12. Reuni Kecil

Dean Lewis - Be Alright

Tangan Giska berhenti memainkan sedotan, matanya menatap Kievlan lekat-lekat. Merasa diperhatikan, laki-laki yang baru saja menelan potongan tempura terakhirnya, langsung membalas tatapan gadis di hadapannya tanpa canggung.

"Apa?"

Giska menggeleng pelan. Namun, matanya tidak berpaling.

Masih berkontak mata, kaki Kievlan bergerak menyenggol kaki Giska. "Ngomong, dong. Masa berduaan sama cogan diem-dieman begini?"

Giska tidak menjawab, malah balas bertanya. "Ngomongin apa?"

"Apa aja. Bebas." Kievlan menggeser piringnya menjauh. "Hobi, kek. Cita-cita, kek. Motto hidup, kek. Mafa-mifa, kek. Serah lu." Tambahnya, lantas menyeruput es teh lemonnya.

"Gue bingung mau ngomongin apa."

"Salting apa lu ya berduaan ama cogan?"

Giska memutar matanya dengan helaan napas panjang. "Please, jangan mancing gue buat ngomong kasar."

Kievlan menertawai ucapan Giska. Kadang dia terheran Giska kok bisa-bisanya takut menyeberang? Menurutnya, hal tersebut sangat kontras dengan kepribadiannya yang sok diplomatis dan sok berani.

"Eh, tapi gue mau nanya deh." Ujar Kievlan setelah tawanya terhenti.

"Apa?" Tangan kanan Giska terangkat menyangga kepalanya.

"Kok lo nggak pernah manggil gue Kipli kayak orang-orang dah?" Kievlan ikut menyangga kepalanya, meniru pose Giska.

"Gak tau... aneh ya emangnya?"

"Nggak si, bagus malah. Akhirnya ada juga yang nyebut nama gue dengan benar." Ujar Kievlan. Matanya beralih ke atas, menatap lampu pijar yang menggantung di langit-langit. "Kebanyakan anak-anak manggil gue Kipli, Keivlan, Kiki. Cuma lo doang yang nggak."

"Wait wait... Kiki?" Tawa Giska meledak, ia langsung menurunkan tangannya.

"Panggilan gue waktu kecil."

"Sok imut abis."

"Lah? Gue kan mamut," kata Kievlan ikut menurunkan tangannya. "Macho imut."

Mungkin salah satu alasan mengapa Giska menerima ajakan Kievlan, karena cowok itu terkadang mampu membuatnya tertawa sekaligus kesal di waktu yang sama, dan ia jauh dari definisi cowok manis. Dia terlalu all out.

Dari sini, Giska mulai paham. Kievlan memang tipikal grasak grusuk bin labil. Kadang bersahabat, kadang menyebalkan. Seperti ombak; ada pasang surutnya. Tidak bisa ditebak.

"Emang siapa sih yang bikinin nama Kipli?"

"Tamam," jawab Kievlan. "Lo sendiri punya panggilan konyol gitu gak?"

"Punya. Papa gue manggil gue Kikah. Dan itu bener-bener pake H. Sampe sekarang."

"Lah? Kikah-Kiki! Ikut-ikutan gue lu ya?"

Belum sempat Giska mencibir ucapan Kievlan, tiba-tiba ia merasakan pundaknya diguncang dari belakang, sontak keduanya menoleh. Cengiran Giska yang tadinya terulas lebar langsung lenyap begitu melihat sepasang kekasih di hadapannya.

"Hani?" Giska langsung berdiri melihat sosok perempuan berambut ombre dengan baju sabrina pink. Satu tangannya menggandeng lengan lelaki sebelahnya.

Hani berjengit kegirangan, dan menarik Giska yang berdiri di depannya ke dalam pelukan.

"Apa kabar lo? Gila sih bener-bener lost contact!" Seru Hani setelah saling melepaskan. Sebuah senyum lebar tersungging di bibirnya.

Dengan senyum, Giska menatap Hani, tanpa menatap laki-laki di sebelahnya. Kemudian menunjuk Kievlan di belakangnya. "Oh ya. Kenalin, ini Kievlan."

"Hani."

Kievlan membalas senyum Hani. "Kievlan."

"Kalo ini cowok gue, Gama." Hani menarik lengan Gama, seolah menunjukkan keberadaan kekasihnya yang sejak tadi bersamanya.

Bila Giska hanya menyunggingkan senyum terpaksanya pada Gama, Kievlan menatap laki-laki berkemeja biru dongker itu dengan tatapan bingung. Laki-laki itu mengingat-ingat wajah Gama yang sepertinya agak familiar di benaknya.

