Encounter (Part 2)

Sepasang telapak kaki mungil menapak di lantai dingin beraroma karbol. Napas pemiliknya tersengal berkejaran dengan derap waktu. Keluar dari sini, hanya itu yang tercetus dalam benak.

Petaka dimulai tepat saat ia menginjak bangku sekolah dasar negeri. Beberapa orang tak dikenal datang menemuinya sepulang sekolah, lalu ia diculik. Entah apa yang dipikirkan oleh orang-orang itu saat membawanya ke tempat ini. Ia diberi kamar bersih, baju ganti, juga makanan yang layak beberapa kali sehari. Yang harus ia lakukan sebagai imbalan cuma menjawab rangkaian pertanyaan berbelit-belit, juga dipaksa menjalani serangkaian tes dengan alat penuh kabel berseliweran dan elektroda terpasang di sekujur tubuh. Orang-orang itu bilang, ia bisa kembali ke rumah jika bekerja sama dengan baik.

Akan tetapi, orang-orang itu berbohong! Ia sudah melakukan semua yang diperintahkan dan tetap saja mereka belum puas. Entah apa yang mereka cari dan inginkan darinya, ia hanyalah seorang anak biasa tanpa hal ganjil yang patut mengundang kecurigaan. Cara mereka memperlakukan dia ibarat spesimen penelitian saja. Sungguh memuakkan!

Tempat ini besar sekali. Ia mengumpulkan napas dengan susah payah. Setelah berhasil keluar dari kamar serbaputih yang dilengkapi ala kadar dengan sepetak ranjang di sudut, wastafel dan peturasan di sudut lainnya, serta hanya diizinkan ke kamar mandi sekali sehari--itu pun sambil diawasi, akhirnya ia menemukan jalan menuju kebebasan. Namun, alangkah kecewa ia kemudian. Tempat ini seolah mengurungnya sedemikian rupa bagai labirin tikus tanpa jalan keluar.

"Itu dia di sana! Jangan biarkan lolos!"

Celaka, jejak pelariannya terendus, ia harus bergerak lebih cepat! Terus maju! Jangan berhenti! Ia melecut diri sendiri.

Ia paksa kaki menyusuri lorong-lorong berdinding penuh cermin yang sedang berusaha menyesatkan intuisi dan arah, sementara ada lelaki-lelaki berkacamata mengilap yang harus ia hindari. Ia benci benda itu. Gara-gara kacamata itu, pikiran mereka susah dipengaruhi ....

Tidak. Lupakan. Reina bilang, ia harus selalu berhati-hati dan tidak boleh bertindak gegabah. Bertindak? Mungkin maksud Reina adalah "berpikir".

Lantas, itulah yang ia lakukan sekarang, juga kemarin, kemarin lagi, dan sebelumnya entah sejak kapan. Ia nyaris tidak pernah "berpikir". Kini, ia melakukan kesalahan fatal dengan berlari semakin jauh hingga terjebak dalam sebuah ruangan menyerupai kubah dengan cermin memenuhi dinding hingga ke langit lengkung. Sial! Apa maksud mereka repot-repot membangun tempat ini hanya untuk seseorang seperti dia? Setiap kali berurusan dengan cermin, kepalanya jadi sakit. Kemudian, lebih banyak lagi lelaki datang dari beragam jurusan hingga ia terjebak.

"Anak pintar, kemarilah. Ayo, kembali ke kamar." Salah seorang dari mereka berusaha membujuk dirinya, tetapi ia balas dengan gelengan cepat. Ia tidak sudi menuruti perintah untuk kembali. Ia ingin pulang!

