-temen yang solid, hidup gue kurang apa yakan? Finansial gue juga ada." Kievlan berhenti mengusap tangan Giska. "Eh, gue udah pernah ceritain lo tentang Tante Sandra belom?"

"Belom, siapa dia?"

"Tante gue, adeknya papa," Kievlan terdiam sebentar. "Dia sekarang yang nerusin usaha keluarga. Tadinya kan bokap gue, sekarang dialihin ke Tante Sandra yang kebetulan tinggal dia satu-satunya keturunan dari Gautama yang masih ada."

"Emang bokap lo berapa bersaudara?"

"Tiga, sebenernya. Yang pertama itu udah meninggal waktu masih sekolah. Yang kedua bokap gue, terakhir Tante Sandra," ujar Kievlan. "Dia nih yang nafkahin keluarga gue sekarang."

"Sori kalo pertanyaan gue sedikit sensitif," kata Giska, hati-hati. "Lo kenapa gak mau tinggal sama mama lo?"

Kievlan menghela napas. "Gak tau ya, mungkin karna gue gak siap terima orang baru di keluarga gue."

"Maksudnya bokap tiri lo gitu?"

Kievlan mengangguk.

"Dia jahat?"

"Gak lah, drama banget otak lo." Kievlan tertawa. "Biasa aja. Cuma guenya yang males."

Meski ekspresi wajah Kievlan biasa saja, Giska cukup peka terhadap suasana hati kekasihnya lewat genggaman tangan ini.

Giska jadi merasa bersalah.

"Ah, udah ah jangan bahas ini."

"Terus bahas apa dong maunya?" Pandangan Kievlan tertuju lurus ke manik mata hazel di hadapannya.

"Mantan."

"Elah ngapain si, gue kan udah punya lo. Ngapain masih ungkit dia?" Kievlan langsung melepas genggaman. Hal ini yang membuat kecurigaan Giska menguat.

"Lo aja waktu itu bahas Gama gue ceritain semuanya." Giska tidak mau kalah. "Dan lo bahkan tau ya muka dia kayak apa."

"Yakan itu emang momennya kita gak sengaja ketemu dia."

"Ya tetep aja. Curang lah gue gak pernah ketemu mantan lo. Tapi lo udah pernah ketemu mantan gue."

"Siapa bilang lo gak pernah ketemu dia?"

Giska refleks melotot. Maksudnya apa? Jadi selama ini mantan Kievlan orang yang Giska sering temui? "Loh----"

"Udah ah." Kievlan fokus lagi ke TV. "Gak usah recet."

"Ih!"

"Tapi, Gis, bedanya gue sama Gama itu apa?" Enggan membahas mantannya, Kievlan malah membahas mantan Giska.

"Beda. Dari fisik juga beda."

"Serius?"

Giska hanya memutar matanya sebagai jawaban.

"Atau ada nggak sih hal yang buat lo inget Gama pas lagi sama gue?"

"Hah?"

"Ya segi sifat atau kelakuan gitu kek. Ada gak?" Kievlan memperjelas maksudnya.

"Ada,"

"Apa?"

"Sama-sama clubbers."

"Gue udah jarang clubbing ya." Elak Kievla, jujur.

"Halah!"

"Dih, beneran. Ada kali gue terakhir ke club dua minggu yang lalu."

"Apa sih enaknya clubbing emangnya?"

"Rame, yang awalnya ngerasa kesepian dan bosen langsung ilang," Kievlan menjeda sejenak. "Tapi, sifat gue sama dia ada yang mirip gitu gak?"

Giska diam, tidak langsung menjawab.

"Sifat yah?" Giska mendongak, menatap lampu kabin yang mati. "Hm, beda sih. Lo kan lebih ke konyol gak jelas gitu, kan. Kalo dia tuh sweet romantis gitu."

"Makan tuh sweet!"

"Tapi dia lumayan pinter, kalo gak salah dia dapet beasiswa di Malaysia deh, tapi dia gak ambil kayaknya." Giska diam sejenak. "Terus, kalo lo tuh kan jayus ya suka ngereceh sendiri, kalo dia nggak. Banyak diemnya."

"Krik-krik dong?"

"Ah ya, kalian sama-sama gamers!" Giska memetik ibu jarinya.

"Tapi, pas dia putusin lo. Lo gimana?"

"Diantara gue sama dia gak ada kata putus, jadi yah kita udahan. Plus gue tau dia main di belakang gue, buat gue itu udah selesai."

"Berarti gue pacaran sama cewek orang dong sekarang?" Kievlan memasang wajah sok dramatis.

"Bodo, Kiev."

"Biasanya dulu dia suka banget ajak gue ke galeri lukisan. Dia paham banget sih soal lukisan gitu-gitu. Anak artsy banget. Terus juga dia selalu bilang ke gue kalo dia mau sekolah DJ setelah lulus SMA,"

Kini giliran Kievlan yang mendengarkan.

"Lo tau lagu Anugerah Terindah yang Pernah Kumiliki?"

"Tau. Sheila On7." Kievlan menyahut.

"Itu lagu kita. Lagu gue sama dia."

Kievlan terdiam, seketika perasaan dongkol menyelinap di hatinya.

