13. Tak Lagi Sama

Jye - A Shitty Love Song

"Laper gak lo?"

Ghazi yang kebetulan tidak tuli-tuli amat, menggeleng singkat.

Suara riuh hujan membuat siapapun yang bicara harus meninggikan intonasinya jika ingin didengar jelas. Ghazi duduk di bangku kantin dengan kondisi seragam agak basah karena ia nekat ke kantin menembus hujan bersama Rendy.

Meski kantin depan sekolah aman dari cipratan air hujan, nyatanya tempat ini hanya diisi beberapa murid. Bisa diperkirakan hujan akan awet hingga sepulang sekolah nanti.

Rasanya ini waktu yang sangat enak untuk beribadah; tidur.

Setelah menjatuhkan kepalanya di atas meja, laki-laki berparas Arab itu memejamkan matanya. Pikirannya bercabang kesana-kemari. Beberapa hari ini ada satu hal yang berputar di otaknya.

Estrella.

Gadis itu selalu menghindarinya. Pasca obrolannya dengan Rendy terdengar olehnya, Estrella terkesan menghindarinya. Terbukti dari pesan-pesan yang selama ini Ghazi kirimkan hanya dijawab begitu singkat bahkan terkadang hanya dibaca tanpa dibalas oleh Estrella.

Mungkinkah gadis berparas imut itu menolaknya? Tetapi kenapa? Selama ini ia selalu berusaha menjadi yang terdepan. Dia selalu dikenal dengan predikat baiknya. Semua orang memujinya. Jadi, kenapa?

Kenapa Estrella justru melakukan hal sebaliknya?

Desahan panjang keluar dari mulut Ghazi, ia mendongak dan mengeluarkan ponselnya. Setidaknya ia tidak mau menyerah begitu saja.

Hisbatul Ghazi: nggak ke kantin? (Read: 10:33)

Hisbatul Ghazi: hahahah

Estrella: Zi, sebelumnya Ella minta maaf. Kalo Ghazi ada maksud ke arah sana Ella ga bisa

Hisbatul Ghazi: lo nggak suka sama gue?

Apa kurangnya gue, sih, El?

Estrella: maaf, Zi.

Estrella: mungkin kalo berteman ayo aja. Cuma untuk ke arah sana, Ella ga bisa.

Ghazi menghela napasnya.

Hisbatul Ghazi: iya. Gue gak maksa juga kok :-)

Hisbatul Ghazi: lo udah ada pacar ya? Hahaha

Estrella: maaf, Zi

Hisbatul Ghazi: maafin gue juga udah suka sama lo

Estrella: cari yang lain ya mulai sekarang

Sepercik rasa sedih menyelinap di dada cowok itu.

Hisbatul Ghazi: iya

"Loh kok gak diread?" Kening Ghazi mengerut. Segera ia mengeklik profil Estrella, dan mengecek timeline perempuan itu, namun kosong. Jantung Ghazi berdegup lebih cepat.

Timeline Estrella hilang.

"Anjir gue diblock!" Seru Ghazi diluar kendali. Matanya membelalak kaget.

"Siapa? Siapa yang ngeblock lo?" Rendy di sebelahnya langsung menjatuhkan sendok, dan menoleh kaget.

"Estrella!" Teriaknya frustrasi.

"Lah kok malah diblock?" Rendy balas teriak. "Terakhir lo ngechat apa emangnya?"

"Baca dah. Udah alus banget kan padahal?" Ghazi menyodorkan ponselnya. Memperlihatkan chatnya dengan Estrella.

"Mantep nih cewek. Untuk pertama kalinya seorang Ghazi ditolak mentah-mentah!" Rendy tertawa. "Lu terkesan ganggu kali, makanya dia gitu."

Tepat saat Rendy hendak menyuapkan nasi goreng ke dalam mulut, dilihatnya tiga perempuan yang berjalan menuju kantin. Masing-masing dari mereka berpayung. Namun, ada yang janggal. Ke mana yang satunya?

"Eh, itu temen-temennya Stella kan? Kok Stellanya gak ikut?"

Pandangan Ghazi langsung tertuju pada arah pandang Rendy. Dilihatnya Giska menggunakan payungnya. Kedua tangan perempuan itu mencengkram gagang payung sambil bercanda dengan kedua temannya. Lucu sih, tapi bukan waktu yang tepat untuk memuji.

Apa gue tanya ke si Giska aja kali ya kenapa dia block gue?

"Hai, Gis." Sapa Ghazi saat melihat Giska meletakkan payungnya di dekat pintu.

"Hai." Balas Giska. Kakinya menggesek-gesekan sepatunya di atas keset.

"Ng... bisa ikut gue sebentar?"

"Apa?" Giska tidak dapat mendengar.

"Ikut gue sebentar." Kali ini Ghazi menaikkan volume suaranya.

Giska melirik Aci dan Anika bergantian. Bila Anika meresponnya dengan anggukan samar, Aci hanya memutar matanya. Sebenarnya, Giska punya firasat yang kurang baik, namun ia mengalah dan ikut Ghazi berjalan menuju meja bundar.

Ghazi mendekat, takutnya Giska tidak mendengar ucapannya. "Lo free gak hari ini?"

"Emang kenapa?" Giska menyilangkan kedua tangannya di depan dada, menunjukkan sikap defensif.

