Bab 23. Pertarungan Akhir (Alt-I)

"Violette, Bri, bawa para tahanan ke tempat aman," bisik Casey.

"Aku tetap di sini," kata Brianna tegas.

"Kalian akan kalah jumlah!" seru Violette.

"Tidak lagi." Casey mengacungkan tongkat sihirnya dan mengirim bunga api merah ke udara, sehingga beberapa detik kemudian, belasan Auror yang Brianna lihat di bar kemarin muncul di dekatnya. Seolah mengerti situasi, Brie berputar di udara sebelum mendarat di salah satu batang pohon.

"Senang melihatmu masih hidup, Casey," sapa Magnus, menatap tajam pada pria paruh baya di dekatnya. "Dan ayahmu."

"Dia tidak bersalah," bela Casey, membentuk barrier di antara Occultis dan ayahnya yang hanya memandang kosong. "Ayahku berada di bawah pengaruh imperius. Dissentum yang sebenarnya berada di depanmu, Magnus."

Magnus menoleh pada seseorang yang berjalan di antara Dissentum. "Nicholas Dougherty."

"Nicholas!" seru Violette, terlihat putus asa dalam cengkraman Casey.

"Will, bawa pergi Violette dan yang lain ke Kementerian sampai kami kembali," perintah Casey pada Si Botak, mengedikkan kepala ke raksasa dan manusia-manusia lain di paling belakang.

"Violette?" Beberapa Auror menoleh dengan terkejut ketika Will membujuk Violette untuk ikut dengannya. Para Dissentum mengangkat tongkat sihir mereka saat para tahanan pergi, kemudian ditahan oleh pemimpin mereka.

"Kali ini aku tidak mengharapkan pertumpahan darah," kata Nicholas datar.

"Kau sudah melakukannya dengan menculik Casey dari kami, Nicholas," desis Magnus.

"Aku hanya ingin sepupuku tahu apa yang kurasakan saat ia membunuh ayahku," jawabnya. Ia mengibaskan sebelah tangan seakan baru saja mengaku telah mencuri permen. Beberapa Occultis yang menangkap pergerakan tersebut sebagai amcaman mengacungkan tongkat sihir mereka, sehingga para Dissentum mulai bersiaga menyerang sebelum Nicholas memberi isyarat untuk berhenti. "Tapi itu alasan sampingan," lanjut Nicholas. "Tujuanku mengumpulkan kalian adalah ingin melakukan perjanjian gencatan senjata."

"Ayahmu memang seoarang Dissentum, Nick," kata Casey, "tapi kau tidak harus menjadi sepertinya!"

Nicholas mendengus. Tangannya masih menenteng koper coklat, dan Brianna bertanya-tanya apakah sangkar Brie masih di dalam. "Persepsi keliru mengenai Dissentum menggerogoti pikiran kalian bagai racun tanpa penawar. Pernahkah kau berpikir berapa banyak Dissentum yang terbunuh dibanding Occultis? Kami tidak membunuh. Kami mempertahankan diri. Para Occultis lah penjahat sebenarnya, menggunakan Kementerian sebagai tameng besar yang membenarkan tindakan mereka."

"Aku tidak akan membahas itu, Casey. Para Auror dan ayahmu pun kulepaskan jika kalian mengikuti kemauanku," lanjutnya. "Pertikaian Dissentum dan Occultis berakhir di sini. Kedua golongan menjalankan kegiatan masing-masing tanpa diganggu satu sama lain."

"Hanya jika kalian berhenti mencoba menyebarkan dunia kita pada para muggle," ucap Magnus, "karena itu melanggar salah satu aturan utama dunia sihir."

"Lihat, lihat," dengus Nicholas. "Itulah yang baru saja kujelaskan, Magnus, kalau Occultis selalu berpikir bahwa diri mereka benar. Mengapa kita harus hidup bersembunyi di antara muggle? Setengah kehormatan kita sebagai penyihir hilang jika para muggle tidak mengakui keberadaan kita."

"Sebagai penyihir, kau tentu tahu konsekuensinya," balas Magnus kalem.

"Sebagai penyihir yang lebih banyak menghabiskan waktu di dunia muggle, aku memiliki cara untuk mengatasi segala konsekuensinya." Nicholas tersenyum miring.

"Kalian hanya ingin menguasai muggle ...."

"Seperti penyihir menguasai peri rumah."

"Manusia tidak sesederhana yang kau kira, Nicholas." Beberapa kepala spontan menoleh pada Brianna yang bersuara. "Tanpa tongkat sihir, kau tidak ada bedanya dengan mereka."

Nicholas menatap Brianna dengan wajah datar. Berbagai bayangan tentang Nicholas yang duduk di ruangan penuh bau cat, ketika Brianna pertama kali menemuinya, terlintas di kepala gadis itu. Brianna sama sekali tidak menyangka kalau saat itu ia sedang berhadapan dengan penculik Casey yang sebenarnya.

"Jika kami ingin hidup berdampingan dengan mereka, sehingga para muggle menyadari kedudukan mereka yang sebenarnya, apa itu salah?" tanya pria itu.

"Itu bukan hal yang benar," lirih Brianna. Jika Brianna benar-benar muggle, dan mendapati dunia sihir adalah nyata sementara ia bukan bagian darinya, lebih baik dia tidak mengetahuinya sama sekali.

"Hentikan," kata Magnus tajam. "Dissentum akan berakhir hari ini juga."

Tanpa aba-aba, Magnus meluncurkan mantra pembius pada Nicholas, yang berhasil ia tangkis sebelum mengirim serangan balik yang cepat. Dengan semangat, penyihir Dissentum mulai ikut melancarkan berbagai kutukan, dibalas oleh para Auror. Peperangan pecah di antara mereka.

