28. Komitmen
iye cepet up btw , kalo part ini banyak yg komen besok up lagi. serius wkwkwk draft udah selese nih next chap wkwkw
mari tekan petrik jingganya<3
mxmtoon - Feelings are Fatal
Tidak seperti pagi-pagi sebelumnya, sesuai tekadnya Kievlan sudah berada di sekolah dengan raut jahilnya. Mengambil tiga buah buku tulis kosong dan rokok dari dalam backpack armynya sebelum memasukkan benda itu ke dalam loker.
Namun, bagian yang paling mencolok adalah penampilannya, hari ini ia berseragam rapi berdasi dan dimasukkan ke celana, tak lupa sabuk seragam yang melingkari pinggangnya. Tak ayal, dirinya ini jadi sorotan seisi lorong loker.
Kievlan sadar, tetapi ia memilih tidak peduli. Ia berjalan ke kelas dengan satu tangan menggenggam buku sementara yang satu lagi menenteng kantong plastik berisi dua styrofoam bubur.
Langkah Kievlan berhenti di ambang pintu kelas. Lorong kelas lumayan sepi karena bel masuk masih setengah jam lagi. Pintu kelas terbuka, Kievlan bisa melihat Giska sedang duduk menunduk menghadap meja, namun ketika Kievlan maju selangkah, ia melihat bahwa gadis itu tidak duduk sendirian.
Ada Ghazi di sebelahnya.
Laki-laki itu mendorong kenop cokelat tua, dan masuk ke dalam lalu memandang sekeliling. Giska masih di tempatnya. Jika dari tempat Kievlan berdiri sepertinya sedang bergerak menulis sesuatu. Dan nampaknya, ia belum menyadari kehadiran Kievlan di kelas itu.
Kenyataannya hanya ada mereka berdua di kelas.
Tetapi mata Kievlan terhenti pada tangan Ghazi yang melingkar di balik sandaran kursi gadis itu. Seperti, merangkul secara tak langsung.
Alih-alih menarik napas kasar, Kievlan langsung batuk dua kali, seolah menyadarkan mereka tentang kehadirannya.
"Hey, Kiev?" Ini suara Ghazi.
"Kok tumben?" Giska memelankan suaranya, agar tidak terdengar seperti ejekan di telinga laki-laki yang berjalan ke arah tempat duduknya.
Kievlan tidak merespon, laki-laki itu hanya membalas tatapan mereka sekilas sebelum akhirnya duduk di belakang Giska.
"Wih, bawa bubur! Enak tuh?"
Kievlan hanya mendongak, menatap Ghazi sekilas, lalu membuka bungkus styrofoam buburnya dengan tatapan tanpa minat terhadap makanan.
"Lo makan dua?" tanya Giska. Laki-laki itu menatap Giska dan Ghazi bergantian dengan santai dan menggeleng, melanjutkan makan.
"Terus satu lagi buat siapa?"
Kievlan menatap Giska sebentar, lalu mengaduk buburnya lagi. "Siapa, kek."
Ghazi nyengir. "Buat gue aja kalo gitu, kebetulan belom makan nih."
"Gak. Beli sendiri sana."
Ghazi mengernyit. "Dih? Katanya tadi buat siapa aja?"
Kievlan langsung menggeser styrofoam yang belum dibuka. "Orang ini buat Tamam!"
Giska menatap Kievlan heran. Aneh. Tadi bilang buat siapa aja. Sekarang buat Tamam... "Lo belom sarapan, Zi?"
Ghazi menatap Giska dengan tatapan yang menurut Kievlan menjijikan seraya menggeleng pelan.
Sok imut lu, kurap!
"Yaudah kalo gitu beli bubur aja yuk di bawah," kata Giska, berdiri. "Kebetulan gue juga belom sarapan."
Mata Kievlan membelalak, kaget. Anjing, mereka berduaan gitu?!
"Gue ikut!" Kievlan langsung berdiri.
"Hah?" Giska berbalik, menatap Kievlan dengan alis tertaut.
