31. Tanpa Bisa Dielak
WARNING
part ini tidak cocok untuk anak di bawah 15 tahun!
part ini kalo ampe ga divote atau komen kebangetan wkwkw:(
NAIF - Karena Kamu Cuma Satu
x
mxmtoon - Please Don't
Pegal, Kievlan melepas lipatan kedua tangannya di belakang kepala, lalu ia menoleh ke laki-laki di sebelahnya. Tiduran di kap mobil merupakan salah satu kebiasaan favorit sepasang sahabat ini. Merasakan embusan napas Kievlan ke wajahnya, Widura langsung menoleh.
"Homo, anjing!" Widura terkekeh.
"Homo milih-milih, bosku."
"Kopi gak, woy?" Seruan Jefri dari balik etalase menggema di telinga Widura dan Kievlan.
"Nanti aja, bang tunggu pada ngumpul!"
"Shiaaap!"
Malam ini, Kievlan dan Widura nongkrong di warning. Dikarenakan teman-temannya belum berkumpul, mereka putuskan menunggu di atas mobil.
Setelah sekian lama Widura menghilang dari peradaban, akhirnya sekarang ia nongkrong lagi. Sebenarnya, mereka berdua sedikit kesal satu sama lain, namun mereka putuskan bersikap biasa lagi.
Boys dislike drama, begitulah motto mereka.
Mereka kan bukan cewek. Jadi, bila ada masalah, saling lupakan dan anggap bila hal tersebut tidak pernah terjadi.
Meskipun memang hubungan mereka tidak seakrab kecil dulu, Widura tetaplah sahabatnya. Begitu pula sebaliknya. Karena Widura teman nakal pertamanya, ia yang mengajaknya mencoba-coba obat-obatan aneh.
"MOD baru tuh?" tanya Widura, melihat Kievlan mengeluarkan vapor-nya.
"Kagak,"
"Tai. Sok merendah."
Saat mereka tengah asyik membahas seputar vape, Kievlan mengeluarkan ponsel, memutar Instastory di beranda akunnya sambil sesekali mengisap vapor-nya. Namun, di story putaran ketiga muncullah foto keempat perempuan bermata hazel tersenyum lebar, bertuliskan Geriskacantika di pojok kiri.
Keputusannya bicara dengan gadis itu harus ia lakukan. Karena apa jadinya bila kecanggungan ini harus berlarut. Lagipula, Kievlan tahu, kok jika Giska sebenarnya peka alasan dibalik perilakunya kemarin. Hanya saja, gadis itu pura-pura tidak peka. Pasti.
Sejujurnya Kievlan kesal juga terhadap gadis itu lantaran pesannya hanya dibaca, tidak dibalas. Tapi ya sudah lah, mungkin mood gadis itu sedang buruk.
Ibu jari Kievlan menahan story Giska, diamatinya foto gadis itu dalam diam, sampai-sampai ia tak sadar jika Widura di sebelahnya mengintip.
"Galau?"
Kievlan menghela napasnya, dan meletakkan ponselnya di atas dada. Tatapannya fokus ke kepulan asap bulat lalu beralih ke awan hitam berhiaskan titk-titik kuning di langit.
"Lo serius sama si Geriska itu?"
Kali ini Kievlan menoleh ke samping, lalu mematikan vapor-nya secara tak sadar. Serius? Apakah konotasi serius yang dimaksud Widura itu jatuh cinta? Atau peduli?
Namun yang Kievlan yakini pasti ia memiliki perasaan lebih terhadap gadis itu. Entah suka, sayang, ataupun cinta, Kievlan tidak tahu. Yang jelas keinginannya bersama gadis itu tidaklah sedikit.
"Kemaren dia balik sama gue."
Kievlan langsung duduk dan memasukkan vapor-nya. "Kok?"
Jika boleh jujur, ada rasa was-was yang menggerubungi dada Kievlan. Namun, ia buru-buru menepis rasa itu.