"Kok komuk lo kayak nggak asing ya?" Kievlan akhirnya bersuara. Mata birunya masih tertuju pada Gama. "Lo yang suka nge-DJ di DWP itu bukan sih?"

"Iya!" Sahut Gama, antusias. "Lo anak Dragonfly juga nih?"

Kievlan mengangguk ringan. Terbawa suasana, Giska dan Hani saling bercerita tentang kehidupan baru mereka. Namun kegiatan itu harus terinterupsi saat Gama menarik Hani menjauh, dan membisikkan sesuatu. Seperti baru menyadari sesuatu, Hani langsung mendatangi meja Giska dengan ringisan lebarnya.

"Astaga gue lupa, kita mau nonton," kata Hani. "Kita duluan ya filmnya udah mau mulai."

"Oh, okay. Have fun!"

Giska membalas lambaian tangan pasangan yang baru saja melangkah keluar food court. Melihat pasangan itu semakin menjauh, Kievlan mendapati kesedihan yang terpancar di mata Giska. Dari cara perempuan itu mengeraskan rahangnya, Kievlan yakin ada sesuatu yang tidak beres diantara mereka bertiga.

"Heh, Jawir." Kievlan menyenggol tangan Giska. "Lo masih laper?" Tambahnya, sengaja tidak nyambung.

"Nggak."

"Ngeliat lo bertiga, gue ngerasa ini kayak cinta segitiga di film-film gitu ya?" Ujaran Kievlan terdengar begitu enteng membuat Giska kaget, jantungnya mencelos dan terasa begitu ngilu.

Mata Giska memicing, nampak tersinggung. "Apa sih? Sok tau."

"Bukannya gue sok yes apa gimana ya, sekalipun si DJ tadi itu mantan lo. Lo harusnya b aja, ege."

"Loh? Emang gue apain si cowoknya? Kan gue gak ngapa-ngapain?" Giska jadi sensitif sendiri.

Sudut bibir Kievlan tertarik ke atas. Mulai tertarik memancing emosi Giska. "Gue kan cuma ngasih tau, jangan pake urat, dong ngomongnya."

"Lo gak pernah pacaran ya? Makanya gak ngerti rasanya putus." Kini suara Giska terdengar begitu lirih, jauh berbeda dengan yang sebelumnya.

Kievlan terdiam, ada sepercik rasa sesal terhadap ucapannya tadi. Sebenarnya, Giska juga menyesali mulutnya yang keceplosan. Pada akhirnya, dua remaja itu terperangkap dalam kecanggungan yang cukup lama.

Tidak ada yang bersuara, Giska hanya mengedarkan pandangannya ke segala penjuru mall. Hal ini membuat Kievlan terusik di tempat duduknya. Dia tidak ingin gadis di hadapannya semakin galau, tetapi dia juga sedang tidak ingin bercanda.

"Justru karna gue tau rasanya putus. Makanya gue bisa ngomong gini," kata Kievlan, memecah keheningan. "Biar gimana pun mantan kan pernah baik sama lo. Jangan kejelekannya doang, Gis yang diinget."

Giska menyipitkan matanya, menyelidiki perkataan Kievlan.

"Lo bisa ngomong gitu karena lo di pihak yang bersalah kan?"

"Nggak, kok. Bukan gue yang salah." Kievlan berujar kalem dan santai. "Dan sampe sekarang, gue sama mantan gue baik-baik aja."

"Terus, kalo baik-baik aja, kenapa harus putus?"

"Karena udah gak bisa sama-sama lagi," jawab Kievlan. "Lagian yang namanya putus, benar atau salah udah gak ada artinya lagi. Gak ada yang menang atau kalah."

Nyatanya, ucapan Kievlan yang terdengar begitu enteng sukses membuat Giska tercengang. Kalau dipikir-pikir benar juga sih... tapi ah!

"Oke stop," Giska mengembuskan napasnya keras-keras. "Bisa kan kita gak usah ngomongin hal ini?"

"Oke, mau ngomongin apa dong nih?"

Giska menelan ludahnya, sebenarnya dia tidak tahu ingin membahas apa. Tetapi, jika mengingat perkataan Kievlan tadi, sepertinya dia punya pengalaman cinta yang cukup menarik. Okelah, Giska akui, ia penasaran siapa mantan Kievlan. Boleh kan?

"Sekarang giliran gue, deh yang mau nanya." Akhirnya Giska nekat. Ia menatap mata biru Kievlan begitu dalam. "Tapi janji jangan gimana-gimana."

"Yaudah, tanya tinggal tanya." Kievlan menyandarkan punggungnya ke kursi, namun matanya masih tertuju pada Giska.

