Encounter (part 1)

Tugas laporan diskusi PBL (Problem-Based Learning) Sistem Reproduksi yang sedang ia garap nyaris rampung. Sudah berkali-kali Dinar mendongak gelisah. Begitu laporan selesai dicetak, Dinar mematikan laptop dan membereskan kertas-kertas yang terserak.

Nakas di atas meja belajar itulah yang mencuri perhatian Dinar sedari tadi. Dinar tidak membuang waktu, jemarinya dengan cekatan memilah isi nakas, mengambil beberapa judul, lalu menggelar setumpuk buku bacaan ke atas ranjang. Ia segera berganti dari mode belajar ke mode berimajinasi. Ya, hanya ini satu-satunya cara agar Dinar bisa menjalani dua sisi kehidupan miliknya tanpa saling mengorbankan.

Fantasi adalah dunia Dinar. Ia mencintai cerita dongeng sama halnya seperti kala membenamkan kepala pada bantal untuk rehat sejenak melepas lelah dari morat-marit kehidupan kuliah. Dunia tersembunyi nan menawan dan petualangan menghanyutkan.

Terdengar kekanakan memang, tetapi Dinar tidak peduli. Ia hanyalah seorang gadis romantis biasa dengan sebuah mimpi sederhana, yakni bertemu sang pangeran. Maka, sudah tidak terhitung berapa buku yang ia lahap dan beragam cerita yang ia hafal, meskipun pada intinya begitu-begitu saja, Dinar tidak pernah bosan. Inilah rumah singgah dari segala masalah, termasuk dari gangguan sang Penyihir Kegelapan yang tinggal di kamar sebelah.

Ah, lupakan dia! Dinar mengalirkan napas kesal melewati tepian bibir yang penuh dan tebal. Waktunya terlalu berharga untuk hidup ketakutan dalam bayang-bayang Gathan. Sekepal tinju lantas teracung ke arah dinding kamar cowok itu sebagai bentuk pelampiasan. Hanya sebuah simbol, karena Dinar takkan pernah berani menghadapi si berengsek itu langsung hingga kapan pun.

Detak waktu lantas bergulir senyap selagi Dinar tenggelam berimajinasi. Bantalnya telah melesak mencetak kepala dan sepasang jarum jam dinding baru saja berpisah setelah bersua sejenak dalam reuni satu detik ketika jarinya membuka lembar terakhir, bab bersatunya dua kerajaan dari buku yang ia baca. Kelopak matanya nyaris segaris akibat rasa kantuk, tetapi Dinar tetap ngotot bertahan sampai baris penghabisan. Tahu-tahu, ia telah jatuh tertidur.

Bukan keinginannya. Apalah daya, kepala Dinar terasa berat seperti menanggung berkilo-kilo barbel. Oh ..., bising sekali suasana di sekitar. Denging menyakitkan memaksa sudut bibirnya tertarik meringis tanpa sadar. Mendadak, segala sesuatu hening dan tubuhnya kehilangan pancaindra.

***

Ada di awang-awang, sensasi itulah yang pertama kali Dinar sadari. Cakrawala hitam pekat dan iluminasi beragam spektrum cahaya memaksa matanya bekerja ekstra. Tangan dan kakinya utuh, tetapi tidak bisa bergerak. Bukankah tadi ia sedang asyik membaca dongeng di kamar? Lantas, di mana ia berada sekarang? Kalau ini mimpi, rasanya seperti berada dalam lucid dream. Namun, jika ini nyata, pastilah ia sudah ....

Mati! Satu kata itu otomatis menggema tatkala Dinar merasa tubuhnya ditarik oleh sebuah gravitasi mahakuat. Iluminasi di luar dirinya seakan memanjang seiring kecepatan tubuh yang meluncur deras ke satu arah. Sudah tidak jelas lagi ke mana, semua persepsi seakan lebur jadi satu.

Kemudian, kanvas biru malam terbentang di hadapan Dinar. Makin lama, warna itu larut seperti ombre dan berlari cepat menjauh hingga Dinar tersadar bahwa bukan kanvas itu yang memelesat ke depan, tetapi dialah yang sedang mundur ke belakang. Astaga ..., ia jatuh. Penala keseimbangan Dinar telah kembali dan justru inilah bagian ngerinya.

