25 (b). Bagaikan Langit
teruntuk part ini gue harap antusiasme kalian kayak kemarin yaa hehe karna ini masih sweet. gt aja untuk kronologinya lebih baik dibaca^^
Jgn lupa vomments yaa makasih^^
Gryffin - Nobody Compares To You
Suara dengkuran halus yang nyaring berhasil menyelamatkan seorang laki-laki dari mimpi buruknya, sontak ia membuka matanya. Tatapannya langsung tertuju pada perempuan yang tengah tidur di sofa depannya.
Giska.
Ia menyentuh keningnya yang dibalut handuk basah.
Meski terbangun dengan kesadaran yang begitu minim, ia ingat semalam tadi memeluk perempuan di hadapannya. Setelah kejadian pelukan itu, Kievlan tidak mengingat kejadian selanjutnya.
Tetapi, bukan itu yang terpenting, mendapati Giska masih bersamanya menenangkan. Kedua ujung bibir Kievlan tertarik, membentuk senyum. Bisa dirasakan lubang dada Kievlan melonggar.
Kievlan melepas handuk di keningnya dan memijatnya karena kepalanya tiba-tiba terasa pusing. Pandangan Kievlan lalu beralih pada baskom berisi air hangat di atas meja serta semangkuk makanan oatmeal ber-topping stroberi dan pisang. Jadi, Giska semalaman menjaganya?
Laki-laki itu beranjak dari tempaynya menuju balkon, dan mengeluarkan ponselnya, mencoba hubungi Anika.
"Halo, Nik---"
"Eh! Parah sih! Lo tau gak? Si Giska ilang woy! Ilang!" potong Anika langsung. Kievlan refleks menjauhkan ponselnya.
"Gila banget gue puyeng ditelponin Tante Puspa nanyain si Giska lagi dimana."
"Aduh gue takut dia dibawa---- Amit-amit Ya Allah astagfirullah!"
"Eh astaga dimana ya tu anak asli, dah gue merinding masa iya gitu si Giska yang kalem digondol kolong wewe?"
Deretan komentar drama tadi mengundang dengusan lelah Kievlan. Kievlan memejamkan matanya seraya memijat keningnya. Sejujurnya ia menyesali keputusannya menelepon Anika. Pasti jika Kievlan mengatakan keberadaan Giska sekarang Anika bakalan ngegas parah.
"Dia lagi sama gue."
"HAH?! KOK BISA, SIH, PLI?!"
Nah kan.
"Tapi gue gak apa-apain dia." Kievlan mengusap wajahnya. Benar-benar menyesal menelepon Anika. Mungkin jika ia menghubungi Aci tidak akan seruwet ini. "Gue gak apa-apain dia sumpah!"
"BOHONG!"
"Sumpah!" Kievlan kembali memijat keningnya yang terasa semakin berat. Nada suaranya pelan, namun tidak ada intonasi bercanda di sana. Ia mengatakannya begitu serius.
"BOHONG!" Anika masih histeris. "BOHONG BANGET LAH TAI LU YA! TEMEN GUE ITU WOY!"
"Anjing!" umpat Kievlan, lepas kendali. "Lu tanya, dah anaknya! Gue apain dia!
"AWAS LO YA!" Anika mulai ngos-ngosan. "SAMPE BERANI NYIUM ATAU GEREPE-GREPE DIA!"
Hah? Sembarangan banget Anika!
"Anjir! Lu pikir gue PK?!" Seru Kievlan, sewot. "Lo tolongin gue bisa gak? Gak mungkin nyokapnya tau dia di apartemen gue."
"LO MAU NYURUH GUE BOHONG KE MAMANYA GISKA GITU?!"
Kievlan refleks menjauhkan ponselnya. Memangnya dia pikir Kievlan penjahat kelamin?
"Gak usah teriak, anjir!"
"Ya lagian!" Anika langsung mengecilkan intonasinya.
"Lu tolongin Giska. Bukan gue." Kievlan memejamkan matanya, ibu jari dan telunjuk tangan kanannya menekan pangkal hidung, dan ia menyandarkan satu tangannya ke tembok.
"Emang dia lagi ngapain?"
Lelah dengan ribetnya Anika, ia buru-buru mengatakan kepada Anika agar meneleponnya lagi nanti. Yang jelas, Kievlan ingin buktikan jika Giska berada di tempat yang aman.
Silaunya cahaya matahari memaksa Giska membuka matanya. Hal pertama yang dilihatnya adalah gadis berambut hitam tengah berbaring di sebelahnya dengan ponsel digenggamannya.
"Lo udah bangun?" Anika langsung duduk, dan meletakkan ponselnya di dekat bantal.
"Nik?" Giska menyibak selimut, dan terduduk.
