Chapter 10: Feeling Emphaty
Happy reading~<3
Chapter 10
Ditimpa oleh barang berat. Mungkin itu bisa menggambarkan seperti apa kepalaku terasa saat ini. Hal pertama yang aku sadari adalah aku sudah di kamar apartemenku sendiri. Aku perlahan bangun dan menghabiskan isi gelas yang berada di meja. Ada obat juga di sampingnya, namun aku tak menghiraukan untuk meminumnya.
Aku menyampirkan selimut, lalu berjalan ke kamar mandi. De javu. Aku menatap bayangan mata biru serta putih milikku di kaca kamar mandi. Kedua mataku merah dan terasa sangat sakit. Kemudian aku membasuh wajahku, dengan lama. Berusaha meredam sakit di mata dan kepala yang terasa berat dengan air dingin.
Sebuah helaan napas berat keluar dari bibirku, aku tak suka rasa ini. Rasa dimana aku merasa lemah dan sakit. Tapi ini menyadarkanku bahwa aku masih mempunyai titik lemah untuk dilatih nantinya.
Aku harus menjadi kuat.
Setelah dirasa cukup, aku berjalan menuju ruang tamu, di mana terdapat Gwen dan Ariana yang duduk di sofa dengan TV yang menyala.
"Sudah berapa lama aku pingsan?" tanyaku, berjalan menuju kulkas dan mengambil air dingin. Dengan sangat perlahan meminum cairan dingin itu setelah menutup pintu kulkas.
"Sekitar empat jam kurasa?" Gwen menjawab sambil mengganti saluran TVnya. "Adrian juga masih pergi sejak kau pingsan dan tak mengatakan sepatah kata pun." Ia memberitahu.
"Oh..." responku agak kecewa, entah mengapa mendengarnya tak ada di sini saat aku bangun membuat suasana hatiku menurun. Tanganku menaruh gelas yang masih berisi setengah air ke atas meja marmer dapur.
"Mengapa kau bisa pingsan? Apa kau kelelahan?" tanya Gwen menolehkan wajah ke arahku.
"Bukan, seb—"
Tiba-tiba pintu apartemen terbuka, memperlihatkan Adrian yang masuk sambil mengedarkan matanya ke ruangan dan mendarat ke arahku. Dengan langkah panjangnya ia sampai dihadapanku. Memegangi sisi wajahku dengan tangan dinginnya. Seketika rasa kecewaku tadi berhembus jauh.
"Apa kau tak apa-apa?" tanyanya dengan raut khawatir, menatap mataku dengan mata kelamnya.
Wajahku bersemu dan tiba-tiba jantungku berdetak lebih kencang. Sentuhan sederhananya membuat kepalaku semakin berputar. "Um, aku sudah tidak apa-apa," Suaraku terdengar lirih. Mengapa aku tak bisa mengerahkan suaraku?
"Wajahmu memerah dan panas," Dengan simpel ia berbicara, lalu menambahkan tangan kirinya ke keningku. Wajahku terasa seperti dikompres dengan handuk dingin, tapi aku tahu ia malah membuat wajahku semakin memerah. Mataku berusaha menghindari tatapannya yang sedari tadi mencari perhatian.
"Em... Ehem?" kudengar seseorang bersuara yang membuatkua tersadar bahwa mereka masih ada di sini. Dengan segera aku menurunkan tangan Adrian dari wajahku dan berusaha menutupi wajah yang semakin memerah karena malu dengan rambut cokelatku.
"Ya ampun! Tak kusangka, akhirnya dugaanku benar juga!" pekik Ariana dengan sangat gembira.
Adrian yang juga baru menyadarinya agak kaku sambil memalingkan wajahnya. "Aku sangat haus," lalu berjalan menuju kulkas dan mengambil kotak jus untuk ia tuang.
"Jadi? Mengapa kau tiba-tiba bisa pingsan?" Gwen membelah suasana.
Sebelum menjawab, aku berjalan ke arah sofa yang masih kosong lalu memeluk satu bantal di atasnya. "Um, sebenarnya sebelum aku pingsan, aku dan Adrian bertemu dengan orang yang mengikuti kami di supermarket." Aku mulai menerangkan.
"Tunggu, ada orang yang mengikuti kalian?" potong Gwen.
"Iya, dan ia membawa pisau." Sambungku. "Dia sangat berani, maksudku ia sampai membawa pisau di tempat umum seperti supermarket. Untung saja aku melihat gerak-geriknya, ia sepertinya mengincar kami. Kemudian aku segera mencari Adrian dan berusaha untuk cepat-cepat pergi dari sana, karena aku tak ingin membuat kegaduhan. Tapi saat kami di parkiran apartemen, kepalaku terasa sangat sakit dan aku tiba-tiba pingsan." Semua orang dengan seksama mendengarkanku berbicara.
