33. Untuk Dikenang
part ini full Giska-Kievlan. Btw aku re-pub karena banyak kesalahan teknis jadi diremake dikit gitu, mau baca ulang gapapa kalo ngga yaudah hehe, maaf ya penuhin notif :'
part ini 2.5k words wkwkwk sabar bacanya semoga bahagia<3
Yellow - Coldplay
x
Potret - Bagaikan Langit
"Btw, lo baru tau lagu Yellow apa gimana, deh, Kiev?" Giska menggaruk jidatnya. "Lagunya ini mulu perasaan?"
Bukan tanpa alasan Giska bertanya demikian, pasalnya lagu Yellow milik Coldplay telah berputar kurang lebih enam kali selama perjalanan, dan sepertinya tidak ada tanda-tanda jika Kievlan akan menggantinya.
"Kan gue fans Coldplay banget," kata Kievlan.
"Masa?" Giska menoleh dengan seringai lebarnya. "Emang lo tau nama-nama personelnya selain Chris Martin?"
"Tau." Kievlan menoleh sekilas sambil terus mengendalikan stir. "Enda, Rowman, Makki, Onci--"
"Itu personel band Ungu, bodoh!" potong Giska, setengah teriak.
Dan, Kievlan di sebelahnya dapat mendengar pacarnya menahan tawanya. "Iya. Yang nyanyi Teman Tapi Mesra kan?"
Tawa yang sejak tadi Giska tahan akhirnya pecah juga, namun Kievlan di sebelahnya menekuk bibirnya, berupaya menahan tawanya. Sebenarnya dia juga ingin tertawa, tetapi ia tidak mau citra cool-nya hari ini lenyap hanya karna lelucon recehnya sendiri.
"Eh ini kita mau ke mana , deh, sebenernya?" tanya Giska, dengan sisa tawa.
"Makam papa gue,"
"Ha?!" Giska terperangah. "Lo gak liat gue pake baju apa?!"
Bukannya menjawab, Kievlan malah membuat pernyataan lain. "Masa tiap gue denger nih lagu inget lo mulu, dah."
Mendengar pernyataan Kievlan, spontan Giska langsung menoleh ke laki-laki itu seraya menahan senyumnya agar tidak terlalu kelihatan.
"Masa sih?" Perempuan itu lupa kalau tadi dia sempat kaget.
"Iya."
Giska memnutup mulutnya dengan ponsel, menyembunyikan senyumnya. "Kok bisa?"
"Gak tau," sahut Kievlan, jujur.
"Dih, masa gitu?" kali ini Giska tidak dapat menyembunyikan senyumnya. Ia benar-benar bahagia.
"Haha, emang kenapa, dah? Aneh ya?"
"Gak, sih."
Kievlan menoleh. "Lo sendiri ada gak lagu yang bikin lo inget sama gue?"
"Ada."
"Apa-apa?" sahut Kievlan antusias.
"Apa aja boleh..."
"Oh, mulai tengil..." Kievlan menyenggol lengan Giska, bercanda. "Oke jadi, sih sama gue mah."
"Oke."
"Elah, seriusan, apaan ah?" Kievlan kembali mendesak, gregetan sendiri.
"Apanya yang diseriusin?"
"Ah lu." Kievlan menurunkan tangannya. "Apaan gak?"
"Percuma. Lo gak bakal tau lagunya juga."
"Is, cari di Sportify, ntar jadi tau 'kan."
"Lagunya band Potret yang Bagaikan Langit. Tau?"
"Coba-coba, setel!" seru Kievlan antusias.
"Tadi katanya jangan diganti?"
"Yaudah sekarang ganti aja," sahutnya tanpa mengalihkan perhatiannya dari jalanan di depan sama sekali.
"Hu!"
Kievlan tidak memberi respon atas cibiran kekasihnya barusan. Dan, Giska mem-pause lagu di tape, dan memutar lagu Bagaikan Langit dari ponselnya.
"Kok bisa lagu ini, dah?" Kievlan menahan senyumnya.
"Karna ada kata birunya."
Kievlan menoleh dengan senyum yang perlahan terlihat. "Lah? Apa hubungannya gue sama biru?"
"Mata lo."
Kievlan menggaruk kepalanya. "Padahal warna biru kesannya kan kayak mellow gitu ya?"
