22. Tabiat
Tekan bintang pojok kiri ya kawan, makasih 💙😚
88rising - Midsummer Madness
Ada tiga hal yang Widura benci dari sekolah.
Pertama; hari pertama sekolahnya pasti selalu berawal di ruang kepsek. Kedua; setiap ruangan diberi pengharum lavender, aroma yang Widura tidak sukai. Ketiga; semua guru memperlakukannya seperti majikan, bukan seperti siswa.
Termasuk Wayan.
Sebagai kepala sekolah, Wayan tahu jika menghadapi Widura adalah hal tersulit. Latar belakang anak itulah yang membuatnya tidak mengambil tindakan tegas. Seperti sekarang, sudah tujuh belas menit pria berkumis itu menasehati Widura dengan kalimat bijaknya.
"Jangan terus-terusan berulah, hargai jerih payah orangtuamu."
Entah sudah keberapa kalinya kepala Widura mengangguk samar. Menurut Widura, anggukan kepalanya itu ampuh membungkam mulut Wayan.
Dan, hal itu terjadi.
"Kenapa wajah kamu luka?"
"Kenapa bapak mau tau?"
Wayan tersenyum prihatin, sebenarnya kasihan terhadap anak ini. "Kalau kamu mau bercerita ke bapak, silakan."
Ucapan Wayan barusan membuat Widura terusik di tempatnya. Bercerita? Untuk apa? Bercerita dengan Wayan belum tentu membuahkan hasil yang baik. Malah bisa jadi, Wayan akan menceritakannya ke ayahnya--- justru memperkeruh suasana.
"Sebenernya bapak mau bahas apa, Pak? Langsung ke intinya aja." Jelas sekali Widura bosan.
Hapal dengan sifat kerasnya Widura, Wayan memilih menyerah, dan mempersilakan Widura. Tetapi, ini justru PR untuknya. Ia perlu mencari solusi lain untuk membantu anak itu.
"Baik, kamu bisa langsung ke kelas sekarang."
Dengan langkah tenangnya, Widura beranjak keluar ruang kepsek. Baru juga ia melewati koridor, hampir semua orang di sekitar menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Tetapi ya, gitu. Giliran Widura tatap balik, mereka langsung berpaling.
Padahal, Widura tidak memasang wajah sangarnya. Memang aura gelapnya begitu kuat, ditambah lagi reputasinya yang terkenal mengerikan, membuat para siswa tunduk padanya. Widura sadar jika dirinya merupakan skandal favorit sekolahnya.
Skandal.
Semua orang suka drama, dan kabar heboh.
Tanpa pedulikan mata para siswa dan guru, ia mengeluarkan sebatang rokok dan ponselnya dari saku kemeja.
Widura: lo dimana?
Kievlan G: warning. Lo udh di sekolah?
Selama berjalan melewati koridor, Widura mengisap rokoknya yang telah tersulut api sebelum mengembuskan asapnya ke udara.
No rules, begitulah motto hidupnya.
Widura: gue abis dari ruangan Pak Wayan. Eja jg disana?
Kievlan G: iya pada cabut di warning dari jam istirahat . Lu sini aja bege
Widura: ntar gue nyusul
Setelah membalas pesan itu, tak sengaja telunjuk Widura mengeklik chat dari kontak lain. Alis Widura menekuk, pertanda jengah atau lebih tepatnya muak.
Estrella: kamu sekolah wid?
Rupanya gadis bernama Estrella itu memang terlalu bodoh untuk mengerti penolakan darinya. Masih saja berusaha, jelas-jelas sudah dibuang.
Miris sekali.
Estrella: kalo kamu ga mau jawab gapapa kok. Aku cuma excited aja tau kamu sekolah lagi hahaa :D
Widura menyelipkan rokok di bibirnya lantas memasukkan ponselnya ke saku.
Karena sampai kapanpun, sepertinya Widura tidak akan membalas perasaan Estrella. Pesan saja tidak, apalagi perasaan. Tetapi, itu konsekuensi jatuh cinta kan?
Siap disakiti, siap juga menyakiti.
Saat mengaduk kopi pesanan Kievlan dan Rajas, Jefri mendongak sambil sesekali memejamkan matanya. Terlihat sedang berpikir keras.
