Bab 22. Pelarian (Alt-I)

"Ms Rowling," seru Brianna, terkesiap. Ia menurunkan tongkat sihirnya dan membungkuk canggung. "Sebuah kehormatan."

"Senang bisa bertemu dengan penerobos markas ini," balasnya, memandang nama Brianna di atas perapian. "Namamu sudah muncul sebagai calon tamuku sejak beberapa jam yang lalu."

"A-aku ...." Brianna terbata. Dia mencoba memikirkan kata-kata yang pantas diucapkan, lalu akhirnya tidak bisa membendung pikiran yang muncul di kepalanya lagi. "Anda adalah seorang Dissentum."

J. K. Rowling menyihir sebuah kursi berbantal tipis di depan mejanya, kemudian memberi isyarat pada Brianna untuk duduk selama ia memunculkan secangkir teh. "Itu adalah hal yang kau ketahui dari surat kabar, buku Seribu Penyihir Paling Berpengaruh, kartu-kartu Cokelat Kodok, dan data Kementerian Sihir," katanya setelah Brianna duduk perlahan. "Kenyataan juga membuatmu berpikir kalau dunia sihir adalah sesuatu yang hanya ada di novel Harry Potter, sampai kau mengalaminya sendiri. Terkadang segala sesuatu tidaklah seperti yang kita lihat, Brianna Ashton."

"Apa kau adalah Occultis yang menyamar?" tanya Brianna.

"Secara resmi aku bukan Occultis, tapi Dissentum juga tidak memilikiku," katanya. Dia menunjuk mesin tik yang mengetik sendiri di meja lain dengan tongkat sihir hingga mesin itu berhenti. Kertas-kertas yang berserakan tersusun rapi di sampingnya. "Aku hanya penyihir yang ingin mengenalkan dunia kita pada muggle, sekaligus menutupinya dengan caraku sendiri. Menurutmu, Ms Ashton, apa yang para muggle pikirkan jika kau bercerita kalau kau baru saja membeli tongkat sihir asli?"

"Benar, itu akan menjadi sebuah lelucon," sambung Rowling sambil memutar pajangan Deathly Hallows yang besar di atas mejanya. Wanita itu mengambil tongkat sihir yang menempel tegak di tengah besi perak segitiga itu dan mematahkannya. "Karena di dunia muggle, tongkat sihir tidak memiliki inti. Reparo." Tongkat sihir palsu yang patah itu kembali menyatu ke semula.

"Occultis tidak pernah mengerti dengan pandanganku. Mereka menganggap Harry Potter adalah ancaman besar untuk dunia sihir, sehingga berusaha memusnahkannya. Ya, Ms Ashton, aku tahu kau teringat dengan Voldemort." Rowling tersenyum singkat, sementara Brianna menunduk tersipu. "Kementerian mengusahakan segala cara untuk mencegah penerbitan novel itu. Oleh karena itulah aku terpaksa meminta bantuan Dissentum. Golongan Dissentum menerimanya dengan cara pikir mereka sendiri, dan aku mencapai apa yang kuinginkan."

"Aku selalu bersyukur kau pernah melahirkan Harry Potter, Ma'am," kata Brianna sungguh-sungguh. "Itu adalah hal terbaik yang pernah memenuhi imajinasiku, bahkan setelah aku sendiri benar-benar menginjak dunianya. Keberhasilanku melawan kutukan kematian terinspirasi dari tulisan Anda, yang memberiku kesempatan untuk berada di sini dalam keadaan utuh."

Rowling melebarkan matanya pada Brianna, tampak tertarik sekaligus penasaran. "Expelliarmus memang merupakan satu-satunya mantra yang bisa melawan kutukan itu, tapi hanya bisa bekerja jika kedua tongkat memiliki inti yang sama."

"Saya benar-benar beruntung karena bulu di dalam tongkat saya dan Mazelle secara kebetulan berasal dari burung phoenix yang sama," ucap Brianna, tertegun.

"Kau benar-benar ditakdirkan untuk segala ini, Ms Ashton."

"Ramuan Felix Felicis lah yang membawaku sampai sejauh ini, Ma'am," balas Brianna merendah.

"Sebagian, ya," kata Rowling. Sebuah senyuman tersimpul di wajahnya. "Kau pikir kenapa kau bisa masuk ke ruangan dengan segel paling aman di markas Dissentum, Ms Ashton? Bagaimana merchandise yang didapat sebagai bonus majalah Harry Potter bisa membuka pintu yang bahkan tidak sulit ditembus oleh sihir hitam? Kalung perak Deathly Hallows yang kau pakai sekarang adalah buatanku. Tampaknya, takdir benar-benar memilihmu untuk membawa kunci itu kepadaku, sebagai pertanda bahwa semua ini akan berakhir."

"Dissentum sudah tumbang." Brianna menyimpulkan, teringat dengan duel di ruangan berkubah tadi.

