11. Kumparan
Jeremy Zucker - All The Kids Are Depressed
Suasana toilet sekolah kian menegang, saat melihat Rajas menaburkan butiran kristal milik Kievlan ke wastafel---yang ia temukan di saku jaket. Rajas memutar keran, membiarkan butiran itu hanyut oleh air.
Setelah butiran itu tak terlihat lagi, Rajas mendorong Kievlan ke pojok pintu, dan mendaratkan tinjunya ke pelipis sahabatnya. Sementara Tamam dan Eja yang duduk di atas wastafel hanya diam memperhatikan.
Bukan tanpa alasan mereka membiarkan Rajas begini. Malah keduanya mendukung tindakan Rajas. Menurut mereka, Kievlan patut ditegur. Jika tidak, ia bisa kebablasan.
"Dari kapan lo make, anjing?!" Suara Rajas akhirnya memecah keheningan.
"Baru."
"Jangan boong!" Bentak Rajas dengan ritme napas yang tak beraturan.
"Demi Allah, baru!" Seru Kievlan sambil mengelus pelipisnya yang terasa nyeri. Meski tidak membekas.
Rajas menghela napas kasar, bahunya naik turun. Dia tahu, Kievlan bukan tipikal orang yang mempermainkan sumpah. Jika ia bersumpah, tandanya Kievlan jujur. Dan, itu final.
Baiklah, dia bukan pecandu, pemakai baru. Tetapi darimana ia dapatkan?
"Gelenya magang," bisik Tamam ke Eja, dibalas delikan sinis oleh Eja. Untung tidak didengar Rajas. (Gele: teler/ngobat)
"Beli dimana tuh barang?" Lagi-lagi Rajas bertanya, pelan namun lebih dingin dari yang sebelumnya.
"Night club."
"Siapa yang ngajak?"
Mata Kievlan berpaling ke kiri. "Gak ada. Gue sendiri yang pengen coba."
Tetapi mereka tahu, kali ini Kievlan berbohong. Pasti ada yang mempengaruhinya. Sepertinya percuma juga bila Rajas mendesak Kievlan. Pasti dia tidak ingin melibatkan orang tersebut.
Sebenarnya, Eja tahu ini ulah siapa. Namun, ia memilih diam.
Rajas mencengkram kerah Kievlan, dengan amarah yang masih memuncak. "Heh anjing! Dengerin gue. Gue akuin, gue rusak. Mabok, gonta-ganti cewek. Tapi gue gak pernah ya sentuh gituan!"
Kievlan diam, matanya menatap mata Rajas lurus-lurus. Dia sadar kesalahannya, ia pantas dapatkan ini.
"Sampe lu berani make lagi gue gak segan bawa lu ke rehab!" Tambah Rajas seraya melepas kerah Kievlan.
"Lo kan yang ngasih gue keset?"
Setelah mengajukan pertanyaan itu, Giska mengalihkan pandangannya dari pajangan drum di atas dashboard ke arah Kievlan yang sibuk menyetir. Memang, Giska tidak mau munafik, ia akui si sableng ini memang punya tampang yang lumayan.
Rahangnya tegas, dagunya lancip, hidungnya juga mancung. Rambutnya distyling asal dengan warna platinum blonde. Terkesan berantakan, tetapi enak dilihat. Kulitnya juga bersih, meskipun bibirnya menghitam karena rokok.
Kievlan menoleh sebentar. "Hah? Apaan?"
"Halah. Jangan sok budek deh. Ngaku lo."
"Apaan si? Kepedean banget dah lu jadi cewek." Balas Kievlan, tak mau kalah.
"Apaan si? Gue kan cuma minta lo jelasin motifnya ngasih keset gitu apa. Kok ngeselin dah?"
"Ya lu liat, lah tuh keset ada motifnya gak?"
"Au ah! Capek gue ngomong sama lo!" Balas Giska yang kini berpaling ke depan.
"Nghina hinu hina hinu," Kievlan bersenandung dengan tawa renyahnya.
Tanpa berminat membalas ledekan Kievlan, gadis yang rambutnya digulung jedai itu menyalakan tombol tape mobil. Setelah USB dan port ponselnya terhubung, ia mengeklik playlist andalannya.
