26. Kain Merah

maap ya ini part almost 2k words maap2 aja wkwkwk panjang men. maaf kalo ada typo yaa parah nih ketik di wp langsung di laptop ga enak bgt huhu:((

seperti biasa jgn lupa tekan pattrick kuning yaa

Russ - Losin' Control

Bukan puasa ataupun diet, tiga hari belakangan ini Giska dan kawan-kawan menghabiskan istirahat dengan wifian di kelas. Berhubung kemarin mereka istirahat di IPS 3. Hari ini gantian di kelas IPS 4, kelasnya Giska.

"Si Ella ampun dah kalo udah ketemu cowoknya lupain kita." Anika yang duduk di kursi guru mengeluh pelan mengingat tabiat temannya itu.

Giska dan Aci hanya menoleh sebentar ke Anika, tanpa merespons ucapan gadis itu.

"Hey, Gis," Sapa Ghazi yang mendatangi mejanya dengan satu tangan menggenggam ponsel.

Giska mendongak. "Hey."

"Kata anak-anak kelompok kita latihannya fix lusa ya."

Giska manggut-manggut. "Itu udah termasuk Widura?"

"Udah, kok." Ghazi tersenyum. "Lagipula ada Kievlan kan, pasti dia mau lah kalo ada Kievlan."

"Oke kalo gitu." Ghazi mengintip sekilas ke laptop Aci. "Eh, Aci jangan download dong, pantesan lemot banget gue streamingnya."

Suara Ghazi yang terdengar membuat Aci mengubah posisi duduknya. Giska dan Anika yang duduk berhadapan dengan Aci langsung menoleh ke sumber suara yang masih berdiri di dekat mereka.

"Ih? Wifian di ruang kepsek aja, kali, Zi kalo mau yang cepet mah."

"Widura, astaga!" Kedatangan Estrella yang baru masuk ke kelas, membuat murid-murid di kelas menoleh ke arahnya. Kini bukan Aci-Ghazi lagi yang jadi sorotan.

Terlihat Estrella menyusul Widura yang lebih dulu memasuki kelas. Seluruh murid di dalam kelas itu mulai memasang perhatian lebih dari sebelumnya. Melihat langkah keduanya yang terkesan buru-buru, memancing Giska menatap kedua temannya bergantian seolah bertanya, 'kenapa sih?'

Namun hanya dijawab kedikan bahu oleh kedua cewek itu, karena mereka terbiasa dengan drama pasangan itu. Sama halnya dengan orang-orang yang masih di dalam kelas, mereka memilih bertingkah seperti tidak tahu apa-apa.

Kehadiran cowok itu bahkan mengubah aura kelas yang awalnya cerah, menjadi gelap dan keruh. Itu, yang murid-murid rasakan, terkecuali Giska.

"Wid!" Panggil Estrella dengan intonasi lebih tinggi.

Yang dipanggil bahkan tidak menoleh atau menyahut. Fokus Giska menajam saat melihat Widura berjalan menuju tempat duduknya.

"Anjing!"

Umpatan itu terdengar pelan oleh orang-orang yang masih di kelas, mereka hanya menoleh. Tapi semua memilih diam, dan kembali pada aktivitasnya masing-masing.

Bukannya apa-apa, mereka tak ingin bermasalah dengan sosok itu.

"Aduh mampus aduh... Nik, pindah ke kelas kita aja, yuk?" Bisik Aci, langsung menutup flip laptopnya.

Giska menoleh sekeliling. Sama sekali dia tak percaya pada respons cowok-cowok di kelasnya. Bahkan satupun dari mereka tidak ada yang menegur tindakan kurang ajar cowok itu.

Mata elang itu kembali menelusuri meja bahkan hingga ke kolong, namun masih saja dia tak menemukan barang yang dicarinya.

Tangan kekar cowok itu meraba kolong meja, tapi tetap saja. Nihil. Barang yang ia cari benar-benar hilang. Hanya ada buku-buku dan lembaran kertas konyol di sana.

Layaknya frustrasi karena tak menemukan barang yang dicari, Widura menendang meja Giska. Hal ini sontak membuat Giska gregetan ingin berjalan ke arah mejanya. Apa-apaan orang ini?

"Maafin aku, Wid. Aku kira kamu--" Estrella meraih tangan Widura, sorot matanya penuh penyesalan.

