Insecure (Part 1)
"He, Gendut."
Dinar sedang termenung di tepi danau yang berada dekat area kampus seraya memikirkan mimpi aneh semalam, lalu seseorang memanggil dengan mencemooh. Tatapan penuh permusuhan menyorot jelas pada wajah sang pemilik suara yang sedang berdiri di hadapan. Kiara, teman kuliah Gathan. Tampaknya, gadis itu sengaja datang jauh-jauh mencari dia untuk sebuah urusan penting.
Baiklah, Dinar tidak keberatan dipanggil begitu. Namun, Dinar tidak suka cara Kiara menatap setiap kali mereka bertemu seakan-akan ingin mencabik dirinya saja. Ah, sorot mata cemburu yang gagal ditutup-tutupi.
"Kamu berani modus ke Gathan karena kamu sepupu dia, 'kan?" Kiara langsung bicara ke inti masalah dan berhasil membuat Dinar tersinggung.
"Tolong, jangan ganggu aku. Aku enggak punya urusan sama kamu, ya, dan aku enggak mau terlibat masalah Gathan," pinta Dinar tetap sopan walaupun terkandung nada kegusaran.
"Kamu pikir bisa segampang itu? Lalu, kenapa tinggal di apartemen sebelah Gathan segala? Kamu sebenarnya mengincar dia, 'kan? Sok jual mahal."
"Apa? Kenapa tidak kamu tanyakan saja sendiri pada Gathan? Dialah yang terus menggangguku!" protes Dinar dengan suara meninggi, terpancing.
"Eh, jadi sekarang kamu mau bilang Gathan yang salah? Bukannya kamu yang selalu menghindar walau dia sudah nembak kamu?"
Mata Dinar bulat sempurna mendengar. "Sebenarnya, masalah kamu apa, sih? Kalau kamu memang suka Gathan, kenapa bukan kamu saja yang PDKT ke dia? Jangan melampiaskan kekesalan padaku."
Kalimat Dinar seolah menghunjam jauh ke lubuk hati Kiara yang lantas terdiam walau masih menatap sengit. Gadis itu menghela napas sejenak, terlihat jelas dilema sedang membayangi sebingkai wajah yang kini muram kehilangan cahaya. Entah kenapa Dinar justru merasa kasihan pada gadis ini. Andai Kiara tahu bagaimana Gathan sebenarnya ....
"Jujur, aku bingung, ya. Kenapa Gathan menolak cewek sesempurna kamu?" Dinar bicara blakblakan. Ya, cowok normal tidak mungkin melakukan itu. Gathan memang tidak normal. Dengan warna kulit cerah dan pancaran mata indah khas mojang priangan, Kiara amatlah manis. Perawakannya juga semampai dan proporsional, amat serasi jika berada di sisi Gathan.
"Terima kasih, aku tidak butuh simpati darimu, Tukang Cari Muka!"
Dinar geram. Gadis ini sudah dikasih hati malah ngelunjak. Kedongkolannya makin menjadi-jadi ketika speak of the devil muncul mengambil alih perhatian. Gathan. Cowok itu tampak sedang menata napas yang naik turun. Pasti habis joging, pikir Dinar sinis. Terus terang, horor rasanya Dinar dibayangi oleh penguntit ini. Dinar berdiri merapat tanpa sadar ke arah Kiara seakan ingin bersembunyi.
"Kenapa kamu di sini?" Kiara melontarkan pertanyaan bodoh. Tentu saja gadis itu tahu bahwa Gathan sering menemui Dinar. Oleh karena itulah sekarang ia ada di sini, berusaha menangkap basah mereka berdua.
"Kaget? Apa senang?" Gathan malah menggoda Kiara sehingga memerah tersipu, tidak menyangka kalau gadis itu bakal disosor balik, sementara Dinar merasakan deja vu karena Gathan juga sering menggoda dia seperti itu.