"Ngapa lo, Bang?" Ujar Kievlan yang berjalan mendekatinya.
Jefri kontan menoleh sambil menyodorkan dua gelas kopi berlogo kapal selam ke Kievlan.
"Tang kopi lu, Tang!"
Rajas bangkit, menuju etalase. "Yooo!"
"Anak Purnama pada kemana ya? Tumben-tumbenan si Dandi cs kagak nongki."
"Paling kegab sama guru BKnya kalo nggak lagi nongkrong tempat lain." Ini Eja yang menyahut. Cowok berbodi atletis itu menepuk bagian tengah kursi plastik berwarna hijau yang didudukinya.
"Bangsat!" Seru Tamam tiba-tiba, sontak beberapa orang di warning menoleh padanya.
"Ngapa dah tuh anak?" Tanya Rajas ke Eja. Yang ditanya hanya menoleh sekilas tanpa merespons pertanyaan Rajas.
"Woy, Mam!" Seru Jefri. "Lu ngapain, dah?"
Alih-alih kepo, Kievlan mendekati Tamam, mengintipi ponsel temannya itu. "Yassalam! Dia main Tebak-Tebakan Cak Lontong..."
"Eh, hujan turun darimana, sah?" tanya Tamam, masih berkutat pada ponsel.
"Ya langit, lah, bego."
Bego teriak bego. Itulah Kievlan.
"Is lumah bego! Ini kan gamenya Cak Lontong, jawabannya kagak ada yang serius," kata Tamam, kesal. "Clue-nya aja M paling depannya."
Kievlan, Eja, dan Rajas langsung bertukar pandang dengan raut bingung. Akhirnya mereka mengerubungi Tamam, ikut duduk di lantai.
"Heh, seriusan ini!"
Kievlan mengernyitkan keningnya. "Itu ada berapa huruf?"
"Enem."
"Nama planet yang awalannya dari M apaan?"
"Lah iya ya? Apaan ya?" Kali ini Eja bersuara, ikut berpikir. Mars? Empat huruf kan.
"Meteor!" Seru Rajas.
"Lu kata hujan meteor!" Balas Tamam, jadi sewot sendiri.
"Bentar, kok hujan jatoh dari planet, sih?"
"Ya kan planet ada kaitannya sama langit."
"Yaudah klik hint-nya, dong."
"Gak. Ntar poin gue berkurang."
Membiarkan keempat laki-laki di dekatnya bedebat, Kievlan mengingat-ingat pertanyaan kuis tadi; hujan turun dari?
Setelah memperkirakan jawaban hampir dua puluh detik, Kievlan bersuara. "Ooh, coba magrib."
Sontak Tamam, Eja, dan Rajas sama-sama menghela napas berat dan menyeletuk, "Tolol."
"Lah bener?" Sergah Kievlan. "Kan ditanya hujan turun dari? Bukan darimana? Ya, hujan turun dari magrib kan bisa, dong?"
"Lu jangan ngaco, Pli. Poin gue udah banyak nih ntar kebuang."
Eja dan Rajas mengolok spekulasi ngawur ala Kievlan disusul gelak tawa ngakak mereka. Sementara Jefri yang baru saja ikut berselonjor di lantai, menyikut Tamam lalu menunjuk Kievlan.
"Iya bege coba dulu saran si Julkipli!"
"Ampe poin gue berkurang, cepe ya ke rekening gue!"
"Ampe poin lo naik gimana?" Kievlan menantang balik.
Eja mencoba menengahi. "Udah, dah dealin aja dulu deal."
"Yaudah iya, dah deal!"
Kievlan dan Tamam bersalaman. Sebuah kesepakatan telah dibuat.
"Coba ketik 'magrib' kagak pake H," kata Kievlan setelah melepaskan tangannya.
"Awas lu ya beneran aja." tukas Tamam pada akhirnya. Ia kemudian mengetikkan kata 'Magrib'.
"HHAH!" Kievlan terlihat puas saat melihat logo centang dan kata 'betul' muncul di layar ponsel Tamam. Tak hanya Tamam yang tercengang, Jefri, Eja, dan Rajas juga.
"Lah bener anjing!" Tamam benar-benar kaget. Tetapi iya, sih. Kan game Cak Lontong jawabannya selalu ngawur.