"Terus janji juga jangan geer gue nanya ini loh ya."

Kievlan terdiam, menunggu pertanyaan Giska.

"Mmm... Mantan lo tuh anak sekolahan kita ya?"

Hening.

Hening.

"Kepo ya?" Sahut Kievlan dengan seringai lebarnya.

Waktu menunjuk pukul 16:52. Cengkraman pada persnelingnya melonggar begitu mobilnya berhenti di depan rumah bertingkat tiga dengan pagar cokelat tua. Selepas mengantar Giska, Kievlan tadinya berniat langsung pulang ke apartemennya. Namun, ia urungkan niat itu.

Kini di sinilah ia, di depan rumahnya. Lelaki itu belum mematikan mesin mobilnya, dan sama sekali tidak ada tanda-tanda akan keluar dari mobilnya. Toh, untuk apa juga dia turun dan masuk ke dalam?

Di sana tidak ada siapa-siapa. Rumah itu tidak lagi berpenghuni. Kondisinya sudah tak terawat, dan nampak begitu angker. Pagarnya berkarat, temboknya usang, dan auranya begitu gelap.

Tidak seperti dulu.

Setelah mematikan AC, laki-laki itu menurunkan jendela mobilnya. Kemudian menyulut rokoknya dengan korek.

"Kiki!"

Suara perempuan yang sangat akrab di telinga, membuat Kievlan menoleh, dilihatnya sosok perempuan berambut brunette dengan kaos mobil Jeep itu mendekatinya dengan senyuman lebar.

"Eh, Kak Mayang!"

"Tumben ke sini?" Tanya Mayang. Agak heran melihat kedatangan tetangga yang sudah dianggap adiknya sendiri itu.

"Pengen main aja," kata Kievlan. "Masuk kak."

Mayang menuruti tuturan Kievlan. "Abis darimana?"

"Nyari stik drum."

"Sama siapa? Pacar?" Ejek perempuan berusia 21 tahun itu.

"Et kagak..."

"Halah... ngaku deh lo." Mayang kembali mengejek. Sementara yang diejek hanya terkekeh. "Sok backstreet lo. Dasar playboy!"

"Widura apa kabar, kak?" Tanya Kievlan sambil melempar batang rokoknya keluar.

Kekehan Mayang tidak lagi terdengar. Perempuan itu mengalihkan pandangannya dari spion ke Kievlan, hatinya cukup tercabik mendengar nama adiknya. Adik semata wayangnya yang menghilang tanpa jejak.

"Dia gak pernah pulang nyaris dua bulan ini, Ki."

Kievlan terdiam, awalnya ia pikir sahabat kecilnya itu masih suka bolak-balik ke rumahnya. Ternyata sama sekali tidak. Padahal sebulan yang lalu Kievlan masih party bersama Widura di night club. Selepas acara party itu, tidak ada lagi pertemuan ataupun jalinan komunikasi diantara mereka. Benar-benar lost contact.

Widura benar-benar menghilang.

"Biarinin aja dulu kak. Mungkin dia lagi kelana sembari hijrah, yah anggep aja dia musafir." Kievlan mencoba melucu. Untungnya sukses membuat Mayang tergelak.

"Musafir? Emang lo tau artinya musafir apa?"

Kievlan mengerutkan alis, pura-pura mikir. "Ya... yang suka berpergian gitu kan?"

"Ziarah tepatnya." Jelas Mayang dengan kekehan ringannya. Bicara soal ziarah, Mayang teringat sesuatu. "By the way, lo udah ziarah ke makam belom?"

Jantung Kievlan berdebar-debar, pemasokan oksigennya mulai menipis. Tanpa mengatakan apa-apa, Kievlan menggeleng kaku.

"Kok?"

"Gue takut, kak."

Mayang terdiam, ia paham betul konotasi takut yang dimaksud Kievlan. Bukan rasa takut pada makhluk astral. Melainkan, rasa itu. Rasa bersalahnya.

"Pasti udah lama banget kan lo gak ke makam?" Ujar Mayang. Matanya melirik arolji putih yang melingkari tangannya. "Masih jam lima nih, mending ke makam deh sekarang."

"Tapi gue belum beli bunga." Sejujurnya, bukan itu maksud Kievlan.

"Orangtua lo gak butuh bunga. Yang penting anaknya dateng. Itu lebih berarti dari apapun."

"Tapi--"

"Ziarah, Ki. Tengokin orangtua lo." Sela Mayang seraya turun dari mobil Kievlan.

/Lil' Kiki/

/g a m a/

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top