Widura menepis kasar tangan Estrella. Emosinya sudah di level teratas. Widura butuh barang itu, ia perlu mengonsumsinya paling tidak sedikit saja, sudah tiga hari berturut-turut ia dijangkit insomnia. Karena Widura hanya menyimpannya satu, dan ia menitipkan barang tersebut ke Estrella beberapa hari yang lalu.

Dan, sekarang Estrella dengan entengnya meminta maaf, ini yang Widura benci dari semua manusia, kata maaf itu tak berguna apa-apa. Kata maaf tidak akan memperbaiki kondisi. Baginya, maaf adalah hal yang sia-sia.

Karena sekarang Widura teramat butuh barang itu untuk kelangsungan hidupnya, dan ia begitu yakin jika Kievlan sudah tidak memakai barang itu lagi. Ia yakin Kievlan sekadar coba-coba.

Widura menggosok belakang kepalanya brutal. "Dimana lo naronya?!"

Estrella menahan napasnya, lalu menggeleng cepat. Mimik wajahnya juga terlihat panik. "Aku juga ke-kelupaan--"

"Ngomong yang bener, goblok!" Bentak Widura, akhirnya.

Tanpa aba-aba dan pertanda apapun, Giska langsung meninggalkan tempat, berjalan ke arah Widura.

"Dasar banci!"

Seruan yang meluncur dari mulut Giska terdengar begitu keras, sontak membuat seisi kelas menoleh ke sumber suara dengan raut kaget. Kini bukan lagi Widura ataupun Estrella yang jadi sorotan, tetapi Giska. Nyali gadis itu malah mengundang delikan Widura, delikan membunuhnya.

Anika dan Aci sontak saling pandang, tak habis pikir dengan tindakan teman mereka. Tapi, di sisi lain, mereka juga takut bermasalah Widura.

Sebenarnya Giska tidak ingin dianggap sok jagoan atau apa, tetapi Giska tidak suka sahabatnya diperlakukan seperti ini. Terlebih Estrella temannya yang paling lembut dan sabar. Tidak boleh ada yang menyakiti teman sebangkunya.

Mengingat jasa Estrella sepertinya tidak sebanding dengan apa yang dia lakukan sekarang. Tanpa Estrella, masa SMA Giska bisa saja menjadi masa yang menyedihkan. Jika tak ada Estrella bisa saja dia jadi anak ansos tak punya teman.

Atau bisa jadi kejadian di sekolah lamanya terulang.

Tak butuh waktu lama bagi Widura untuk berjalan mendekati Giska.

"Ngomong apa lo barusan?" Tanyanya, begitu sudah berhadapan dengan Giska.

Jarak antara sepatu dua anak itu hanya dua jengkal. Bahkan Giska dapat menghirup bau rokok bercampur alkohol yang menguar dari tubuh laki-laki itu.

Dengan napas tersenggal, Giska mengeraskan rahangnya. Perempuan yang rambutnya digerai itu menelan ludahnya. Sumpah demi apapun Giska juga tidak menyangka terhadap apa yang keluar dari mulutnya tadi.

"Kok diem?" ujar Widura kalem, dingin, tajam.

Hanya Widura yang mampu berujar sedatar dan sekalem itu, namun terdengar mengerikan oleh lawan bicaranya. Sementara mulut Giska terkatup rapat, namun mata perempuan itu masih menatap mata Widura lurus-lurus.

"Jawab, dong?"

Masih sama.

"Gue kan cuma nanya lo ngomong apa barusan, njing."

Sontak para siswa melotot saat laki-laki itu menarik kerah Giska.

"Eh, jawab, dong!" Kali ini dia mendorong Giska, hingga punggung cewek itu menempeli tembok.

Dinginnya tembok ternyata tidak mampu meredakan rasa panas pada punggung Giska. Mati-matian dia menahan airmatanya agar tidak jatuh. Jantung perempuan itu berdebar tak keruan, dia bahkan tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Widura udah!"

Ghazi sejak tadi terusik di tempatnya langsung mendekat, berupaya melerai mereka. Widura menoleh sekilas, satu tendangannya mendarat ke paha atas Ghazi, nyaris mengenai area sensitif cowok itu.

Sontak Ghazi mundur perlahan, percuma juga. Jika dia lawan Widura, berarti dia tidak ada bedanya dengan banteng itu.

"Widura, dia cewek!" Ghazi kembali menegur.

"Bacot, anjing!"

"Lo yang anjing." Giska mengontrol suaranya agar tidak bergetar. "Dasar banci."

