Chapter 2: Brent
I'm going to MIA until mid test semester over...
XOXO
-koalamerah
==========================================
Chapter 2
Pagi setelah aku berburu rusa kemarin, aku dan Abir memutuskan untuk berkemas dan pergi ke desa terdekat di hutan Yalk— sebelah utara dari hutan Volkira. Kami terus mengikuti jalan yang terdapat di peta kami, berusaha untuk tidak menapakkan kuda yang kami tunggangi ke hutan Volkira. Penjaga ras Ret bisa marah jika melihat kami memasuki wilayah mereka. Bangsa Ret sangat protektif jika itu berkaitan dengan wilayah mereka.
Aku cukup senang bisa pergi dari hutan itu, mendapatkan makanan di sana agak susah ketimbang hutan lain. Di sana terlalu tenang juga, seperti tak ada satu makhluk pun yang hidup di sana.
Dan berhubung kami hampir kehabisan makanan cadangan dan pematik api, kami akan membelinya di Desa Gardan tempat yang sedang kami tuju saat ini.
Kadang kami akan beristirahat sejenak di bawah pohon ketika kuda-kuda kami mulai lelah berjalan, setelah itu kami akan langsung melanjutkan perjalanan sebelum matahari tenggelam. Setelah empat jam perjalanan dengan kuda kami sampai di Desa Gardan.
Lumayan kecil menurutku, hanya terlihat seperti perhentian untuk para pengelana dibanding dengan desa. Orang-orang dengan pakaian lusuh berjalan dari kereta kuda satu dan membopong barang dari kereta keluar dan membawanya ke suatu toko. Beberapa pembeli dan penjual terlihat sibuk berbicara dan melakukan aktivitas jual beli mereka.
Asap mengepul di cerobong rumah, anak-anak terlihat tak peduli dengan kesibukan orang lain ketika mereka berlarian menghindari orang-orang yang berjalan dengan langkah cepat.
Aku menarik ujung tudungku hingga menutupi pandangan orang lain ke mataku. Aku tak mau berurusan dengan siapapun ketika mereka menatap kedua mata berbedaku dengan penasaran dan curiga. Terakhir kali saat seseorang memandangi mataku, ia memandangiku terus tanpa rasa malu. Itu membuatku terganggu oleh pandangan menghakiminya.
Kami mengikatkan tali kuda kami ke suatu tiang pagar toko, tanah basah langsung menempel di sepatu botku saat aku dan Abir berjalan memasuki toko. Aku berhenti di depan pintu toko yang lebih terlihat seperti rumah itu untuk membersihkan alas botku dari tanah, sedangkan Abir langsung memasuki toko tanpa memedulikan soal botnya itu.
Lantai serta engsel pintu yang berderit menggelitik telingaku saat aku memasuki toko ini. Aku bahkan tak tahu toko apa ini, karena aku tak mau mengambil risiko jika seseorang melihat mataku saat aku berusaha membaca papan nama toko ini.
Aroma tembakau dan mesiu yang tajam langsung menusuk hidungku. Lampu kuning yang menyala redup tergantung di langit-langitku. Walaupun di sini sudah terang karena sinar matahari yang menerobos dari lubang di atap toko ini, aku rasa pemilik toko ini tak memedulikan soal lampu itu.
Alat-alat yang dominannya adalah alat berburu terpandang di rak-rak tak beraturan di kanan dan kiriku. Mesiu, peluru, tombak tajam, hingga perangkap di letakkan di rak-rak bertingkat itu. Dinding-dinding yang terbuat dari kayu tua itu dihiasi dengan pajangan kepala-kepala binatang buas, tapi kebanyakan adalah kepala rusa dan sedikit kepala beruang.
Aku berjalan melewati karpet beruang dan berdiri di sebelah Abir di mana ia sedang berbicara dengan seorang pria di balik meja. Pria itu memiliki rambut pendek abu-abu yang hampir berubah menjadi putih sepenuhnya, kerutan tebal muncul dari kening, dan ia memakai penutup mata di mata kanannya. Cerutu berada di sela jari telunjuk dan tengahnya dengan asap yang menari di udara, membentuk jejak pudar di udara. Aku takkan lelah memandangi asap itu menari di udara dan menatap ketika tembakau di cerutu itu dikejar oleh si merah.
"Pematik api? Aku tak tahu jika aku punya benda itu, kau sadar bahwa ini adalah toko alat berburu bukan toko kemah bukan? Aku hanya menjual alat untuk membunuh binatang." kata pria bermata cokelat itu lalu menghisap ujung cerutu di tangannya.
"Setidaknya bisakah kau mencarinya dulu? Kami tak bisa melanjutkan perjalanan tanpa pematik api." Ucap Abir.
Walaupun ia tua, ia masih terlihat sehat dan badannya masih tetap terjaga bentuknya. Ia cukup besar dan kuat, hampir menyamai Abir namun Abir lebih kurus dibanding dengannya.
"Kami? Kau melakukan perjalanan ini dengan wanita ini?" ia menumpukan sikunya di atas meja, seakan tertarik dengan obrolan yang dimulainya.
Aku menundukkan kepalaku, berusaha menghindari tatapan penasarannya.
"Dan ke mana kalian akan pergi? Apa kau adalah ayahnya?" tanyanya kembali.