"Anjing hahahaha!"
"Lu darimana, dah kepikiran magrib?" Tanya Eja dengan sisa tawa. Memang Kievlan selalu cerdas dalam urusan kekonyolan.
"Intuisi."
"Nah, enaknya diapain nih si Tamam, Pli?" cerocos Jefri, ia mengipas wajahnya dengan kipas plastik bersampul foto seksi Lucinta Luna.
"Tega banget lu, bang."
"Sungkem bege lu sama Kipli!" Celetuk Rajas.
"Tau lu, Mam. Dia berjasa tuh." Eja menambahi. "Kecup dulu tuh keningnya."
"Berak lah!"
"Slow, Mam. Gue gak jahat," kata Kievlan sambil berdiri. "Gantiin piket gue aja selama sebulan."
Beberapa detik setelahnya, Kievlan yang berjalan ke depan warung, berniat menelepon Giska. Namun ia terpaksa mengurungkan niatnya saat melihat seorang laki-laki berambut gondrong berdiri sendirian di halte.
Tak lama setelah itu, mata Kievlan hampir tak berkedip ketika Widura juga melihat ke arahnya, sepertinya temannya itu sadar jika Kievlan mengamatinya. Kemudian Widura berjalan ke arahnya.
Hingga jarak mereka tinggal beberapa meter, fokus Kievlan otomatis tertuju ke badge nama 'Kievlan Gautama' di dada kiri Widura. Tidak seperti seragam yang Kievlan pakai, tidak berbadge nama.
Seragam itu milik Kievlan.
"It's been a long time, right?"
"Ella kemana, dah?" Giska mengipas-ngipas dirinya dan meletakkan ponselnya di atas meja.
Aci mengangkat matanya dari ponsel sambil menggeleng, sementara Anika kembali mencamili keripik pisang cokelat pemberian Giska tadi pagi. Ruang pos satpam yang hanya diisi oleh mereka bertiga membuat mereka pewe di tempat, enggan pindah ke kantin atau tempat lain.
"Gak tau, katanya sih dijemput maminya. Pulang cepet," kata Aci. Tangan kirinya mencomot camilan Anika, sedangkan yang kanan menggenggam ponsel.
"Percaya nggak lo kalo dia dijemput maminya?"
Pertanyaan Anika barusan mengundang kernyitan dahi Giska. Seolah ekspresi gadis itu bertanya 'maksud lo?'
"Nggak... biasanya dia kan dijemput kakaknya."
Giska menghela napas. "Gue rasa dia galau parah, dah setelah tau Widura sekolah lagi."
"Loh kok galau? Harusnya seneng dong?" Aci mengerutkan keningnya.
"Tadi gue liat dia di kelas kayak down banget gitu."
"Ah, emang dia mah emang gitu mukanya melas."
"Susah sih udah dalem banget dia kayaknya sama Widura." Kali ini Anika yang berkomentar.
"Emang iya?"
"Ella tuh naksir dia dari SMP. Tapi, ya gitu lah Widura cuma mainin doang."
Giska tertegun sejenak, tidak bisa menyalahkan Estrella seratus persen. Karena, ia tahu rasanya dipermainkan. Dia tahu rasanya mempertahankan orang yang salah.
"Padahal ada yang tulus sama dia," kata Giska. Teringat sosok lain yang menyukai Estrella.
"Siapa?"
"Ghazi."
Anika menghela napas. "Ya gitu lah, hati kadang berengsek banget, saking nggak make sensenya sampe gak bisa bedain mana yang tulus mana yang cuma iseng."
Giska meraih ponselnya yang berderinh. Sudut bibirnya tertarik dua centi begitu membuka chat yang masuk.
Kievlan G: gue udah berhasil bawa Widura. Dapet apa dong?
Geriska Cantika: yeee pamrih
"Sayang banget yah tadi si Widura gak masuk ke kelas sama sekali. Padahal gue pengen gitu face to face sama orangnya biarpun gak ngobrol. Gue pengen tau dia kayak gimana."
"Kan dia di ruang kepsek tadi."
"Dia sama sekali gak ada takut-takutnya apa ya?"
"Sekolah punya dia, dia ngerasa yang berkuasa, lah, Gis," kata Anika mengingat tabiat Widura. "Makanya jangan pernah sekalipun cari masalah sama dia."