Ia panik. Kristal-kristal es tajam dan beku menusuk kulit saat tubuhnya menembus petala awan tipis. Otot-otot mulut gadis itu pun kaku dicengkeram udara hingga tidak mampu bersuara. Itu belum seberapa. Dinar kemudian mendengar suara gemuruh tidak asing yang berasal dari bawah sana.

Dinar memaksa untuk menoleh lantas mendapati lautan berombak keperakan telah siap menyambutnya. Tidak. Tidak. Bangunlah! Napasnya megap-megap berusaha memupus belenggu mimpi buruk. Namun, terlambat. Pikiran Dinar telah membeku.

Begitu pula dengan dia. Dinar kini mengambang di angkasa, lalu sesuatu yang mencengangkan terjadi. Lautan di bawahnya tiba-tiba saja lenyap berganti latar hamparan padang rumput luas keemasan. Apakah ia masih terbuai oleh mimpi? Dinar takjub, di antara ribuan mimpi yang pernah ia alami, tetapi kenapa yang ini sungguh terasa nyata seperti dunia virtual?

Sebuah pertanyaan yang kemudian tidak sempat terjawab karena seutas benda tiba-tiba menghalangi pandangan, menyapu sebagian wajah, dan menggelitik lembut kulit putih sensitif Dinar. Idih, apa ini?

Tidak butuh waktu lama hingga Dinar menyadari bahwa sensasi tadi akibat helaian rambut yang panjang dan ..., berwarna perak?

"Apakah kau baru saja jatuh dari langit?"

Otomatis Dinar menoleh. Mata dan mulutnya terpaku ketika si pemilik rambut perak tadi bertanya dengan suara berat. Seorang pria.

Jantung Dinar nyaris melompat. Baru saja ia mengalami peristiwa menegangkan urat saraf, kini ia telah berada dalam rengkuhan seorang pria. Kaki mereka tergantung cukup jauh dari permukaan tanah. Wajar kalau sekarang ia ingin berteriak, bukan? Namun, niatnya teredam oleh pemandangan memanjakan mata. Netra Dinar dengan berani menyusuri setiap jengkal struktur tulang pria berwajah asing dan berpenampilan aneh tersebut. Setiap alur, lekuk, glasir, juga sudut tajam yang membentuk wajah pria itu seperti dicetak dengan desain komputer. Sosok penolongnya seperti tokoh pangeran yang muncul dari dalam buku dongeng saja.

Penilaian Dinar tidak berhenti sampai di situ, pandangannya lantas berpindah ke kepala sang pria seakan berusaha mencari petunjuk. Tidak ada mahkota bertengger di atas sana, jadi Dinar tidak yakin kalau pria itu betul-betul seorang pangeran.

Ups, pemikiran tipikal macam apa yang ada di benaknya? Namun, siapa pun orang ini, ia sangat memesona! Andaikan ini bukan mimpi, mungkin Dinar bakal jatuh pingsan.

"Stop. Isi pikiranmu sungguh menggangguku." Terdengar nada gusar dalam suara si pria misterius.

Hah? Maksudnya? Bibir Dinar terbuka lebar.

"Aku bisa melihat dengan jelas isi pikiranmu, bukan hanya mendengarnya." Penjelasan dari pria itu makin membuat logika Dinar jungkir balik. Isi pikiran gadis itu tertebak begitu saja!

Ah ..., Pangeran Aneh! Dinar menggeliat, berusaha melepaskan diri karena takut.

"Berhentilah menyebutku Pangeran dan jangan berontak! Apa kau ingin dilempar?" Dinar pun merasa kecut saat menoleh ke bawah untuk mengukur ketinggian. Alhasil, ia makin mengeratkan pelukan. Bibir pria itu pun mengulas sebuah seringai. Namun, di mata Dinar efeknya melebihi dahsyat supernova. Oh, sepertinya kepala Dinar betul-betul kacau akibat semua ketaksaan ini.

