Bab 23. Pertarungan Akhir (Alt-II)

"Violette, Bri, bawa para tahanan ke tempat aman," bisik Casey.

"Aku tetap di sini," kata Brianna tegas.

"Bawa Violette," ucap Nicholas dengan penekanan.

"Sudahlah, Sayang, biarkan kekasihmu tinggal dan melakukan tarian semangat, karena kalian begitu kalah jumlah," kekeh Mildred.

"Tidak lagi." Casey mengacungkan tongkat sihirnya dan mengirim bunga api merah ke udara, sehingga beberapa detik kemudian, belasan Auror yang Brianna lihat di bar kemarin muncul di dekatnya. Seolah mengerti situasi, Brie berputar di udara sebelum mendarat di salah satu batang pohon.

"Senang melihatmu masih hidup, Casey," sapa Magnus, menatap tajam pada pria paruh baya di dekatnya. "Dan ayahmu."

"Dia tidak bersalah," bela Casey, membentuk barrier di antara Occultis dan ayahnya yang hanya memandang kosong. "Ayahku berada di bawah pengaruh Imperius ...."

"Casey, apa yang kau lakukan?" tanya Will, Si Botak, saat Casey mengacungkan tongkat sihirnya ke wajah Magnus.

".... olehmu, Dissentum yang sebenarnya." sambung Casey. Dia menatap lawan di depannya dengan tajam.

"Bloody hell," gumam Gilbert.

Will tampak ingin memprotes, kemudian tercengang saat melihat rekannya hanya menyunggingkan senyum miring. Magnus melangkah mundur perlahan, sama sekali tidak terlihat gentar oleh ujung tongkat Casey yang mengancam, kemudian bergabung ke kelompok Dissentum.

"Tidak," geleng Will. Beberapa Auror lain ikut terkesiap, tapi tongkat mereka sudah siap.

"Ya," angguk Nicholas. "Seandainya aku lebih cepat menemukan bukti. Tapi aku senang kita bertemu dalam situasi ini, Magnus Backstorm. Pertarungan ini akan memuaskan."

Magnus berdecak malas. "Aku sempat menghargai prinsip kuatmu yang menolak menjadi Auror. Kepribadian dan tekadmu cocok bergabung ke kelompok kami, seandainya kau tidak dipengaruhi teman Auror-mu yang keras kepala."

"Maksudmu, Violette yang kau kurung dan siksa," desis Nicholas. Kemarahan membara dalam matanya.

"Violette?" Beberapa Auror menoleh dengan terkejut pada gadis kurus yang berdiri di belakang Nicholas.

"Violette pernah melihat wujud asliku, jadi harus kutahan. Kami tidak akan pernah menghukumnya jika ia tidak menyerang dan membunuh beberapa penjaga." Ia mengibaskan sebelah tangan seakan baru saja mengaku telah mencuri permen. Beberapa Occultis yang menangkap pergerakan tersebut sebagai ancaman mengacungkan tongkat sihir mereka, sehingga para Dissentum mulai bersiaga menyerang sebelum Magnus memberi isyarat untuk berhenti.

"Persepsi keliru mengenai Dissentum menggerogoti pikiran kalian bagai racun tanpa penawar. Pernahkah kau berpikir berapa banyak Dissentum yang terbunuh dibanding Occultis? Kami tidak membunuh. Kami mempertahankan diri. Para Occultis lah penjahat sebenarnya, menggunakan Kementerian sebagai tameng besar yang membenarkan tindakan mereka," sambung Magnus.

"Kalian tidak membunuh. Tapi lihat apa yang kalian lakukan pada ayahku, Violette, kemudian aku!" seru Casey.

"Ayahmu, Casey, dulu adalah seorang Dissentum---"

"TIDAK!" bantah Casey. Brianna terkejut, ia tidak pernah melihat Casey semurka ini.

"Kau tahu kalau aku sudah mengenalnya sejak kau belum lahir. Dia sudah bergabung ke Dissentum saat menjadi Auror, dan melakukan beberapa hal untuk kami. Tapi Seamus---ayahmu---terlalu pengecut. Ia memiliki prinsip Dissentum, tapi takut kehilangan posisi Kepala Auror-nya. Saat dia memutuskan berubah pikiran, aku membiarkannya. Kemudian ternyata dia juga berniat mengkhianatiku dengan membocorkan semua informasi kami. Aku terpaksa memberinya hukuman dan memperbaiki ingatannya karena dia juga tahu wujudku yang sebenarnya."

