17. Tidak Asing Namun Diasingkan
Jgn lupa vote ya guys, hoho💙
Alvvays- Dreams Tonite
Ketika seorang wanita lansia keluar dari antrean, akhirnya laki-laki berambut gondrong di belakangnya melangkah maju ke meja kasir.
"Atas nama Widura, totalnya dua ratus ribu."
Sambil menunggu kasir memproses pembayaran, Widura mengeluarkan ponselnya yang dibeli hasil pinjaman uang dari Kievlan. Kemudian ia memasang kartu SIM sebelum menyalakan ponselnya.
Beruntung, meski ponselnya tercuri, nomor lamanya masih bisa diaktifkan kembali. Laki-laki bersweater hitam itu menoleh sekeliling gerai jaringan seluler yang dipenuhi ornamen warna merah.
"Nomornya telah aktif kembali. Terima kasih, mas."
Widura hanya manggut-manggut. Ia berbalik, keluar dari antrean. Dia bahkan tidak sadar bahwa napasnya tertahan saat melihat notifikasi yang bermunculan.
21 missed call from Estrella.
18 missed call from Kak Mayang.
11 missed call from Kievlan.
19 missed call from Papa.
Kedua alis Widura tertarik, bukan pertanda senang. Justru sebaliknya. Untuk apa? Untuk apa semua orang mencarinya? Untuk apa orang-orang bertingkah seolah peduli padanya?
Baru saja ia hendak mendaftarkan paket internet, sebuah pop-up notifikasi SMS muncul.
38 unread messages from Estrella.
Widura mendecih. "Mau apa lagi, sih nih cewek?"
Tanpa berminat membalas ataupun membaca pesan gadis itu, ia langsung menggeser notifikasi ke kanan. Alhasil, notifikasi pesan dari Estrella terhapus.
Saat ia hendak memasukkan ponselnya ke dalam saku, tiba-tiba muncul sebuah notifikasi pesan masuk dari kontak lain. Seketika pandangan Widura menajam saat membaca pesan itu dari pop-up.
Kak Mayang: kalo lo masih gak mau pulang atau sekolah juga, gue bakal minta papa blokir ATM lo selamanya.
Baru saja ia hendak mengeklik pesan itu. Tak lama, muncul lagi satu pesan dari nomor asing. Mimik wajahnya yang awalnya datar langsung berubah suram, emosinya tersulut.
+6821-768-9xx : kita tunggu lo di rumkos biasa. Buktiin kalo lo bukan banci bos.
Diluar kendali, tangan kirinya terkepal kuat, memicu perban luka di tangannya kembali dirembesi darah. "Bangsat!"
Seusai mengikat slayer wajahnya, Ghazi kembali berjalan di bawah terowongan kecil, pembatas antara gedung sekolah dengan halaman parkir motor.
Helaian rambutnya bergoyang tertiup angin, membuatnya jadi sasaran objek para siswi. Berhubung cuaca cukup mendung, Ghazi merapatkan retsleting hoodie navy-nya.
Setelah itu kedua tangan dimasukkan ke dalam saku, pemandangan ini jelas membuat pesonanya tidak bisa dielak lagi. Bagaimana tidak? Paras kearaban, postur tubuh tinggi tegap, memiliki aura berwibawa membuat kebanyakan kaum hawa meleleh.
"Kievlan!" Seru Ghazi saat dilihatnya sosok Kievlan berjalan melewati parkiran motor.
Dikarenakan silaunya pantulan cahaya matahari dari kaca di hadapannya, Kievlan yang berdiri di hadapabnya, sedikit menyipitkan matanya begitu bersitatap dengannya.
Ghazi menghampiri Kievlan. "Gimana musik? Udah clear?"
"Shampo, dong?" Kievlan menyeringai tengil.
"Ha Ha Ha," Ghazi tertawa tanpa humor. "Jayus."
"Lagi lu ngapa tiba-tiba sok asik ama gue gini dah?" Kievlan tertawa penuh humor. "To the point aja, dah. Daripada kode-kode tai, kan."
Kali ini Ghazi tertawa. Laki-laki berparas Arab itu menggeleng antara tidak mengerti dan geli dengan tingkah Kievlan. "Nggak," ujar Ghazi. "Gue pure ngurusin urusan kelompok kita."
Kievlan hanya mengangguk sambil bersenandung pelan.
"Kira-kira Widura main apa nanti?"
Pertanyaan yang diajukan oleh Ghazi itu nyaris tidak terdengar jelas di telinga Kievlan jika ia tidak berhenti bernyanyi. Ghazi mengajukannya dengan sangat lugas, dan tidak ada tanda-tanda kalau ia akan mengulang. Jadi, Kievlan tidak bertanya balik.
"Kalo urusan itu mending lu jangan tanya gue," jawab Kievlan.
"Loh? Kok?"
Dasar bego. Gua juga kan gak tau dia dimana, peak. Sebenarnya ingin sekali Kievlan bicara begitu, namun agak gak tega juga. Takutnya Ghazi baper....
"Lu tanya ke si Estrella, dah," jawab Kievlan. "Dia lebih ngerti."