Nekat, ia terobos kepungan para lelaki itu, kendati tidak punya kesempatan untuk lolos sejengkal pun. Barikade datang dari segenap penjuru, lalu mendadak tangannya ditelikung ke belakang oleh seseorang sehingga ia berteriak kesakitan. Dalam keadaan tidak berdaya, selangkangan penyergap di belakang menjadi sasaran keputusasaannya. Giliran lelaki itu mengaduh nyeri dan cekalan di tangannya pun terlepas; ia bebas untuk menendang dan memukul ke segala arah hingga setruman stun gun mengakhiri aksinya.

Darah menetes dari lidahnya yang tidak sengaja tergigit lantaran rasa sakit yang mendera hebat sekujur tubuh. Untuk sepersekian detik, ia pikir nyaris mati tadi. Orang-orang ini seakan tidak peduli pada nyawanya karena yang mereka inginkan sebenarnya adalah sesuatu yang ada dalam kepalanya. Orang-orang ini memicunya keluar batas.

Teriakan kencang lolos dari bibirnya sebagai tanda dimulainya sebuah pembalasan. Tidak ia pedulikan lagi kata-kata Reina dan cermin-cermin yang mengungkung. Benda itu mengejek dirinya, sama seperti orang-orang yang telah melakukan ini kepadanya.

Semua yang ada di sekitar bagai membeku ketika tubuhnya mengambang beberapa meter di udara. Beragam umpatan dengan nama-nama binatang pun terlontar dari mulut orang-orang karena menyaksikan kotak Pandora sedang terbuka lebar di hadapan mereka. Namun sayang, misteri itu adalah satu-satunya hal yang mereka ketahui untuk dibawa mati. Dalam satu dengkusan, cermin-cermin di dinding retak menjadi serpihan badai yang menerjang tubuh-tubuh bernasib malang hingga berlubang.

Terseok-seok seraya berlumur cipratan darah laksana kesumba, kakinya melangkah menuju kebebasan yang harus dibayar mahal. Andai saja ia tidak pernah menjejak keluar dunia .... Di sini bukanlah tempatnya. Ia pun belajar bahwa ada satu hal yang harus dihindari dalam hidup ini, yakni bertemu sesama manusia.

Hasta la vista, di sinilah ia sekarang, sedang mencermati seorang gadis dalam dekapan. Si Tuan Logam telah dipukul mundur, tetapi masih ada seorang penyusup lagi. Namun, penyusup yang satu ini sepertinya bukanlah sebuah ancaman. Gadis ini tampak rapuh dan memiliki pemikiran tiada henti yang sungguh menggelikan.

Ia gagal menelusuri jejak ras dari kulit bening bertabur bintik bak serbuk kakao, sementara bingkai dari iris cokelat gelap milik si gadis mengingatkannya akan mata orang-orang Asia bernetra bundar yang dinaungi kelopak sedang, tidak terlalu tebal maupun tipis. Bibir penuh itu seperti milik gadis-gadis di kepulauan Pasifik. Secara keseluruhan, wajahnya semenjana saja, tetapi enak dipandang. Kala gadis itu mendongak menatap, ia memutuskan bahwa binar teduh dalam mata beriris gelap itu berpendar bak rembulan mengintip di langit malam.

"Terima kasih," ujar gadis itu karena diselamatkan sekali lagi olehnya.

"Tidak perlu," sanggahnya. "Kau nyaris celaka gara-gara aku."

"Benarkah?" Gadis itu tertawa. "Ini semua, kan, cuma mimpi, bagaimana mungkin aku bisa celaka?"

Jadi, gadis ini menganggap kata-katanya barusan sekadar gurauan?

"Kau sungguh berpikir demikian?"

"Baiklah, apa buktinya?" Gadis itu malah menantang.

"Kau ingin cara yang halus atau kasar?"

"Apa bedanya?" Lagi-lagi perkataannya dianggap main-main saja, tetapi ia masih meladeni gadis itu dengan sabar.

"Tunggu, aku harus menurunkanmu lebih dulu." Ia melepaskan gadis itu perlahan dari dekapan ke dataran berumput setinggi paha, yang berarti sepinggang gadis itu.

