Guy Next Door

Berlokasi di bilangan perumahan mewah Beverly Park, bangunan megah tiga lantai bergaya minimalis bernuansa campuran putih dan taupe itu adalah indekos campur eksklusif yang menjadi rumah kedua Dinar setelah keluar dari program wajib asrama di tahun pertama. Gadis itu baru saja turun dari ojek.

Agak jauh memang dari kampus, tetapi bukan masalah walau ia tidak mengendarai sendiri. Ada shuttle car, juga odong-odong dan opang. Kalau sedang punya waktu, ia juga bisa berjalan kaki sekaligus olahraga lewat Jembatan Cincin, salah satu landmark Jatinangor yang indah. Situs jalur kereta api tua peninggalan zaman Belanda yang sudah dipreteli relnya ini sebenarnya memiliki pemandangan yang menakjubkan di pagi hari karena menjulang tinggi di atas area persawahan. Namun, hanya di pagi hari, sebab kalau pulang kuliah petang, Dinar harus berpikir dua kali karena suasananya bakal seram.

Sebenarnya, urusan jarak dan cara tempuh ini bukan masalah berarti. Yang menjadi momok justru setelah kembali ke "rumah". Sekarang saja, matanya berdenyar gelisah menangkap bayangan sebuah bangunan, lebih-lebih tatkala melangkah menuju anak tangga tersembunyi di foyer depan. Sebuah kartu akses pun telah siap dikeluarkan dari balik saku blus yang ia kenakan.

Beberapa minggu tinggal di sini, sebuah perasaan antipati terbangun. Sesuatu yang tidak layak untuk disesali sebetulnya karena Dinar sendirilah yang memilih apartemen ini. Masalahnya, ia tidak menduga akan mendapatkan sebuah gangguan bernama Gathan, cowok yang tinggal di sebelah.

Tiba di koridor lantai dua, Dinar berjalan terburu-buru menuju kamar yang terletak di ujung. Bunyi sepatu berderap nyaring di ubin. Ia setengah berlari melewati pintu kamar di sebelah dengan cemas, berharap tidak akan bertemu dengan cowok itu hari ini.

Klik. Jantung Dinar melompat ketika pintu sebelah terbuka dan sebentuk wajah tirus beralis tebal muncul di baliknya. Oh, mestinya ia mampu membiasakan diri. Dengan Gathan tinggal di sebelah, sudah pasti besar kemungkinan mereka untuk bertemu, bukan? Namun, Dinar tidak akan pernah terbiasa, karena ia tahu apa artinya.

"My Cute Pear¸ sengaja pulang terlambat?"

Seorang cowok berkemeja flanel dengan kancing terbuka memperlihatkan kaus polos di bagian bawah, bersandar santai pada dinding sambil mengawasi Dinar yang sedang mencoba meraih kartu dari balik saku blus. Cowok dengan tampilan lebih matang daripada bilangan umur yang belum genap dua dekade itu, sengaja berlama-lama mengamati gerakan tangan Dinar yang merogoh kelabakan karena saku blus gadis itu agak sempit, ketat, pula, melekat di badan. Sementara itu, jemari penuh berisi milik Dinar sungguh menyusahkan usaha gadis tersebut. Umpatan kekesalan pun terlontar dalam hati.

Ya, agar tidak diganggu olehmu!

Dinar sengaja menghindari tatapan cowok bernama Gathan yang dirasa sungguh menyebalkan. Ia tidak suka cara mata cowok itu menjelajahi dirinya dengan intens dari atas sampai bawah. Pupil mata Gathan lantas berfokus pada kardigan yang melilit di pinggang Dinar.

Ckck, tampaknya Gathan segera menemukan sesuatu yang menarik, area favorit cowok itu. Kardigan berbahan wol tidak berhasil menyamarkan lekuk tubuh Dinar yang curvy bak pir ranum.

