Gasp (part 1)
Kelopak mata Dinar bergetar kala seberkas pendar menimpa wajahnya. Merasa janggal, ia membuka mata perlahan untuk mengintip. Tampak segala sesuatu di luar sana menghablur seperti kilap pada cermin, lalu ia menyadari sesuatu. Kini, ia tak lagi mengambang di air, tetapi berada dalam sebuah kubah tembus pandang di kedalaman bawah laut.
"Tidur pulas?" Suara Luz terdengar cukup dekat.
"Wajahmu saat tidur sangat manis dan betah untuk dipandangi berlama-lama."
Wajah Luz muncul di rembang penglihatan. Segenap sensoris Dinar terhimpun, ia lalu tersadar kalau sedang berbaring di atas pangkuan sang kesatria. Dinar pun bangkit dengan gerakan superkilat. Salah tingkah. Sudah berapa lama Luz menonton adegan saat ia mengiler? Lekas ia usap sudut bibir.
"Tidak perlu sungkan. Mulai sekarang, mari kita menjadi teman tidur." Luz menopang dagu santai sambil bersedekap.
Kenapa Luz mengajukan kesepakatan aneh begitu? Secara pribadi, ia tidak bersedia jika Luz senantiasa menjadikannya bantal guling.
"Aku yakin kau pasti punya banyak pertanyaan." Luz membaca kebingungan di wajah Dinar.
"Kamu ingin aku bertanya secara verbal atau kusampaikan saja lewat telepati?" tanya Dinar tanpa maksud menyindir.
"Kau baru saja melakukan yang pertama." Luz tertawa.
Oh. Dinar menutup mulut. Ia malah menjadikan dirinya bahan tertawaan. Ya sudahlah, itu tidak penting lagi karena yang ia inginkan sekarang hanyalah jawaban.
"Pertama." Dinar memulai sesi pertanyaan dan bersila di hadapan Luz. Mereka seperti sepasang teman piama yang sedang berdiskusi sekarang. "Tempat apa ini? Kenapa kita ada di sini?"
"Kita sekarang berada di Delta, area yang paling tenang. Tentu saja untuk tidur."
Luz menjelaskan lebih lanjut karena Dinar mendelik tidak paham. Jemari kesatria itu turun dari dagu lantas terbuka selagi berbicara. "Saat berada di Theta, otakmu terus aktif bekerja, meskipun saat ini motorikmu tidak reaktif dan dalam kondisi terlelap. Jadi, untuk memulihkan seluruh energimu, kau harus menyelam mencapai Delta. Itu artinya, sekarang kau sedang tertidur pulas di luar sana."
Dinar memperhatikan Luz dengan cermat, lantas mencoba menghubungkan antara penjelasan dan penampilan kesatria itu sekarang. Awalnya, ia tidak mengerti kenapa kini Luz ada dalam piama. Terlalu modern dan tidak cocok untuknya. Namun, pengetahuan yang dimiliki Luz jelas berasal dari zaman yang lebih maju dari abad pertengahan.
Luz pun tersenyum geli membaca pikiran gadis itu. Dinar pasti menyangka bahwa ia berasal dari zaman gotik atau renaisans.
"Aku berada di zaman yang sama denganmu, begitu pula Ikram. Ia bukan berasal dari masa depan. Secara ilmiah, perjalanan waktu itu tidak ada dan takkan pernah ada. Hukum fisika itu tidak akan berubah meskipun kau sedang berada di alam mimpi."
Oh. Penjelasan yang cukup masuk akal. Dinar kini merasa sedang berada dalam kuliah fisika yang dibawakan oleh Guru Luz nan misterius.
"Luz, kamu pengendali Theta?" Dinar bertanya langsung ke inti dan Luz tidak menduga kalau gadis ini cerdas juga mengorelasikan berbagai hal dengan cepat.
"Bukan begitu cara kerjanya, Princess. Theta adalah gelombang otak kita yang mengatur kreasi dan imajinasi. Apa yang terjadi di Theta, sebenarnya adalah hasil dari pikiran alam bawah sadarmu sendiri. Itulah sebabnya aku tidak bisa menjadi diriku sendiri saat berada dalam mimpimu. Sebagai Pangeran Torri, sebenarnya aku tidak punya kemampuan untuk menolongmu. Karena masalah itu, kau jadi kesal, bukan?"