Duh, manisnya, pria ini sungguh sopan dan lembut.

Ia tersenyum mendengar bisikan di kepala si gadis maupun melihat pipi berbintik itu merona karena menyadari isi pikiran yang telah terekspos oleh dirinya.

"Aku pikir kamu memang orang yang baik," kata gadis itu seolah menimpali praduganya sendiri.

"Simpan dulu pendapatmu dan ulurkan tanganmu." Ia menunggu dengan telapak tangan terbuka dan mengabaikan pujian yang tertuju untuknya. Wajah bundar menggemaskan di hadapannya lantas mengernyit saat merasakan betapa dingin kulit tangannya. Ketika jemari mereka bertautan erat, ia pikir gadis itu nyaris pingsan. Sungguh rapuh ibarat lilin yang langsung meleleh dalam nyala api atau diakah yang menganggap segala sesuatu di luar dirinya lemah?

"Kau yakin ingin melanjutkan?"

"Tentu saja. Cepat lakukan sebelum aku terbangun!" perintah gadis itu kecut dengan ekspresi menahan sakit perut yang melilit.

Sebaris kecaman pun terlontar dari bibirnya. "Sudah terlambat untuk menyesal."

***

Ya, sudah terlambat bagi gadis itu untuk menyesal.

Dinar merasakan getaran hebat mengguncang tubuhnya. Bukan hanya itu, segala hal dalam penglihatan melebur menjadi riak mozaik kacau. Jeritan ngeri pun terlepas ketika matra di luar dirinya berubah acak dalam acuan detak yang membuat kepala siapa pun pusing untuk mencerna. Orientasi gadis itu hilang dalam ruang dan waktu. Rasanya jauh lebih buruk daripada menaiki wahana penguji nyali terdahsyat di dunia.

Akan tetapi, ini baru permulaan. Semua guncangan syok saraf itu mendadak lenyap, sebaliknya Dinar dapat merasakan tubuhnya sekarang mengambang tanpa bobot di suatu tempat kelabu yang samar. Meskipun begitu, sensasi yang terasa sungguh tidak nyaman karena setiap jengkal tubuhnya seakan ditekan dari segala arah. Otot-otot yang gemetar akibat sensasi sebelumnya, lantas dipaksa untuk berhenti, bagai sedang dimampatkan.

Dinar panik. Tiada sesuatu pun yang mengepungnya, tetapi kenapa ia merasa seperti tenggelam? Napasnya terasa berat sehingga lubang hidungnya kembang kempis kepayahan mengisap udara. Agaknya, sesuatu yang halus dan ringan sedang mencoba membuat ia mati lemas.

Lalu, otak Dinar bekerja keras memproses cepat segenap sensori yang mengacaukan pancaindra. Ia memang sedang ditenggelamkan, tetapi bukan dalam air. Sensasi yang terasa basah dan lembab mengingatkan ia akan udara berkabut. Ah, apa pun itu, otak Dinar sekarang menjerit-jerit untuk segera melepaskan diri dari situasi menakutkan ini.

Bernapaslah, Dinar. Perlahan .... Ia kumpulkan keberanian dan menata debar jantung. Lambat laun, paru-parunya kembali mengembang dengan sempurna dan segala sesuatu yang mencekik tadi tersingkirkan oleh sebuah stimulus bernama sugesti.

Oke, kini rasanya jauh lebih baik. Ia sudah bisa mengatur napas yang sebelumnya sempat menyiksa diafragma, kendati masih meraba-raba tidak keruan dalam kegelapan. Andai boleh meminta untuk diberi jeda meski sejenak, ingin sekali ia memohon, tetapi mimpi buruk yang menimpa masih saja berlanjut.