"Siapa dirimu yang sebenarnya?" tanya Casey tajam.

Magnus hanya tersenyum, bibirnya tertarik sedemikian rupa sehingga bekas luka di sisi wajahnya terlihat semakin mengerikan. Dia tidak menjawab pertanyaan Casey, lalu merentangkan tangan ke semua orang di hadapannya. "Tujuanku mengumpulkan kalian adalah ingin melakukan perjanjian gencatan senjata. Mari kita hentikan di sini. Casey bisa pulang, bersama Violette dan ayah pengkhianatnya, serta semua tahanan di sini. Pertikaian Dissentum dan Occultis berakhir. Kedua golongan menjalankan kegiatan masing-masing tanpa diganggu satu sama lain."

"Hanya jika kalian berhenti mencoba menyebarkan dunia kita pada para muggle," ucap Will, "kau paling tahu, Magnus, kalau itu melanggar salah satu aturan utama dunia sihir."

"Justru karena aku paling tahu seluruh seluk beluk aturan Kementerian Sihir," dengus Magnus, "maka aku mengerti semua kecacatannya. Occultis selalu berpikir bahwa diri mereka benar. Mengapa kita harus hidup bersembunyi di antara muggle? Setengah kehormatan kita sebagai penyihir hilang jika para muggle tidak mengakui keberadaan kita. Ribuan tahun yang lalu, dunia ini milik penyihir. Sekarang kita dipaksa bertoleransi dengan budak kita."

Casey menggeleng tidak setuju. "Muggle tidak sama dengan peri rumah."

"Pada dasarnya, Muggle bahkan lebih rendah dari peri rumah," timpal Magnus kalem.

"Manusia tidak sesederhana yang kau kira." Beberapa kepala spontan menoleh pada Brianna yang bersuara. "Tanpa tongkat sihir, kau tidak ada bedanya dengan mereka."

"Tidak ada hak bagi Muggle untuk berbicara." Salah satu Dissentum meludah kasar ke tanah.

Sebelum Brianna sempat membantah, Casey sudah menggenggam tangannya sambil berseru keras, "Hentikan. Dissentum akan berakhir hari ini juga." Masih menatap tajam ke pihak lawannya, Casey berbisik pada Brianna, "Dengarkan aku, bawa Violette dan para tahanan menjauh sementara aku mengirim pesan ke kementerian."

Tidak ada waktu bagi Brianna untuk menjawab. Tanpa aba-aba, pada detik berikutnya Will meluncurkan mantra pembius pada Magnus, yang berhasil ia tangkis sebelum mengirim serangan balik yang cepat. Dengan semangat, penyihir Dissentum mulai ikut melancarkan berbagai kutukan, dibalas oleh para Auror. Peperangan pecah di antara mereka.

"Revorus Dissentum!" teriak Magnus. Lusinan, bahkan puluhan anggota Dissentum tiba-tiba ber-Apparate di tengah kekacauan, menambah jumlah mereka hingga berkali-kali lipat.

Brianna menyaksikan lumba-lumba perak yang meluncur dari ujung tongkat sihir Casey, yang ia ketahui sebagai Patronus pembawa pesan, kemudian melesat cepat ke hutan dan menghilang di balik pepohonan. Keraguan menyusup ke dalam hatinya saat ia hendak meninggalkan kekasihnya, tapi Brianna tidak membuang waktu lagi. Dia berlari ke arah Violette yang tak berdaya tanpa tongkat, menarik gadis itu menjauh, kemudian berseru kepada kumpulan tahanan yang berlindung kebingungan di belakang para Auror.

Mengeluarkan Kompas Kabur dengan panik, Brianna memberi isyarat pada mereka untuk mengikutinya. Ia melompat ketika sebuah kilatan oranye yang mengarah padanya meledak di depan sepatunya. Kilatan lain menyusul, yang ditangkis oleh mantra pelindung Nicholas. Sambil berlari, Brianna mengarahkan tongkatnya dengan putus asa, tidak tahu siapa yang harus ia serang karena kurang mengenal mana lawan dan kawan.

"Stupefy!"

Brianna mencoba menyerang Magnus yang sedang berduel dengan Will. Pemimpin Dissentum itu berhasil menangkis dengan kibasan cepat tongkat sihirnya, kemudian tubuhnya berbalik menghadap Brianna setelah menumbangkan Will.