Ah, ya, Dinar ingat. Ia mengira waktu itu Luz hanya bermain-main saja dan sekarang ia merasa bersalah karena telah berprasangka buruk pada sang kesatria.
"Apa itu ada hubungannya dengan monster nagaku yang menjadi makhluk aneh?"
"Ya."
"Kenapa cerita fantasiku bisa berubah?" tanya Dinar, ngeri membayangkan kalau suatu saat insiden semacam itu akan terulang kembali. "Apa ini berkaitan dengan dirimu?"
"Mungkin, secara tidak langsung. Entah kenapa, mimpi kita beresonansi dan menghasilkan perubahan yang sangat kuat. Itu mungkin bisa menjelaskan apa yang terjadi dengan monster rekaanmu."
"Tapi, kamu berhasil menolongku. Bagaimana caranya? Semua penjelasanmu membingungkan, Luz."
Luz terdiam sejenak. Ini adalah batasan pertanyaaan yang tidak ingin ia jawab. Belum saatnya bagi Dinar untuk tahu.
"Sebuah tikaman tepat di jantung naga ...," kilah Luz serius. Oke, mungkin kedengarannya tidak cukup meyakinkan, tetapi semoga gadis itu puas.
"Luz, apa kamu seorang dreamwalker?" Dinar tidak tahu kenapa pertanyaan itu tercetus begitu saja dari mulutnya.
"Hm." Luz bergumam geli. "Lupakah kau, siapa yang pertama kali tersesat dalam mimpi siapa?"
Dinar terperanjat. Itu adalah dirinya sendiri.
"Itu berarti, kaulah yang dreamwalker di sini." Satu alis Luz terangkat miring, tampak menyebalkan. Kesatria ini jelas sedang menggoda Dinar.
Tidak, tidak mungkin. Pasti ada kesalahan. Dinar segera merangkum kesimpulan. Ia bukanlah seorang dreamwalker. Ia hanya seorang gadis pemimpi biasa dengan daya imajinasi yang sedikit berlebihan. Selain itu, ia tidak punya kemampuan apa-apa.
"Lalu, bagaimana dengan Ikram?"
"Kenapa kau begitu tertarik dengan semua hal tentang Ikram?" Luz merasa terganggu.
"Aku tertarik dengan sebab keberadaan Ikram dalam mimpimu, bukan tertarik pada dirinya!" Dinar membela diri. Terdengar bunyi keras dari telapak tangannya yang protes dengan menepuk lutut.
"Kau boleh bertanya apa pun selain Ikram untuk saat ini."
"Oh, baiklah." Dinar menggerutu sambil mengangkat bahu.
"Pertanyaan kedua?" Luz menunggu.
Sebuah pertanyaan langsung terlintas di kepala Dinar. "Siapa namamu sebenarnya?"
"Pass."
"Luz!" Kekesalan Dinar membuncah.
"Harga untuk mengetahui namaku sungguh mahal. Seluruh hidupmu harus menjadi milikku."
Dinar terpana. Hanya untuk mengetahui rahasia sebuah nama? Kalau begitu, ia langsung ke pertanyaan berikut saja.
"Pertanyaan ketiga." Dinar menerawang ke dalam mata Luz, seakan bermaksud mengupas pikiran kesatria itu. "Kenapa kamu menginginkan hidupku?"
Dinar menunggu jawaban, tetapi Luz tak kunjung bicara. Kesatria itu tiba-tiba membisu. Dinar pun heran, apakah ia telah mengajukan pertanyaan yang salah atau keliru saat bicara?
"Maksudku ..., kenapa aku harus membayar namamu dengan hidupku?" Dinar mencoba mengganti redaksi kalimatnya agar tidak terdengar seofensif yang pertama.
"Oke. Aku tidak mengerti apa sebenarnya yang kamu maksud dengan hidupku tadi. Apakah itu berarti nyawaku?" Dinar bergidik sendiri memikirkan jawaban yang akan keluar dari mulut Luz.