"Dinar, kamu cemburu?" Gathan menyalahartikan tatapan lekat Dinar yang tertuju padanya.
"Hah?" Dinar menahan rasa jengkel. Cemburu dari mana? Benci, sih, iya.
"See ya, aku cabut dulu." Kiara bermaksud segera menarik diri dari kedua orang itu, tetapi langkahnya tertahan oleh bentangan lengan Gathan.
"Kok buru-buru? Dinar jarang punya teman mengobrol, lho."
"Masa? Kan, ada kamu ...," ujar Kiara dengan nada miris sekaligus salah tingkah akibat perlakuan yang ia terima. Lagi-lagi, Gathan tersenyum licik dan membuat Dinar merasa muak.
"Gathan, kamu balik aja, deh, sama Kiara. Aku nggak mau diganggu hari ini," tukas Dinar dingin dan berhasil menciptakan ketegangan di udara. Kiara memandangnya dengan tatapan mencela, sedangkan Gathan pura-pura menunjukkan ekspresi merana.
Apa? Dia adalah penjahatnya sekarang?
"Okelah, kalau begitu nanti kita ketemu di apartemen. Kamu sekarang sombong sekali sama aku, Dinar." Gathan memasang tampang memelas yang penuh kepalsuan selagi Dinar meremas jemari sampai sakit. Ia berusaha menyembunyikan semua perasaan yang bercampur aduk dalam hati karena kata "apartemen" menimbulkan efek yang sangat traumatis baginya. Ingin sekali rasanya ia memusnahkan cowok ini, tetapi Gathan adalah sepupunya sendiri dan Dinar bahkan tidak tahu caranya.
"Gathan, aku harus menegaskan sesuatu sama kamu." Dinar memberanikan diri. "Aku nggak mau kamu datang menemuiku setiap hari. Kamu juga nggak perlu sok baik kasih perhatian ke aku lagi. Aku akan pindah secepatnya. Jadi, tolong hentikan semua kesalahpahaman ini!"
Dinar merasa lega, akhirnya ia mampu mengutarakan isi hati. Gathan pun terang-terangan menunjukkan ekspresi tidak suka. Secara implisit, Dinar seperti ingin menguak topeng di balik seorang Gathan. Selama ini, Gathan selalu meremehkan dia. Namun, sekarang keberaniannya mendadak muncul karena ada Kiara bersama mereka. Mungkin, Dinar harus berterima kasih kepada gadis itu karena telah menguatkan posisinya tanpa sadar.
"Kok kamu ngomongnya gitu? Ayo kita bicara!" Gathan rupanya belum menyerah juga, kemudian mengincar tangan Dinar.
"Enggak mau!"
Dinar menepis. Ia tidak ingin diperlakukan seperti yang sudah-sudah. Gathan tidak punya hak untuk mendikte dan terus melecehkannya.
"Aku tetap ingin bicara sama kamu!" Gathan menggenggam tangan gadis itu lebih erat hingga Dinar meringis kesakitan.
"Gathan, lepaskan Dinar! Bukankah dia sudah bilang tidak mau?" Ajaib, Kiara angkat bicara. Namun, Gathan segera menyergah dengan ketus.
"Ini bukan urusanmu. Pergi dari sini!" Kiara terpaku karena Gathan tanpa sungkan melayangkan tatapan terganggu padanya. Sikap Gathan berbeda seratus delapan puluh derajat.
"Kamu sudah keterlaluan, Gath. Kamu menyakiti Dinar!" tegur Kiara lebih keras dengan sorot mata penuh penghakiman. Gathan justru tertawa geli dan lantas berbisik di telinga Dinar dengan kata-kata yang cukup jelas didengar oleh Kiara di samping.
"Selamat, kamu punya pendukung sekarang! Tapi, aku belum selesai denganmu, Sayang ...." Ia melepaskan tangan Dinar, lalu telunjuk cowok itu mencolek ujung dagu gadis itu dengan kasar sebelum pergi, sementara Kiara tampak terpukul.