"Tahu, enggak? Hanya butuh gaun yang tepat untuk membungkus bagian seksi itu." Cowok itu mendesah mengagumi bagian bawah tubuh Dinar, sementara kuping Dinar memerah. Pilihan kata Gathan membuat gadis itu terdengar seperti kado murahan.

Oh, sial! Kartu yang telah Dinar ambil dengan susah payah mendarat manis di lantai gara-gara emosi. Sialnya lagi, ia harus membungkuk sekarang. Dinar berjuang memegangi kerah blus selagi merunduk melakukannya. Ia tahu saja semua hal itu tidak luput dari ekor mata cowok di depan.

Voila! Dinar berseru lega setelah benda itu berada dalam genggaman. Saat bermaksud menempelkannya pada sensor elektronik, tangan Gathan telah menutupi perangkat RFID di pintu.

"Gathan, menyingkirlah!" ancam Dinar ketus. Ia tidak sudi bermanis muka.

"Berikan kartumu." Gathan membuka telapak tangan meminta kartu di tangan Dinar. Cowok ini berniat ikut masuk ke dalam, apa?

"Jangan coba-coba .... Aku bakal nelpon Mama."

Gathan malah tertawa mendengar ancaman itu. Mungkin, Gathan pikir, reaksi marah bercampur ketakutan Dinar menimbulkan sensasi yang memuaskan. Gathan seakan menikmati saat mata hitam bundar gadis itu melebar, sementara hidung mungilnya kembang-kempis berusaha memompa udara keluar dari paru-paru yang terasa meledak. Cowok itu merasa penuh kuasa untuk mengendalikan emosinya!

"Don't kidding me. Mana mungkin Tante Reva bakal percaya. Kita, kan, sepupu dan aku adalah keponakan tersayangnya. Apa kamu lupa, Cute Pear?"

Bermimpilah, Gathan! Sampai kiamat pun, cowok itu tidak akan pernah masuk kamarnya!

Ya. Dinar takkan pernah membiarkan hal itu terjadi. Tanpa pikir panjang, ia layangkan tendangan maut ke perut Gathan dengan sekuat tenaga sehingga Gathan jatuh berguling kesakitan di lantai. Cowok itu terbelalak, tidak menduga jika kaki Dinar yang tampak berisi mampu mendaratkan tendangan setelak tadi. Tak pelak, Gathan terkena momentum besar yang menyakitkan.

O, please, terbukalah wahai pintu!

Dengan panik, Dinar menempelkan kartu sebelum Gathan pulih dari serangan. Tepat saat itu juga, ia berhasil membuka pintu kamar, lalu ia banting di depan hidung Gathan.

Dinar melempar tas gusar ke atas tempat tidur, sedangkan ia sendiri tertelungkup di atas lantai. Bingung. Dalam minggu ini saja, ia sudah bolak-balik menelepon rumah, meminta orang tuanya untuk datang atau mengizinkannya berakhir pekan di Tangerang. Namun, sang ibu malah tertawa menampik waktu itu.

***

"Sayang, kamu ini kenapa? Dulu waktu di asrama, nggak segini manjanya, deh." Mungkin, permintaan Dinar kala itu terdengar kekanak-kanakan di telinga Mama.

"Aku ..., nggak betah di sini, Ma."

"Aneh. Bukankah kemarin kamu senang banget awal pindah ke apartemen? Kok, tiba-tiba berubah gitu?" Dinar terdiam.

"Dinar?" panggil Mama di seberang dengan nada yang masih sama, tidak menaruh kecurigaan sedikit pun.

"Eh, iya, Ma."

"Kenapa?" tanya Mama pendek.

"Mmm. Di sini sepi, Ma. Aku boleh pindah kos cewek biasa dekat kampus, nggak?"

Mama menghela napas. "Kemarin, kamu sendiri yang mengiakan waktu Gathan menawari tinggal di apartemen sebelah dia."