"Lo mau ikut ke warung bubur?" Ghazi ikut berbalik.
Kievlan mengabaikan pertanyaan Ghazi, masih berdiri dengan styrofoam bubur di genggaman.
"Kan lo lagi makan?"
Kalau sudah Giska yang bicara, Kievlan merasa perlu menyahut.
"Ya gue males lah sendokiran di kelas," kata Kievlan, jengkel. "Lagian ngapa gua gak boleh ikut? Kalian takut acara nge-date-nya keganggu?"
"Ganggu? Nge-date?" Giska mendengus kasar, dan menggeleng tak percaya. "Dari tadi kita tuh bahas musik, ya kan, Zi?" lanjutnya berpaling ke Ghazi.
Ghazi mengangguk dua kali.
"Lah? Bahas musik kenapa gak ngajak gue? Gue juga kan temen kelompok lo berdua!" Kievlan tak sadar jika intonasinya meninggi, seperti orang sedang demo.
"Kan kita pikir lo gak bakal dateng pagi, makanya kita diskusiin ini berdua dulu sambil nunggu Estrella sama lo." Giska mendesah pelan. "Lagipula emang lo ngabarin gue kalo hari ini lo bakal sekolah?"
Laki-laki bermata biru itu terdiam, tidak bisa langsung menjawab pertanyaan dari mulut Giska. Seharusnya ia mengabari Giska jika hari ini ia datang pagi.
"Hah! Bodo amat! Kelompok kita tuh ada lima orang ya." Kievlan meletakkan buburnya ke meja lagi. Selera makannya sudah hilang. "Lagian yang kalo namanya diskusiin kelompok itu gak ada yang berduaan. Apalagi lo cewek, dia cowok. Nanti jadi baper-baperan yang ada!"
"Loh? Kalopun kita baper-baperan apa urusannya sama lo?" Ghazi membalikkan ucapan Kievlan.
Mendengar pernyataan mengejutkan dari mulut Ghazi membuat Kievlan dan Giska membenarkan posisi berdiri mereka menjadi lebih tegak. Diluar kendali, satu tangan Kievlan mencengkram saku celananya seolah menyalurkan keterkejutan yang ia rasakan.
Sementara Giska memasang pendengarannya baik-baik, menunggu apa yang akan dikatakan oleh Kievlan.
"Ya gak professional aja baper sama temen kelompok sendiri. Karna gue gak mau ada drama urusan kelompok dicampurin urusan pribadi."
Giska mencoba abaikan ucapan Kievlan, paling nyawa anak ini masih belum kumpul seratus persen.
"Loh? Emang lo gak pernah baper sama dia?"
"Nggak, lah!" sahut Kievlan, tanpa berpikir.
Untuk kali ini, Giska tidak dapat mengabaikan omongan Kievlan. Matanya membelalak selama dua detik. Bibirnya terkatup rapat, diluar kendalinya. Entah mengapa dadanya seperti tercubit, tetapi ia sendiri tidak begitu yakin dengan perasaannya sendiri. Namun bukankah ia terlalu naif bila kecewa dengan pernyataan Kievlan barusan?
Jadi, selama ini Kievlan hanya memberinya harapan palsu? Tunggu dulu, sejak kemarin Kievlan memang tidak berjanji apapun padanya. Ia hanya berjanji akan bersekolah dan bersamanya. Dan, Kievlan menepati kedua janjinya itu. Lalu apa yang salah?
Ah ya, semua memang salahnya sendiri.
Salahnya berekspektasi terlalu jauh. Salahnya juga terlalu mendramatisir perhatian dan kontak fisik dari laki-laki itu. Seharusnya Giska mendengarkan omongan Anika. Untuk yang kedua kalinya, Giska dikecewakan oleh ekspektasinya sendiri.
Sebenarnya, bukan hanya Giska yang kecewa di sini. Tapi Kievlan yang bicara juga, ia menyesali mulutnya yang selalu asal dalam berucap. Dari sudut matanya, Kievlan dapat melihat bagaimana Giska sekarang merasa seperti terganggu atau lebih tepatnya kesal.
