30. Sampai Dapat

Yuk tekan petrik nya wkwkw belakangan ini jd semangat deh ketiknya<3

LANY - 13


Tak kunjung menemukan Widura di berbagai tempat tongkrongan, Kievlan akhirnya dengan santai membawa mobil itu melintasi jalan tol menuju Bintaro. Kievlan terdiam, selama di mobilnya hanya lagu Do I Wanna Know milik Arctic Monkey yang menemani.

Sengaja ia menyetel lagu itu berulang kali.

Setelah hampir lima belas menit berlalu, akhirnya mobil Kievlan masuk ke dalam sebuah komplek perumahan di Bintaro, ia memakirkan mobil tepat di depan rumah gerbang hijau paling ujung di komplek.

Kievlan menyandarkan punggungnya ke jok. Dari dalam mobilnya, ia melihat seorang wanita berusia awal empat puluh tahunan duduk sendirian tengah berkutat dengan ponsel di kursi teras.

Ada rasa ingin turun, namun ia sendiri bingung harus apa. Ia juga bingung kenapa tiba-tiba destinasinya ke rumah Giska?

Kievlan menghela napasnya, tetapi jika ia tidak turun pasti cepat atau lambat, entah Puspa atau Giska pasti akan melihatnya.

Tepat saat seorang wanita paruh baya yang sedang memegang ponselnya berjalan ke arah mobilnya, akhirnya ia putuskan keluar dari mobil dan mencium punggung tangan wanita itu.

"Loh? Kievlan?" sapa Puspa sambil tersenyum, menunjukkan bahwa ia senang sekali melihat Kievlan di sini. "Nyari Giska ya?"

"Enggak, kok, Tan, hehe."

"Eh, tapi anu-- dia lagi mandi." Puspa mengibaskan tangannya.

"Oh... iyaudah gak papa, kok, Tan."

"Mama," Ralatnya gemas, apa salahnya memang dengan panggilan mama? pikirnya. "Minum dulu yuk?" tambahnya, kemudian.

"Gak usah gak papa, Tan--" Kievlan meringis. "eh, Ma." Ralatnya, berusaha terbiasa memanggil Puspa dengan panggilan sakral.  

Tumben Ibu Puspa gak pake bahasa sunda...

"Beneran?"

"Bener, suer, deh." Kievlan berdeham. "Tapi, Ma, Giska udah balik daritadi atau baru?"

"Oh, udah dari tadi."

Ekspresi Puspa yang awalnya biasa saja langsung berubah jadi gelisah.

"Bentar, deh, mama kok bingung ya?" Puspa menyodorkan ponselnya. "Ini kalo status kita nelepon di Whatsapp tulisannya calling tuh nyambung gak, sih?"

"Kalo gitu mah, nggak, Ma." Kievlan menggaruk batang hidungnya. "Kalo nyambung tulisannya ringing."

"Aduh, mama khawatir, deh Si Gita belom pulang juga..."

Kievlan berhenti menggaruk. "Bukannya mama ada sopir?"

"Ada. Tapi lagi mudik, anaknya sakit."

Kievlan terdiam sejenak, "Sekolahnya Gita dimana?"

"SD Kartini Merdeka."


Memutuskan menyusul Gita, di sinilah Kievlan sekarang. Di depan pos satpam SD Kartini Merdeka. Awalnya laki-laki itu hanya berdiam diri di pos, tetapi ia tak jua melihat sosok Gita di area sekolah. Akhirnya ia mendekati satpam yang berdiri di depan gerbang.

"Pak, saya mau nanya," kata Kievlan. "Bapak kenal sama murid yang namanya Gita gak?"

"Gita? Gita mana ya, Mas? Yang namanya Gita banyak..."

Kievlan mendecak pelan.

"Kelas berapa?"

"Kelas berapa, ya?" Kievlan menghela napas. "Gini, Pak, ciri-ciri anaknya tuh rambutnya bob kayak dora," ujarnya. "Kurang lebih tingginya segini lah." lanjutnya sambil menunjuk bawah dadanya dengan telapak tangan.

"Oh,  Regita?"

Kievlan menjentikkan jemarinya. "Ha iya kali, dah itu nama panjangnya, saya gak tau."

"Yang biasa dijemput sopirnya, toh?"

Kievlan mengangguk antusias. "Nah, iya. Bener. Yang itu!"

"Tadi, sih saya liat dia bareng temen-temennya jajan cilor di sana." Satpam itu menunjuk arah gang kecil di sebelah barat.

"Udah lama?"

"Lumayan lama, sih," kata pria bertubuh besar itu."Kalo nggak paling nongkrong di warung pop es Bude Sumiyati, sih biasanya."

"Yaudah kalo gitu makasih ya, Pak."

Tanpa berkata apa-apa lagi, Kievlan melepas sebelah tali tasnya di pundak langsung berjalan menuju suatu warung yang tadi ditunjuk satpam tadi. Tak pedulikan dua kancing bagian atas seragamnya sudah terbuka, dasinya sudah longgar.