"Ka-kamu incubus?" Betapa konyol karena hanya pemikiran itu sekarang yang mampir di benak Dinar. Alis pria itu bahkan menukik garang sebelum bibir Dinar bergerak mengucapkan tuduhan tersebut.

"Maaf!" Dinar menahan letupan yang merambat di sekujur tubuh. Serbasalah, ia pun menutupi wajah. "Bisakah kamu tidak menengok semua isi pikiranku? Tolong, lepaskan saja aku sekarang," pinta gadis itu.

Merasa tubuhnya kemudian bergerak, Dinar berpikir bahwa ia betul-betul akan dilempar. Gadis itu sudah pasrah, tetapi yang terjadi malah di luar dugaan. Sebuah rantai muncul dari sebelah genggaman sang pria, lantas membelit tubuh Dinar dengan lembut. Perlahan, gadis itu diturunkan ke permukaan.

Selanjutnya, Dinar dibiarkan berbaring terlentang beralas akar rerumputan tebal yang kini rebah oleh beban tubuh gadis itu. Dinar menurunkan kedua telapak tangan takjub, nyaris tidak berkedip. Kini, ia bisa mengamati sosok sang penolong seutuhnya. Wajah, rambut, perawakan, tinggi badan; bahkan, sayap di balik punggung pria itu, tidak ada satu pun yang luput dari pengamatan Dinar.

Rambut perak itu asli? Panjang amat. Matanya juga perak. Keren.

Apa yang dia pakai? Armor? Masa, iya, pangeran punya tampilan sangar begitu?

Lalu, kenapa ada sayap? Apa dia elf? Enggak mungkin. Itu bukan sayap peri, tapi elang. Tampilannya, kok, mirip hologram, berkelip terus dari tadi. Eh, sial. Mataku sakit gara-gara nggak berkedip.

Tunggu .... AKU ADA DI MANA?

Imajinasi Dinar menjerit protes karena yang ia alami terlampau nyata. Pasti ia tersesat di dimensi antah-berantah. Mimpi apa bisa bertemu seorang kesatria tampan yang juga bisa membaca pikiran? Kedengarannya oh sungguh seksi.

Bibir pria itu tertarik sekilas, mungkin pikirannya lagi-lagi terbaca sehingga Dinar hanya bisa menahan malu dengan wajah memerah. Namun sial, ia tidak dapat mengalihkan perhatian sejengkal pun karena pemandangan yang tersuguh di hadapannya sungguh nutrisi mata.

Akhirnya, ia dan si kesatria bertahan dalam posisi membeku seraya bertukar pandang. Mereka sama-sama takjub seakan baru berjumpa dengan makhluk dari spesies berbeda. Hingga sekelebatan cahaya menginterupsi momen indah mereka, melempar tubuh sang kesatria ke dalam sebuah lubang hitam yang mendadak muncul, lalu menelan sosok itu. Jantung Dinar seakan melompat akibat kejadian yang berlangsung cepat.

"Tuan Kesatria?" Dinar bangkit dengan panik karena menyadari kalau ia kini seorang diri. Tempat ini menakutkan. Bagaimana kalau ada lubang lain muncul untuk menelannya?

Alhasil, Dinar tersentak ketika merasakan sebuah desiran gelombang menjalar di permukaan lengan dan meremangkan bulu roma. Seseorang tengah mencengkeramnya.

"Siapa kau? Kenapa bisa ada di sini?" Sesosok makhluk berpendar samar tiba-tiba muncul di hadapan Dinar lantas berbicara setengah berbisik. Netra Dinar gagal menangkap sosok itu dengan jelas karena terlalu buram. Sekilas wujudnya seperti hantu transparan.

Dinar menjerit ketakutan, ia kibaskan tangan untuk menghalau makhluk itu darinya, tetapi si hologram transparan bergeming. Tanpa peringatan, sekonyong-konyong wajah Dinar direngkuh hingga gadis itu bisa merasakan sebuah ciuman mendarat di bibir. Terang saja Dinar semakin panik lantas memukul makhluk di depannya bertubi-tubi untuk melepaskan diri. Namun aneh, tangannya hanya seperti memukul udara kosong dan Dinar mulai merasakan seluruh energi seolah tersedot keluar dari dalam dirinya.