"Panjang ceritanya," kata Widura, menyulut rokok di mulutnya dengan korek. "Gue akuin, sih boleh juga nyali tu cewek."
"Maksudnya gimana, dah?" Kievlan masih bingung. "Lo digaplok dia? Ceritain, dah."
Posisi duduk Kievlan yang tadinya memeluk kedua lutut dengan kedua tangan langsung lepas, benar-benar kaget dengan apa yang baru saja diceritakan oleh Widura tentang kejadian tadi siang.
"Anjing! Terus yang grepe-grepe pantatnya gimana?" Sama sekali Kievlan tidak dapat menyembunyikan kekhawatiran di intonasi maupun ekspresinya.
"Dibawa security, atau udah dihukum mati mungkin. Gue gak tau." Widura ikut duduk, dan menutup kepalanya dengan hoodie.
"Tapi lo tonjok gak orang itu?"
"Gitu lah."
Ada sepercik rasa sesal sekaligus sedih di hatinya. Jika saja dirinya yang berada di tempat, bukan Widura. Sejujurnya ia takut, posisinya terganti oleh Widura.
"Thanks, ya." ujar Kievlan, empat belas detik kemudian.
"For?"
"Saving her."
Sudut bibir Widura yang lebam tertarik dua centi, membentuk senyum iba. Sebetulnya ada satu hal yang sengaja tak ia ceritakan; kejadian pelukan itu.
Sarapan di kediaman keluarga Arman kali ini didominasi oleh makanan manis. Kue bolu, brownies, waffle serta oatmeal. Terlihat Gita yang paling ceria di meja. Anak itu menaburkan meses di oatmeal, padahal ibunya sudah tambahkan cokelat parut. Tidak seperti kakaknya yang terlihat lesu hanya menambahkan whipped cream di atas waffle.
"Kemaren kamu pulang sendiri apa gimana?" tanya Puspa sebelum menuangkan kopi hangat ke cangkir suaminya.
Giska menoleh sekilas ke mamanya. "Bareng temen."
"Oh, gak kamu ajak mampir?"
Giska menggeleng pelan.
"Eh, ini titip ya buat Kievlan." Puspa menyodorkan paper bag cokelat ke putri sulungnya. Kemudian menarik kursi, dan duduk di sebelah suaminya.
Alih-alih menerima, Giska mengernyit. "Ha?"
"Kemaren Kievlan ke sini lho pas kamu mandi, tuh brownies Arinda dari dia kan." Puspa menunjuk kardus brownies berlabel Arinda di meja. "Kemaren pas mama pengen kasih tau kamu, mama kumpulan ke kantor RW, terus pulang-pulang kamunya sih gak ada."
"Ngapain dia kesini, Ma?"
"Gak tau, mama kira pengen main sama kamu?"
"Kemaren dia kan yang jemput aku sekolah," kata Gita sambil meminggirkan parutan cokelat di sisi mangkok. "Kalo gak ada dia mungkin aku gak tau gimana."
"Kievlan itu siapa?" Arman yang baru bersuara melepas kacamata dan meletakkannya di atas meja.
"Temenku," sahut Giska.
"Tapi dia baik banget tau, Pa. Udah gitu ganteng lagi." Centilnya Gita mulai kumat, otomatis baik Puspa dan Giska menggeleng geli dibuatnya.
"Oh, dia cowok?"
Sontak, ketiga perempuan yang duduk di dekat Arman menatapnya dengan raut lelah.
"Si Papa aya-aya wae, mana ada, sih cewek yang namanya Kievlan?" ujar Puspa.
"Tapi, Kikah bener cuma temenan, nih sama dia?"
"Apaan, deh, Pa," sahut Giska sebelum akhirnya menyuapkan waffle-nya lagi.
"Ya... selama masih batas wajar, papa, sih yes."
Tanpa diduga, Gita langsung turun dari bangku dan menghampiri Giska sambil menyodorkan sepasang magnet ke Giska.