"Itu .... Iya, sih, Ma," jawab Dinar serba salah, "Tapi, sekarang aku mau tinggal di kos khusus cewek aja. Tinggal di sini ternyata sepi ...." Dinar berbohong.

"Masa kamu bisa kesepian, sih, Dinar? Di sebelah, kan, ada Gathan?"

Hati Dinar melolong bak serigala terluka. Bagaimana ia bisa menjelaskan keadaan yang sebenarnya pada orang tuanya?

"Tapi ..., Gathan itu cowok, Ma. Tetap lebih enakan sama teman cewek." Ia berupaya keras meyakinkan Mama.

"Kalau kamu memang maunya gitu, nanti Mama dan Papa bicarakan dulu. Sewa apartemenmu itu enggak murah, lho, Sayang. Tunggu satu-dua bulan lagi, gimana? Bisa, kan, kamu bersabar dulu?"

Dinar pun mengelus dada. Itu artinya mesti bertahan beberapa bulan lagi di tempat ini. Apakah ia masih virgin sebelum waktu itu tiba? Namun, ia juga harus mengerti keberatan orang tuanya. Egois rasanya bila tetap berupaya memaksakan kehendak tanpa memahami kesulitan yang ditanggung oleh mereka.

"Baiklah, Ma. Kabari Dinar secepatnya, ya."

"Sabar, ya .... Kamu nggak usah kuatir. Nanti Mama telpon Gathan buat kasih tahu dia agar sering-sering menengok kamu biar nggak kesepian di sana."

"Jangan, Ma!" Serta-merta Dinar menolak dengan tegas.

"Lho, kenapa?" Mama heran.

"Nggak usah nelpon Gathan, ya, Ma. Nggak enak aja, jadwal kuliah Gathan juga padat. Dinar bisa jaga diri sendiri, kok."

"Ya udah, tapi kalau butuh apa-apa, bilang ke Gathan, oke? Masa minta tolong sekali-kali, dia nggak bisa?"

"Iya, Ma." Dinar mengiakan dengan terpaksa dan sudah pasti bohong karena ia tidak akan pernah mengetuk pintu kamar Gathan lagi. NEVER. Dinar takut.

*****

Tahun lalu, Dinar sangat senang tatkala menerima telepon dari Tante Ratna yang memberi kabar bahwa Gathan masuk universitas yang sama dengannya di Jatinangor, walaupun beda jurusan. Dinar Fakultas Kedokteran, sedangkan Gathan Fakultas Kedokteran Gigi. Kampus mereka bahkan bertetangga. Bagaimana Dinar tidak senang? Gathan adalah sepupu sekaligus teman masa kecilnya. Keluarga mereka amat akrab. Karena itulah, ia langsung sepakat ketika Gathan menyarankan untuk tinggal di sebelah apartemen cowok itu setelah Dinar keluar dari program Bale Padjadjaran. Papa dan Mama pun sepakat.

Bencana dimulai saat Dinar dengan polos menerima undangan Gathan untuk makan-makan di tempat cowok itu sebagai perayaan lulus yudisium tahun pertama mereka dengan mulus, hanya perayaan sederhana di antara mereka berdua. Sepanjang waktu diisi dengan cerita-cerita nostalgia masa kecil saat mereka masih tinggal di lingkungan kompleks yang sama, sebelum keluarga Gathan pindah ke Bandung.

Dinar terlalu sibuk dengan program kuliah dan asrama hingga baru sekarang mereka bisa bertatap muka. Ia perhatikan, Gathan sudah banyak bertransformasi. Cowok itu berpostur jangkung melebihi Dinar yang kini hanya sebahu, kemudian ia sadar bahwa wajah Gathan juga bertambah ganteng, mungkin karena terlihat lebih dewasa dengan tulang rahang yang kini menjadi lebih tegas. Sejak dulu, Gathan memang ganteng, sih.

Lalu, Gathan mulai bercanda aneh.

"Sekarang, kamu jauh lebih wow, ya, Dinar?"