"Tidak sepenuhnya," ucap Rowling, "tapi akan segera tiba setelah kalian menaklukkan pemimpinnya. Dia lah yang selama ini bersembunyi di ladang lawan, yang diam-diam dan sengaja menuntun kalian ke sini."

"Magnus ...." Suara Brianna tenggelam saat Rowling menggeleng pelan padanya, nyaris seperti seorang guru yang memberi isyarat halus pada murid kesayangannya bahwa jawabannya salah namun tetap menatap penuh harap, tampak yakin kalau muridnya bisa melakukan lebih baik lagi.

Rowling tahu kalau Brianna sudah tahu jawabannya. Brianna juga tahu.

Tapi Brianna sendiri tidak yakin. Selama beberapa saat ia mematung, merasa sulit untuk bergerak. Dia merasa seakan tubuhnya menyusut dan tenggelam jauh dalam bantalan sofa yang kelewat empuk.

"Nicholas Dougherty." Brianna hampir tidak bisa mendengar bisikannya, entah karena suaranya yang lemah atau indra pendengarnya mendadak dipenuhi oleh suara kayu terbakar dalam perapian yang membendung suara-suara lain masuk ke telinganya. "Tapi kukira Dissentum sudah ada sejak lama."

"Tidak banyak yang tahu kalau Bartholomew Dougherty, ayahnya, adalah sang pendahulu sebelum dia dibunuh Casey Dougherty." Rowling mengeluarkan sebuah bola emas kecil seukuran Snitch dari dalam laci meja. "Ini adalah Kompas Kabur," katanya. "Jarum di dalamnya tidak menunjuk ke utara, tapi akan memandumu ke jalan keluar di semua bangunan tertutup. Kau akan membutuhkan ini, Ms Ashton."

"Apakah ... apakah saya bisa mempercayai Anda?" Brianna tidak mengambil Kompas Kabur. Wajah gadis itu masih pucat oleh kenyataan yang baru saja menamparnya barusan.

"Menurutmu, Ms Ashton, apakah Felix Felicis akan sengaja membawamu ke dalam jebakan?" Rowling bertanya kembali. "Pergilah sekarang, markas Dissentum tidak akan bertahan lama lagi."

"Bagaimana dengan Anda, Ma'am?" tanya Brianna saat permukaan dingin kompas itu membebani telapak tangannya.

"Masih ada banyak hal yang harus kau cemaskan dibanding diriku. Cepat, sebelum terlambat."

Brianna beranjak dari kursi, meninggalkan teh yang bahkan belum ia sentuh sama sekali. Sebelum berbelok ke koridor pendek, ia menoleh pada tokoh idolanya sejak kecil itu. "Aku akan menjelaskan semuanya pada Occultis setelah ini," janjinya.

Ketika tiba di dasar tangga, Brianna berpapasan dengan Casey dan seorang pria tua bertatapan kosong yang mengikutinya. Pintu menuju ruang Rowling bergemuruh sebelum tertutup, meninggalkan mereka dalam keheningan yang mencekam, sebab Brianna tidak tahu kata apa yang harus keluar dari mulutnya.

"Aku terpaksa memberi mantra Imperius pada ayahku. Dia tidak ingat padaku dan terus memberontak sedari tadi," jelas Casey. Terdapat luka sabetan baru di sepanjang pipinya. Ia menatap Brianna yang masih terdiam dengan cemas. "Kau terlihat tidak sehat, Bri. Apa yang terjadi barusan?"

"Nicholas," bisik Brianna, kemudian berjalan cepat ke jalan menuju tempat duel tadi setelah tersadar, "dia adalah pemimpin Dissentum, Case."

"Brianna," panggil Casey agak tajam, mengikuti langkahnya, "apa maksudmu?"

"J. K. Rowling memberitahuku. Dia juga memberiku Kompas Kabur."

Casey menahan lengan Brianna agar berhenti. "Kita tidak bisa jatuh ke perangkap Dissentum."

"Rowling bukan Dissentum," bantah Brianna. "Tidak sepenuhnya. Dia memiliki alasan tersendiri di balik tindakannya. Karena itulah Felix Felicis menuntunku ke sana, Case, karena di situ lah aku mengetahui kebenaran yang sesungguhnya."

"Tidak mungkin Nicholas," gelengnya.

"Kau tahu ayah Nicholas adalah pemimpin Dissentum sebelumnya."

"Tapi Nick sama sekali tidak tahu soal itu." Casey menggeleng lagi. "Dia tidak ada hubungannya dengan Dissentum."

"Sama sepertimu, aku juga tidak mempercayainya. Nicholas benar-benar melakukan segalanya dengan sangat rapi." Isakan muncul di sela-sela perkataan Brianna saat ia teringat bagaimana pria itu membawanya ke Diagon Alley, menyelamatkannya berkali-kali, dan mereka bahkan menghabiskan waktu bersama seharian. "Tapi dialah yang mengetahui hubunganmu dengan ayahmu. Dan dia juga yang membawaku ke sini sebelum para Auror Occultis mengikuti jejaknya."