"Tapi setelah gue tau dia ada main di belakang gue mendadak kayak orang linglung gitu. Tambah lagi gua difitnah yang sebarin foto ciuman dia sama Nanda, emang waktu itu gue akuin gue simpen foto itu di hp gue. Gue biarin Hani buka hp gue, karna emang gue lagi broke so bad yaudah gue kasih liat dia."

Kievlan diam, memperhatikan cara perempuan itu mengatur pernapasannya.

"Tapi yang paling sakit itu, gue gak nyangka banget Gama giniin gue. Karna gue sempet mikir dia satu-satunya buat gue, dia gak akan nyakitin gue yang gue yakinin. Pokoknya kind of that shitty words lah." Giska menjeda sesaat. "Karna apa ya? Gama itu bener-bener yang pertama buat gue, loh, Kiev. Semuanya serba pertama."

Kievlan menghela napasnya. Berusaha tidak terpukul mendengar pengakuan Giska.

"Pertama kali gue ngerasain jalan bareng cowok, ngerasain selfie ala couple, ngerasain chattingan intense, ngerasain dispesialin dan ngerasain memperlakukan cowok dengan spesial, ngerasain berantem gara-gara bales chat lama, bahkan yah first kiss gue sendiri itu ya dia. He's my truly first."

Kievlan tetap menyimak meski ada sepercik rasa cemburu, tetapi mau bagaimana lagi? Hal itu sudah berlalu. Terlalu naif juga jika berharap menjadi yang pertama.

Lagipula Kievlan sadar jika yang pertama belum tentu yang terbaik. Iya kan?

"Makanya waktu gue sama dia berakhir, gue sehancur itu, Kiev. Karna gue gak pernah nyangka dia bakalan lakuin hal itu. Karna gue udah kelewatan sayang sampe-sampe logika gue udah gak nalar lagi. Gue terlalu percaya dia."

Deretan kalimat Giska tadi membuat laki-laki itu tersadar kalau ternyata bibirnya terlipat sejak tiga menit yang lalu. Pada akhirnya mereka berdua terperangkap dalam keheningan yang begitu panjang. Dan, pandangan mereka tertuju pada layar TV di depan.

"She loves somebody else." Kievlan akhirnya bersuara setelah hening lima menit.

Pandangan Kievlan memang tertuju pada film Venom masih berputar, meski sebenarnya ia sudah kehilangan minat terhadap film itu. Dan kini, Giska yang merasakan sesuatu yang tidak menyenangkan setiap ia memandangi kekasihnya.

"Kiev," Tegur Giska pelan.

"Hm?"

Perlahan tapi pasti, Giska mengangkupkan wajah Kievlan, hingga laki-laki itu menatapnya seutuhnya. Demi apapun Giska bersyukur getaran di dadanya pada Kievlan masih ada. Setidaknya perasaan yang ia miliki terhadap laki-laki ini masih begitu kuat.

Dan, Giska teramat yakin jika Kievlan merasakan hal yang sama.

Mata mereka beradu, Kievlan diam membiarkan Giska memegang sisi wajahnya. Seketika rasa hangat menguasai dadanya menciptakan debaran menggila saat Giska mengecup keningnya.

"Now you're with me." Suara gadis itu terdengar lirih.

Kievlan tersenyum, ia dapat merasakan ketulusan di kalimat itu. Mata laki-laki itu otomatis fokus ke bibir pink kekasihnya yang baru saja terlepas dari keningnya.

"Jangan di jidat doang dong."

Giska spontan menoleh. "Eh----"

Kievlan menarik gadisnya mendekat. Ketika Kievlan mengusap sisi wajahnya, ibu jarinya membelai bibir bawah gadis itu tanpa mengijinkannya menatap ke arah lain. Giska semakin menegang merasakan embusan napas Kievlan di atas bibirnya, meski gadis itu tersadar jika ia juga menginginkan hal yang sama.

Tanpa diperintah, Giska langsung memejamkan matanya.

Melihat hal ini, Kievlan langsung tertawa. "I'm not going for that!" celetuknya masih tertawa. "Mau banget dicium apa?"

Giska sontak mendorong Kievlan dan mengumpat dalam hati. Ia buru-buru berpaling ke jendela, astaga memalukan sekali. Sialan!

Namun gerakan gadis itu harus terhambat saat Kievlan dengan cepat meraih belakang kepalanya, menghadap laki-laki itu. Pikiran Giska mendadak buyar ketika bibir laki-laki itu membungkam bibirnya.

Seperti biasa, gimana part ini?

Ada yang kesel?

Seneng?

Atau sedih? :(

Part ini Widura cuma lewat. Sori ya buat fans Widura:(

Ada kritik saran barang kali? Just tell me wehehe aku ga gigit kok

Btw aku mau nanya, cover mending yg baru atau yg lama? Hehe komen yaaa biar aku tau bagus yg mana:(

Terima kasih banyak yaaa buat kalian yg terus bertahan. ILYSB!💜

Mon maap gue ga edit dulu ya medianya lg mager gt masa:(

/candid by Kiev😋/

/pap buat Giska; i woke up like this/

Btw guys gue punya foto mereka berdua di dunia nyata. Keberatan ga next part gue post? Wkwkwk komen yaaa

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top