Gaya gravitasi berkali-kali lipat sontak memberati tubuh Dinar. Namun, sensasi yang ia rasakan menjadi jauh lebih ganjil. Bukannya terimpit oleh tekanan bobot, ia malah tersedot ke atas. Dinar sampai lupa bagaimana cara untuk menjerit ketika tubuhnya memelesat secepat kilat ke atmosfer. Tiba-tiba saja, ia sudah berada di antariksa; nyaris bertubrukan dengan bulan, lalu merasakan lidah api di permukaan matahari yang menjilat garang. Semua benda-benda langit seolah ingin menciumnya seakan-akan ia adalah kumparan magnet.

CUKUP! Dinar memohon dengan putus asa. Bintang-bintang berlarian membentuk formasi spiral Bima Sakti yang kian jelas, lantas mengecil dalam pandangan. Sekonyong-konyong, ia mampu menyaksikan gugus-gugus supergalaksi berpadu indah dan rapi di antara kekosongan mahaluas Laniakea.

Pemandangan dahsyat itu melahirkan perasaan takut sekaligus takjub yang tidak terbendung dalam rongga dada. Dinar mencoba menutup mata karena merasa mulai gila menyadari bahwa ia sedang berada sendirian di tepi jagat raya. Tiada yang lebih ia inginkan selain bangun dari mimpi aneh dan luar biasa menakutkan ini. Ia ingin kembali pada alam kesadaran.

Bagaikan sebuah tombol yang dipencet, semua ilusi tadi tiba-tiba berakhir. Dinar berdiri terpaku dalam posisi masih menggenggam jemari sang kesatria. Detak jantungnya yang bertalu kencang, perlahan mulai merayap pelan.

Hal pertama yang ia sadari adalah seringai penuh kepuasan di wajah sang kesatria, sementara kedua lututnya gemetar hebat. Dinar runtuh. Ilusi-ilusi tadi mungkin hanya berlangsung sekejap, tetapi rasa mencekamnya seakan tiada akhir.

"Jangan sentuh aku!" jerit gadis itu histeris ketika si kesatria bermaksud meraihnya. Kesatria itu tampak tidak terkejut dengan reaksi Dinar, justru tertawa lebar.

"Aku bisa mendengar debaran jantungmu dan semua yang kau lihat tadi. Hebat, bukan?"

"Kamu jahat! Monster!" maki Dinar gusar dan itu berhasil membuat lidah kesatria di hadapannya kelu.

"Aku bukan monster," ucap kesatria itu getir mengandung emosi.

"Lalu, apa? Kamu senang, bukan, telah membuatku ketakutan setengah mati?" Dinar menatap sang kesatria nyalang dengan pelupuk mata memanas. Namun, ia tidak sudi menumpahkan air mata di hadapan orang yang telah mengerjainya habis-habisan.

"Ya, aku memang menikmatinya, tetapi aku bukan monster."

"Lalu apa?" Dinar memekik akibat dua pernyataan yang ia anggap saling tidak berhubungan dari bibir sang kesatria. Dinar malah direngkuh dalam sebuah pelukan. Gadis itu berontak marah, tetapi punggungnya telah terkunci dalam sepasang lengan yang kokoh. Sang kesatria menunduk, sama sekali tidak memberi Dinar kesempatan untuk melepaskan diri dan berusaha membuat kontak mata dengannya.

"Apa sekarang kau mengerti kalau mimpi juga bisa menyerang dan membuat jantungmu berhenti berdetak?"

Dinar terpaku berusaha menelaah. Namun, ia justru merasa tersesat.

"Bagaimana kamu melakukan itu? Kalau ini adalah mimpiku, kenapa kamu bisa melakukan semua hal aneh tadi kepadaku?" Manik mata gadis itu bergetar oleh rasa takut yang terbit akibat tatapan penuh misteri sang kesatria.

"Tidak, kau salah." Kesatria itu menggeleng. "Ini adalah mimpiku, bukan mimpimu."

Kata-kata itu bagaikan anak panah yang menembus batok kepala Dinar. Ia terperangah.