Giska mengangguk. "Bertolak belakang banget sama lo."
"Oh, sekarang gue jadi tau kenapa gue filosofiin lo as yellow," ujar laki-laki itu dengan seringai lebar.
Dan, hal ini Giska langsung menarik perhatian Giska. Perempuan itu mengubah posisi duduknya jadi menghadap Kievlan, sebetulnya dia agak deg-deg'an karna ingin tahu kira-kira filosofi manis apa yang akan dilontarkan kekasihnya ini.
"Kenapa?"
"Karna lo mirip Dijah Yellow," ujar Kievlan, masih fokus ke jalanan di hadapannya.
Giska mengerjap dua kali, dan kembali menghadap jalanan di depan.
"Lucu ya? Hore."
Keduanya terdiam.
"Eh, lo masih minum gitu gak, sih?" ujar Giska, tujuh detik kemudian.
Kievlan cukup terkejut setelah mendengar pertanyaan itu diajukan kepadanya. Namun
sebisa mungkin, ia menyembunyikan hal tersebut di balik mimik wajahnya yang tetap
tenang. Entah mengapa ia suka momen seperti ino.
"Jarang," Kievlan menahan senyumnya. "Kenapa?"
"Sejak kapan?"
"Apanya?" Kievlan belum menoleh.
"Jarang minumnya."
"Hm, gak tau..." Kievlan memutar stir ke kiri, menuju kawasan pemakaman. "Semenjak gue sekolah terus kayaknya sih." ia menghela napasnya. "Ya kan gak lucu gitu ya gue dateng-dateng ke sekolah lagi mabok, bisa diabisin gue sama si Dewi Sanca."
"Kalo rokok?"
Kievlan menoleh dengan tatapan jahil. "Kenapa, sih emang?"
"Lo masih ngerokok?" Giska membalas tatapan itu dengan serius, menunjukkan bahwa sama sekali ia tidak bercanda. "Bukannya gue ngelarang lo atau gimana-gimana, cuma kurangin dikit aja, lo gak takut emangnya ngeliat gambar di bungkus rokok itu?"
Kievlan tidak kuasa lagi menahan senyumannya karena ia sadar, bahwa Giska menunjukkan rasa perhatian terhadapnya.
"Iya, Wir. Iya." Kievlan menginjak remnya tepat di depan toko bunga, depan makam. "Eh, lo tunggu di sini dulu ya, gue mau beli bunga sama air mawar." lanjutnya, lalu keluar dari mobil.
Tak sampai satu menit, sosok Kievlan sudah kembali lagi ke mobil. Laki-laki itu menggenggam sekantong plastik berisi air mawar berserta dua buket bunga, yang satu bunga mawar putih yang satu lagi bunga matahari. Giska yang sedang memainkan ponselnya, menoleh bingung.
"Cepet banget?" Giska memainkan ponselnya lagi. "Gak pake nawar ya?"
"Nih," Kievlan menyodorkan sebuket bunga matahari ke Giska.
Giska sontak mengangkat matanya dari ponsel, dan menerimanya. Senyum bahagia mengembang di bibirnya. Sunflowers, please don't screaming!, batinnya.
"Buat gue?" Giska tidak dapat menyembunyikan kebahagiaan di intonasinya.
"Bukan," kata Kievlan, seraya menarik persneling. "Buat Mbak warteg depan."
"Makasih," kata Giska, tulus.
Terlalu excited, gadis itu membuka kamera ponselnya, mengarahkan ponselnya ke arah Kievlan dibalik buket di genggamannya.
Dan klik, potret itu terabadikan.
"Kok jadi motoin gue, sih?" Mati-matian Kievlan menyembunyikan senyumnya.
"Kan dari lo."
Mendengar itu Kievlan mengulum senyumnya, menikmati kehangatan yang membuncah di balik dadanya.
"Update dah bikin snap dah,"
Giska terkekeh, dan mengunci layar ponselnya. "Geer banget sih lo, yee."
"Terus biar apa difoto kayak gitu?"
"Untuk dikenang," kata Giska seraya mencium bunga mataharinya.
Tanpa disadari oleh laki-laki itu, sebuah senyum tipis tersungging di bibirnya. Kebahagiaan yang begitu sederhana hadir di dalam dirinya ketika melihat Giska menciumi bunga pemberiannya.
