Bab 4. Surat Misterius
"Kenapa kau tidak pernah membawaku ke sini sebelumnya?" Brianna mengedarkan pandangannnya ke seluruh ruangan dengan takjub ketika Casey membawanya ke ruang kerja rahasianya. Casey hanya tersenyum sebagai balasan.
Bergaya abad pertengahan, ruang kerja Casey tampak berbeda dengan bagian rumah lainnya yang tampak lebih modern. Brianna melangkahkan kakinya di atas karpet hijau tua tebal, mendekati mesin tik yang mengetik sendiri.
"Sekarang sudah tahun 2010, dan kau masih menggunakan mesin tik?" Brianna tersenyum geli sambil menyentuh pinggiran mesin tik dengan antusias. Kertas yang selesai diketik melayang dengan sendirinya dan tersusun dengan rapi di samping mesin.
Casey membuka tirai beludru jendelanya yang berwarna merah gelap sehingga cahaya matahari pagi menerobos masuk ke ruangan, menambah kesan nyaman dalam ruangan ini. Salju yang menumpuk di kusen sedikit demi sedikit mulai menipis, begitu juga salju yang terdapat di atap perumahan. Suhu udara hari ini sudah sedikit meningkat dibanding kemarin, walaupun belum bisa dibilang benar-benar hangat. "Kau tahu, teknologi canggih tidak bisa berfungsi dengan baik di ruangan penuh sihir."
Tentu saja Brianna tahu.
Brianna mendekati sebuah lemari kayu besar yang berisi berbagai pajangan. Beberapa bingkai foto bertengger di atas salah satu rak--semua foto itu bergerak. Ada Casey yang masih kecil, memakai seragam dan topi kerucut sekolahnya--di dalam foto tersebut Casey terus-menerus mengangkat topi yang hampir menutup matanya--kemungkinan itu adalah ketika pertama kali ia masuk Hogwarts; lalu Casey remaja bersama teman-temannya melambai ke arah kamera; dan Casey yang beranjak dewasa dengan seorang pria berambut gelap dengan wajah cemberut dan nyaris tidak bergerak sama sekali. Ia tidak bisa menahan senyuman takjubnya ketika melihat foto Casey dengan jubah merah dan jingga--seragam Quidditch Gryffindor--sedang tertawa lebar sambil terus mengangkat sapunya dengan semangat.
"Bahkan seragamnya mirip dengan di film," gumam Brianna.
"J. K. Rowling menulis cerita dengan dunia yang benar-benar persis dengan dunia kami, sehingga terkadang terasa mengerikan melihat betapa banyak orang yang mulai memimpikan dunia tersebut, padahal dunia itu hidup di sekitar mereka," ucap Casey sambil mengeluarkan setumpuk kertas kosong di laci meja, kemudian meletakkannya di samping mesin tik setelah memberi mantra menggunakan tongkat sihirnya.
Brianna mengangkat sebelah alisnya menatap Casey. "Kau membicarakanku?" Sebenarnya ia sudah mulai menerima kenyataan kalau dunia penyihir itu memang ada, dan dia bukan salah satu bagiannya, walau hal tersebut menyakitkan.
Casey tertawa. "Yeah, aku lupa kalau kau adalah salah satunya."
Gadis itu kembali menaruh perhatiannya pada pajangan lain di dalam lemari itu, kemudian ia melihat sebuah minatur teropong yang terbuat dari kaca, yang bagian atasnya dapat berputar. "Itu..."
"Teropong-curiga saku," jawab Casey yang sekarang sudah berada di samping Brianna.
"Aku tahu. Bisa menyala dan berputar sendiri jika ada sesuatu yang mencurigakan di sekitarnya," kata Brianna.
Matanya berpindah menuju ke berbagai piala penghargaan di rak atas. Casey meraih nilai tertinggi dalam pelajaran Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam di tahun ketujuh sekolahnya, menjadi Seeker terbaik di Hogwarts, memecahkan misteri monster bawah tanah yang meneror Hogwarts, dan sebagainya. Brianna kembali menatap Casey, tatapannya menyiratkan kekecewaan. "Aku merasa seperti tidak pernah mengenalmu sama sekali selama ini."