"Tidak. Nyawamu terlalu berharga untukku, Princess." Luz malah beringsut mendekat ke arah Dinar, lalu melingkarkan lengan di pinggang gadis itu. "Yang kuinginkan dari hidupmu adalah dirimu, rahasiamu, dan masa depanmu."
Astaga, apa? Dinar jengah. Ini seperti ..., lamaran saja. Jika niat Luz cuma bercanda, maka keterlaluan sekali. Siapa sangka, reaksi kesatria itu kemudian amat aneh. Luz tertunduk dan alis elangnya bertaut karena membaca isi pikiran Dinar barusan. Ekspresi sang kesatria tampak kelam seperti kalah perang.
"Luz?" panggil Dinar mulai tidak nyaman karena usaha komunikasi mereka berdua malah berubah menjadi badai perasaan. "Boleh aku bertanya lagi?"
"Ini yang terakhir." Luz menetapkan batasan dan itu harus menjadi pertanyaan yang tepat bagi Dinar.
"Bolehkah aku tinggal di sini bersamamu?"
Ternyata, itu bukanlahlah pertanyaan, tetapi sebuah permintaan. Andai Dinar tahu bahwa dalam diri sang kesatria sekarang bangkit sebuah euforia, mata perak pucat Luz pun bersinar cerah hingga Dinar bisa melihat perubahan itu dengan jelas.
Namun, sepertinya ada yang keberatan dengan permintaan tersebut. Seseorang memaki kesal. "Aku tidak ingin dia ada di sini! Singkirkan dia!"
Hampir saja Dinar berpikir bahwa kata-kata itu keluar dari mulut Luz andai seorang gadis tidak mendadak muncul di antara mereka seperti hantu. Gadis itu menuding ke arahnya.
"Berhenti!" perintah Luz gusar. Ia segera bangkit, lalu membekuk kedua tangan gadis itu di belakang punggung. Selagi adegan itu berlangsung, Dinar mematung di tempatnya, terkejut dengan situasi yang berubah drastis akibat kemunculan seseorang, juga sikap Luz yang mendadak panik.
"Luz, apa kau tidak puas dengan diriku saja?" tanya gadis itu ketus. Dinar tak luput dari sasaran. Tanpa tudingan telunjuk pun, Dinar merasa gadis itu sedang menombaknya tepat di ulu hati dengan tatapan luar biasa tajam. "He, Penyusup! Jangan harap kau bisa memiliki Luz! Hanya aku satu-satunya, dasar Lalat Pengganggu!"
Dinar syok. Jangan dengarkan, jangan bayangkan, rapalnya dalam hati. Alih-alih gentar oleh ancaman si gadis berwajah garang, Dinar cemburu. Dinar tidak tahu bahwa dirinya lantas diselubungi oleh aura kegelapan, hanya Luz kemudian yang menyadari dan merasa terusik. Aura milik Dinar itu bereaksi kuat dengan amarah sang gadis penyerang, seolah ada dua energi kuat yang saling memangsa.
Pikiran Luz mulai terpengaruh. Timbul debaran aneh yang jahat seakan memberi kepuasan tersendiri. Makin leluasa ia membiarkan si gadis penyerang menyiksa Dinar, semakin ia menikmati. Dinar hanya bisa meringkuk terus-terusan dirisak, berusaha menulikan kedua telinga seraya melindungi sisi kemanusiaan gadis itu yang rapuh akibat cercaan kalimat penuh kebencian.
Dinar mengeluh. Gadis asing itu boleh bilang apa saja untuk merusak pikirannya, tetapi tidak dengan hatinya. Luz, tolong. Hentikan gadis ini ....
Luz terkesima ketika seberkas orb putih memancar terang dari dada Dinar, lalu memelesat ke arahnya. Bola energi itu melayang sesaat di depan wajah sebelum menembus kepalanya. Sensasi sejuk langsung menyebar seolah memurnikan segenap indra dan ajaibnya, juga berpengaruh pada gadis yang kini ada dalam cengkeraman Luz. Ini dia. Luz mulai berkonsentrasi menyerap energi gadis itu. Perlahan-lahan, tubuh sang gadis mulai menyusut ke dalam genggamannya.