"Lo gak diapa-apain kan?!" Mimik wajah Anika mendadak ngeri. "Coba leher lo gue cek." kemudian ia menyibak rambut Giska. "Alhamdulillah gak ada apa-apa. Tapi lu ngerasa kayak digrepe-grepe, gitu gak?"
"Nggak lah!" Refleks, Giska melotot. "Tapi kok gue bisa di sini?!"
Tatapan Giska menyapu sekeliling ruangan yang nampak begitu asing baginya. Sekeliling tembok berwallaper planet tata surya serta dekorasi drum dan ring basket di sudut kamar. Jelas sekali kalau ini bukan kamar yang ia kenali.
"Iya. Tadi lo digendong Kipli."
Giska kembali melotot. "HA?!"
"Tadi gendongnya kan depan gue, dia nyuruh gue liatin lo diapain."
Kelegaan Giska hanya bertahan sesaat, mendadak ia teringat mamanya. Astaga! Matilah Giska jika ibunya tahu ia bermalam di tempat laki-laki.
"Aduh gue sumpah ya--" Giska langsung panik sendiri. "Ntar gue bilang apa ke mama gue?!"
"Gue udah bilang ke nyokap lo. Terpaksa gue bilang lagi di tempat Risma anak kelasan gue."
"Terus?"
"Ya kata nyokap lo yaudah. Tapi lain kali jangan dadakan." Anika mengembuskan napas lelah. "Terpaksa, deh gue bilang lo lagi patah hati makanya rada depressed."
"Terus nyokap gue bilang apa lagi?" Giska menyelipkan rambutnya dibalik daun telinga.
"Cuma bilang alhamdulillah makasih, ya. Abis itu gak bilang apa-apa lagi."
"Bentar-bentar! Gue mau ambil hape dulu!"
Anika melongo, bingung. "Hah?"
Giska bangkit dari tempatnya berderap ke ruang tengah, lalu secepat kilat ia kembali duduk di sebelah Anika dengan ponsel digenggaman. Melihat baterai ponselnya sudah 0%, Giska lalu menyambungkan port charger yang sudah tersedia di dekat kasur, dan begitu ponselnya menyala, ia langsung membuka galeri.
"Lo ngerekamin kejadian semalem?" Anika mengintip.
"Iya!" kata Giska. "Pokoknya pas dia tidur gue juga ngantuk, udah jam 11 juga. Ya, gue gak berani main pulang gitu aja."
"Ya lagian lo kenapa malah stay disini? Kenapa gak telpon gue atau Aci atogak Ella aja?"
Giska terdiam, omongan Anika ada benarnya juga, sih. Tetapi masa iya ia harus meninggalkan Kievlan yang tengah sakit sendirian? Ditambah setelah kejadian pelukan awkward itu Kievlan pingsan di sofa.
"Lah dia sakit, Gis?" tambahnya melihat adegan Giska mengompres dahi Kievlan.
Giska mengangguk. "Semalem badannya panas."
"Kok lo bisa tau? Lo megang-megang dia?"
Giska menghela napas, dan berkata, "Ya, gak sengaja skinship singkat."
Padahal pelukan semalam berdurasi satu menit lebih.
"Bentar-bentar..." Giska menoleh. "Kievlan dimana, deh?"
"Gak tau. Tadi sama Widura."
"Loh? Kan dia lagi sakit?"
"Ya, mungkin mereka nongkrong?"
"Gila apa ya tuh anak lagi sakit malah keluyuran."kata Giska seraya mempercepat video yang berdurasi hampir enam jam itu. "Gue cepetin aja ya videonya,"
Menit ke menit video tidak ada gerak gerik aneh diantara Kievlan dan Giska, di sana diperlihatkan mereka yang sama-sama pulas di sofa yang berbeda.
Lalu di menit terakhir, beberapa lama setelah Kievlan terbangun, terlihat kedatangan Anika, dan ditampilkan pula adegan Kievlan menyelipkan kedua tangannya dibalik lutut Giska. Giska tertegun sejenak, perutnya mendadak terasa geli seperti sedang bermain ayunan.
"Heh iya... Si Bego nggak ngapa-ngapainin lo. Anjir ceming gue udah nuduh dia, masa," kata Anika.
"Btw, Nik." Giska menjeda sejenak. Tatapannya tertuju pada langit-langit kamar yang dipenuhi ornamen planet berwarna biru langit. "Kievlan tinggal di sini sendiri?"
Anika mengangguk, dan mengambil satu bantal sebelum akhirnya memeluk benda itu.
"Loh? Orangtuanya ke mana? Dia kabur dari rumah orangtuanya?"
"Nggak, bokapnya udah meninggal."
"Terus nyokapnya?"
Anika hanya mengangkat kedua bahunya sebagai jawaban.