Giska mendengus lelah, dan menatap jengkel magnet di genggaman adiknya. "Udah gak nempel lagi?" seolah bukan hal baru melihat kebiasaan adiknya beli magnet-magnetan abal.
"Sekalian ya, Kak, ini titipan dari aku, buat Kak Kievlan."
"Udah selesai?" Estrella berhenti menulis, menyelesaikan tugasnya. Sedangkan Giska teman sebangkunya hanya menoleh sambil memainkan pulpennya, sama sekali tidak dapat fokus terhadap tugas di depannya.
"Belom, masih tiga nomer lagi."
"Nih, liat punya aku aja." Estrella menyodorkan lembaran tugasnya, dan Giska langsung menerimanya tanpa ragu.
"Tumben cepet banget?"
Estrella nyengir. "Hehe, lagi semangat aja."
"Wah, ada apa nih, mbaknya?" Giska berusaha terlihat normal, walau sebenarnya ia sangat takut juga was-was mengenai insiden Widura kemarin.
"Kamu gak liat siapa yang duduk di pojok kiri belakang?" Senyum bahagia Estrella masih mengembang, dan jika boleh jujur, Giska ingin Estrella seterusnya seperti ini. Tiga detik setelahnya, Giska berbalik dan menoleh ke arah yang tadi Estrella bilang.
Dan siapa sangka bila pandangan sosok itu tertuju padanya?
Otomatis Giska berpaling ke tugasnya lagi.
Entah mengapa kontak mata dengan Widura merupakan hal yang berbahaya baginya.
Tidak.
Dia tidak boleh overthinking terhadap kejadian kemarin. Lagipula hal yang kemarin Widura lakukan pure karena terbawa suasana. Tidak lebih. Paling tidak Giska tidak memperbolehkan dirinya berkaitan lagi dengan sosok Widura.
Sebenarnya Giska tidak bisa dikatakan biasa-biasa saja, namun ia tidak ingin mengangap hal remeh itu sesuatu yang besar.
Tambah lagi, rasa bersalahnya terhadap teman sebangkunya ini terus memberontak di dadanya.
"Eh, eh," Estrella kembali bersuara. "Dia ngeliatin ke arah sini gak?"
"Dia tidur," sahut Giska, menyalin tugas Estrella di lembarannya.
Estrella menghela napas. "Udah kuduga..."
Merasakan ada yang mencolek punggungnya dari belakang, gadis itu berbalik dan menoleh ke belakang. Saat pandangannya dan Tamam beradu, ia menyesali matanya yang tak sengaja melirik ke Kievlan, teman sebangkunya Tamam. Dilihatnya, kedua mata laki-laki itu terpejam, nampak tidak peduli dengan tugasnya.
"Apa?" Tanya Giska.
Tamam langsung melirik kepala teman sebangkunya yang terjatuh di lipatan tangan. "Dia yang nyolek. Bukan gue."
Langkah Giska yang awalnya terkesan ragu, langsung normal lagi begitu pandangannya beradu dengan sosok laki-laki yang bersandar di pilar pembatas, bibirnya menggumamkan lirik lagu Karena Kamu Cuma Satu milik NAIF yang mengalun di headset.
Spontan ia melepas headset dan menatap Giska dengan kedua alis tertaut. "Kirain gue lo gak bakal dateng."
Giska menjilat bibirnya yang kering. Jantungnya berdebar tak karuan. Napasnya agak tersenggal saat Kievlan berjalan menghampirinya.
Dan, Kievlan juga merasakan hal yang sama. Namun, ia lebih cerdas menutupi kegugupannya dibandingkan gadis yang berdiri tiga jengkal di depannya.
"Nih," Giska menyodorkan paper bag.
"Apaan nih?"
"Gak tau. Cek aja sendiri."
"Gue kan gak ulang tahun? Kok ngasih kado?" Kievlan melongok, melihat isi paper bag pemberian Giska.
"Bukan kado. Tepatnya itu titipan dari mama gue sama Gita."