***
"Princess."
Dinar mengangkat kepala saat mendengar panggilan Luz, lalu memindai sekeliling. Ia tidak melihat tanda-tanda dari si gadis asing. Apakah semua sudah berakhir? Gadis itu menghilang sekelebat bagai halusinasi.
"Luz, siapa gadis itu?" tanya Dinar gelisah karena dirinya belum siap patah hati untuk mendengar pengakuan Luz. Ia mendongak pada sang kesatria yang kini tegak menjulang di hadapan. Luz telah kembali dalam armor kebesarannya, hingga kesan dingin menghinggapi hati Dinar, apalagi ketika Luz tidak memberikan uluran tangan hangat sesuai harapannya.
"Dia Celica. Ego state-ku."
Huh? Dinar mengerutkan kening karena mendengar istilah yang baru baginya.
"Dia adalah bagian dari kesadaranku yang mempunyai pemikiran sendiri."
"Maksudmu ..., dia adalah bagian dirimu yang lain?" Mata Dinar berdenyar. Ini adalah hal paling aneh yang ia temui sepanjang mimpi.
"Ya, kurang lebih seperti itu. Kadang, aku tidak tahu kapan dia akan muncul dan tidak bisa dikendalikan sepenuhnya."
"Kenapa dia seorang gadis dan bersikap seperti kekasihmu?" Ada luapan cemburu yang tak mampu dibendung oleh Dinar.
Luz tampak ragu sebentar. "Karena dia sangat posesif dan senang memanipulasi kelemahanku."
Kelemahan Luz? Sebuah pemikiran absurd lantas tebersit dalam benak Dinar hingga gadis itu menjadi malu sendiri akibat pemikiran liarnya. Apakah Celica memanfaatkan Luz untuk tujuan seperti itu? Dinar tidak bisa membayangkan Luz yang bercinta dengan dirinya sendiri.
"He, bukan seperti itu!" Luz meradang hingga sebuah pengakuan pun terpancing keluar darinya. "Kelemahanku adalah ...," Luz berhenti sejenak, "aku tidak bisa berinteraksi normal dengan wanita selama berada di Theta." Luz memperhatikan reaksi Dinar yang terpana. Pikiran gadis itu kosong seperti tidak sanggup mencerna. Memangnya, sepolos apa, sih, gadis ini?
"Itu bukanlah suatu kelemahan," sanggah Dinar keberatan. "Itu unik."
Wah, apakah ada kesalahpahaman di sini?
"Kamu tahu, Luz? Sebenarnya ..., aku sudah lama menebak bahwa kamu juga seorang virgin. Kalau tidak, kamu pasti sudah menjadikanku bagian dari haremmu, bukan?"
Juga? Antara geli dan gusar, Luz berdecak. Pantas saja gadis ini menjadi santapan yang mudah bagi predator macam Ikram. Namun, Dinar jelas-jelas telah gagal paham atas maksudnya tadi.
"Princess, kita sedang membicarakan hal yang berbeda."
"Maksudmu?"
"Aku tidak punya keinginan seksual." Bagus, sekarang ia terdengar seperti seorang pria steril. Gadis itu pun menangkup mulut lantaran luar biasa terkejut.
"Luz, serius?" Ya, seburuk itukah? Sial.
"Apa perlu kubuktikan?"
Dinar refleks menghindar saat Luz mendorong gadis itu ke lantai. Namun, terlambat. Dinar terkunci di bawah tubuh sang kesatria.
"Kalau aku ingin, aku bisa menyerangmu saat ini."
Debar dalam rongga dada Dinar menggila selagi menunggu apa yang bakal terjadi atau Luz lakukan. Namun, tidak ada. Hanya komentar geli dari Luz yang ia dengar kemudian selagi kesatria itu berada di atasnya.
"Omong-omong, mulai sekarang, tidak usah berdebar setiap kali berada di dekatku. Bunyi drum jantungmu itu menyakiti telinga, tetapi pikiran-pikiran seksi di kepalamu itu boleh disimpan. Aku cukup terhibur menontonnya."