Jika saja omongannya dapat ditarik seperti di chat, Kievlan sudah pasti lakukan itu. Secara tidak langsung, Kievlan baru saja membuat komitmen untuk kelompoknya.
Komitmen sekaligus bumerang untuknya sendiri.
Senyum Ghazi berubah jadi kekehan kecil. Kalau boleh jujur, ia merasa sedikit lega dengan komitmen yang Kievlan buat. "Yaudah, berarti lo gak boleh baper-baperan juga dong sama Si Jawir?"
"Giska." ralat Kievlan kelewat cepat. "Nama dia itu Giska. Bukan Jawir!"
Keempat murid yang sebenarnya masih bingung mengenai pembagian alat musik apa saja yang akan dipegang berkumpul di studio lantai tiga.
Estrella duduk di kursi, menggumamkan lirik, mengingat-ingat tempo, meski lagu pilihan mereka sudah di luar kepalanya.
Ghazi yang masih bingung memainkan alat apa, mengambil bass, sambil sesekali memetikkan senarnya, mengingat-ingat chord lagu yang Estrella nyanyikan.
Sedangkan Giska hanya duduk di kursi, memangku gitar akustiknya di atas paha sambil memainkan ponsel.
Di tempat yang tidak terlalu jauh, Kievlan duduk di balik drum sambil memukul stick ke drum sambil sesekali mencuri pandang ke Giska. Sejak jam pelajaran beralngsung, Giska tidak menegurnya seharian.
Sekalipun menegur, hanya karena bertukaran buku saat mengecek PR, itu juga karena disuruh guru, jika tidak. Sama sekali tidak ada percakapan diantara mereka.
"Guys, ini beneran gak ada yang tau Widura dimana?"
Ketiga anak itu hanya menoleh sekilas ke Ghazi tanpa ada yang membuka mulut.
"Kievlan? Lo tau?"
Kievlan mengangkat kedua bahunya.
"Estrella?"
Estrella menggeleng.
Pandangan Ghazi terhenti pada Giska. Tidak mungkin ia bertanya pada orang yang dipermalukan Widura kemarin.
"Terus ini kelompok kita gimana? Pembagian megang alat aja belom jelas. Makanya gue bingung mau megang apa, kalo udah ketauan Widura main apa, sih enak..."
Kievlan mendecak pelan, dongkol terhadap kelakuan Widura.
"Aku udah nyoba hubungin Widura, tapi gak ada respon," kata Estrella.
Giska yang tidak tahu harus berkata apa hanya diam, memandang sekeliling ruangan.
"Undur aja kali ya?"?Ghazi menghela napasnya. "Gue juga ngeliat kalian kayak gak ada semangat-semangatnya."
Kievlan mulai terpancing. "Terus lo maunya gimana?"
"Bukan gitu," Ghazi melembutkan intonasinya. "Kelompok kita itu kan berlima, bukan berempat. Terlepas dari sifat kerasnya Widura, dia tetep anggota kelompok kita. Kita gak akan jalan kalo gak ada dia."
"Yaudah kalo gitu gak ada cara lain," Kievlan menghela napas. "Kita cari dia."
"Cari kemana?"
"Gue cari ke tempat yang kira-kira dia tongkrongin," kata Kievlan. "Kalian terserah."
"Jadi kita mencar-mencar gitu nyarinya?" tanya Estrella.
"Iya,"
"Nyusahin banget, sih." rutuk Giska yang baru kali ini bersuara. Ia lalu berdiri dan memasukkan gitarnya ke tas gitar.
Kemaren lo bilang dia fix ikut kalo ada Kievlan. Gimana sih nih si Ghazi?
"Yaudah ayo."
Estrella berdiri di sebelah sahabatnya, menunggu Giska meretsleting tas yang ia bawa. Setelah tasnya teretsleting rapat, ia menggenggam tangan Estrella.