Suara gemuruh yang lebih keras daripada saat pintu tertutup tadi terdengar di sepanjang lorong. Brianna dan Casey bergegas menuju ke ruangan berkubah tadi, menemukan beberapa orang dan setengah raksasa yang kebingungan di sana. Violette menghampiri mereka dengan panik, sebelah lengan jubahnya sobek dan menampakkan luka bakar yang panjang.

"Seluruh Dissentum kabur," kata wanita itu cepat, "Nicholas juga hilang-kurasa untuk menyusul mereka-tapi aku tidak bisa ber-Disapparate."

"Hanya anggota Dissentum yang bisa ber-Apparate dan Disapparate di markas ini," sahut Casey datar.

"Tapi Nick ...." Suara Violette menghilang. "Tidak ...."

Casey menepuk bahu Violette yang menatap liar ke segala arah. "Kau pasti pernah mengetahui sesuatu tentangnya, Violette, jadi dia menghilangkan ingatanmu sebelum mengamankanmu di sini selama dua tahun."

Violette tampak begitu bingung saat tubuh lemasnya dirangkul Brianna. "Tidak, tidak, tidak," bisiknya.

"Kita harus pergi sekarang juga," kata Brianna pada mereka, suaranya agak bergetar. Brie, yang entah muncul dari mana, tiba-tiba bertengger di bahu Casey dan menempelkan kepalanya ke rambut pria itu. Brianna teringat dengan sangkar Brie yang disimpan di koper Nicholas, lalu mencengkram tongkat sihirnya kuat-kuat hingga ujung kukunya menekan telapak tangan. Dia mengeluarkan Kompas Kabur dan membukanya, menyaksikan ujung jarum emas yang tipis itu mengarah ke sebelah kanan.

Lantai batu di sekitar mereka bergetar, disertai gemuruh yang meruntuhkan pasir dan batu-batu kecil dari atap.

"Dengar," teriak Casey pada kumpulan setengah raksasa, manusia serigala yang kembali ke sosok aslinya, dan beberapa orang lain yang terlihat seperti muggle. "Kami bukan Dissentum, bukan musuh. Aku adalah Auror yang akan membantu kalian keluar dari sini. Ikuti petunjuk kami, jangan berjalan secara terpisah!"

Tidak membuang waktu lagi, Brianna memberi isyarat pada Casey sebelum berjalan ke lorong yang ditunjuk Kompas Kabur. Suara dentuman terdengar semakin keras dari arah belakangnya, Brianna tidak tahu apakah itu berasal dari bebatuan yang runtuh atau hentakan kaki para setengah raksasa. Tanpa melambatkan langkahnya, dia berbelok di berbagai pertigaan sesuai petunjuk, menghindari obor-obor yang terjatuh.

Casey mematikan nyala api dari obor jatuh yang membesar tersebut, sesekali melambaikan tongkat sihir ke atas untuk menahan batu-batu besar yang roboh. Mereka sudah melihat setitik cahaya dari luar yang bersinar di ujung lorong saat lantai berguncang semakin hebat. Violette dan Brianna membantu Casey menahan atap bebatuan tersebut sementara rombongan berlari semakin cepat, tapi seolah ada sihir lain yang melawan mereka, atap batu itu akhirnya runtuh menutupi jalan keluar.

"Kita harus mencari jalan lain," desah Brianna saat jarum Kompas Kabur berputar ke arah berlawanan.

"Tidak akan sempat!" raung salah satu pria besar berkepala botak, berjalan maju sambil mengangkat batu besar yang menutup jalan keluar itu dan melemparnya ke samping. Mengikuti manusia setengah raksasa itu, Brianna dan Violette meluncurkan mantra peledak, sedangkan Casey berusaha mencegah reruntuhan lain yang akan terjadi.

Dalam waktu singkat, celah berdiameter dua kaki terbentuk. Mereka memanjat keluar satu per satu, menggunakan sihir untuk menarik beberapa raksasa yang tersangkut, dan akhirnya bernapas lega di tengah dataran salju.

"Expelliarmus!" Tongkat Violette meluncur di udara, berpindah ke tangan seorang penyihir Dissentum yang mendadak muncul di depan mereka. Dia memberikan tongkat itu pada Mildred yang tersenyum miring.

"Sudah cukup main-mainnya," kata Mildred, mengelus tongkat sihirnya sambil melirik penuh kebencian pada Brie. Seakan menyusul, belasan penyihir Dissentum lain ikut ber-Apparate di tengah-tengah mereka.

---------------------

PERHATIAN⚠️

JANGAN LANGSUNG SCROLL.
PILIH PART
23. Pertarungan Akhir (Alt-I)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top