"Permisi, ada Gita gak?" sapa Kievlan sesampainya di sebuah warung minuman yang agak terpencil di sebelah gang kecil.

Rombongan anak SD dari berbagai penjuru memenuhi warung dengan ocehan tak karuan hingga mereka tak menyadari keberadaan Kievlan. Ini pasti sudah menjadi tempat nongkrong favorit mereka. Kievlan berdiri di depan etalase, menatap aneka minuman sachet yang menggantung di atasnya.

"Gita?" tanya wanita paruh baya berdaster cokelat di balik etalase.

"Iya. Gita.. Regita?"

"Oh, dia, mah udah keluar daritadi bareng Bani sama Alda."

"Ke mana ya bu?"

Kening wanita itu berkerut, ia terlihat bingung. "Saya kurang ngerti ya, mas."

Setelah pamit, napas Kievlan mulai tidak teratur seiring otaknya berusaha untuk mencari Gita. Mungkin untuk beberapa orang, kejadian seperti ini bisa dianggap lebay. Bisa saja Kievlan lakukan hal ini untuk cari perhatian Puspa atau Giska. Terus terang ia khawatir terhadap Gita, bukannya apa-apa, Kievlan juga punya adik yang masih duduk di bangku SD. Tambah lagi berita penculikan anak sedang marak di khalayak publik.

Kembali ia meneruskan perjalanan, kaki yang sedang ia seret akan membawanya ke pangkalan bajaj dan ojek yang lumayan sepi. Tidak banyak orang yang datang ke sana, semenjak peredaran ojek online yang lebih diunggulkan masyarakat.

Namun saat ia melihat ke arah warnet di seberang pangkalan ojek, Kievlan langsung berlari ke arah sana.

"Gita!" Seru Kievlan, begitu berdiri di depan anak perempuan yang tengah menangis sendirian bangku rotan di depan warnet. "Wey, Gita!"

Ragu-ragu Gita mendongak dengan jejak air mata di pipi. Sebelum akhirnya merasa lega melihat sosok kakak SMA yang sudah lepek di depannya, seolah habis nge-gym tiga jam berturut-turut. 

"Kak burger?" sahut Gita parau.

Ekspresi Gita awalnya kaget langsung berubah menjadi melas. Gita menyalurkan kecemasannya dengan tangisan selama nyaris empat jam setelah pulang sekolah sendirian.

"Kok Gita di sini?"

"T--tadi Gita m--mhau naek bajaj, t--tap-tapi g--ghak ada-- huang..." Tangisan Gita semakin jadi.

"Kan bisa bayar di rumah?" Kievlan berkata pelan, matanya berkeliaran sekitar. "Sut! Udah, ah! Jangan nangis. Malu ah diliatin orang."

"Gita hajja g-ghak hapal jj--jhalan," kata Gita, masih terisak.

Kievlan akhirnya duduk di sebelah anak itu. "Terus tadi telfon mama kenapa gak diangkat?"

"Hape Gita low." Gita menyeka air matanya.

"Terus ini nangis karna apa?"

"Gita aus banget, Kak." Gita mengelus lehernya. Lalu mulai cerita, "T--tadi abis main petak umpet terus main tap jongkok, temen-temen Gita pada beli cilor sama pop es, Gita gak dibagi... hudah gitu mereka pulang ninggalin Gita... hyaudah-- Gita sendirian berjam-jam..."

"Uang jajan Gita abis?"

"Iya, tadi buat beli magnet-magnetan lima belas ribu, Gita cuma jajan lima ribu pas istirahat doang..."

Kievlan menghela napas, lalu berdiri. "Yaudah, Gita mau minum apa?"

"Pop es."

"Jangan ah. Ntar pilek," sergah Kievlan cepat. "Cari yang lain."

"Kakak emangnya mau beliin Gita?"

Bersamaan dengan dengusan napas lelah yang lolos dari hidungnya, Kievlan mengangguk.

"Yaudah susu bear brand aja dua."

Gita turun dari bangku rotan dan berjalan di sebelah Kievlan. Laki-laki itu berpindah ke kiri, menghalau anak perempuan di sebelahnya dari kendaraan yang lalu lalang.

"Kakak kok bisa tau sekolahku?"

"Dari Mama kamu."

Perlahan tapi pasti, Kievlan dan Gita menghentikan langkah kaki di depan warung jajanan di sebelah warnet. 

"Susu bear brand tiga, pocari dua." ujar Kievlan ke penjaga warung berkaos hitam di depannya.

Setelah menerima uang kembalian, tangan Kievlan yang bebas, mengambil sebotol Pocari dari plastik sebelum akhirnya ia meneguk minuman itu,

"Nih," Kievlan menyodorkan sekantong plastik hitam itu ke Gita.

Setelah menerima, Gita melihat isinya. "Ini pocarinya untuk Gita juga, kak?"

