24. Luka Lama

astaga ini 1.9k pelan2 yaa maap bgt panjang lagi suka ketik panjang2 gt masa.

seperti biasa, vote dulu yaa! yihai!💙💙💙

The Marias - Basta Ya

X

Kateryn Tarver - You Don't Know

"Ng... pembalut?" Giska sepertinya gagal menetralkan ekspresinya.

Tirai hijau yang menggantung di dekat kasur dibiarkan tersibak, tidak menutupi sosok gondrong yang duduk di kasur hadapan Giska, ekspresi terkejut tidak dapat disembunyikan gadis yang berdiri di dekat timbangan. Terlihat laki-laki itu mencopot headset yang menyumpal kedua dtelinganya.

Anjir sumpah demi apa depan gue Widura si banteng-banteng itu?

"Oh."

Anjir? Se-oh itu?

"Lo gak tau?"

"Gak tau apa?" Widura balas bertanya.

"Gak tau pembalut dimana?"

"Ya gak lah!" Ketus Widura.

Yaudah sih, biasa aja. Tapi dia juga kan cowok, Gis. Goblok bener sih lo.

"Lo kelas sebelas?" Tanya Widura.

"Gue temen sekelas lo, fyi." Giska masih berusaha diplomatis, walau nyatanya ia terngiang-ngiang ucapan Anika seputar Widura yang creepy ini.

"Oh? Gue gak pernah liat lo."

Ya iya lah, mas. Situ aja gak pernah sekolah.

"Gue kan anak baru."

"Hm..." Widura manggut-manggut. Ia melirik jam dinding yang ada di sudut ruangan, karena ada hal yang perlu ia selesaikan sebentar lagi.

Dia tuh sebenernya jutek-jutek kayak di novel-novel gitu gak sih? Tapi, kok dia b aja ya lama-lama?

"Omong-omong kita sekelompok loh." Giska kembali bersuara, walau sebenarnya perempuan itu berupaya sekuat tenaga untuk tidak merasa canggung, namun percuma. Widura bisa merasakan kecanggungan di diri gadis itu.

Laki-laki yang ujung alisnya ditempeli plester itu menatap gadis yang menyangga satu tangannya pada timbangan berat badan.

"Kelompok apaan?"

"Band."

"Band?"

"Iya." Giska mengangguk. "Kelompok band kesenian, buat acara pensi nanti."

"Siapa aja?"

"Lo, gue, Estrella, Kievlan, Ghazi."

Widura mengerjapkan matanya dua kali, meski ia bergeming di tempatnya. Sejujurnya ia kaget mengetahui fakta siapa saja teman kelompoknya. Tetapi, Giska tidak menangkap kekagetan Widura karena laki-laki tidak terlalu mengentarakan.

"Serius?"

"Emang kenapa?" Giska memasang ekspresi bingung.

Dering ponsel Widura menampilkan sebuah nama. Nama yang membuat ia tanpa menjawab panggilan itu, mengharuskannya meninggalkan UKS sekarang juga.

"Anjir gue ditinggal..." Gumam Giska melihat Widura lari keluar.

"Tadi masa gue ngobrol sama si Widura-Widura itu." Giska memainkan sedotannya sebelum menyeruput jus stroberinya lagi. Sebenarnya ini momen yang bagus, karena kurang enak membahas Widura di depan Estrella.

Suasana kantin yang ramai membuat Anika dan Giska malas mengantre makanan, sehingga hanya Estrella dan Aci yang jajan. Estrella yang berbaris rapi di antrean siomay bersama Aci.

"Ngobrol dimana?" Anika mengunci layar ponselnya sebelum akhirnya menatap Giska.

"UKS,"

"Lo ngapain ke UKS?"

"Ih! Makanya baca grup!" Giska mulai kesal. Mimik wajahnya sudah berubah, menunjukkan kalau ia kehilangan mood dan tidak ingin membahas tentang permasalahan itu lagi. Kembali ia mencomot wafer Nabati kejunya.