Tolong. Sekalian saja Luz membelah dada dan mengambil jantungnya biar tidak berdetak lagi! Salah kesatria itu sendiri kenapa tampan sekali? Dinar lalu terkesiap ketika Luz menaruh sesuatu di dada gadis itu. Sang kesatria bahkan sudah mulai berani menjamah area pribadinya!
"Ini untukmu. Anggap saja sebagai jaminan bahwa Celica tidak akan menyakitimu lagi. Kau mau menerimanya, bukan?"
Pipi Dinar memanas karena ia sempat membayangkan yang bukan-bukan tadi. Dengan membuang rasa malu, ia meraih benda itu dan lantas terheran-heran menatap Celica yang kini telah berubah menjadi patung logam mungil seukuran telapak tangan. Patung ini adalah bagian dari diri Luz dan kesatria itu menyerahkannya begitu saja kepadanya? Untuk sebuah alasan yang aneh, Dinar merasa tersentuh dan balas menatap Luz penuh puja.
"Luz, aku bersedia menjadi bantal tidurmu."
"Terima kasih," seringai kesatria itu senang. Kesepakatan macam apa ini? Namun, kapan lagi Dinar bisa memeluk kesatria setampan Luz sepanjang malam tanpa takut diserang?
"Kau sekarang melayang di langit keberapa?" Luz bertanya sarkas pada gadis itu. Sebagai jawaban, Dinar malah memeluk sang kesatria erat dan sama sekali tidak canggung akan keintiman posisi mereka. Ia memang paling senang memeluk guling dengan cara begini dan pengakuan Luz barusan seolah berhasil melengahkan seluruh pertahanan Dinar. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Dinar memejamkan mata dengan nyaman.
Sebaliknya, Luz tidak habis pikir kalau Dinar bisa merasa sungguh bebas untuk memanfaatkannya. Untung saja sekarang mereka ada di sini, kalau tidak, wah.
"Nah, aku punya pertanyaan untukmu, Princess," tanya Luz serius sambil berguling ke bawah dan mengubah posisi mereka. Bahkan, kedua kakinya mengunci gadis itu agar tidak kuasa berontak. "Kau boleh melanjutkan apa pun yang ingin kau lakukan padaku, tetapi jawab dulu pertanyaanku."
Oh, baiklah, Dinar tidak bisa menolak mata indah itu. Kedua tangannya kini bertumpu di dada sang kesatria.
"Cepat katakan, aku mulai mengantuk." Dinar menahan kuap. Berada di atas Luz ternyata lebih nyaman daripada berada di bawahnya--Luz hampir tidak bisa menahan tawa karena membaca pikiran gadis itu.
"Waktu Celica menyerangmu—" Tubuh Dinar langsung menegang mendengar nama itu, "aku melihat aura kegelapan membayangimu."
"Hah?" Dinar terkejut, tidak menyangka jika Luz ternyata juga punya kemampuan seperti itu dan agaknya ia harus mulai membiasakan diri setiap kali Luz menceritakan rahasianya.
"Apa yang kaurasakan saat itu?"
Dinar menatap Luz tidak percaya. Jangan bilang kalau Luz tidak bisa membaca perasaan seseorang.
"Membaca emosi seseorang berada di luar kemampuanku."
"Oh, aku lupa. Kamu punya masalah dengan organ sensorismu karena kamu, kan, tidak punya keinginan seksual?" seloroh Dinar setengah bercanda.
"Tidak lucu," tatap Luz tajam.
"Tentu saja. Mengorek-ngorek perasaan orang lain juga tidak lucu."
"Kau tidak mau mengatakannya?"
"Tidak mau!" tolak Dinar tegas.
"Aku akan memaksamu kalau begitu." Sepasang lengan Luz melingkar erat pada punggung Dinar untuk memaksanya bicara. Tanpa sadar, ia mengerahkan terlampau banyak tenaga.
"Stop, Luz! Sakiiit!" jerit Dinar karena lengan kesatria itu menekannya. Aura kegelapan seketika menyelubungi Dinar, hingga Luz otomatis melonggarkan kuncian dan aura itu turut memudar. Takjub atas fenomena yang terjadi, ia menguji lagi dengan tindakan serupa. Gadis itu pun kembali berteriak kesakitan. Ah, sekarang Luz mengerti. Aura yang sama akan muncul setiap kali Dinar berada dalam kondisi tertekan dan hal ini terjadi setelah koneksi antara dunia mereka semakin kuat.