Kembali Giska membuka LINE di ponselnya, apa sih?
Kievlan G: sapi makan rum?
"Tapi kalo dipikir-pikir Kievlan sama Widura itu... kayak rada mirip gak, sih?"
Anika mengangguk, memberi respon setuju. "Cuma bedanya Kievlan gak pernah berantem adu jotos sama ngelawan guru, gitu. Orangnya emang gak suka berantem. Gak kayak Widura."
"Bentar, deh. Kok jadi bahas Kievlan, sih?" Aci menyipitkan matanya, seolah menyelidiki Giska. Pasti ada apa-apa diantara Kievlan dan Giska.
"Tau nih Giska."
"Jangan bilang lo lagi deket sama dia?" Tukas Aci cepat.
"Apaan sih, nggak lah!"
"Alah boong!" Ujar Aci masih kekeuh.
"Pernah jalan bareng?"
"Makan bareng?"
Dihujani pertanyaan bertubi-tubi oleh Aci, Giska hanya menarik napasnya, tidak langsung menjawab. Ia menatap kedua temannya bergantian. Setelah keduanya diam barulah Giska buka mulut.
"Guys, kalo cuma pernah jalan atau makan bareng bukan berarti mereka deket, dong?"
"Tapi kalian jalannya berdua doang kan?" Ujar Anika.
"Ommo! That's a datteu! Datteu-yeo!" Aci langsung rusuh sendiri. (Datteu: date)
"Nggak ya!"
Aci sontak meletakkan ponselnya di sebelah ponsel Giska. "Eh parah! Ceritain dong udah sedeket apa kalian?"
"Udah deh, Ci."
Aci mengembungkan pipinya. Masih belum mau menyerah, ia kembali bertanya kali mulai dari; sejak kapan hal itu berlangsung dan tetek bengeknya.
"Gis."
"Iiih! Serius gue kepo nih!"
"Giska." Anika kembali memanggil, kali ini nadanya lebih lugas. Kontan, baik Giska maupun Aci langsung menoleh.
"Hm?"
"Kan gue udah pernah bilang kalo Kievlan gak baik?" Anika melanjutkan.
"Apaan, sih nik!" Seru Aci, sewot.
Giska terdiam, benar-benar tidak tahu harus merespon seperti apa.
"Lho? Gue juga gak ada apa-apa sama dia."
"Lebih baik lo menjauh sebelum lo jatuh."
Giska tertegun, ia tidak berdeham ataupun berpaling. Matanya menatap mata Anika, tidak ada siratan luka di mata Giska. Melainkan, keraguan.
"Nik!" Sergah Aci.
"Lo gak mau kan senasib kayak Ella?"
Angin yang tiba-tiba berembus dari luar membuat bibir Giska terasa begitu kering. Lidahnya begitu kelu, dia tidak mengerti karena apa. Tetapi ia merasa kehilangan kalimatnya.
Jadi Kievlan akan mempermainkan Giska seperti halnya Widura mempermainkan Estrella? Begitu?
"Anika!" Aci menegur lagi, kali ini sambil melotot. Tetapi Anika tidak peduli. Benar-benar Aci kesal terhadap Anika. Tidak seharusnya. Tidak seharusnya Anika berkata seperti itu apalagi mengkaitkan nama Estrella.
"Maksud lo apa?" Giska akhirnya bersuara.
"Gue ngomong gini bukan karena ada perasaan sama Kievlan ataupun Widura. Tapi gue tau banget tabiat mereka itu sebelas dua belas. Gue tau banget mereka dari kecil, Gis."
Mendadak tubuh Giska terasa kaku, ia tidak mengerti mengapa hal itu terjadi. Meski terusik, Giska tetap berusaha terlihat biasa saja. Rasanya ia ingin keluar saja dari pos ini. Namun, dia memilih diam di tempatnya.
"Anika! Udah!"
Satu pesan kembali masuk di ponsel Giska, tanpa ia buka sudah terbaca dari layar notifikasi.
Kievlan G: bayarannya pulang bareng aja gimana?
"Sebelum lo sakit hati, lebih baik lo mundur, Gis."
Anika kok gitu sih ngomongnya? :(
/anika x kievlan/
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top