Brianna melompat menghindari kilat merah hingga tanah salju di bawah sepatunya terciprat dalam ledakan kecil. Bersama Auror lain, dia berlari menembus barisan Dissentum, tapi alih-alih menyerang, Brianna menciptakan mantra pelindung di antara penyihir yang berduel.

"Nicholas!" seru Brianna, menghampiri pria yang baru saja menumbangkan seorang Auror. Nicholas menoleh pada gadis itu dengan tongkat siaga. Brianna sadar, kali ini mereka tidak sedang latihan duel, dan Nicholas bisa saja mengalahkannya dengan mudah. "Aku tidak ingin membunuh orang lagi setelah Mazelle."

"Aku tidak memintamu membunuhku," dengusnya.

"Tapi itu akan terjadi jika aku terpaksa mempertahankan diri." Merasa berat hati, Brianna mengangkat tongkat sihir ke arahnya.

Nicholas menangkis serangan di belakangnya seakan memiliki mata tambahan di belakang, tapi tatapannya tetap tertuju pada mata cokelat Brianna. "Simulasi duel kemarin seharusnya menunjukkan dengan jelas sejauh mana kemampuan kita."

"Aku minum Ramuan Keberuntungan." Brianna terkesiap saat tekanan angin yang tiba-tiba muncul mendorongnya hingga terjatuh, bersamaan dengan kilat keemasan yang lewat di atas kepala gadis itu sebelum meledak dalam bunga api kecil dalam kibasan tongkat sihir Nicholas.

"Jangan lupa, Brianna, begitu pun denganku."

"Expelliarmus!"

"Protego!" serunya bersamaan dengan kilatan merah yang muncul dari ujung tongkat Brianna, hentakan dari mantra pelindungnya membuat bahu gadis itu menghantam salju di tanah. "Seranganmu masih mudah kubaca."

Terengah, Brianna bangkit di hadapan Nicholas. Dia menoleh ke sekitar, mendapati setidaknya setengah anggota Dissentum mulai terpojok, dan beberapa tak sadarkan diri. Kedua tangan Brianna yang tidak dilindungi sarung terasa kebas. "Selama ini aku selalu berterima kasih padamu karena telah membawaku ke dunia sihir."

"Kau seperti Casey, terlalu lembek dan mudah mempercayai orang," kata Nicholas, "satu-satunya alasanku membiarkanmu ikut karena aku ingin menjadikanmu pengganti ayah Casey yang kulepas. Setelah kondisi ayah Casey, kematianmu akan berdampak besar padanya."

"Kau tidak benar-benar menginginkan kematianku." Brianna menggeleng.

Nicholas memiringkan kepala, ekspresi wajahnya masih datar. "Kelihatannya."

"Kau tidak ingin membunuh," kata Brianna. "Dissentum tidak membunuh, bukan? Kita bisa mengakhiri ini. Menghentikan korban jiwa yang berjatuhan. Kita bisa menyelesaikannya dengan cara yang jauh lebih baik."

"Kenyataannya, kau terlalu naif," balas Nicholas dingin. "Kenyataannya, Brianna, aku pernah merencanakan kematianmu." Ujung tongkat sihir Nicholas terangkat di depan wajah Brianna.

Dia menurunkan tongkatnya lagi, menghela napas. "Dissentum tidak hanya kami. Kau tidak tahu kalau ada beberapa kelompok lain---"

"Stupefy!"

Nicholas mengibaskan tongkat sihir untuk menangkal mantra yang tertuju padanya. Menoleh pada Casey yang masih terus memberikan serangan, Nicholas melawan sepupunya. Tongkat sihir mereka menari di udara, mengeluarkan kilatan yang saling beradu.

"Sectumsem-"

"Protego!" Brianna menciptakan pelindung untuk membantu Casey.

"Crucio!"

"Casey!" seru Brianna saat Casey terjatuh sambil mengerang keras. Tubuhnya mengejang di atas salju, dan tongkat sihir di tangannya terlepas. Kutukan penyiksa itu membuat Casey kesulitan bernapas, sampai pria itu mencengkram mantelnya sendiri seakan ingin merobeknya agar udara bisa masuk. "Incendi-"

"Protego!"

"Flipen-"

"Expelliarmus!"

Tongkat sihir Brianna meluncur dari tangannya dan melayang ke dalam genggaman Nicholas. Brianna merangkak mendekati Casey yang masih mengerang, tatapan gadis itu lurus ke mata gelap pria yang mengarahkan ujung tongkat sihir padanya.

Alih-alih menyerang seperti yang dia duga, Nicholas malah melempar tongkat sihir Brianna ke atas salju, kemudian berbalik untuk menghadapi Magnus yang meluncurkan mantra penghasil api.

"Petrificus Totalus!" Nicholas balas menyerang.

"Avada Kedavra!"

Cahaya hijau keluar dari ujung tongkat Magnus, menuju ke leher Nicholas yang melambaikan tongkat sihir. Seperti dalam adegan lambat, Brianna menyaksikan Nicholas berputar untuk menghindari mantra pembunuh tersebut, tapi ujung kilatan hijau mengenai mantelnya sebelum pria itu membaur bersama pusaran udara.

Mantel Nicholas terjatuh di atas tumpukan salju, baik jiwa maupun raganya sudah lenyap.

-----------------

⚠️PERHATIAN⚠️

JANGAN LANGSUNG SCROLL
PILIH PART

Epilog (Alt-I)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top