"Dinar ..., aku ...." Kiara serba salah. Kini, gadis itu tahu siapa Gathan dan pasti sedang dilanda kebingungan bagai kompas rusak, meski akal sehatnya masih bekerja.
"Lupakan saja." Dinar mendesah.
"Maaf, soal kata-kataku tadi." Gadis itu tanpa ragu mengajukan gencatan senjata hingga Dinar sempat tidak percaya. Kiara sungguh tidak terduga!
"Tidak apa-apa." Dinar tidak ingin memperpanjang masalah. "Terima kasih sudah membelaku tadi."
"Apa Gathan biasanya sesadis itu?" tanya Kiara heran. Dinar mengangkat bahu dan menghela. Sepertinya, ini sudah cukup sebagai awal kesepakatan damai di antara mereka, tetapi Dinar sendiri tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan itu.
Begitulah. Ia tidak ingin membicarakannya.
***
Meskipun masalah dengan Kiara sudah selesai, jujur Dinar tidak tahu bagaimana kelanjutan nasib hubungan mereka bertiga: dirinya, Gathan, dan Kiara. Jangan lupa, sekarang juga ada Luz.
Uh, Dinar mencengkeram kepala sambil berbaring di atas ranjang. Pertemuan dengan Luz sungguh tidak masuk akal. Dinar tidak tahu kenapa sosok itu terasa begitu nyata dalam benak dan ia dapat mengingat jelas setiap detail dalam mimpi kemarin malam.
Cukup menjadi dirimu sendiri dan jadilah gadis yang baik. Nasihat Luz seolah mengejek. Dinar merasa sudah melakukan segala hal dengan benar selama ini. Ataukah itu anggapan dia saja?
Tok, tok.
Terdengar ketukan singkat di pintu yang membuat Dinar bangkit terkejut. Gathan? Pikir gadis itu galau. Ia tidak akan heran bila Gathan akan berkunjung secepat ini. Cowok itu pasti merasa kesal dengan apa yang terjadi tadi siang di kampus. Namun, apa yang harus ia lakukan? Sekarang ia sendirian.
Ketukan itu kini lebih keras. Ragu, Dinar beringsut mendekati pintu dan menempelkan pipi di sana. "Siapa?"
"Ini aku, Kiara," sahut suara di luar.
Kiara? Perlahan Dinar menggerakkan gagang pintu dan mengintip sedikit keluar. Lewat celah sempit, ia bisa melihat gadis itu tengah berdiri tegak menunggu dengan ekspresi tidak sabar.
"Oh ..., kamu," bisik Dinar masih menahan posisi pintu sedikit terbuka.
"Memangnya kamu kira aku siapa? Gathan? Boleh aku masuk?" tanya Kiara heran karena Dinar masih menahan dia di luar.
Dinar celingak-celinguk sebentar menilai keadaan, lalu membuka pintu dan menarik gadis itu ke dalam dengan gerakan tergesa-gesa. Mata Kiara membulat ketika Dinar membanting pintu di belakang mereka.
"He, kenapa reaksimu berlebihan begitu? Astaga, ini pasti ada hubungannya dengan cowok sebelah, ya?"
Dinar tidak menjawab, ia malah tampak bingung ingin menyuruh Kiara duduk di mana karena tidak ada kursi tamu di kamar itu, yang ada hanya sebuah kursi dan meja kerja kecil yang sudah disediakan oleh pemilik apartemen. Jadi, Dinar memberi isyarat pada Kiara untuk duduk di mana saja yang ia mau.