Kalimat barusan sukses membuat Widura semakin meradang. Tangan kirinya mempererat cengkramannya di kerah Giska. Sedangkan yang kanan, terangkat membentuk kepalan seperti siap melayangkan tinju.

"Widura!" Tepat saat Estrella berteriak seperti itu...

BUG!

Giska tidak berani membuka matanya saat satu tinju melayang ke tembok, tepat di sebelah telinganya. Hingga kulit tembok sedikit retak dan mengelupas.

Tinjuan tadi bahkan membuat beberapa helai rambut Giska ikut tertarik, agak sakit memang. Tapi sakitnya tak seberapa dengan rasa takut yang kini menggelayutinya.

Karena Widura tidak ada waktu untuk bermain-main. Apa yang menurutnya layak dimusnahkan, harus dimusnahkan saat itu juga.

"Jaga mulut lo," kata Widura pelan tapi tajam. "Atau nasib lo kayak tembok ini."

Kemudian laki-laki itu melepas kerah kemeja Giska dengan kasar. Dan meninggalkan kelas dengan langkah angkuhnya.

Respati Widura Anugerah, namanya bertentangan dengan kepribadiannya. Karena bagi kebanyakan orang, dia bukanlah anugerah, justru sebaliknya; bencana.

Siapapun yang berani kibarkan kain merah padanya harus siap tanggung resikonya. Laki-laki ataupun perempuan, tua ataupun muda, semua patut disikat habis. Tidak ada toleransi.

Dan tanpa Giska sadari, dia baru saja mengibarkan kain merah pada banteng sekolah.

Anika yang duduk di tepi kasur, mengusap kaki Giska, mencoba menyalurkan kekuatan di sana. Namun tetap saja, usahanya tidak membuahkan hasil. Temannya ini masih juga menangis.

Setelah kejadian tinju tembok tadi, Anika dan Aci membawa Giska ke UKS. Selama di UKS Giska hanya berbaring sambil mengusap airmatanya yang terus-terusan merebak. Suara tangisannya tidak keras, tetapi isakannya tidak dapat dicegah.

Bayangan tadi kembali hadir. Wajah datar itu, bola mata yang kemerahan, rambut gondrongnya, dan gesture arogannya. Semua masih membekas di benak Giska. Semua.

Masih menangis, gadis itu memegang kerah kemejanya yang lecak akibat cengkraman bajingan itu, ia lalu mengusapnya, seolah mensucikan kerahnya dari sentuhan orang tersebut.

Berbagai gejolak emosi membuat dada Giska terasa sesak. Mulai dari takut, kaget, sedih, marah, sakit hati. Baru kali ini dia diperlakukan sekasar ini oleh seorang laki-laki.

Tunggu dulu... memangnya orang macam Widura layak disebut laki-laki?

"Kan gue pernah bilang, jangan pernah berurusan sama Widura." Anika menghela pendek, "Dia itu bantengnya sekolah. Gue ngomong kayak gitu tuh sesuai fakta. Sama sekali gak ngada-ngada."

"Ya gue gak terima aja lah Ella digituin!" Seru Giska, masih terisak. "Lagian kenapa juga si Ella mau dipacarin sama orang yang kayak dia? Emang gak ada cowok lain apa?!" Tambahnya berapi-api.

Jika Aci menceramahi Giska dengan kalimat bijaknya, Anika memilih diam, tidak ingin memperkeruh suasana. Walau dalam hati ia mengiyakan juga ucapan Giska. Karena, Anika tahu Widura siapa. Bahkan dia tahu persis latar belakang cowok itu.

"Tapi lo gak ditonjok beneran kan, Gis?"

"Nyaris." Giska membuang ingusnya ke tissue. "Tapi gue sakit hati banget."

Giska menarik napas dalam-dalam, mungkin jika kejadian tadi tidak disaksikan banyak orang, rasanya tidak akan sesakit ini. Tetapi, tetap saja, seumur hidupnya baru kali ini ia mendapatkan perlakuan teramat kasar dari lelaki.

"Iya lah gue jadi lo juga sakit hati, kalo distrike kayak gitu." Aci berujar pelan. "Sekarang Ella dimana?"

"Ke cowoknya lah," jawab Anika.

"Dia dilema banget tuh pasti." Aci menghela napas. "Mau bela temen atau pacar. Mana pacarnya sycho pula."

"Berisik amat si." Suara bariton yang familier itu membuat tangis Giska terhenti.

