Chapter 3: Letter From Sky
Chapter 3
Aku menoleh ke arah Abir berdiri. Ia sekarang berbicara dengan penjaga bar, menawar penjaga itu agar mau menjual minuman rempah mereka. Karena Abir melarangku untuk meminum bir ataupun alkohol, minuman rempah adalah cara lain agar kami bisa bertahan di suhu malam.
Selagi kami masih di desa ini, aku dan Abir singgah sementara di bar kecil ini. Tempat di mana sekarang Abir masih menawar harga minuman rempah yang lumayan tinggi dengan penjaga bar.
Aku menghela napas, lalu menumpukkan dagu di tangan seraya memandangi bar ini dari kursiku. Bar ini masih sepi sekarang, karena ini masih siang. Hanya ada segerombol kecil pria yang minum di pojok sana. Tertawa akan suatu pembicaraan kemudian mengisi tenggorokkan mereka dengan alkohol.
Mataku beralih dari mereka menuju pria dengan rambut gondrong hitam kusut yang menutupi wajahnya dari samping. Ia duduk melamun beberapa deret kursi dari tempatku. Memainkan gelas kaca berisi setengah cairan emas di dalamnya. Pakaiannya serba hitam dan yang ia lakukan hanyalah memandangi botol-botol arak yang terpajang di belakang meja panjang ini. Kemudian ia menenggak habis minumannya.
Penjaga bar yang tak jauh darinya mengisi kembali gelas kaca pria berpakaian hitam itu. Aku memandangi gelas yang ia mainkan dari balik tudungku. Karena aku sangat bosan menunggu Abir yang tak kunjung selesai menawar dengan penjaga bar lain.
Pria yang sedang kupandangi ini aku rasa sedang mengalami hari buruknya. Terlihat dari penampilannya yang serba kusut dan ia sekarang sedang berada di bar pada siang hari.
Aku melongok ke arah Abir sekali lagi. Dan ia masih berbicara dengan penjaga bar tanpa henti.
Ini akan sangat lama.
Kepalaku menoleh kembali ke arah pria tadi, dan ia sekarang memandangiku.
Dengan sepasang mata ungu.
Aku tercekat oleh pemandangan mata itu. Tubuhku serasa diguyur oleh seember air es dan seluruh otot tubuhku menegang.
Pria itu segera berdiri dan berjalan pergi dari tempatnya. Menuju pintu keluar.
Aku dengan cepat berdiri kemudian berjalan cepat menggapai pundak pria itu.
Mungkinkah ia Nathan?
Setelah dua tahun bencana itu terjadi, mungkinkah itu Nathan?
Ketika pria misterius itu dan aku sudah berada di luar, aku menyentuh pundaknya. Kemudian ia menolehkan kepalanya ke arahku.
Sepasang mata merah menatap kembali mataku.
Aku segera menarik tanganku, "Um- maaf, aku kira kau orang yang kukenal." Ucapku. Kemudian pria bermata merah itu hanya mengangguk dan berjalan pergi. Meninggalkanku yang masih tercekat akibat halusinasiku tadi.
Untung saja pria ras Ret itu tak marah. Bisa-bisa saja aku akan diterjang olehnya.
Halusinasiku semakin parah sekarang. Beberapa hari yang lalu aku tak sengaja memandangi hutan di depanku seakan itu adalah kotaku yang hancur. Dan sekarang mata ungu?
Aku mengurut pelipisku, tak ingin mengingat satu persatu halusinasi yang telah kulalui selama dua tahun terakhir.
Sebuah sentuhan di ujung bahuku menganggetkanku, aku berbalik dan mendapati Abir yang sedang berdiri dengan sebelah tangan yang memegang kantung berisi botol.
Aku rasa Abir telah mendapatkan minuman rempahnya.
"Aku mencari-carimu di dalam. Kenapa kau di sini?" Abir bertanya, terlihat kekhawatiran di mata birunya.
"Aku- um, aku hanya butuh udara segar." Ucapku dengan menaikkan ujung bibirku di akhir kalimat.
"Oke, baiklah. Sebaiknya kita pergi sekarang sebelum matahari tenggelam. Lagipula aku sudah mendapatkan minumannya." Abir tersenyum kemudian mulai berjalan, namun berhenti seketika saat ia melihat seekor elang yang memekik sambil terus berputar di atas kepala kami.
Elang itu memekik sekali lagi saat melihat keberadaan kami, lalu terbang menukik ke arah Abir.
Abir mengulurkan lengan, lalu membiarkan elang besar itu bertengger di sana. Elang itu lumayan besar, bulunya cokelat dengan kepala berbulu putih. Mata cokelatnya yang tajam memandangi Abir lalu aku. Sebuah tempat penyimpanan kecil diikatkan di kakinya. Dengan simbol kecil berbentuk puteri duyung berwarna biru di atas permukaan tempat silinder itu.
Aku sangat tahu simbol itu.
Abir perlahan mendekatkan elang di lengannya kepadaku. Aku mengeluarkan isi dari dalam tempat silinder itu.
Sebuah kertas yang digulung.
Alisku bertaut dengan berbagai macam pikiran negatif mengenai isi kertas itu, karena aku tak pernah berpikiran bahwa aku akan menerima pemberitahuan darurat seperti ini. Tak pikir panjang lagi, aku segera membuka gulungan itu dan membacanya.
Pertemuan dengan seluruh wakil ras dalam dua minggu, datang secepatnya, mereka bilang ada masalah.
-Emily
Aku menatap Abir setelah aku membaca surat kecil itu, lalu memberikan kertas tersebut agar ia membaca isinya.
"Kita harus berangkat sekarang." Katanya.
Aku mengangguk setuju lalu pergi mengambil kuda dan memulai perjalanan kami kembali ke kerajaan Sapphire.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top