Casey mengelus pipi kekasihnya dengan sedikit perasaan bersalah. "Jangan merasa begitu. Tidak ada yang pernah mengenalku dengan baik selain dirimu sejak kedua orangtuaku meninggal."
"Yeah, asal kau tidak mengambil ingatanku dan membuatku seperti robot yang tidak tahu apa-apa." Brianna berjalan menuju ke sofa dan menghempaskan tubuh kurusnya di atas sofa, kemudian melompat berdiri lagi dengan terkejut ketika sofa itu menjerit.
"Jangan membanting tubuhmu di atas sofa itu," kekeh Casey sambil menghampirinya, kemudian membimbing gadis itu duduk di sampingnya. "Untung saja aku tidak membeli sofa menggigit, yang akan menggigit bokongmu jika kau duduk terlalu keras, atau jika bokongmu terlalu bau."
Brianna tertawa ketika teringat dengan Weasley bersaudara yang menjual benda sihir untuk lelucon. "Jadi produk semacam sihir sakti Weasley itu juga ada?"
"Kau akan selalu menemukan barang semacam itu di dunia manapun." Casey ikut tertawa.
"Aku berjanji akan menceritakan semuanya padamu, apapun itu. Tentang sekolahku, pekerjaanku sebagai Auror--"
"Oh, kupikir kau jurnalis," sindir Brianna.
"Well, yeah. Tapi aku memang berprofesi sampingan sebagai penulis. Aku menulis buku mengenai penelitianku." Casey mengedikkan kepalanya ke arah mesin tik yang masih sibuk mengetik.
"Jurnalis dan penulis itu berbeda, Casey."
"Aku iri denganmu," kata Brianna lagi ketika ia melihat jubah Quidditch dan sapu yang digantung di samping lemari.
Casey hanya mengedikkan bahunya sambil tersenyum, kemudian membenarkan syal Gryffindor yang melilit di pundak Brianna. "Percayalah, dunia sihir yang sesungguhnya tidak sekeren di novel Harry Potter."
"Kau bahkan tidak pernah membacanya," keluh Brianna.
"Tapi aku menontonnya bersamamu, berulang kali, ingat?" Casey memainkan ujung syal Brianna yang berumbai.
Suara ketukan di jendela membuat mereka terlonjak. Seekor burung hantu berbulu cokelat dengan bercak-bercak putih mematukkan paruhnya dengan tidak sabar di luar jendela. Casey segera bangkit, buru-buru membuka kunci jendela dan berdecak ketika burung tersebut memasuki ruangan dengan heboh.
"Ingat pulang juga kau, huh?" Casey membuka sangkar burung di atas meja dekat jendela, agar burung hantu tersebut dapat masuk dan minum setelah menjatuhkan sebuah lipatan kertas kecil di atas telapak tangan pemiliknya.
"Kau bahkan menggunakan burung hantu. Ada apa dengan email?" kekeh Brianna. "Aku tahu, teknologi tidak bisa digunakan di dalam lingkungan yang terdapat sihir kuat. Tapi bukankah ini jauh lebih merepotkan?"
"Pengiriman surat melalui burung hantu hanya dilakukan jika kau ingin mengirim surat yang bersifat penting dan rahasia. Terkadang teknologi jauh lebih berisiko, dan sangat mudah diretas," jelasnya sambil bersandar di pinggiran meja dan membuka lipatan kertas tersebut.
"Baiklah, kira-kira apa isi surat yang begitu penting untuk tuan penyihir spesial ini?" sindir Brianna sambil menyandarkan tubuhnya di pegangan sofa.
Casey membaca surat tersebut, kemudian tiba-tiba ekspresinya berubah pucat dan di dahinya mulai terbentuk garis-garis halus. Ia menggerakkan bola matanya dengan liar, seolah ingin memastikan kalau ia tidak salah membaca. Brianna menatap cemas ketika tangan Casey yang memegang pinggiran kertas tersebut mulai sedikit gemetaran.