Ghazi terdiam, sepercik rasa ngilu menyerang dadanya. Sebenarnya, sejak awal rumor hubungan kedua orang itu beredar, Ghazi selalu mengelaknya. Dalam hati, ia berharap hal itu tidak terjadi.
Semoga tidak akan terjadi.
"Emang Estrella siapanya dia?" tanya Ghazi dengan nada dibuat sedatar mungkin.
Kievlan hanya mengangkat kedua bahunya, seolah memberi tahu hal tersebut bukanlah hal yang perlu dipertanyakan lagi.
"Gue duluan ye, pengen ngopi!" Pamitnya sambil menepuk pelan bahu Ghazi.
"Ih! Aci, mah! Anglenya yang bagus lo nya doang!"
Dongkol, Anika langsung mengambil alih polaroid milik Estrella dari tangan Aci. Di lembaran foto ini hanya wajah Aci yang mendapat angle paling flawless diantara mereka berempat. Jelas Anika tidak terima, memangnya hanya Aci yang ingin terlihat flawless? Dia kan juga...
"Apa, sih? Ini tuh udah sama rata!" Seru Aci tak kalah sewot.
Giska yang berdiri di tengah keduanya, memilih menepi. Ia malas ambil pusing atau ikut berdebat, toh menurutnya ini perkara sepele. Gadis itu kembali membaca pesan masuk dari sosok yang ingin ia asingkan itu.
Asing: apa susahnya sih jujur ke semua orang?
Jujur? Emang siapa yang bohong di sini?
Meski pesan itu sudah masuk sejak dua hari yang lalu. Nyatanya, Giska tidak memiliki keberanian yang tinggi untuk membalasnya. Jangankan membalas, membacanya saja sudah membuat hatinya gelisah.
"Eh, guys, aku langsung balik ya?" Suara Estrella yang masuk ke telinga menyadarkan Giska dari lamunan. Perempuan itu mengerjap sambil mencengkam tali ransel pinknya.
"Lah? Kok cepet banget?" Giska memiringkan kepalanya, berusaha untuk melihat sahabatnya itu dari balik tubuh Anika.
"Mas Alan udah jemput aku." Estrella memasukkan buku-buku ke dalam tas sebelum memasukkan kunci loker ke dalam saku.
"Oh, lo balik sama kakak lo?" Anika mengembalikan polaroid ke empunya, kemudian ia berbalik dan menyandarkan lengan kanannya di loker.
Aci langsung heboh. "Salamin ya buat doi! Gue tunggu japchae-nya!"
"Yaudah kalo gitu. Duluan ya! Mas Alan udah nungguin."
"Oke!" kata Giska. "Hati-hati ya, beb."
"Annyeong!" Ujar Aci saat Estrella sudah menjauh. (Annyeong: dadah)
Saat berjalan, perempuan berambut ikal itu menoleh, dan membalas lambaian tangan ketiga temannya. Kemudian ia kembali berjalan menuju tempat parkir.
"Kalian ngerasa gak sih belakangan ini si Ella rada aneh?" ujar Giska, setelah Estrella semakin menjauh.
"Anehnya?"
"Ya, agak ngejauh?" Giska terdiam. "Ah, bukan ngejauh sih, tapi kayak..." Giska menjeda. "Kayak... kalo hangout dia selalu balik duluan malah jarang ikut. Masa quality time sama dia di sekolah doang?" Lanjutnya, hati-hati.
"Kan kita udah pernah jelasin, dia emang orangnya gitu." Anika menghela napas. "Ini mah tergolong masih mending, parah mah kalo ada Widura di sekolah, dia pasti bener-bener lupa sama kita."
"Kok?" Giska mengernyit. "Sori nih... dia bucinnya Widura? Atau gimana?"
"Jangan ditanya." Kali ini Aci yang menyahut.
"Kan Ella cantik banget, woy!" Giska membenarkan tali ranselnya yang nyaris merosot. "She's a queen bee!" Lanjutnya, agak kaget.
"Percuma jadi queen bee kalo gak bisa buka hati buat cowok lain."
Sambil berjalan keluar lorong loker, Anika lanjut bercerita.
"Padahal predikat Widura itu gila loh Gis, asli. Gila banget. Lo bayangin aja ya, dia pernah berantem di balkon sendirian lawan senior pake tangan kosong. Padahal tuh senior rame-rame. No wonder lah ya kalo dia dijulukin banteng sekolah."
"Terus Widuranya gimana?"
"Ya, bonyok," kata Anika. "Terus masuk BK."
Langkah Giska memelan. "Lagian kenapa guru-guru gak tegasin dia aja, dah?"
"Ya, mau gimana lagi? Dia kan yang punya sekolah. Justru dia pengennya di-D.O. dia tuh kayak udah gak mau sekolah lagi, loh, Gis."
"Lo inget password wifinya ruang kepsek?" Aci menambahi.
Giska memejamkan matanya, berusaha mengingat ingat. "... Reswirah?"
"Itu singkatan dari nama panjang dia," kata Aci.
"Respati Widura Anugerah."
/g i s k a/
/a n i k a/
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top