Adrian yang semula di depan kulkas telah duduk di sebelahku di tengah cerita, dan membuat jantungku melompat sedikit.
"Apa orang itu penyebab kau bisa pingsan?" tanya Gwen kembali.
Aku menggeleng, "Aku rasa tidak, karena saat aku pingsan aku melihat sedikit memori Natali. Mungkin efek dari matanya." Aku memegangi kelopak mata sebelah kiriku, merasakan bahwa sakit mataku mulai meredam. Mungkin karena pemulihan Ras Verde di mataku.
"Memori apa yang kau dapat?" tanya Adrian menatap ke arahku.
"Memori ketika Natali di panti asuhan," perlahan aku memulai, namun memperhatikan dengan seksama raut wajah Adrian dan Ariana yang berubah saat mendengarkan omonganku. "Ia digunjingkan oleh orang-orang sekitar namun kemudian ada seorang anak laki-laki berambut silver yang mengusir mereka pergi," aku menatap fitur wajah Adrian yang mulai menyadari tatapanku, "Dan seorang anak perempuan berambut emas yang mengajak Natali untuk bermain bersamanya." Kemudian mengalihkan tatapanku ke arah Ariana yang bibirnya masih membentuk garis lurus. Tapi aku tahu dari matanya ia menganggap ucapanku adalah hal yang sangat serius.
"Jadi sekarang aku ingin tahu apa hubungan kalian dengan Natali," aku meminta.
Adrian menatap balik adik kembarnya tersebut layaknya sedang berbicara dari pikiran ke pikiran. "Oke," Ariana mengiyakan.
"Pertama kali kami bertemu dengan Natalia, adalah ketika ayah mengajak kami untuk mengunjungi Panti Asuhan Boulevard. Ayah ingin menunjang ekonomi panti asuhan tersebut, lalu kami berdua menelusuri sekitar banguan tersebut. Dan di sanalah Natalia, selalu berada di ayunan bawah pohon itu. Mulai dari sana kami mengenal Natalia, kami mengetahui kalau ia selalu jadi sasaran kekerasan oleh anak-anak nakal panti asuhannya sendiri. Kami selalu berusaha menolongnya saat itu terjadi, tapi terkadang kami tak bisa setiap hari berada di sana. Kemudian datanglah James di panti asuhan itu. Kedua orang tuanya telah meninggal sehingga ia harus berada di panti asuhan itu. Kami, Natalia dan James berteman baik sejak itu. James selalu melindungi Natalia dari anak-anak nakal yang berusaha mengusili Natalia," Ariana menatap kosong udara di depannya. Semua orang yang mendengarkan sangat hanyut dan serius.
"Tapi suatu hari, satu hari itu." Nadanya mulai bercampur jengkel. "Permainan anak-anak nakal itu sudah melewati batas, sangat, sangat keterlaluan. Mereka mengikat Natalia di batang pohon kemudian menempatkan sebuah apel di atas kepalanya, mereka memainkan permainan akurasi. Anak-anak itu membawa busur panah sungguhan."raut wajah Ariana dipenuhi amarah.
"James sudah mencari-cari Natalia sejak lama, dan barulah ia melihat kelakuan anak-anak nakal itu. Panah-panah itu banyak yang meleset ke arah batang pohon, tapi ketika panah terakhir di tarik, James pasti saat itu tahu bahwa panah tersebut akan mengenai tubuh Natalia. Karena anak nakal tadi sebenarnya tak memperdulikan soal apel di atas kepala Natalia. Melainkan mereka senang ketika Natalia menangis dan kesakitan. James berusaha melindungi Natalia kala itu, namun berakhir dengan panah di jantungnya." Melihat Ariana yang selalu terlihat ceria tetapi sekarang ia memperlihatkan raut kesedihan miliknya, membuat dadaku terasa diremas rasa empati.
========================================================
AN: terima kasih telah membaca ocehan tokoh2 saya.....
btw Beneath The Sapphire Eyes bakal terbit akhir bulan februari/ maret mendatang loh :))))
bisa liat infonya di ig (@koalamerah.id) atau ig saya (@jihanmiles)atauuu di ig Fantasious (@fantasious_books)
btwww saya bikin trailer novel ini loh.. cek aja di ig official nya koalamerah ;))
see you on the next chapter~
-km
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top