Begitu Luz melonggarkan kuncian, Dinar segera mendorong dada si kesatria untuk meloloskan diri, lalu beringsut menjauh. Ia kemudian meringkuk sambil memeluk dadanya yang sakit. Amarahnya bangkit. Dinar merasa bahwa Luz sadis. Si Tuan Kaleng saja masih bersikap lebih lembut terhadapnya.
"Bisakah kau berhenti membanding-bandingkanku dengan Ikram?"
Dinar terdiam mendengar. Namun, itu salah Luz sendiri karena selalu saja menyakitinya.
"Baiklah. Yang pertama tadi aku tidak sengaja melakukannya dan yang kedua hanya memastikan."
Dinar mendatangi Luz dengan emosi berkobar, lalu menghadiahi kedua belah pipi kesatria itu tamparan keras. Nah, bagaimana rasanya? Sakit? Kedua tangan Dinar sampai kebas dan memerah karena ia mengerahkan seluruh tenaga hingga kesakitan sendiri.
"Ha, aura kegelapanmu datang lagi." Bukannya kesal, Luz malah fokus pada sesuatu yang tidak bisa Dinar lihat sekarang.
Oh, Dinar tidak ingin peduli, tetapi entah kenapa ia susah mengendalikan diri. Ia mengacak rambut dengan kesal dan tatapannya beredar ke segala penjuru. Seperti ada sesuatu yang salah semenjak mereka berada di sini.
Sejenak, mata Dinar berkelana menyusuri ruang menyerupai kubah bundar dari kristal yang menyajikan pemandangan 360 derajat. Suasananya terlampau lengang, tidak ada apa-apa selain warna perak yang berefraksi indah tatkala bertemu cahaya buram di permukaan. Tempat yang sangat nyaman untuk mengosongkan pikiran sebetulnya. Namun, ketenangannya yang misterius bagai menelanjangi isi hati, hingga hal yang paling tersembunyi sekalipun akan menggema dengan lantang. Mungkin, inilah yang membuat pikiran mereka menjadi tidak terkendali.
"Kau benar, Delta bisa menjadi tempat terbaik sekaligus terburuk. Di sini, proses memorimu akan disusun ulang tanpa ada yang terlewat." Luz menghampiri Dinar dari arah belakang secara tiba-tiba. Tanpa peringatan, ia memeluk gadis itu dan menyentuh di bagian dada. Dinar tidak sempat memprotes perbuatan lancang sang kesatria karena kemudian terasa sensasi hangat mengalir dari telapak tangan Luz yang sekarang menangkup kedua area itu.
"Maaf, telah menyakitimu. Kau tidak keberatan, bukan, jika sekarang aku menghilangkan rasa sakitmu?" tanya Luz terdengar ironis. Tak ada lagi gunanya meminta izin, kesatria itu sudah melakukannya!
Kemudian, Luz mulai melakukan gerakan yang tidak perlu. Tangannya meremas.
"Luz?" Dinar terperanjat, nyaris tak bisa bernapas.
"Aku pikir bagian tubuhmu yang ini sangat nyaman untuk disentuh." Nada suara Luz terdengar sangat menikmati.
Ah, sebelumnya kesatria ini mengaku tidak punya keinginan seksual dan kini berani bilang begitu saat menyentuhnya! Kekesalan Dinar membumbung tinggi. Ia segera memegangi jari-jari Luz untuk menyudahi aksi tersebut.
"Luz, tolong bawa kita pergi dari sini, sekarang juga!" Dinar memohon dengan sangat.
Untunglah, Luz segera mengabulkan. Sepasang tangannya bergerak turun memeluk pinggang Dinar, lalu kepalanya menyelinap di balik bahu gadis itu.
"Theta. Kesatria itu membatin. Tempat itu kemudian menjadi kosong dan perlahan lenyap bersama kepergian penghuninya. Namun, ada satu yang terabaikan dan mengambang di kedalaman. Sebuah patung mungil.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top