Tanpa basa-basi, Kiara mengempaskan bokong dengan nyaman ke ranjang Dinar, sedangkan sang tuan rumah hanya diam mematung di hadapannya. Mungkin Dinar agak bingung dengan kehadiran tamu yang tiba-tiba datang tanpa diundang
"Aku tidak percaya kamu kembali lagi menjadi Dinar yang biasa. Bukankah tadi siang kamu sudah berhasil membela diri di depan Gathan? Sebenarnya, apa, sih, yang telah dilakukan Gathan sampai kamu jadi paranoid?"
"Mmm, bukan apa-apa." Dinar tertunduk. Ada rona malu jelas terpancar di wajah gadis itu mendengar pertanyaan Kiara. Keberanian yang ia tunjukkan sebelumnya hanya berlaku sesaat karena kalau di tempat ini, Gathan tetap punya posisi yang lebih kuat dan bisa menyerang dia kapan saja jika kesempatan terbuka.
"Kalau bukan apa-apa, mana mungkin kamu bersikap seperti tawanan di apartemenmu sendiri!" Kiara menggebuk ranjang Dinar dengan jengkel sehingga Dinar mengerjap. Kiara memang agresif dan blakblakan. Gadis itu lalu bangkit dan bicara tepat di depan wajahnya.
"Apa dia pernah mencoba menyakiti atau menyerang kamu?"
"Kiara ..., tolong jangan bilang begitu." Dinar terperanjat dengan rasa malu kian membuncah.
"Ya ampun, Dinar ...." Kiara mengacak rambut gemas. "Kalau kamu nggak pernah cerita masalahmu, bagaimana orang lain bisa menolong kamu?"
Dinar makin terpekur mendengar. Semua kata Kiara benar.
"Sekarang, aku tanya, deh," ujar Kiara sedikit melunak. "Reaksi orang tua kamu bagaimana setelah tahu soal ini?"
Mata Dinar melebar seolah Kiara sedang menjatuhkan vonis hukuman mati. Dinar tahu bahwa tak ada gunanya menjawab, tetapi Kiara menghunjam dia dengan pandangan menuntut yang pantang ditolak. Dinar tidak berdaya ketika sebaris kalimat terpaksa keluar dari mulutnya, berharap Kiara tidak mendengar, "Aku ... enggak ada cerita ...."
"HAH?" Sebuah dengkusan kasar terlontar dari mulut Kiara. Sambil bersedekap, gadis itu menatap Dinar seolah hilang akal. Kiara lantas tidak bisa menahan diri untuk tidak berkata sinis.
"Aku baru tahu sekarang apa inti masalah kamu, Dinar .... Kamu naif! Kamu pikir dengan cara diam, semua masalahmu akan selesai begitu saja seperti sulap? Astaga, Dinar, kamu mesti introspeksi diri. Gathan berani macam-macam sama kamu mungkin karena kamu sendiri yang kasih dia kesempatan!"
"Kiara, maaf, aku—"
"Buat apa minta maaf ke aku? Minta maaflah sama diri kamu sendiri!"
Dinar berdiri terpojok tersisihkan, sementara Kiara menatap dengan jijik. Dinar bahkan tidak ingin mengetahui perasaan macam apa yang sedang bercokol di hatinya saat ini, terasa begitu hina.
"Sori, Dinar, aku enggak bisa menolong kamu, sebelum kamu menolong diri kamu sendiri." Kiara mengangkat tangan tanda menyerah, meninggalkan Dinar yang terluka. Dinar sendiri tidak tahu apakah dia masih punya ego dengan cara Kiara memperlakukan dia. Ia memang tertutup dan tidak punya keberanian untuk mengutarakan perasaan. Dinar merasa amat naif.
Sepeninggal Kiara, Dinar melemparkan diri ke atas tempat tidur, lalu menggerutu kecewa. Ia membenci keadaan yang sulit dan menyesali diriyang lemah. Ia ingin melupakan segala hal yang menyakitkan ini. Andai ia bisa berpindah ke suatu tempat untuk bersembunyi, bibir Dinar menggumam tidak jelas. Gadis itu lalu jatuh tertidur.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top