Se-sederhana itu.
"Tapi, lo suka kan bunganya?" tanyanya, dengan nada datar yang dibuat-buat.
Sebagai jawaban, Giska mengulum senyumnya.
Tidak ada rerumputan liar yang berani tumbuh di hamparan tanah ini. Kievlan berjongkok, menatap lurus-lurus ukiran nama Akhtara Gautama di nisan granit hadapannya. Kedua tangannya terbuka, bibirnya melafalkan do'a. Selang satu menit kemudian, tangannya terulur menarik telapak tangan Giska yang berdiri di sebelahnya.
Sontak, gadis itu ikut berjongkok di samping pacarnya.
"Kenalin, Pa. Ini Giska."
"Hai, Om." sapa Giska tersenyum.
Setelah selesai berdoa, Giska meletakkan buket mawar di nisan. Kievlan di sebelahnya berdiri, dan menggulung lengan kemeja hijaunya. Setelah itu ia menuangkan air mawar ke sekitar nisan dan tanah.
"Yaudah, yuk." Ajak Kievlan.
Sinar matahari mulai terik, suasana pemakaman memang sepi. Keberadaan Giska sejak awal menjadi sorotan, karena pakaiannya yang kurang tepat, tidak seperti kebanyakan orang yang berselendang dan pakaian tertutup rapat.
Namun, Kievlan tidak peduli. Ia tetap melangkah di sebelah Giska, dan menggandeng pacarnya keluar makam menuju parkiran di ruko pinggir jalan raya.
"Lo mah parah banget, gue saltum abis gini!" gerutu Giska, ia menunduk, melihat celana pendeknya yang tidak sempat diganti akibat Kievlan yang menyuruhnya buru-buru tadi pagi.
"Yaudah, biarin."
"Gue malu tau diliatin orang-orang!"
"Diliatin doang kan?" ujar Kievlan, kalem. "Liatin balik, lah."
"IH!" Giska langsung melepas gandengan, gak mau gandeng Kievlan lagi. Sebal.
Kievlan terkekeh pelan, entah mengapa ia suka sekali melihat Giska panik dan kesal. Seperti hiburan tersendiri. Keduanya tetap melangkah tanpa membuka mulut.
"Tapi, sori nih ya sebelumnya," kata Giska. "Bokap lo meninggal karna sakit, Kiev?"
Kievlan menggeleng. "Dia gak sakit."
"Oh, kecelakaan?"
"Bukan juga,"
"Terus?" Giska terus mengorek.
Kievlan menghela napasnya, seolah bersiap menceritakan hal yang telah ia ceritakan ke orang-orang.
"Kata orang-orang, sih angin duduk, gak tau gue nggak ngerti juga...." Kievlan memijat keningnya. "Ya gitu, lah."
Kievlan mendengus, mau tak mau jadi menjelaskan panjang lebar.
"Ah, jadi cerita kan," kata Kievlan. "Pokoknya yang gue inget malemnya tuh dia lagi ngurusin kerjaan di ruang kerja, gitu loh, Gis. Tau-tau paginya udah kaku gitu badannya, terus udah gak napas juga pas dibangunin sama Teh Lis." ia menelan ludahnya sebelum meneruskan. "Yaudah, gitu, dia meninggal gitu aja. Orang-orang aja pada kaget tau dia meninggal."
"Terus nyokap lo sekarang gimana, Kiev?"
"Ada," Kievlan memutar matanya. "Sama suaminya."
"Abis ini kita ke ATM bentar yak,"
"Terus habis dari ATM mau ke mana lagi?"
"Rumah nenek,"
Giska terlonjak kaget. Langkahnya langsung terhenti, rasanya ia ingin sekali menghantam punggung laki-laki di hadapannya saat ini dengan batako.
"Seriusan?" Giska menggaruk tengkuknya. "Pulang dulu, yuk, ganti baju!"
Cukuplah ia jadi pusat perhatian di sekitar makam, setidaknya ia tidak mau kejadian itu terulang di rumah nenek Kievlan. Mau dibilang apa nanti oleh neneknya?
"Santai," Kievlan tetap berjalan, membelakangi Giska. "Paling cuma ada sepupu-sepupu sama temen kecil doang."