Casey bergerak cepat, dia menghadang Magnus dengan tongkat sihir mengancam. Segera saja pria itu menjadi lawan duelnya.

Ketika mereka sudah keluar cukup jauh dari lingkaran duel, Brianna berhenti sejenak. Dia menatap kedua mata Violette yang lelah, lalu memindahkan Kompas Kabur ke telapak tangannya yang tercengkram erat.

"Violette, bawa para manusia pergi. Aku akan tinggal. Para keturunan raksasa dan serigala juga tinggal." Brianna mendongak pada setengah raksasa, lalu menghitung jumlahnya. Ada lima. Tidak banyak, tapi bantuan sedikit apa pun lebih baik. Para manusia serigala, dia tidak bisa menebak yang mana karena mereka semua berwujud manusia, seingatnya ada beberapa. Brianna mengeratkan tongkat dalam pegangannya untuk mengumpulkan keberanian, kemudian memulai pidatonya.

"Semuanya, aku butuh bantuan kalian. Pertempuran yang kalian lihat tadi adalah pertempuran antara Occultis dan Dissentum. Aku tidak tahu apakah kalian termasuk ke golongan mana, tapi ini tidak akan menjadi pertempuran golongan bagi kalian. Para Dissentum adalah orang-orang yang mengurung kalian di penjara yang gelap dan menyiksa. Hanya ada satu cara untuk membalas kebebasan yang telah mereka renggut dari kalian. Kalahkan Magnus. Jika ia menang, kita semua kembali berada dalam bahaya."

Selama sesaat, tidak ada yang menjawab, bahkan Violette hanya mematung. Dari posisi yang lebih tinggi, Brianna dapat menyaksikan pertempuran yang tidak seimbang di bawah mereka. Jumlah Dissentum hampir tiga kali lipat lebih banyak dan Casey, yang kini dibantu Nicholas, terlihat kewalahan melawan Magnus.

Suara geraman mengalihkan perhatian Brianna. Dia menatap beberapa manusia serigala yang berubah wujud, menyeringai dengan semangat yang menyala di mata tajam mereka. Tersenyum, Brianna menghitung dalam hati jumlah mereka. Delapan.

"Kami akan tinggal," kata seorang gadis cantik berambut perak yang melangkah maju, diikuti kembarannya.  "Mereka akan menerima kemarahan kami."

Dua Veela. Brianna heran kenapa dia tidak menyadari kehadiran mereka sejak tadi. Selain memiliki kemampuan memikat, Veela dapat mengeluarkan bola api dari tangannya, jika mitos itu benar.

"Aku adalah Vampir." Seorang pria pucat dengan mata merah mengerikan ikut maju. "Dua kali lebih cepat, kuat, dan kebal dari sihir."

"Brianna," panggil Violette ragu seakan tidak yakin bahwa itu namaku, "tidak ada yang lebih menyesal dan malu dariku jika tidak tinggal dan berjuang bersama kalian."

Brianna ingin membalas kalau Violette malah akan menyusahkan dengan melemparkan diri ke dalam bahaya tanpa tongkat sihir, tapi itu akan menyinggung perasaannya, terlebih Violette dulu adalah Auror.

"Tidak, Violette," geleng Brianna. "Casey, terutama Nicholas, tidak akan menyetujuinya dengan kondisimu sekarang. Satu-satunya perjuangan yang bisa kau berikan adalah bawa para Muggle dengan panduan kompas ini."

Sedikitnya ada sepuluh tahanan yang merupakan manusia biasa, dan sebagian dari mereka terdorong untuk mengorbankan diri. Brianna harus meyakinkan mereka untuk pergi, lalu memaksa Violette cepat-cepat membawa mereka kabur.

Violette akhirnya mengalah. Brianna memandang kepergian mereka, kembali menekan tongkat sihir dengan jantung bertalu-talu setelah sadar bahwa ini adalah gilirannya bertindak. Ramuan Felix Felicis pasti sudah memudar. Dia berharap sekali ada mantra yang dapat menghilangkan rasa paniknya.

"SERANG!" raung salah satu raksasa setinggi hampir tiga meter, diikuti rekan-rekannya. Tanpa diperintah, pasukannya bergerak cepat ke arena pertempuran, dan Brianna harus berlari supaya tidak tertinggal. Suara hentakan langkah mereka di atas tumpukan salju tebal perlahan memudarkan kegelisahan dalam diri gadis itu.