Disela detik terakhir video, muncul pop-up notifikasi chat dari Kievlan. Seolah dapat menebak isi chat dari Kievlan, Anika kembali berbaring di kasur dan membuka ponselnya.
Giska membuka pesan itu. Sepercik kompilasi rasa menggerubungi dadanya.
Kievlan G: udah bangun?
Geriska Cantika: Udah
Kievlan G: sikat gigi yang baru di laci westafel tuh
Kievlan G: Sikat gigi gih lu bau naga
Tawa renyah Giska terdengar.
Geriska Cantika: Lo dimana?
Kievlan G calling...
Tanpa menunggu waktu lama, Giska segera menjawab panggilan dari pemilik kasur yang ia duduki. Gadis itu beranjak dari kasur tersebut, dan mulai mondar-mandir di kamar Kievlan.
"Gue lagi sama Widura," kata Kievlan setelah panggilan tersambung.
"Ngapain, gila?"
"Maen."
Giska memutar matanya. "Seharian gak maen dulu gak buat lo mendadak gila kali, Kiev."
"Lo masih di apartemen gue kan?"
"Masih. Kenapa?"
"Oh, di masih di kamar gue?"
"Masih."
"Pantes..." Laki-laki di seberang terkekeh. "Lo gak cek balkon, si."
Namun, belum sempat perempuan itu menyahut, ia beranjak dari tempatnya menuju pintu, menyentuh kenop dan memutar benda itu sambil menariknya ke dalam. Saat kepalanya terangkat, matanya tertuju pada sosok laki-laki yang berdiri di depannya, Giska refleks menahan napas.
"Betah ya di apartemen gue?" ujar Kievlan. Ponselnya masih menempel di telinga, sambungan telepon belum terputus.
Selang beberapa detik setelah pandangan mereka beradu, Giska menekan garis merah bergambar telepon di layar ponselnya.
"Gak, sih, b aja."
"Oh ya? Sampe ngorok gitu. Mana nyebut nama gua berkali-kali."
Oke, kali ini Kievlan ngarang. Tetapi karangan Kievlan memicu jantung Giska berdebar lebih cepat. Ingin sekali ia kabur dari tempat, tetapi dia tak boleh melakukan itu.
"Ngaco."
Rasanya Giska ingin membungkus tubuhnya dengan kresek hitam sekarang juga.
"Lo suka ya sama gue?"
Tawa singkat Giska langsung meledak, menghilangkan rasa gugup karena takut salah bicara, tiba-tiba saja ia merasa salah tingkah.
"W--what?" Giska masih berusaha terlihat diplomatis, tetapi Kievlan dapat merasakan kegugupan di diri gadis itu.
"Buktinya lo ngelakuin semua ini, gak mungkin lah kalo lo gak suka sama gue." Kali ini intonasi Kievlan terdengar lebih kalem.
"Gak usah kepedean. Gue cuma lakuin hal manusiawi."
Kievlan yang hampir saja tersenyum kemudian berdecak lalu menarik ujung rambut cewek itu, gregetan. Apa susahnya, sih tinggal mengakui perasaan?
Perempuan itu beranjak dari tempatnya dan berhenti di depan cermin sebelum akhirnya ia menyisiri rambutnya yang berantakan. Semua itu ia lakukan untuk menyangkal rasa canggung yang muncul dan suasana tidak nyaman.
"Gis, nyokap lo udah nelepon." suara perempuan yang baru beranjak dari kasur membuat keduanya menoleh.
Setelah itu Giska meraih tas gitarnya di sisi sofa. Berniat hendak pulang, saat itu juga Kievlan malah mengikutinya bangkit.
"Eh, eh lo mau kemana?" Kievlan menahan lengan Giska. Lalu matanya beralih ke Anika yang sepertinya bete.
"Pulang. Dicari nyokap."
Kievlan menghela napas.
"Mandi dulu. Abis itu gue anter."
"Gak usah, gue bisa bareng Anika." Giska melepas tangan Kievlan. "Istirahat aja, sekalian temenin Widura." ucapnya seraya menoleh ke Anika. "Yuk, Nik."
"Dih? Yaudah." Kievlan kembali duduk di sofa ruang tengah.
Giska berdiri dan menggandeng lengan Anika seraya melambaikan tangan ke Kievlan dan Widura. Kedua perempuan itu berderap keluar apartemen, namun baru saja mereka melewati pintu, suara Kievlan kembali terdengar.
"Ck, elah, Gis!"
Langkah Giska terhenti. Gadis itu memutar punggungnya. "Kenapa lagi?"
Dari balik pintu yang menutupi separuh badannya, kepala Kievlan melongok keluar sepenuhnya.
"Harus banget pulang sekarang apa?"
/tahan bos/
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top