"Gis,"
Tak tahan kebisuan yang terjadi di antara mereka berdua membuat Kievlan mengeluarkan suaranya. Dalam dirinya, ia berasumsi kalau Giska tidak suka dengan apa yang pagi tadi ia nyatakan.
Giska menatap Kievlan datar, masih menunggu kalimat yang akan disampaikan Kievlan. Terlepas dari rasa kecewa di dirinya, Giska tidak memperbolehkan dirinya terlalu mengentarakannya. Giska mendikte dirinya harus bersikap se-normal mungkin. Gadis itu melepas genggamannya pada Estrella.
Satu hal Estrella ketahui, jika Kievlan memanggil Giska tanpa sebutan Jawir tandanya ada hal yang serius atau janggal. Meskipun Giska belum menceritakan apapun, ia yakin ada yang tidak beres, dan ia dapat mengangkap kecanggungan mereka berdua. Perempuan berambut ikal itu mundur, membiarkan Kievlan dan Giska bicara.
"Apa?" tanya Giska, akhirnya.
Seolah kehilangan kalimat, Kievlan malah menghela napas sambil berkata, "Nggak."
Tanpa berniat merespons, Giska menarik tali ransel pink-nya seraya menggandeng Estrella keluar, dari cengkraman pada lengannya, Giska tidak dapat menyembunyikan kekesalannya lagi. Itu yang Estrella tangkap.
Kendati demikian, gadis itu memilih diam pura-pura tidak tahu. Karena ia paham jika situasi hati Giska masih emosi, Estrella putuskan akan bertanya jika Giska sudah lebih tenang.
Suasana koridor yang tadinya masih ramai sejak tadi dipenuhi suara riuh dari setiap mulut memenuhi lorong sekolah. Giska dan Estrella masih berjalan, di belakang mereka ada Kievlan dan Ghazi.
"Gila sih, baru mesen langsung dapet driver."
"Tumben gak sama Pak Bahar?"
Mereka terus berjalan, masih dikawal dua laki-laki itu.
"Pak Bahar gak masuk," kata Giska. "Btw, drivernya udah di depan sekolah. Duluan ya!"
"Daah!"
Saat melambaikan tangan ke Estrella, Giska melihat Ghazi dan Kievlan. Namun ketika tatapannya dan Kievlan bertemu, Giska langsung berbalik, berjalan ke arah gerbang.
Melihat punggung Giska lama kelamaan menghilang di balik kerubungan anak-anak yang juga berjalan menuju arah gerbang, Kievlan tidak bergerak di tempatnya, ia mematung memandangi kepergian perempuan itu, hingga beberapa detik setelahnya barulah ia melangkah ke arah parkiran mobil, melewati Estrella dan Ghazi yang kini bersebelahan.
"Aneh ya mereka?" kata Ghazi ke Estrella.
"Mereka siapa?"
Ghazi menendang batu-batu kecil ke sembarang arah. "Giska-Kievlan."
"Loh? Emang mereka kenapa?"
"Tadi pagi Kievlan bilang gak boleh ada yang baper-baperan di kelompok, katanya gak professional. Terus gue nanya ke dia baper sama Giska apa nggak, katanya nggak. Padahal gue gak serius nanyanya cuma canda sekalian nantangin, eh Kievlan langsung nyaut kayak gitu,"
Penjelasan Ghazi yang begitu detai membuat langkah Estrella memelan, gadis itu berhenti sesaat untuk menghadap Ghazi.
"Kievlan bilang gitu?"
Suara rendah gadis di sebelahnya itu dianggap kekecewaan yang tersirat oleh Ghazi.
"Kenapa? Lo kecewa ya gak boleh baper sama Widura?" tanya Ghazi hati-hati.
Saat bertanya, sebenarnya yang terluka bukan hanya Estrella, tetapi ia yang bertanya juga. Terkadang kondisi tidak tahu apa-apa lebih menenangkan, dibandingkan tahu tetapi terluka.
/ghazi x estrella/
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top