Raksasa pertama yang menghampiri Magnus dihadang dua penyihir. Laki-laki besar itu mengibaskan tubuh si penyihir dengan mudah, tapi kutukan yang dilontarkan penyihir lain merepotkannya. Sebagian Dissentum menyadari ancaman baru yang berpusat pada pimpinan mereka, kemudian meninggalkan Auror untuk melawan manusia serigala yang kini mengeroyoki Magnus.

Casey terpana menatap kedatangan pasukan baru. Ia sempat melirik Brianna tidak setuju, tapi tidak mengucapkan apa pun karena Mildred menyerangnya.

"Di mana Violette?" teriak Nicholas  sambil mengirim kilat merah ke Mildred yang ditangkis dengan marah oleh wanita itu.

"Ke tempat aman," balas Brianna.

"Pelan-pelan, Sayang. Sungguh memalukan bahwa kalian butuh dua orang pria untuk melawan satu wanita," decak Mildred meremehkan.

"Mari, satu lawan satu." balas Casey. "Setelah saudaramu mati, seharusnya kau sadar kalau nyawamu tidak akan selamat di tanganku."

Mildred hanya menyeringai lebar, seperti kucing jahat. "Kita lihat saja. Mazelle sudah tidak sabar menunggumu di sana."

"Awas!"

Brianna terlalu sibuk memerhatikan Casey yang berduel sehingga tidak sadar ada makhluk yang menyerangnya dari belakang. Bahunya pasti sudah terkoyak seandainya Nicholas tidak melancarkan kutukan beku pada serigala hitam kini terjatuh di atas salju.

Serigala. Brianna berbalik dan mengedarkan pandangan, gelombang kengerian menjalar dari punggung hingga kepalamya saat mendapati kawanan serigala berbalik menyerang para Auror.

Para Dissentum sudah menyihir mereka.

Serigala hitam di depannya bangkit dengan cepat sambil mengibaskan kepalanya. Ia membuka rahang dengan lebar, memamerkan taringnya yang jorok dan tajam, siap beraksi.

"Petrificus Totalus!"

Kali ini si serigala lebih cepat pulih, serangan Brianna nyaris tak berefek. Makhluk itu melompat tinggi ke arahnya, yang dielak Brianna dengan menjatuhkan diri sambil berguling panik di atas salju.

"Stupefy!" Meleset.

"Stupefy!" Serangan Nicholas berhasil melumpuhkan serigala itu. Dia berdecak, mengusap darah yang mengalir dari luka pipi kirinya. Ada dua serigala lain yang terkapar di depannya. "Kau tidak siap bertempur."

Brianna tidak sempat mendebatnya. Sekumpulan penyihir Dissentum tiba-tiba menghampiri mereka, membentuk lingkaran yang memerangkap Brianna dan Nicholas. Brianna berusaha bangkit, tidak sempat menghitung jumlah mereka karena beberapa di antaranya mulai menyerang.

"Expelliarmus!" Serangan pertama tertuju pada Brianna yang berhasil menangkis, menciptakan ledakan salju kecil di dekat sepatunya.

Berbagai kilat dalam bermacam warna menyusul. Brianna terlalu kewalahan untuk memikirkan serangan balasan. Dia terus menyuarakan mantra pelindung, lalu entah bagaimana berhasil menciptakan barrier di belakang mereka sehingga Nicholas lebih fokus pada lawan di depannya. Gadis itu merasa seluruh tubuhnya sakit saat para Dissentum menyerang mantra pelindungnya. Dia berusaha mempertahankan kedua kakinya yang melemah, dan sesaat dia berpikir akan pingsan sampai tiba-tiba sebuah bola api melesat di depannya, tepat di belakang penyihir Dissentum.

Dua penyihir tumbang sekaligus oleh serangan bola api. Formasi lingkaran mereka rusak, dan sekarang mereka berkumpul untuk menghadapi mimpi buruk baru dalam bentuk sepasang burung elang raksasa dengan kepala wanita.

"Harpies," gumam Nicholas. "Transformasi dari Veela yang marah."

Terbiasa dengan arena pertempuran, refleks Brianna bekerja semakin baik saat kilatan merah hampir meledakkan kakinya. Dia berbalik, menatap Gilbert yang melawan dua Dissentum wanita sekaligus, lalu mengirim pelindung untuknya tepat sebelum cahaya hijau menusuk bahu besar pria itu.