"Gue mau ajak lo latihan musik."

Giska manggut-manggut sambil melepas tangannya. "Kalo gitu gue tanya Ella sama Kievlan dulu, ya."

"Eh, jangan!" Diluar kendalinya, ia meraih tangan Giska. "Berdua aja latihannya, sekalian nyari string."

"Oh kalo gitu gue gak bisa, Zi." Giska melepas tangannya dari cengkraman Ghazi. Gerakannya tidak lamban, tidak juga cepat. Tapi tegas. Lagi-lagi Ghazi diserang rasa kaget. Benar-benar kaget.

Kenapa sekarang giliran Giska yang terkesan menolaknya?

"Kenapa? Lo sibuk ya?"

"Mmm nggak sih. Cuma lagi males aja." Giska nyengir lebar. "Hehe sori ya."

Ghazi terdiam sejenak. Tidak langsung berkata apa-apa. Sejujurnya, ia kecewa dengan penolakan Giska barusan. Tapi, mau bagaimana lagi? Karena jika Ghazi mendesak justru akan memperkeruh suasana. Setidaknya, cukuplah Estrella yang menjauhinya. Jangan Giska.

"Oh ya udah gak papa."

Giska mengusap tengkuknya. "Oh ya, Zi. Sori gue lupa balikin payung lo."

"Oh, not a big deal, kok. Pake aja."

Giska menggeleng tegas. "Nggak papa, gue bisa sepayung sama Anika, kok."

Ghazi menatap Giska langsung ke matanya. "Serius gue, Gis."

"Gue juga serius," kata Giska, membalas tatapan Ghazi. "Udah dulu ah, gue mau ke dalem." Lanjutnya, ingin pecakapannya dengan Ghazi selesai.

Cahaya lampu ternyata tak mampu menerangkan lorong yang semakin temaram. Awan masih gelap, angin berembus begitu kencang, dan hujan masih setia mengguyuri bumi dengan derasnya.

Dan, Kievlan kali ini terjebak di lobby bersama warga sekolah lainnya. Tidak banyak yang dilakukan laki-laki itu selain bermain ponsel sambil mengumpat, lantaran tidak menemukan celah aman dari hujan dan pantauan guru. Hanya satu inginnya saat ini; rokok.

Kievlan butuh merokok, mulutnya mulai masam.

"Pasti gak bawa payung?" Suara perempuan di sebelah kanan membuat Kievlan menoleh. "Kebiasaan banget sih dari dulu, gak pernah bawa payung."

"Eh, Vera."

Sejak kapan dia di situ?

Setelah memasukan ponsel ke dalam saku, mata Kievlan beralih pada gadis berkardigan ungu di sebelahnya. Dengan satu tangan yang menggenggam ponsel.

Kemudian beralih pada tas ungu yang bertengger di punggung gadis itu. Tas ungu yang sama seperti dulu. Tas ungu yang dulu Kievlan jadikan identitas gadis itu. Tas ungu yang dulu mengantarnya pada gadis itu.

Tas ungu itu.

"Hai, sombong." Ejek perempuan serba-serbi ungu itu.

Tanpa sadar, samar-samar kedua ujung bibir Kievlan naik ke atas, membentuk senyuman pertanda bahwa--- laki-laki itu merasa sedikit lega atas satu hal.

"Siapa?"

"You," jawab Vera sambil membenarkan arolji ungunya yang agak miring.

"Yang nanya!"

"Yeee apa sih jayus!" Seru Vera dibarengi tawa. Tak sadar mereka dilirik beberapa siswa disekitar.

"Gitu-gitu pernah suka!"

"Khilaf itu tuh, khilaf!" Sergah Vera lantas mengeluarkan dua payung ungu dari dalam tasnya. "Nih, ambil aja. Aku bawa dua." Lanjutnya, menyodorkan salah satunya.

"Gak usah, gak papa."

"Ih! Pake gak?"

Kievlan terenyak saat Vera secara tiba-tiba meraih tangannya dan menyelipkan payungnya di tangan cowok itu.

"Apaan si?" Kievlan memekik. "Ver---"

"Dah. Ambil aja gak usah malu-malu," kata Vera. "Duluan, ya."

Monkey. Ini payung udah warnanya ungu. Motifnya kembang-kembang, lagi! Dikira gue emak-emak jamsostek apa!

"Heh, bentar. Lo pulang sama siapa?"

"Biasa."

"Oh? Kakak lo?" Tebak Kievlan, dijawab cengiran lebar oleh Vera.

Setengah menunduk, perempuan itu berlari menembus hujan dengan payung ungu polos yang melindungi tubuhnya. Sementara di tempatnya berdiri, Kievlan menatap payung digenggamannya sangsi.

Mulailah Kievlan berjalan menuju parkiran mobil sambil berpayung, namun saat kepalanya tak sengaja menoleh ke depan gerbang, Kievlan menghela napasnya. Berusaha tidak terganggu saat melihat Vera memayungi laki-laki di dekatnya.

Seketika tenggorokan Kievlan terasa kering saat melihat Vera menggandeng lengan cowok itu, butuh waktu enam detik bagi Kievlan untuk menyadari satu hal.

Semua tak lagi sama.

/k i e v/

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top