"Maksud kamu?" tanya Dinar tidak paham karena Gathan tidak memperjelas maksudnya.

"Jauh lebih bundar."

Dinar mencebik mendengar, pura-pura tersinggung. Ia pikir, Gathan sengaja meledek. Namun, ketika menyadari ekspresi serius yang terpampang di wajah cowok itu, Dinar kemudian sadar kalau Gathan sama sekali tidak bercanda. Entah apa maksudnya.

Sikap Gathan lantas semakin aneh. Cowok itu mengambil pisau kecil yang kemudian dipakai untuk memotong sebuah apel, lalu memakan langsung dari pisau tersebut tanpa mengalihkan tatapan dari Dinar.

"Gathan ..., itu ..., bahaya." Suara Dinar tercekat ngeri. Bibir Gathan menyeringai dengan mulut yang terus mengunyah.

"Gathan, please, stop." Dinar memohon karena mulai merasa tidak nyaman dan perutnya mual. Gathan kembali mengulangi perbuatan itu; mengiris tipis apel, lalu menjilat permukaan pisau dengan lidah. Meskipun Dinar tidak punya fobia terhadap benda tajam semacam pisau, tetapi cara Gathan bermain-main dengan benda itu, merindingkan bulu roma.

"Takut?" tanya cowok itu dengan merendahkan nada suara setelah apel melewati kerongkongan, ditandai dengan jakunnya yang bergerak.

"Aku baru saja berpikir kalau kamu pasti lebih renyah dan manis rasanya daripada apel ini."

Gathan mencondongkan wajah ke arah Dinar, masih dalam posisi memegang pisau di depan bibir. Sorot dingin dan misterius yang memelesat dari mata cowok itu sanggup memaku Dinar di tempat. Dinar berusaha mencerna apa yang sedang terjadi, tetapi gagal. Seluruh indranya dicekam ketakutan.

"Cute Pear, kalau kamu takut benda tajam, bagaimana kalau kita bermain dengan benda tumpul saja?" Helaan kasar napas Gathan mampir di wajah Dinar.

Eh?

Dinar memang polos, tetapi ia bisa memahami apa arti ungkapan tadi hingga refleks tersentak mundur. Dengan wajah memerah, ia sembur Gathan tanpa sungkan. "Aku enggak suka bercandamu yang begitu, Gathan! Kamu sudah gila, ya?"

Apa Gathan pikir ia bakal menoleransi joke sekasar itu hanya karena mereka sama-sama berkuliah di bidang medis? Mungkin ia memang naif sehingga terlambat mendeteksi sinyal-sinyal ketidakwajaran tersebut.

"Tidak, sayang. Seriously ..., I wanna eat you." Gathan menunjuk wajah Dinar yang pias dengan pisau.

"Gathan, aku ini sepupu kamu! Kok kamu tega jahat begitu sama aku?"

"Ya, aku jahat. Dan, aku tidak akan segan-segan sama kamu. Sudah lama aku menunggu kesempatan seperti ini, Dinar. Kamu harus jadi milikku!"

"Enggak! Aku enggak mau!"

Kamar berfurnitur modern seluas 24 meter persegi sontak berubah menjadi arena pergulatan. Gathan membekuk Dinar gesit dari belakang ketika gadis itu mencoba kabur dari sergapan. Dinar menangis. Dia meronta berusaha lepas dari lengan Gathan yang memiting tubuh bagian atasnya, tetapi kalah kuat. Akhirnya, kakinyalah yang berontak menendang-nendang dengan gila saat Gathan berusaha menyeret gadis itu ke tempat tidur. Di antara tendangan itu, ada yang mengenai meja kecil berkaki rendah, tempat pesta kecil mereka berlangsung tadi, hingga benda itu terguling dan berdebam keras. Bunyi denting bersahutan tatkala piring dan gelas pecah berserakan.