"Makasih!" teriak Gilbert. Dia tidak sempat menatap Brianna, sibuk melumpuhkan salah satu lawannya yang bertubuh sangat tinggi, kemudian menampar satunya lagi dengan tangan kosong. Tampaknya dia sudah malas menggunakan tongkat, tapi malah membuahkan hasil. Kedua lawannya tumbang.

"Crucio!"

Seruan nyaring itu membuat Brianna menoleh cepat ke sumber suara. Sambil berteriak, dia berlari ke arah Casey yang mengerang keras. Tubuh Mildred tergeletak tak bernyawa di dekat kekasihnya, dan sekarang Magnus berdiri dengan ujung tongkat terarah pada Casey yang kesakitan.

"Casey!" seru Brianna sambil menghampirinya. Casey mengejang di atas salju, dan tongkat sihir di tangannya terlepas. Kutukan penyiksa itu membuat Casey kesulitan bernapas, sampai pria itu mencengkram mantelnya sendiri seakan ingin merobeknya agar udara bisa masuk.

"Incendi--Ah!" Tubuh Brianna terhempas keras ke atas salju saat Magnus menangkal serangannya dengan mudah. Kibasan jubah Pemimpin Dissentum itu bagai tangan raksasa tak kasat mata yang menamparnya.

"Petrific--" Brianna terlempar satu meter ke belakang sebelum sempat menyelesaikan mantranya. Seluruh tulangnya seperti patah semua.

"Hen ... tikan," kata Casey susah payah. Meskipun berada di atas bantalan salju, kepalanya dibanjiri keringat, dan urat nadi tercetak jelas di lehernya.

"Stupefy!" Nicholas mengambil alih, sehingga mau tak mau Magnus mendapat lawan baru.

Kutukan penyiksa pada Casey terhenti, tapi pria itu masih terbaring tak berdaya. Perlahan, dia merangkak mendekati Brianna yang juga tertatih menghampirinya.

"Setengah Dissentum sudah tumbang," kata Brianna, mencoba menghibur kekasihnya yang tampak ingin pingsan. Casey terlihat luar biasa kacau, dengan bengkak menutupi sebelah matanya dan luka di balik sobekan jubah di bawah bahu. Bersama, mereka menyaksikan Nicholas yang berduel dengan Magnus. Tongkat sihir mereka menari di udara, mengeluarkan kilatan yang saling beradu.

"Sectumsempra!"

"Protego!"

"Flipen-"

"Expelliarmus!"

"Petrificus Totalus!" Nicholas balas menyerang.

"Avada kedavra!"

Darah Brianna membeku saat cahaya hijau keluar dari ujung tongkat Magnus. Nicholas berputar tepat waktu, sebagai gantinya sebatang kayu mati meledak di sebelah kakinya. Magnus tidak menunggu untuk mengirim kutukan berikutnya. Sekali lagi Nicholas berhasil mengelak, tapi serangan Magnus semakin cepat dan tidak ampun.

"Volnictura," bisik Casey. Dia meraih tangan Brianna dalam genggaman lemah. Saat Brianna menatapnya bingung, dia melanjutkan. "Gunakan mantra itu."

Brianna tidak pernah mendengar mantra itu, padahal dia sudah menghapal habis semua mantra di buku Harry Potter, bahkan mantra-mantra remeh yang tidak pernah disebutkan di buku, tapi tertera di website fandom Harry Potter. Meski begitu, dia tidak membuang waktu.

"Volnictura!"

Kilatan kuning keemasan meluncur dari ujung tongkat Brianna, mengenai bagian kaki Magnus hingga pria itu terjatuh dengan lutut tertekuk. Nicholas menggunakan kesempatan itu untuk melucuti tongkat Magnus, lalu menciptakan lilitan tali di tubuhnya yang menahannya kabur.

Sisa anggota Dissentum tampak bersiaga untuk melawan Nicholas, tapi langkah mereka terhenti saat tiba-tiba belasan anggota Kementerian yang menerima pesan Casey akhirnya muncul serentak di udara kosong.

Pertempuran berhenti. Dissentum kalah.

----------

⚠️PERHATIAN⚠️

JANGAN LANGSUNG SCROLL
PILIH PART
Epilog (Alt-II)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top