"Apa maksudmu?"

"Nona Siapa pun Namamu, kau sedang berada di dalam mimpiku dan aku bukan sekadar imajinasi bunga tidurmu. Aku benar-benar nyata. Dan, aku punya nama. Luz. Berhentilah memanggilku Tuan Kesatria, Pangeran Tampan, apalagi Monster. Atau, aku akan mengurungmu selamanya dalam mimpi buruk."

"Luz?" Dinar menyebut nama itu dengan suara bergetar. Itu adalah nama yang pernah diucapkan oleh si cyborg dan sekarang ia harus berhati-hati untuk tidak mengungkit soal monster lagi. Dinar merasa mual, tetapi ia tidak salah dengar. Pria bernama Luz berkata tepat di depan wajahnya. Entah bagaimana ia telah tersesat ke dalam mimpi kesatria ini dan kabar buruknya, orang ini bisa membaca semua isi pikirannya. Oh, astaga .... Antara kaget, takjub, dan malu tidak terhingga, ia kehilangan kata-kata. Andai ia bisa bangun sekarang dan melupakan semua!

"Tidak. Kau tidak boleh lupa!" Luz menyela pikiran Dinar tegas sehingga gadis itu merasa semakin kehilangan muka.

"Aku bingung." Dinar tidak tahu mesti berkata apa.

"Kau tahu betapa terkejutnya aku ketika kau tiba-tiba muncul di sini? Aku senang sekali bisa menemukanmu. Ternyata, kau memang manusia. Reaksi tubuhmu tadi tidak mungkin salah."

Ups, apa kata si Tuan Kesatria? Wajah dingin Luz seakan retak menampilkan rona semringah yang terasa janggal. Dinar bertanya-tanya, kenapa Luz merasa senang?

"Manusia? Awalnya kamu pikir aku ini siapa?"

"Bukan siapa, tetapi apa."

Netra bundar Dinar makin membesar nyaris mencelat dari rongga. Perkataan Luz sungguh membuat ia tersinggung hingga ingin ia kutuk saja kesatria ini menjadi ondel-ondel! Otomatis, Dinar membayangkan sebuah ondel-ondel berwajah merah dengan seringai konyol. Namun, meskipun setelah mencoba berkonsentrasi beberapa kali, ia tidak bisa mewujudkannya lantas menyerah, sementara Luz memandang dia keheranan. Entah apa yang kesatria itu pikirkan.

"Luz, kamu belum menjawab pertanyaanku. Bagaimana caramu memanipulasi pikiranku?" Dinar putus asa dan berharap mendapat bocoran.

"Aku tidak ingin menjawab."

"Kenapa?"

"Jangan bertanya lagi."

"Hm!" Dinar melotot ketika Luz membekap mulutnya. "Berjanjilah satu hal, kau tidak akan melupakanku saat bangun nanti."

Dinar menelengkan wajah menghindari tangan Luz. Leher gadis itu menekuk belakang. "Kalau aku tidak mau? Walaupun aku mau, juga, mana mungkin aku bisa. Ini, kan, mimpimu, bukan mimpiku," protes Dinar.

"Aku akan membantumu mengingat."

"Bagaimana caranya?"

"Maukah kau berhenti bertanya dan mengiakan saja semua kata-kataku?" Luz balik mencecar tidak sabar.

"Ih, itu egois dan kekanak-kanakan. Kamu tidak bisa berbuat semaumu, Luz!"

"Baiklah, aku memohon padamu."

"Luz, kamu seperti stalker."

Dinar kemudian merasakan dengkus gusar Luz yang hangat menerpa wajah. Berdebar, ia pun pura-pura tidak menyadari, walaupun tahu sia-sia saja karena sensasi menggelitik itu sukses memerahkan pipinya yang sensitif penuh freckless.

"Kamu benar-benar membuatku takut sekarang. Tolong lepaskan aku," pinta gadis itu serius.