Emosi menguasai otot-otot leher Dinar. Teriakannya teredam. Belitan lengan kekar Gathan di dadanya pun membuat napas kian sesak. Ia bergumul mempertahankan diri, menendang membabi buta. Dinar berjuang keras agar Gathan tidak berhasil menjatuhkan dia ke lantai, apalagi ke tempat tidur yang berarti adalah nasib buruk baginya.

Kemudian, terdengar bunyi gedoran di pintu. Sang penyelamat. Suara itu makin lama makin keras dan orang tersebut mulai berteriak, "Buka atau gua panggil polisi!"

Ancaman itu membuat aksi Gathan terhenti. Ia melepaskan Dinar dengan terpaksa, lalu berjalan menuju pintu dan membukanya dengan kasar.

"He, siapa lo berani ganggu urusan gua!" maki Gathan kesal.

"Kalau mau ribut-ribut, jangan di sini! Berisik sampe kamar gua, tahu?!" Orang di luar balas memaki. Rupanya, tetangga yang tinggal di sebelah Gathan, kamar orang itu persis di sisi tangga. Dinar pun tidak menyia-nyiakan kesempatan barang sejenak. Ia merangsek maju mendorong tubuh Gathan yang menghalangi pintu ke samping lantas menabrak sang penyelamat.

"DINAR!" teriak Gathan gusar sambil bermaksud mengejar gadis itu.

"Urusan kita belum selesai, woi!" Tetangga tadi menahan Gathan sehingga memberikan cukup waktu bagi Dinar untuk meloloskan diri.

Gadis itu melangkah cepat menuruni tangga, membiarkan adrenalin mengambil alih fungsi tubuh. Tanpa membawa apa pun dan dengan kaki telanjang tanpa alas, ia berkeliaran di jalanan Beverly Park. Ah, andai ada seseorang yang Dinar kenal di sini. Sayangnya, tidak ada. Sebagian besar dari mereka berdiam di Awani Studento sekarang.

Berjalan beberapa blok, Dinar melihat Plumeria Cafe di ujung jalan. Andai bisa meyakinkan seseorang di sana bahwa ia adalah penghuni area sini, mungkinkah mereka akan mengizinkannya sekadar menumpang duduk atau sedikit makanan? Ah, ia, kan, bisa menjadikan gawai sebagai jaminan sebelum balik mengambil dompet ke apartemen.

Lantas mata Dinar membulat sempurna ketika merogoh panik seluruh kantung di jin overall yang ia kenakan kala itu. Gawainya ketinggalan di tempat Gathan!

Bagus. Dinar tertunduk dan mendengkus pada aspal. Sungguh, ia tidak peduli lagi. Ia relakan sajalah barang itu hilang daripada status keperawanannya yang menjadi korban. Di mana pun itu, bahkan di bawah tanah kalau perlu, Dinar butuh tempat persembunyian sekarang untuk berjaga-jaga jikalau Gathan mencarinya.

Di penghujung hari, Dinar akhirnya hanya menekuri nasib di salah satu pojok student centre Beverly Park. Ia baru berani pulang menjelang tengah malam, setelah yakin tidak ada tanda-tanda kehidupan dari kamar Gathan yang tampak sepi. Cowok itu mungkin sudah terlelap. Untunglah, kartu akses kamar tersimpan aman di dalam saku depan jin terusan yang ajaibnya tidak hilang saat pergumulan tadi.

Dinar melangkah perlahan melintasi kamar apartemen di sebelah, mengendap-endap bak pencuri menuju kamarnya sendiri. Bunyi klik indah kala knop pintu diputar, membuat jantung gadis itu berdebar, takut kalau Gathan bisa saja mendengar. Ia telah mengidap paranoia akut rupanya, Dinar pun berasumsi.

Di dalam kamar, Dinar lantas termenung, masih tidak percaya akan kejadian hari ini. Mimpi buruk sekonyong-konyong datang dan kedamaian hidupnya kini hilang. Ia dan Gathan hanya terpisah oleh sebuah dinding.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top