"Kami hanya pergi berkelana saja, dan bukan, aku bukan ayahnya." Jawab Abir dengan monoton, berusaha agar tak membuat pria ini bertanya lebih lanjut yang tapi tidak berhasil karena ia kembali bertanya.
"Dari mana kalian berasal? Oh ya, Sapphire kan? Mata biru," ia terkekeh kecil karena pertanyaannya sendiri.
"Jadi, apa cerita kalian sampai bisa ke sini? Kalian tak berencana memasuki wilayah ras Ret atau ras Verde tanpa izin kan?"
"Bisakah kau mencari pematik api untuk kami?" aku bisa mendengar rasa terganggunya Abir pada suaranya. Abir mulai terlihat jengkel karena pria ini tak segera mencari apa yang ia inginkan. Pria ini melempar tatapan tanpa emosi ke wajah Abir, seakan tak terpengaruh dengan hal itu.
"Brent, panggil aku Brent." Kata pria itu menghisap tembakaunya sekali lagi sebelum pergi mencari pematik api di gudang di belakangnya.
Suara gersak saat ia menggali isi gudang terdengar untuk beberapa saat sebelum ia bersuara di gudang itu, "Ketemu!" lalu kembali di depan kami dengan sepasang batu pematik.
"Mengapa gadis di sebelahmu menunduk terus, bocah sapphire?" Brent bertanya dan itu mengambil perhatianku dari pinggiran meja yang telah kupandangi sedari tadi.
Abir mengabaikan pertanyaan Brent. "Jadi berapa harganya?" tanya Abir.
Aku tak mendengar Brent ataupun Abir membuat suara sebelum sebuah tangan tiba-tiba menaikkan daguku, dan sekarang aku menatap satu mata cokelat kelam. Sekarang mata itu menunjukkan rasa keterkejutan setelah melihat mataku dan mataku juga memunculkan rasa yang sama.
Aku menyingkirkan tangan itu dari daguku, membawa tudung yang kupakai lebih ke bawah. Menutupi wajahku dalam bayangnya.
"Apa yang telah kau lakukan?!" rasa marah Abir menyambar Brent. Di balik tudungku aku dapat melihat wajah Brent yang masih membeku setelah melihat mataku tadi.
"Woah, maafkan aku. Aku tak tahu jika ia mempunyai mata aneh." Kata Brent membela dirinya.
Aku bisa merasakan amarah Abir yang keluar dari tubuhnya dan membuat suasana menjadi tegang seketika.
"Tak apa, Abir. Ayo cepat pergi." Kataku pada Abir. Aku tak mau Abir membuat kegaduhan di sini.
"Kau tahu, gadis, kau bukan satu-satunya yang mempunyai mata aneh," Kata Brent tiba-tiba.
Aku menaikkan pandanganku ke arahnya, menatap saat ia membuka penutup mata hitamnya dari mata kanannya. Memperlihatkan mata hijau yang berpasangan dengan mata cokelat kelamnya.
Brent tersenyum ketika melihat reaksiku, lalu kembali berbicara. "Saat itu aku dan teman baikku— North berburu beruang di hutan Keurd, sebelah selatan desa ini. North adalah ras Verde, sedangkan aku hanyalah ras Mazare biasa, aku dan North sangat bersemangat karena saat itu adalah saat di mana para beruang akan keluar dari hibernasinya untuk mencari makanan. Dan kemudian kami melihat sebuah beruang, duduk di pinggir sungai sambil memakan ikan. Beruang itu lumayan besar dan banyak bekas cakaran di kulit berlemaknya itu. Aku dan North berusaha menembak beruang itu dari kejauhan, namun meleset dan hanya mengenai pelipisnya. Beruang itu marah, meraung marah kemudian berlari menuju kami.
Kami berusaha untuk menjatuhkan beruang itu. Dan tanpa kuduga, beruang itu berhasil mencakar mata kananku. Hanya darah yang bisa kulihat saat itu, namun aku tetap berusaha membantu North untuk menghabisi beruang itu dengan senjata dan tangan kami. Dan yah, beruang itu sekarang sudah mati dan kujadikan karpet yang kalian lewati tadi." Brent menunjuk karpet beruang di belakangku.
"North kemudian menyembuhkan lukaku dan memberikan salah satu matanya padaku."
"Di mana North sekarang?" aku merasakan diriku bertanya.
"Sekarang ia sudah meninggal." Jawab Brent, tak menyembunyikan kesedihan yang muncul di kedua mata berbedanya itu.
Hatiku ikut tenggelam, karena aku sangat memahami apa yang ia rasakan.
"Yah, itu sudah lama sekali." Katanya sembari memakai penutup matanya kembali.
"Dan kau tahu, kau tak perlu membayar untuk pematik ini. Ini gratis untukmu." Brent tersenyum kepadaku dan bibirku ikut terangkat melihatnya dengan cepat kembali dari kesedihannya.
"Dan untukmu, bocah sapphire. Jaga gadis ini baik-baik." Kata Brent.
"Aku bukan bocah." Abir menggeram.
"Nah, bagiku kau masih bocah." Brent menyeringai, "Dan semoga kita bertemu lagi lain waktu, gadis bermata aneh."
Aku tertawa kecil mendengar sebutanku, "Olivia. Namaku Olivia." Kemudian senyuman Brent melebar ketika mendengar namaku.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top