Incubus yang asli?

Bayangan kesatria tampan bersayaplah yang lantas melintas di benak Dinar. Di manakah kesatria itu sekarang? Dinar berharap pria itu akan muncul menolongnya dari cengkeraman si incubus karena efek serangan makhluk ini makin terasa berat dan melelahkan.

Perlahan-lahan, sosok di depannya mulai memadat hingga Dinar bisa merasakan kehangatan bibir yang menyentuhnya. Sementara, lengannya membeku oleh sensasi logam yang dingin. Dinar tidak berdaya untuk mendorong makhluk itu. Beruntung, ia dilepaskan sebelum nyaris kehilangan kesadaran. Lidahnya pun kelu melihat sosok penyerang barusan.

Seorang pria bertubuh logam tampak menyeringai puas ketika Dinar berhasil memfokuskan tatapan yang nanar dengan napas terengah. Kepalanya terasa pusing, tetapi wajah menarik di hadapannya bagai penawar ampuh yang seketika bekerja. Dengan rambut pirang sepucat jagung dan warna kulit serupa, Tuan Logam itu tidak kalah tampan dari kesatria. Penampilan sosok itu mengingatkan Dinar akan cyborg di film-film fiksi ilmiah.

Astaga. Apakah Dinar tengah tersesat ke Negeri Dongeng Para Pria Tampan?

"Energimu lumayan juga. Apakah kau memperolehnya dari Luz?"

"A-apa maksudmu?" Dinar tergagap menyadari betapa aneh isi percakapan mereka setelah apa yang terjadi. Cyborg ini baru saja mencuri ciuman pertamanya dan nyaris membuatnya pingsan! Jadi, pantas kalau ia merasa marah, bukan? Namun, Dinar terlalu bingung untuk bereaksi.

"Jadi, kau sungguh tidak tahu?" Cyborg itu balik bertanya dan Dinar menggeleng.

"Untuk bertahan lama di dunia ini, kau harus memiliki energi yang besar. Kalau tidak, eksistensimu akan menghilang. Karena itu, kau harus mendapatkannya dari sumber lain." Ia mengitari Dinar dengan sendi-sendi logam yang bergerak kaku.

"Apa yang akan terjadi jika eksistensi kita menghilang?" Tak urung Dinar bingung. Cyborg itu malah menertawakan pertanyaannya.

"Kau akan mencapai Epsilon dan ... mati." Cyborg itu berhenti dan berbisik di telinga Dinar, sementara jemari logam miliknya bertengger pada pundak gadis itu. Wajah mereka nyaris tanpa jarak, hingga Dinar dapat melihat manik mata si cyborg berkedip-kedip dan berubah warna.

"He, kau harus bergabung denganku." Dinar dapat merasakan kekuatan jemari logam yang kini meremas pundaknya.

"Omong kosong. Aku tidak tertarik," tolak Dinar tegas. Ia memang gampang terhanyut dan dibuat kagum oleh sosok pria setampan pangeran, kesatria, robot ganteng, atau siapalah itu, tetapi bukan berarti tolak ukur fisik adalah segalanya, hingga mau-maunya saja ia bergabung dalam tawaran si cyborg.

"Bagaimana kalau dengan energimu saja?" Si cyborg membujuk.

"Kamu ingin energiku?" Nah, Dinar takut sekarang. Si cyborg malah menyeringai melihat rona wajahnya yang memudar.

"Aku akan berhati-hati agar tidak membahayakanmu. Kau tahu? Sudah lama aku tidak bertemu dengan manusia. Aku pikir, aku cukup menyukaimu dan ingin merasakanmu ...."

Merasakan bagaimana? Dinar membatin gelisah. Percakapan menjurus semacam ini membuat ia gerah karena seperti sedang berada dalam adegan mimpi basah seseorang saja. Meskipun begitu, reaksi Dinar aneh sekali, gadis itu mematung bagai kena hipnotis. Oh, mungkin ini efek mimpi saja. Kalau ternyata bukan, berarti Dinar menyimpan keinginan gelap terpendam seperti ini di bawah alam sadarnya?