Anika langsung menyibak gorden, dilihatnya seorang cowok berjaket baseball biru itu tengah berdiri dengan kedua tangan terlipat di belakang kepala.

"Kievlan?!" Aci melongo. "Lo ngapain?"

Giska terenyak, namun dia tidak mengubah posisi tidurnya, buru-buru ia menghapus airmata perempuan itu. Anika menggeleng geli.

"Pengen tidur ganteng lah. Yekali ngopi." Kievlan memilin lengan kemejanya.

Jengkel sekaligus gemas, Anika melempar guling ke arah Kievlan. Sebenarnya bukan itu alasan Kievlan ke UKS, berakhirnya ia di sini karena ia tak menemukan sosok yang dicarinya di kelas. Dan sekarang, menemukan sosok yang dicarinya ternyata sedang berbaring menghadap tembok sambil sesegukkan, saat itulah ia sadar bawa Giska juga tidak baik-baik saja.

"Kenapa dia?" Kievlan menatap Aci dan Anika bergantian.

"Nanti aja ceritanya." Anika yang menyahut. "Ayo ke kelas."

"Lah? Si Jawir gak ikut?"

"Ijin," kata Aci.

"Yaudah gue juga kalo gitu."

"Ih! Masa berduaan?" Anika melotot kaget.

"Ih! udah lah masuk yuk! Pelajaran Bu Murni, nih! Ulangan!" seru Aci, ia menarik Anika yang masih menudmel keluar.

Pintu tertutup, Kievlan tahu jika sebentar lagi UKS akan dijaga oleh guru piket. Tetapi, Kievlan tak peduli. Dia tidak mau membiarkan gadis di hadapannya sendirian. Kemudian Kievlan berjalan ke arah ranjang, dan duduk di tepi kasur tempat Giska berbaring.

"Lo kenapa?"

Giska menggeleng.

"Serius?"

Giska menggeleng, namun isakkannya tak dapat ia cegah.

Kievlan menyentuh kedua bahu Giska, mencoba bangunkan gadis itu. Tubuh Giska terduduk, namun perempuan itu menutup wajahnya dengan kedua tangan rapat-rapat. Kievlan tahu jika gadis di depannya tidak ingin tangisnya terlihat.

"Kenapa ditutupin gitu mukanya?"

Giska bergeming, namun bahunya masih bergetar.

"Gis."

Suara Kievlan yang agak berubah lebih tegas membuat Giska akhirnya menurunkan kedua tangannya, padahal Kievlan tidak menyuruhnya membuka tangannya. Tetapi wajah Giska penuh dengan jejak airmata, hingga beberapa rambutnya menempel karena lengket oleh airmata. Kievlan berdiri, perasaannya mendadak gelisah sampai ia sendiri bingung mengklaim jenis perasaan apa ini.

Yang jelas rasanya sangat tidak nyaman.

"Lo kenapa?"

Giska mendunduk, menatap keramik putih di bawahnya.

"Basah bener sih muka lo." Tanpa diduga, Kievlan membungkuk, menarik bawah seragamnya, dan mengusap pipi Giska yang dipenuhi airmata. "Sisih ntar ingusnya."

Giska langsung mendongak, terkesiap dengan tindakan cowok di depannya.

"Siapa yang bikin lo begini?"

Laki-laki itu langsung berjongkok di hadapan Giska, menjadikan kedua lutut yang tertekuk sebagai penyangga.

"Siapa, Gis?"

Butuh waktu dua menit, menimbang-nimbang untuk Giska menjawab pertanyaan itu atau tidak.

"Widura."

"Lo diapain?"

Giska menggeleng.

"Dipukul?"

Masih sama.

"Terus?"

Kali ini Giska hanya mengangkat kedua bahunya sambil menghela napas.

Tidak mau terkesan mendesak, Kievlan akhirnya berdiri tegak, "Besok-besok gue gak bakal bolos lagi. Gue bakal di kelas sama lo terus."

Debaran jantung Giska menggila ketika satu tangan Kievlan menggamit kelima jemari kanannya dan mengusapnya lembut.

Kini tanpa bisa dielak oleh siapapun terutama dirinya sendiri, Kievlan tersadar jika; Giska merupakan bagian terpenting di hidupnya mulai sekarang.

Tidak ada yang boleh menyakiti Giska, sekalipun Widura sahabatnya sendiri.

HIYAHIYAHIYA OKE UDH BAPER2AN SEPERTINYA

/w i d u r a/

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top