"Iye. Nanti seret kalo minum susu doang."

"Terus kok susunya tiga?"

"Terserah Gita buat siapa," kata Kievlan.

"Yaudah makasih ya, Kak."

Selama berjalan menuju parkiran mobil, Gita memandagi jalanan yang tengah mereka lalui. Kawasan sekitar sekolahnya memang tidak pernah sepi. Gita memperhatikan kendaraan yang berlalu lalang di sebelah kiri Kievlan.

Namun saat matanya terhenti pada Kievlan, jika diperhatikan dengan saksama, ternyata kakak SMA yang satu ini ganteng juga. Senyum jahil Gita mengembang, ada sesuatu yang muncul di kepalanya.

"Kak, Gita boleh nanya sesuatu gak?"

"Nanya apa?"

"Tapi jangan kasih tau siapa-siapa, loh ya? Apalagi kalo sampe bilang ke Kak Giska."

Kievlan mengangguk.

"Terus beneran ya kakak harus jawab jujur. Awas loh sampe bohongin Gita."

Kievlan menghela napas. Gak adek gak kakak mirip gini kelakuannya. Heran gue. "Iye-iye apaan si emangnya?"

"Janji?"

"Ilah! Janji, dah janji."

"Kakak tuh sebenernya pacaran gak sih sama Kak Giska?"

Kievlan tidak langsung menjawab, ia menelan ludahnya, dan memandangi Gita sebentar.

"Nggak," jawab Kievlan, tiga detik kemudian.

"Bohong."

"Beneran."

"Bohong!"

"Bener."

Gita berhenti melangkah. "Bohong ah!"

Kievlan terkekeh, tetap berjalan. "Lah, serah."

"Yaudah kalo gitu, tunggu Gita gede ya, Kak." Gita langsung menyetarakan langkahnya dengan kakak SMA di depannya.


Tok tok!

"Masuk!" Giska menoleh ke arah pintu kamar, sebenarnya ia sudah tahu siapa yang mengetuk pintu kamarnya.

"Udah pulang daritadi, Kak?" Gita duduk di bibir kasur, memandang ke arah lemari. Terlihat Giska kakaknya menggangguk sambil menutup pintu lemarinya.

"Abis darimana, Kak? Kok pas Gita baru nyampe rumah kakak gak ada?"

"Mcd."

"Sendirian?"

Giska mengangguk lagi, gerakannya lebih pelan dari yang tadi.

"Nih, buat kakak." Gita menyodorkan susu kaleng bergambar beruang ke kakaknya. "Maap, ya baru ngasih. Tadi Gita langsung tidur pas nyampe."

"Makasih." Giska meletakkan susu kaleng tadi di nakas.

"Gak gratis, pinjem MacBook-nya."

Bila biasanya Giska langsung ngomel kali ini tidak, ia justru berkata, "Ambil di meja."

Tak berapa lama setelah Gita keluar dengan MacBook di pelukannya, pintu tertutup. Giska merebahkan diri di kasur. Ia menatap kosong ke langit-langit, berpikir apa yang sebenarnya terjadi saat ini. Ada hal lain yang membuatnya dihantui rasa takut selain kejadian pelecehan seksual tadi, yakni, kejadian Widura memeluknya.

Hari ini benar-benar gila.

Nyatanya, kejadian peluk itu benar-benar menimbulkan efek yang begitu dahsyat pada dirinya. Otomatis pula Giska langsung teringat Estrella.

Apa jadinya jika Estrella mengetahui hal ini?

Giska tahu rasanya ditusuk dari belakang.

Namun kini apa bedanya ia dengan Nanda?

Perasaan Giska berkecamuk. Giska menyesali dirinya yang tadi terbawa suasana, malah membiarkan Widura memeluknya. Tetapi, harusnya juga ia tidak pantas tiba-tiba diperlakukan seperti ini. Selain kepikiran Estrella, ada sosok lain yang berkeliaran di kepalanya.

Kievlan.

Giska diam, rasa gelisahnya semakin menjadi-jadi. Harusnya ia tidak perlu overthinking memikirkan Kievlan. Toh, sekalipun Kievlan tahu laki-laki itu juga pasti biasa saja karena ia tidak ada ikatan apapun dengan laki-laki itu.

Mencoba jernihkan pikiran, Giska beranjak dari tempatnya duduk ke kamar mandi untuk cuci muka sebelum tidur. Kemudian, saat sudah berbaring di atas kasur, ponsel yang ia letakkan di atas nakas bergetar dan layarnya menyala.

Giska membuka pesan itu tanpa membaca nama pengirimnya terlebih dahulu.

Kievlan G: udah tidur?

Sontak Giska terduduk. Ia menelan ludahnya, lantaran kaget bukan main.

Kievlan G: besok pulang sekolah gue mau ngomong

/g i t a (anggep aja rambutnya bob, ok)/

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top