Prolog
“Hei, Tisha … Kenapa langit dan laut diciptakan terpisah?”
Di tengah lautan awan putih berarak dan langit yang membiru, seorang anak kecil duduk di tengah sepoi angin berembus.
“Padahal mereka begitu indah, Tisha.” Anak berambut pendek itu sekali lagi bertanya. “Kenapa mereka dipisahkan oleh daratan?”
“Keadaan tidak selalu seperti itu, Piglet Kecil.” Seorang dewasa lantas duduk di sisi sang anak kecil. “Kau pernah dengar kisah ini? Dulu, dulu sekali, langit, lautan, dan bumi berada di dalam satu rahim Ibu Agung."
“Ibu Agung?”
Tisha mengangguk. Rambut merahnya berkibar di tengah empasan angin. “Benar. Ibu yang melahirkan segalanya. Ibu yang menciptakan seluruh isi dunia. Di dalam rahimnya, langit, bumi, dan seluruh makhluk hidup bersemayam. Lalu pada suatu hari mereka keluar.”
Sang anak mengerjap, berusaha paham inti cerita itu dan gagal.
“Dua anak Ibu yang paling dewasa melepaskan diri dari-Nya dan menjadi daratan dan langit yang kita kenal sekarang. Kemudian anak-anak lain pun menyusul, meninggalkan sang ibu sendirian. Setelah kehilangan semua anak-anaknya, Sang Ibu yang berduka pun meluruh. Air mata dan tubuhnya menjadi lautan.”
“Air mata?” Sang anak bertanya dengan polos. “Maksud Tisha, mereka bertengkar? Mereka bertengkar sangat hebat sampai kabur dari Ibu, lalu membuat Ibu menangis dan menjadi lautan?”
Tisha terkekeh. Ia mengelus rambut kecoklatan sang anak kecil. “Bisa dibilang begitu.”
“Itu sedih sekali.” Anak itu menunduk lesu. “Tisha, kau tahu kapan mereka akan berbaikan?”
“Hm?”
“Berdamai.” Sang anak menempelkan tangannya ke paha sang wanita. Mengguncang-guncang badannya dengan antusias. “Apa Bumi, Langit, dan Lautan akan berdamai suatu hari nanti?”
Senyum Tisha agak memudar. “Maksudmu kau bertanya kapan langit dan bumi akan bersatu kembali?”
Anak itu mengangguk dengan antusias. “Mereka sama-sama indah. Jika terus terpisah dan bertengkar, bukankah akan sangat disayang—
“Oh, Piglet Kecil, kau sepertinya tidak memahami inti ceritaku.” Tisha menukas pelan. Lalu sambil menyentuh anak rambut sang bocah yang berkibar tertiup angin, ia berkata: “Langit dan bumi dipisahkan untuk satu tujuan, Sayang. Dan itu adalah untuk menopang kehidupan.”
Di bawah terik matahari, senyum Tisha berubah dingin.
“Jika Langit dan Bumi yang penuh kehidupan itu suatu hari berdamai dan bersatu kembali, apa yang akan terjadi pada kita yang hidup di atasnya?”
Sang anak terdiam. Kali ini mulutnya membisu. Tapi justru senyum Tisha semakin lebar.
“Tentu saja,” Tisha terkekeh saat ia menjawab. “Segalanya akan binasa, Vin….”
“Finn!”
Seorang gadis tersadar akibat hardikan itu.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top