"Ih nggak ah! Gue lagi gembel banget!" Giska akhirnya berjalan lagi, mengikuti Kievlan di depannya. "Lagian lo sih nyuruh buru-buru tadi, gue jadi gak ada waktu buat milih pake baju apa kan."
"Yaelah, justru kalo lo rapi mereka heran," kata Kievlan. "Mereka mah pada santuy, pada pake sendal jepit, kaos, celana jeans. Casual semua,"
"Tapi kan---"
"Jangan banyak tapi-tapian. Lo begini juga udah manis," potong Kievlan, datar.
Giska berhenti melangkah lagi.
"Astaga." Kievlan berbalik, menghadap Giska, dan menarik perempuan itu masuk ke dalam ATM. "Ayo ah masuk."
Sepasang kekasih itu masuk ke dalam ATM, Kievlan mengeluarkan kartu ATM-nya dari dompet, dan menggesekkan kartu tersebut ke mesin.
"Emang lo gak takut gue liat pin lo?"
"Emang lo mau nyadap gue?" Kievlan balas bertanya, dengan nada yang sama dengan Giska.
"Iya. Kan lo kaya."
"Kaya monyet?"
"Tuh tau."
"Tapi kok lu mau, dah dipacarin monyet?" tanya Kievlan, tanpa menoleh ataupun berbalik.
Merasa pertanyaannya dianggap candaan, Kievlan menoleh ke perempuan di belakangnya.
"Nggak serius, kali ini." Kali ini Kievlan memasang ekspresi serius. "Kok lo mau ,dah sama gue?"
Tiba-tiba dapat pertanyaan begini, Giska tertegun di tempatnya. Alisnya tertaut, tetapi debaran jantungnya tak dapat dielakkan lagi. Apaan sih nih anak?!
"Kok diem? Jawab, dong." Kievlan kembali mendesak, benar-benar ingin tau jawaban dari gadis bersandal jepit pink di belakangnya.
"Mungkin karna lo aneh?"
Kievlan mengerutkan keningnya, dan menghadap mesin ATM lagi. "Emang gue aneh ya?"
Giska mendengus lelah. Memilih tidak menjawab.
Setelah menyelesaikan transaksinya, Kievlan berbalik menghadap Giska sepenuhnya, lalu ia berjongkok dan memejamkan matanya, menikmati ademnya ruangan ATM ini.
Giska di depannya melongo, melihat tingkah kekasihnya yang melakukan hal aneh seperti sekarang.
"Iya, sih, emang gue rada aneh, tapi anehnya itu gimana menurut lo?" tanya Kievlan, seolah belum puas dengan jawaban Giska.
"Ya gue gak bisa jelasin detail," kata Giska. "Lo kan agak freak gaje gitu, mana ganggu banget di awal, makanya gue suka males kalo berurusan sama lo."
Tatapan mereka berdua sempat bertemu beberapa saat sebelum akhirnya Kievlan mengulaskan senyuman jahilnya.
"Oh, berarti akhirnya udah nggak malesin lagi, dong?"
"Kind of," ujar Giska. "Lo sendiri kenapa pacarin gue?"
"Pengen aja."
"Hah?" Giska menatap tak percaya laki-laki yang kini duduk bersandar pada mesin ATM.
Awalnya Giska ingin berkata, Ngapain sih duduk di ATM?! namun ia mengurungkannya. "Ya kenapa? Kasih tau gue alesannya." ujar gadis itu, akhirnya.
"Emang butuh alesan ya?"
"Apa sih kok curang?"
Alis Kievlan naik sebelah, "Curang gimana?"
Tangan Giska terangkat ke udara membuat kepalan tinju, tatapannya lurus memandang laki-laki di hadapannya. Gadis itu lalu berpaling ke jalan raya di balik pintu kaca ATM.
"Ngomong-ngomong, ini kita ngapain sih berlama di ATM kayak gini?"
"Ngadem," jawab Kievlan. "Hehe,"
"Gak tau kenapa dari dulu gue suka banget tau, Wir kalo lagi di ATM."
Giska mengeluarkan ponselnya, dan membuka aplikasi chat. "Apa enaknya? Kan sempit?"
"Sempit, dingin, wangi, enak pokoknya." ujar laki-laki berkaos dalaman abu itu. "Lo masa nggak ngerasa gitu juga, sih, Wir?"