"Kenapa?" Luz bersikap masa bodoh.

"Bisakah kamu berhenti bertanya dan mengiakan saja semua kata-kataku?" Dinar membalas kalimat kesatria itu.

"Astaga .... Lucu sekali. " Dinar tidak berdaya kala Luz menggoda. Andai saja kesatria ini bisa membuat ia mengingat apa yang sedang ia alami sekarang, apakah nanti ia juga akan mengingat rasa malu yang sama saat terbangun?

"He, kau bahkan tidak menolak saat Ikram memelukmu," protes Luz ketika Dinar berusaha berontak dalam dekapan kesatria itu.

"Siapa Ikram?"

"Aku tidak ingin mengingatkanmu kalau kau memang tidak ingat."

"Itu ..." Dinar meremas gelisah pundak sang kesatria dengan roman yang semakin hangat merona, "jadi si terminator itu punya nama?" Suara Dinar tercekat. Luz pun gagal menahan tawa.

"Tentu saja. Dia bukan imajinasi, apalagi bintang film."

Oh. Tidak. Dinar menggigit bibir bagian bawah tidak percaya. Ia menatap Luz dengan cemas. Tidak. Tidak, harapnya lagi tanpa daya. Benar saja. Sesaat kemudian, timbul ketegangan di wajah kesatria itu tatkala membaca isi kepalanya.

"Kau membiarkan Ikram menciummu?" Dinar tidak paham kenapa emosi Luz jadi tersulut seketika, lalu pinggang gadis itu ditarik lebih keras.

"Hentikan! Kamu bersikap aneh, Luz. Kamu menyakitiku!"

"Ya. Dan kau lebih aneh. Gadis macam apa yang membiarkan dirinya jatuh dalam rayuan pria asing tidak dikenal?"

"Baiklah, itu aku! Mana aku tahu kalau kalian semua nyata? Aku, kan, sedang bermimpi!"

"Setidaknya, alam bawah sadarmu bisa mengendalikan pikiranmu."

"Seperti yang kamu lakukan padaku, bukan?" Dinar kini berteriak di depan wajah Luz. "Kamu pikir aku Wonder Woman, Super Girl, Power Puff Girl--"

"Cukup menjadi dirimu sendiri dan jadilah gadis yang baik!" Luz memotong omelan Dinar.

Sebuah tamparan keras pun melayang ke pipi Luz. Dinar benar-benar marah sekarang pada kesatria itu.

"Sampai kapan kalian akan bertengkar? Aku tidak suka menonton pertengkaran antarpasangan. Menjijikkan, tahu?"

Seseorang menyela debat panas mereka. Ikram. Cyborg itu tiba-tiba saja muncul kembali seperti hantu. Ia melayang dengan sepasang kaki roket menyala, nyaris menghanguskan ilalang di bawahnya. Aroma daun terbakar yang segar pun menguar memenuhi udara.

"Bagaimana kau bisa kembali secepat ini?" Luz mengerutkan dahi heran.

Ikram terkekeh. "Kenapa tidak kautanyakan saja langsung pada gadismu? Aku memperoleh energi yang sangat bagus setelah MENCIUMNYA." Cyborg itu sengaja menekankan nada bicara pada kata terakhir.

"Bagus sekali. Aku akan berurusan denganmu kemudian." Luz menoleh sekilas pada Dinar dan memberikan gadis itu tatapan dingin.

"Kamu tidak punya alasan—"

"Nanti." Luz tidak memberikan Dinar kesempatan bicara. Jemarinya menyentuh ujung dagu Dinar sehingga pada gulir detik berikutnya, gadis itu tersentak kehilangan kesadaran, tepatnya kembali pada kesadaran.

Dinar terbangun dengan napas memburu. Ia masih bisa merasakan sensasi dingin di dagu akibat sentuhan Luz tadi. Ia bisa mengingat semuanya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top