When you hold me in the street, then you kiss me on the dance floor... we keep behind close door everytime i see you i died little more...
Belum sempat lagu memasuki reff, tangan kiri Kievlan dengan cepat bergerak mematikan tape.
"Apaan lagi sih ah elah!" Bentak Giska refleks.
"Lah? Ngapa tiba-tiba ngegas?" Kievlan ikutan sewot. "Ini kan mobil gue. Terserah gue lah mau ngapain."
Tai emang nih orang. Setai-tainya tai!
"Selera musik lo tuh cengeng. Gak ngegregetin." Kievlan bersuara lagi, kali ini diikuti senyum jenakanya.
Giska tidak menjawab, malas bicara. Ia langsung mencabut USB dari port ponselnya dengan kesal. Sementara Kievlan di sebelahnya menoleh sebentar, melihat bagaimana juteknya wajah gadis itu.
Kievlan menyeringai lebar, merasa menang atas suatu hal; membuat Giska emosi. Dan, dia tidak mau momen ini berakhir begitu saja.
Saat lampu rambu lalu lintas merah, tangan kiri Kievlan kembali terulur. Ia menyalakan tape dan menghubungkan USB ke port ponselnya. Diputarnya lagu Heathens milik Twenty One Pilots.
All my friends are heathens, take it slow... Wait for them to ask you who you know... Please don't make any sudden moves..
"Nah ini baru lagu! Hacep! Bikin orang bergairah hidup!" Seru Kievlan.
Giska tidak menjawab. Ia menoleh cepat ke arah laki-laki itu, dengan tatapan sinisnya.
"Ngapa liatin gue kayak gitu? Baru nyadar kalo gue ganteng?" Kievlan menoleh sekilas, semakin tertantang membuat Giska emosi.
Mulut Giska masih diam, tetapi sorot kebencian di matanya semakin jelas.
"Gak usah sok judes dah lu sama gue, kita tuh sekelompok. Pasti lu bakalan baper sama gue. Liatin aja..." kata Kievlan, seraya mengusap dagunya.
"Najis!"
"Oh, lo jual mahal nih?"
"Iya lah!" Sahut Giska tanpa berpikir. Kepalanya berpaling ke jendela.
"Sini gue cicil."
Dengan langkah lebar, Kievlan menghampiri Giska yang sejak tadi sibuk memilih kumpulan buku fiksi remaja di deretan rak paling kiri. Laki-laki yang menenteng plastik berisi stik drum itu mendecak pelan, lelah menunggu.
"Heh, buru!" seru Kievlan yang melongokkan kepalanya ke arah Giska.
Giska menengok dengan cengiran lebar. "Iya, iya bentar... Gue masih cari novel yang gue incer."
"Lama amat dah daritadi gak kelar-kelar!"
"Ya sabar napa!" Giska jadi ikutan sewot. Gadis itu mengambil dua novel bersampul pink dan hijau. Lalu menyodorkan keduanya ke Kievlan. "Eh, eh menurut lo bagusan yang mana?"
"Itu." Kievlan menunjuk asal yang hijau. Daripada pusing berlama di toko buku.
"Ih, tapi gue udah pernah baca di wattpad, ntar kalo beda ama yang di wattpad gimana?"
"Lah au." Kievlan mengacak rambutnya, benar-benar jengah. "Yaudah si ambil aja dua-duanya. Gue laper nih, coy."
"Ck, iya, iya!"
Mereka berdua berjalan menuju kasir. Kievlan yang berjalan di belakang Giska memegang kedua bahu perempuan itu. Seperti bocah yang mengantre hadiah lomba tujuh belasan. Sontak, hal ini membuat keduanya menjadi sorotan.
"Kiev!" Bisik Giska setengah memekik, ingin sekali dia berteriak atau menepis, tapi malu. Ini kan tempat umum.
"Ape?"
"Turunin tangan lo!" Giska masih berbisik.
"Ntar gue gandeng lo, lo marah. Gue rangkul lo, lo marah, ya udah kita jalannya gini aja." Timpalnya tanpa berminat menurunkan kedua tangannya.
/k i p l i/
/o t a n g/
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top