"Nggak, tempatnya malah rada creepy menurut gue,"
"Hah. Kebanyakan nonton film lo!" ejek Kievlan. "Drama mulu otaknya."
Giska refleks menabok pundak pacarnya, kesal sekali terhadap mulut pacarnya yang tidak ada halus-halusnya sama sekali. Sementara yang ditabok tertawa sambil mengelus pundaknya.
"Malahan ya, kalo tuh ATM ada kasur udah gue jadiin kamar, dah," ujar Kievlan. "Seriusan gue. Pengen gitu sekali-kali ngerasain tidur di ATM, kan mantul ya?"
Hisbatul Ghazi: Bisa kan ya pulang sekolah besok pada latihan?
Geriska Cantika: Bisa
Estrella: Oke, studio 3 apa 1 nih?
Hisbatul Ghazi: 3 aja, ntar gue tap bilang ke mas OB
Estrella: oke
Hisbatul Ghazi: kabarin Widura sama Kievlan kalo lagi sama mereka ya
"Eh, besok pulang sekolah jangan nongkrong dulu," kata Giska berpaling dari ponsel ke Kievlan.
Kievlan menoleh dengan dahi mengerut. "Kenapa emang?"
"Latihan musik,"
"Kata siapa?"
"Ghazi,"
Kievlan tak sadar jika ia menegakkan posisi duduknya. "Dia chat kamu?"
"Di grup," kata Giska. "Makanya dibuka grup musik sekali-kali, Mas Kiev."
"Hoo..." Kievlan manggut-manggut. Laju mobil yang ia kendarai semakin lambat karena di depan ada lampu merah. "Si Kribo udah join?"
Posisi duduk perempuan menegang seketika. Ia menoleh ke kanan dengan tatapan was-was. "Widura?" Giska berusaha menetralkan intonansinya.
Kievlan mengangguk.
"Belom, deh kayaknya."
"Et, yaudah ntar gue suruh join, toh pasti dia ikut juga ntar."
Ujaran Kievlan masih fokus pada jalanan yang ada di hadapannya membuat Giska yang duduk di sebelahnya langsung kehilangan fokus pada ponsel di tangan.
"Kok ketemu dia?" Giska sama sekali tidak dapat menyembunyikan rasa kagetnya.
"Emang kenapa, gitu?"
Giska tidak menjawab, dan membuka ponselnya lagi.
"Hoo... lo masih dendam yang soal di kelas waktu itu ya?"
Giska menghela napasnya. Mood-nya mendadak buruk. "Bukan gitu,"
"Terus?" Kievlan masih kepo.
"Udah lah lupain aja,"
Sampai kapanpun, Giska tidak ingin mengingat hari itu. Rasanya terlalu mengerikan jika berurusan dengan sosok itu.
"Lagian tenang gak bakalan kok dia berani galakin lo lagi," kata Kievlan. "Kan ada gue, hehe."
Giska hanya menoleh sekilas, tanpa merespons ucapan Kievlan. Keduanya refleks terdiam lagi. Kievlan menoleh, mendapati Giska yang juga sedang melihat ke arahnya.
"Lagian gak boleh gitu ah. Dia sebenernya anaknya baik kok, buktinya dia kan yang nolongin lo pas di kereta?"
"K--- kok lo tau?" Giska langsung menghadap Kievlan. "Dia cerita?"
Kievlan hanya menaikkan kedua bahunya sebagai jawaban.
"Dia cerita apa aja?" Giska meraih tangan Kievlan, diluar kesadarannya.
"Ah, gak enak lah dibahasnya, ganti topik aja," kata Kievlan.
"Ih, tapi gue mau tau dia bilang apa aja ke elo."
Cekraman tangannya begitu kencang sampai yang laki-laki terkejut. Tatapan mata Giska begitu tajam. Dan melihat hal ini, Kievlan melembutkan tatapannya, seraya menautkan kelima jemarinya di sela jemari Giska.
"Gue takutnya lo trauma. Terus gak etos lah bahas masalah harassment kayak gitu. Paham gak, sih maksud gue?"
Mulut Giska terkatup rapat, sama sekali ia tak berani membalas tatapan itu. Sebetulnya ia tak berani membayangkan kejadian itu lagi. Kejadian pelukan itu. Karna bukan hanya Kievlan yang akan terluka nantinya, tetapi Estrella sahabatnya juga.