"Oh, tapi kok isinya ada tiga barang?" Kievlan mengerutkan dahinya. Senyum jahilnya langsung terbit bersamaan dengan rasa lega yang menyelinap di dada. "Jadi yang satu lagi dari lo?"
Giska berdeham, melipat kedua tangannya. "Ya, formalitas aja lo nolongin adek gue, itung-itung lo udah tolongin gue tiga kali."
"Empat! Et, kurang-kurangin aja lo."
"Oh, jadi lo gak ikhlas?" Giska langsung melepas tangannya, nada bicaranya tetap dingin.
"Awalnya ikhlas, tapi gara-gara lo ungkitnya salah jadi ambigu," Kievlan tertawa. Seolah baru menyadari sesuatu, matanya menyipit melihat kelopak mata gadis itu membengkak. Sontak, tawanya terhenti. "Lo abis nangis?"
"Nggak!" sergah Giska, cepat. "Sebenernya lo mau ngomongin apa, sih?"
Keduanya terdiam. Kievlan memasukkan kedua tangannya di saku celana.
"Sama sekali gue gak serius sama kesepakatan yang gue buat kemaren," kata Kievlan, memecah keheningan. "Dan gue yakin mereka juga tau kalo gue gak serius sama ucapan gue."
Giska menggeleng tak percaya. "Karna memang hidup lo sebercanda itu."
Saat Kievlan hendak meraih tangan Giska, namun dengan cepat ditepis oleh gadis itu. Tentu, Kievlan agak kaget melihat tindakan gadis itu.
"Tolong bertingkah sewajarnya, kita ini cuma temen kelompok."
Kievlan menghirup napas panjang dan mengusap wajahnya. "Jadi, lo kecewa sama omongan gue kemaren?"
"B aja."
"Bohong!" tuding Kievlan. "Kalo gak kecewa gak mungkin tingkah kayak gini."
"Sekalipun gue kecewa gak penting juga, lah." Nada bicara Giska masih sama, dingin.
"Jelas itu penting buat gue," Tegas Kievlan. "Jadi, gue tau kalo lo ada rasa sama gue."
"Gak usah kepedean!" elak Giska, sewot.
Tidak ada jawaban dari Kievlan. Laki-laki itu malah tersenyum. Senyumnya pun jauh berbeda dari yang sebelumnya. Pandangan mereka bertemu. Tidak ada satu pun dari mereka yang ingin memutuskan untuk berpaling. Mereka sama-sama mengartikan satu sama lain pancaran lewat kontak mata ini.
"Kemaren pagi, mulut gue refleks aja gitu gue ngomong kayak gitu," Kievlan bersuara lagi. "Ya kan daripada ntar lo diphpin lagi sama si Penyu?"
"Kalopun gue diphpin sama dia apa masalahnya buat lo?"
"Jelas lah itu masalah lah buat gue!"
"Apa masalahnya?" pertanyaan itu keluar lagi, namun kali ini kedengarannya seperti ada unsur lain di dalam intonasi itu. Seperti ada rasa terkejut bahwa Kievlan melakukannya bukan karena ia iseng atau hal lain yang berunsur main-main.
Melainkan...
"Lagian lo perhatiin, deh. Di kelompok kita tuh udah pada baper-baperan, Si Ghazi baper sama Estrella, tapi Estrellanya baper sama Widura," ujar Kievlan. "Jadi gak masalah, dong kalo Giska baper sama Kievlan, juga sebaliknya."
"Gue gak baper kok sama lo!"
Kievlan memutar matanya. "Realistis aja, kalo lo gak baper sama gue ngapain lo mau dateng ke sini?"
"Kan gue udah bilang karna--"
"Suka." potong Kievlan cepat. "Iya. Gak mungkin nggak."
Giska menggeleng-geleng tak percaya dan terkekeh. "Sycho nih anak."
"I'm into you," ujarnya, pelan, mantap dan tenang. "For real."
Perempuan itu terdiam, tidak bisa langsung menjawab ucapan dari mulut Kievlan. Dalam hati ia menyesali keputusannya mendatangi laki-laki ini.