"Oh... bocor," kata Anika.

"HUS!" Tegur Giska, malu. "Gede banget, sih!"

"Terus Widura ngapain di UKS?"

"Gak tau duduk-duduk doang tadi sambil denger musik," kata Giska, mengingat-ingat perlakuan Widura tadi. "Tapi, kok dia bisa gitu banget ya auranya?"

"Gitu gimana?"

Giska menghela napasnya. "Ya... creepy gitu, yah walaupun pas ngobrol b aja sih, gak se-menyeramkan yang gimana-gimana. Tapi tetep aja ada aura aneh gitu, gue susah jabarinnya yang jelas kayak gak ngenakin gitu lah auranya."

"Iyalah kan dia lagi gak emosi. Gak lucu kali dia langsung gas-in lo, lo nya kan gak ngapa-ngapain juga."

"Ya kan gue kira dia bakal mencak-mencak galak gitu kalo diajak ngobrol."

"Kenapa lo bisa mikir kayak gitu?"

"Ya, karena dia dapet julukan banteng sekolah itu, gue jadi mikir dia kayak yang bad boy super nyeremin dan arogan banget gitu," kata Giska, jujur.

Anika diam, masih menerna ucapan Giska.

"Gimana ya.. dia tuh dingin tapi pas diajak ngobrol dia b aja tau, walaupun songong sih endingnya." Giska jadi kesal mengingat tabiat Widura.

"Songongnya?"

"Ya gak pamit duluan gitu main keluar aja,"

Anika terkekeh sambil menggeleng. "Lo berharap Widura bertingkah kayak gitu? Gledek bisa-bisa, Gis."

"Tapi dia masih ada basa basinya walaupun dikit banget gitu ya?"

"Giska! Come on he only a human okay!" Anika menghirup napas pendek, gemas dengan isi kepala temannya yang sepertinya korban kisah fiksi. "Lo pikir dia karakter fiksi yang kalo udah dingin ya dingin aja gitu? Semua orang tuh ga semuanya baik atau buruk aja kali. Masing-masing ada dark and light sidesnya."

"Hm... ya sih..." Bibir Giska meringis pelan.

"Tapi tetep, jangan sekali-kali lo kibarin kain merah ke dia."

"Kain merah?" Kali ini Giska tidak bisa menyembunyikan raut bingungnya.

"Ibaratnya banteng, kalo dikibarin kain merah bakalan apa?"

Perempuan berambut cokelat itu terlihat berpikir, mencoba mencerna kalimat Anika yang cukup absurd menurutnya.

"Seruduk orang itu?" kata Giska setelah tiga detik.

"Nah, yaudah. Pokoknya cari aman aja, kalo gak mau urusan panjang."

Kievlan menekan tombol kunci mobilnya dan berjalan gontai memasuki rumah sambil memerhatikan para pelayan yang sibuk dengan tugasnya. Beberapa dari mereka mencabuti rumput liar halaman luar dan beberapa yang lain bolak-balik menyapu lantai. Di sisi lain ruangan, ia melihat Ainun--- Neneknya duduk dengan secangkir teh di meja ruang makan sendirian.

"Nek?" sapa Kievlan seraya mendekat ke arah neneknya.

"Kiki!" Wanita berusia tujuh puluh tahun itu tidak dapat menyembunyikan raut bahagianya. "Masya Allah Kiki! Kiki darimana aja, sayang?"

"Sekolah," kata Kievlan, lalu mencium punggung tangan neneknya.

Wanita lansia itu memeluk tubuh Kievlan selama tujuh detik, rasa rindu terhadap cucu tertuanya kini terobati. Ia bersyukur Kievlan terlihat baik-baik saja tambah lagi datang berseragam sekolah, tandanya anak ini memang tidak lagi hobi membolos seperti dulu.

"Bagus, rajin-rajin ya, nak, ya. Biar pintar kayak Papamu."