"Lagian kenapa, deh emangnya?" tanya Kievlan akhirnya. "Ada yang lo sembunyiin dari gue ya?" terus terang, ia merasakan seperti ada hal yang tidak beres di diri kekasihnya, tetapi apa?
"Drama banget otak lo." sahut Giska, membalikkan omongan Kievlan tadi pagi.
"Tai." Kievlan langsung melepas genggaman.
"Gue denger!"
"Ye maap," kata Kievlan. Baru teringat sesuatu, laki-laki itu kembali bersuara. "Eh, lo ngerasa kayak kehilangan novel gitu gak?"
"Novel?"
"Coba, deh lo cek dashboard."
Giska mengikuti kata kekasihnya, saat ia membuka dashboard, dirinya mendapati buku novel bersampul hijau yang waktu itu dibelinya bersama Kievlan. Gadis itu mengambilnya dan menoleh ke Kievlan dengan raut bahagianya.
"Ih! Iya! Ini novel yang waktu gue baru banget beli sama lo kan ya?"
"Makanya jangan selebor!"
"Hehe, ini bagus banget tau ceritanya," Giska memeluk novel itu girang.
"Bagusnya?"
"Segi alur, penokohan, plot. Ah, banyak lah pokoknya."
"Heran, dah gue sama cewek-cewek, kok suka banget ya baca ginian? Atau nonton film romantis menyek gitu? Padahal lo kan udah tau gitu endingnya si tokoh utama ceweknya bakalan sama tokoh utama cowoknya. Terus ngapain masih ikutin ceritanya?"
Giska menghela napasnya. "Karna gue mau tau effort si tokoh cowoknya buat dapetin si ceweknya itu,"
"Dan, lo berkhayal cowok lo kayak si tokoh cowok itu?" ujarnya, geli. "Lagian maaf aja nih, gue ngomong paitnya aja ya, gue gak ada ya niru-niru gaya cowok-cowok fantasi lo."
"Dih? Siapa juga yang nyuruh?"
"Ya mana tau kan." celetuk Kievlan, kalah telak.
"Dan soal omongan lo tadi, gue mau ralat nih ya," kata Giska. "Gak semua kisah itu happy ending, loh, Kiev. Banyak kisah sad ending yang justru membekas banget di kepala gue, contohnya La La Land, film favorit gue."
"Film favorit lo sad ending? Lo gak sakit hati apa nontonnya?"
"Ya, sakit, tapi can relate juga."
Dahi Kievlan mengerut, memberi respons kurang suka. "Kalo gitu jangan ditonton lah, kalo endingnya bikin lo sakit hati."
"Lo ini yah, emangnya gue tau kalo ending-nya bakalan sad? Gue kan ikutin terus ceritanya," ujarnya. "Lagipula dari situ kita bisa ambil hikmahnya kan? Karna gak semua hal berjalan sesuai dengan kemauan kita. Dan, gak semua kisah berakhir bahagia. Based on real life aja, sih... jadi ya kita harus belajar pahamin orang sama keadaan sekitar, gitu."
Kali ini tidak ada bantahan yang keluar dari mulut Kievlan, karena kalimat Giska barusan memang terasa benar adanya. Laki-laki itu bahkan berkaca pada kisah hidupnya sendiri.
"In fact, realita kan sering banget gak sesuai sama ekspektasi." tambah gadis itu. "Jadi, ya kisah-kisah kayak gitu tuh ngajarin lo, kayak... lo boleh berharap, tapi jangan berekspektasi, gitu."
Kievlan terdiam menatap lurus ke kedua mata Giska dengan mulut tertutup. Kalimat-kalimat yang terlontar barusan entah mengapa menimbulkan sesuatu di balik dadanya. Ia sendiri tidak mengerti rasa apa ini. Bahagia kah? Sedih kah?
Namun, ada satu pertanyaan yang kini berputar di kepala laki-laki itu. Meski ia tahu Giska tidak punya jawaban itu, tetapi Kievlan merasa perlu membahasnya.
"Kira-kira," Kievlan terdiam sejenak, dan kembali melanjuti. "Kalo lo sama gue bakalan happy ending apa enggak?"
ada yg bisa jawab pertanyaan Kievlan?
gimana part ini overall? wkwkw maap kepanjangan (terlalu semangat wkwk)
/giska x kievlan/
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top