"Ada apa?" tanya Brianna sambil menghampiri Casey. Gadis itu mencoba mengintip isi surat tersebut, tapi sebelum ia sempat melirik isinya, Casey buru-buru menjauhkan surat itu dari pandangan Brianna.
"Accio Cloak!" seru Casey ketika mengeluarkan tongkat sihirnya, lalu sebuah jubah hitam mendobrak keluar dari salah satu lemari dan melayang menghampiri tangannya.
"Casey! Ada apa?" Brianna mulai tidak sabar.
"Aku harus pergi sekarang," jawab Casey kalut sambil memakai jubah tersebut.
"Ke mana?"
"Aku tidak bisa memberitahumu sekarang. Tapi ini penting sekali." Casey berjalan ke depan lemari pajangannya, kemudian mengambil beberapa benda dengan cepat dan memasukkan ke dalam saku jubahnya. Ia tampak seperti kerasukan sesuatu. Saat ini Brianna tidak sempat untuk menanyakan bagaimana semua barang-barang itu bisa muat ke dalam saku jubahnya tanpa membuat jubahnya menggembung. Yang Brianna tahu hanyalah, ia memiliki firasat yang buruk dengan semua ini.
"Kau bilang kau akan memberitahuku semuanya," tuntut Brianna sambil menahan lengan kekar Casey.
Casey menatap bola mata cokelat Brianna selama beberapa saat, kemudian ia mengambil secarik kertas kosong di atas meja kerjanya dan menuliskan sesuatu dengan cepat menggunakan ujung tongkat sihirnya.
"Maafkan aku, Bri. Tapi untuk saat ini aku benar-benar tidak sempat menjelaskan semuanya padamu," katanya setelah selesai menulis. "Jika aku belum juga kembali sampai besok malam, carilah sepupuku. Dia akan mengerti," lanjut Casey sambil memberikan kertas itu pada Brianna.
"Casey, tunggu, aku ingin kau menjelaskan secara sing--"
"Sampai jumpa," ucapnya, kemudian ia menghilang diiringi suara ledakan kecil.
"Jangan ber-apparate! Kembali, Casey!" teriak Brianna, walau ia tahu kalau ia sudah terlambat. Entah kenapa, jantungnya juga mulai berdetak ketakutan sekarang, seolah sesuatu yang buruk akan terjadi.
Brianna melihat surat yang dibaca Casey tadi terjatuh dan tergeletak di atas lantai dalam posisi terbalik. Lalu ia berjongkok dan mengambil kertas tersebut. Tapi ketika jemarinya menyentuh ujung kertas, mendadak kertas itu terbakar dan menjadi abu, hingga Brianna terpaksa kembali menarik tangannya. Ia tidak akan pernah tahu surat apa yang dibaca Casey tadi hingga kekasihnya tersebut panik dan buru-buru meninggalkannya.
Sekarang satu-satunya petunjuk yang ditinggalkan Casey hanya kertas tipis yang ditulisnya dengan berantakan tadi, yang berisi sebaris alamat dan kalimat yang ia tidak mengerti di bawahnya.
Nicholas Dougherty, Precuss East no. 19
'Dad kembali.'
Brianna masih memandang kertas tersebut dengan kalut, seolah menunggu tulisan lain yang muncul di sisi kertas yang kosong, memberi penjelasan mengenai kejadian yang barusan menimpanya. Rasa khawatir menyelimuti hatinya, hingga ia sama sekali tidak menyadari kalau beberapa senti di atas kepalanya, teropong curiga saku sedang menyala dan berputar dengan cepat di atas rak lemari.
-----
A/N:
Dan akhirnya sampai ke bagian ini, bagian yang kutunggu2. (Authornya senang udah menyingkirkan Casey, jadi dia gak perlu pusing2 mikirin romancenya lagi 😂😂😂).
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top