"He, aku anggap kau setuju. Aku tidak akan menyerahkanmu pada Luz." Cyborg itu memutuskan sepihak.

"Luz? Siapa itu?" Dinar merasa tersesat dalam pembicaraan, tetapi si cyborg malah tertawa keras.

"Sungguh? Kau bukan sekutu si Monster?"

"Tunggu ...." Dinar makin bingung. "Di sini ada monster?"

Tawa si cyborg makin keras.

"Astaga, kau tidak tahu apa-apa rupanya .... Kau datang dari mana, Nona Misteri?"

Dinar tergemap ketika merasakan logam dingin menekan seluruh tubuhnya. Sepertinya, kali ini ia bakal pingsan sungguhan karena didekap demikian erat oleh si cyborg.

Berhentilah memelukku, Tuan Kaleng! Aku bukan awetan sarden, keluh Dinar kesakitan.

Tidak lama kemudian, bunyi dengung halus mengusik gendang telinga Dinar. Ya, dengungan, dan ia dapat merasakan getaran samar gelombang merambat di permukaan kulit, meninggalkan gelenyar yang terasa kebas dan tidak nyaman. Apa pun yang terjadi, dengungan itu membuat si cyborg lantas melonggarkan dekapannya hingga tubuh Dinar terasa jauh lebih ringan.

Si cyborg tersentak. Sesuatu telah menarik makhluk itu lepas dari Dinar, kemudian tubuh si cyborg diseret paksa dan digantung di udara sebelum akhirnya dihempaskan dengan keras menghantam tanah. Belum sempat membela diri, nasib si cyborg kembali bergelantungan di udara dan barulah Dinar sadar kalau seluruh tubuh logam makhluk itu telah terbelit oleh rantai. Mata Dinar menyusuri ujung rantai berada di tangan sang kesatria dengan wajah yang kini membara.

"Berani-beraninya kau, Mesin Hina!" Amarah sang kesatria berkobar tatkala si cyborg malah tertawa seakan menikmati. Tubuh kesatria itu berpendar terang dilingkupi medan energi, sementara cyborg di ujung rantainya mulai ditelan oleh gaya magnetik--pantulan tubuh si cyborg tampak bergelombang dibiaskan oleh energi dahsyat dalam medan tersebut.

Terdengar dengung logam panjang dan mengerikan membelah angkasa. Kian lama kian melengking dan menyakitkan pendengaran seiring kekuatan energi yang terpancar. Medan magnet tampak bergetar hebat, begitu pula tubuh kaleng si Tuan Logam. Puncaknya, dengungan itu bertransformasi menjadi supersonik yang meluruhkan tubuh si cyborg sehingga makhluk itu perlahan kembali menjadi sosok transparan. Gelombang kejut tercipta dan menyebar ke segala radius. Dinar pun turut kena imbas, tubuh gadis itu terlempar seketika.

"Tuan Kesatria!" Dinar berteriak sekencang mungkin. Ia tidak tahu apakah suaranya bisa mencapai sang kesatria yang kini tampak mengecil dalam pandangan. Ah, sepertinya tidak mungkin. Lagi pula, peduli apa kesatria itu pada dirinya?

Dinar hanya bisa pasrah merelakan tubuhnya tersapu gelombang selagi pucuk-pucuk ilalang menerjang telapak kaki telanjang gadis itu. Sensasi levitasi ini sama sekali tidak menyenangkan. Ia merasa bagaikan sedang berada di dalam sebuah mimpi bisu di mana kemampuan bergerak dan berpikirnya dipaksa lumpuh.

Pada akhirnya, Dinar tersadar bahwa ia memang sedang bermimpi dan mimpi ini seolah akan berlangsung selamanya andai saja ia tidak merasakan sepasang lengan yang kokoh kemudian merengkuh punggungnya. Kini, ia berada dalam dekapan sang kesatria.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top