"Nenek kangen gak nih sama Kiki?" ujar Kievlan, setelah saling melepaskan.

"Atuh, da ya kangen! Masih ditanya!" Seru Ainun dengan logat Sunda yang kental.

"Udah makan belom nih?"

"Loh? Kamu belom makan?"

"Belom, nek." Kievlan nyengir lebar.

"Ih! Kebiasaan! Uangnya dipake buat rokok terus nih ya?"

"Nggak, neyang." (Neyang: nenek sayang)

Ainun tertawa mendengar Kievlan memanggilnya neyang, sebutan yang hanya diketahuinya dan anak cucunya. Mungkin ini yang paling ia rindukan, tidak ada cucu yang sekonyol Kievlan. Selalu saja Ainun tertawa mendengar guyonan Kievlan, padahal sebatas itu, dan tidak lucu-lucu amat. Tetapi, bagi Ainun apapun terdengar lucu yang keluar dari mulut anak itu.

"Bohong! Coba liat mata nenek!"

"Dih, nenek mah gitu, cucu kelaperan disuruh tatap mata bukan diajak makan," kata Kievlan, merangkul bahu neneknya sok akrab.

"Halah! Ngapain beli sih! Nenek mepes tahu lho tadi terus sama masak teriyakki. Mau gak?"

"Yaudah. Minumnya pake matcha latte ya bikinan Teh Lisa."

Ainun melepas rangkulan Kievlan dan memukul pundak anak itu pelan. "Hih... masa makanan tradisional minumnya matcha latte?"

"Gapapa, dong. Biar greget."

Ainun menggeleng dan langsung meninggalkan tempat, berjalan ke arah dapur. Sementara, Kievlan membuka ponselnya, bermaksud mengucapkan terima kasih pada bantuan contekan dari Giska tadi. Namun laki-laki itu bingung bagaimana cara mengungkapkannya.

Kievlan G: eh makasih ya buat yang tadi

Lah? Geli ntar dia bacanya?

Kievlan G: tengkyu buat tadi

Kok kayak om-om gitu, si gue?

Kievlan G: eh makasih loh ya

Anjir! Banci abis bahasa gue!

"A, aa hari ini tidur sini kan?" suara bocah laki-laki di belakang Kievlan, membuatnya terlonjak dan berbalik menatap lawan bicaranya.

Kievlan langsung memasukkan ponselnya agar pesan yang belum selesai ia ketik tidak terbaca oleh Aufar. Lalu ia menghela napas, memejamkan matanya sebelum bicara lagi.

"Aa nggak bisa, Far," kata Kievlan, seperti biasa.

Seolah tidak menerima penolakan, bocah berusia sepuluh tahun itu tidak mau menyerah begitu saja.

"Kenapa gak bisa? Aa marah sama nenek atau Aufar ya?"

"Ye kagak, Pareku sayang!"

Mendengar kakaknya memanggilnya 'Pare' Aufar mendengus, tentu ia kesal dipanggil dengan julukan nyeleneh dari kakaknya itu. Tambah lagi kakak semata wayangnya itu menolak tidur di rumah nenek. Maksud Aufar kan hanya ingin keluarganya kumpul. Tetapi, kenapa kakaknya terus menolak?

"Terus kenapa?"

"Aa mau kerja tugas  kelompok ntar malem," kata Kievlan, sabar.

"Aufar juga sering, kok kerja tugas kelompok sampe malem. Tapi Aufar selalu pulang ke sini, tidur sama nenek, kenapa aa nggak?"

Kievlan menekuk lututnya, menyetarakan tingginya dengan adik semata wayangnya.

"Aufar," Kievlan menghela napas. "Aufar harus jadi laki-laki hebat ya, jangan cengeng. Jagain nenek."

"Aa ngomong gitu kayak orang mau meninggal aja."

/kie x wi/

Rame bgt medianya. Aku usahakan cepat up asalkan  responsnya baik yaa makasih kalian!💙

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top