Giska menoleh, menatap Kievlan tak percaya. Ia menahan diri untuk tidak meneteskan air mata, untuk tidak menangisi keadaan yang tak bisa diubah. Ia menarik napas perlahan dan menghembuskannya lewat hidung, bersiap meluapkan emosinya.
"Tolong lah, Kiev—" Giska menelan ludahnya. "Bisa gak, sih lo gak usah ngusik hidup gue? Gue males tau gak sama drama cowok-cowok iseng kayak lo. Gue gak mau aja terus-terusan jadi sasaran baper kalian. Tolong jangan buat gue berharap. Gue gak mau sakit—"
"Jadi gue terkesan php-in lo, gitu, Gis?" potong Kievlan, kakinya maju selangkah.
"Mungkin." Giska mengangguk samar. Namun pergerakan kepalanya itu malah membuat air matanya tak dapat ditahan. Dengan gerakan cepat, ia memalingkan wajahnya lagi.
Kievlan menghela napasnya.Ia merasa Giska sedang menyesali apa yang telah diucapkannya dan menyalah artikan perlakuannya selama ini.
"Sama sekali ini bukan bullshit. Tapi beneran, Gis," ujar Kievlan. "Gue sayang—"
"Cukup!" potong Giska, setengah membentak. Air mata kembali merembesi kedua pipinya tanpa bisa dicegah.
Giska merasa Kievlan seperti sedang berada di titik terendah yang tidak pernah dilihat oleh siapapun. Tentu, Giska tidak suka melihat Kievlan begini. Meski, egonya menyuruhnya pergi tinggalkan laki-laki ini sendirian di sini.
"Gue sayang sama lo." Kievlan tetap meneruskan kalimatnya yang terpotong.
Giska menghirup napas dalam-dalam, pasokan oksigennya benar-benar menipis ketika melihat sepatu Kievlan mendekat dan merasakan hangat tangan laki-laki itu di kedua bahunya.
"Gis," ujar Kievlan nyaris tak bersuara. "Gue bukan Gama."
Terlihat Giska berusaha mengangkat wajahnya, hingga pandangan mereka beradu, diikuti deru napas yang saling bersahutan.
"Apa gue masih keliatan bercanda?"
Dengan pandangan yang mengabur, Giska mencari kebohongan di kedua mata biru itu, akan tetapi yang ia temukan malah sebaliknya; kejujuran dan ketulusan.
"Kiev..." Di tengah linangan air mata Giska hendak memundurkan kepalanya, namun gerakannya harus terhenti ketika tangan Kievlan menahan sisi wajahnya. Dibiarkannya jemarinya membasah oleh air mata gadis itu.
"Ssh..." Bisik Kievlan, menyelipkan helaian rambut Giska di belakang telinga. "I'm sorry." lanjutnya, masih berbisik.
Mata Giska membelalak saat merasakan bibir Kievlan mendarat di bibirnya. Tidak ada pagutan di sana. Hanya ada kecupan. Diikuti rasa lembut dan hangat menjalar di bibir mereka. Lututnya melemas hingga posisi berdirinya mulai oleng, ia terkejut terhadap tindakan laki-laki di depannya.
Tanpa melepas kecupan, Kievlan meletakkan kedua tangannya di belakang punggung gadis itu, menjadikannya sanggahan agar tubuh gadis di hadapannya tetap tegak.
Bersamaan mata yang perlahan tepejam, Giska membalas kecupan itu.
"Mulai sekarang kita pacaran," ujar Kievlan, setelah saling melepaskan.
BUJUG BUJUG GUE BARU KALI INI NGADAIN ADEGAN BEGINI
HAHAHHAHA MAAFKAN SAYA. ADIK2 DIBAWAH UMUR DILARANG BACAAA:(((
MAAP NGARET UPDATE WKWKWK
Gimana part ini guys? Naif sejauh ini lebih baik atau buruk?
Next ga neeeh? Wkwkwkkw
/thank you for coming. ILYSB/
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top