Bab 21. Penyihir Paling Berpengaruh
"Expecto Patronum!" Brianna mendengar beberapa penyihir meneriakkan mantra yang sama saat ia terjatuh di atas lantai batu. Udara dingin menusuk kepala hingga paru-parunya sementara suara kikikan Mazelle di samping terdengar seperti dari kejauhan. Dia menatap Mazelle dengan pasrah, berharap bisa menyentuh ular biru keperakan yang berada di bahu wanita itu.
Masih tertawa, Mazelle sengaja melangkah mundur untuk memberi ruang pada dementor. Salah satu dementor menghampiri Brianna, gadis itu bisa melihat kedua tangan membusuk yang terulur ke arahnya ....
Suara tabrakan itu terdengar lagi. Di sampingnya, Brianna melihat ayahnya tergeletak berlumuran darah, dan kedua matanya melotot. Dia mencium bau rumah sakit, kemudian aroma pemakaman ....
Dementor itu sudah berjarak kurang dari satu meter. Brianna menyaksikan beberapa dementor lain bergabung bersamanya, menukik ke arah Brianna, lalu mereka berbelok.
Mereka berbelok.
Para dementor itu melayang menghampiri kumpulan dementor lain yang mengelilingi seorang pria yang meneriakkan mantra Patronus. Tapi hanya kabut perak biru tipis yang keluar dari ujung tongkat sihir pria tersebut, sementara wajahnya semakin pucat oleh keputusasaan.
"Casey!" teriak Brianna. Ia berlari menghampiri kekasihnya, memikirkan hal-hal menyenangkan yang akan mereka lalui setelah ini. Casey akan selamat, dan mereka akan hidup bahagia sebagai pasangan penyihir, dan melakukan berbagai hal yang dilakukan para penyihir lainnya.
Salah satu dementor berhasil menggapai dagu Casey dan mendekatkan tudung hitam ke wajahnya.
"EXPECTO PATRONUM!"
Telapak tangan Brianna diselimuti rasa hangat saat sebuah bayangan biru keperakan muncul dari ujung tongkat sihirnya. Bayangan itu berputar di udara, membentuk seekor elang besar yang menerjang para dementor hingga mereka terpecah bagai semut-semut panik. Sebagian dementor di ruangan itu sudah kabur, dan sisanya diserang oleh musang keperakan yang merupakan Patronus Nicholas. Penyihir-penyihir Dissentum yang tersisa memundurkan langkah saat para raksasa menghampiri dengan murka. Menggunakan momen kemenangan itu, Brianna berjalan cepat, tongkat sihirnya terulur ke arah Mazelle yang terkejut.
"Crucio!" Mantra Brianna ditangkis oleh kibasan tongkat sihir Mazelle yang sadar tepat waktu. Brianna tidak peduli lagi jika ia menggunakan kutukan tak termaafkan. Wanita di depannya kini harus benar-benar diberi pelajaran.
"Sectumsem—"
"Expelliarmus!"
Tongkat sihir Mazelle hampir meluncur dari tangannya sebelum ia berhasil mencengkram kembali mati-matian. Melangkah memutari Brianna dengan setengah tertatih, dia melontarkan mantra berikutnya. "Avada Kedavra!"
"EXPELLIARMUS!"
Kilatan hijau dari tongkat sihir Mazelle bertemu dengan kilat merah yang dihasilkan Brianna. Brianna menyentakkan tongkat sihirnya saat kedua mata Mazelle melotot ngeri, sampai mantra pembunuh tersebut berbalik dan mengenai wanita itu. Masih dengan membuka mata, Mazelle terjatuh dengan tubuh kaku di atas lantai batu.
Brianna berlutut, mendesah kelelahan. Patronus elangnya hinggap di bahu gadis itu sebelum menghilang. Tidak ada dementor yang tersisa lagi di sana."Itu lah kenapa kau harus membaca novel Harry Potter."
"Bri ...." Seseorang menyentuh bahunya lembut. Brianna menoleh pada Casey yang membantunya berdiri.
"Kita harus mencari ayahmu," kata Brianna.
Mereka kembali berlari menuju undakan turun, kali ini lebih leluasa tanpa halangan berarti. Jalan ini lebih luas dan terang dari semua lorong yang pernah Brianna lewati, tapi gadis itu tetap menggunakan mantra Lumos untuk berjaga-jaga. Casey tidak berbicara sepanjang perjalanan hingga mereka tiba di barisan pintu berpahat lukisan. Masing-masing atas pintu itu memiliki ventilasi selebar jengkalan tangan.
"Patronusmu sangat cantik." Casey membuka suara.
Brianna tersenyum malu-malu. "Aku juga baru melihatnya tadi."
"Kau hebat, Bri. Patronus elangmu menggambarkan sifatmu yang pemberani, yang selama ini tidak kusadari. Aku bangga padamu," katanya.
"Kau juga, Auror," balas Brianna.
"Aku hampir tidak berguna dari tadi."
Merasa tidak enak, Brianna mencoba mengalihkan pembicaraan. "Aku selalu penasaran apa Patronusmu."
"Expecto Patronum!" Sebuah bayangan lumba-lumba biru keperakan muncul dari ujung tongkat sihir Casey. Patronus itu melompat-lompat di sekeliling mereka. "Aku tidak bisa menghasilkan Patronus menggunakan tongkat sihir yang dimiliki orang lain, yang membuatku menjadi sasaran empuk para dementor tadi."
"Sekarang Mazelle sudah mati," kata Brianna.
"Dan tongkat ini menjadi tanpa pemilik," timpal Casey. Dia melambaikan tongkat sihir lagi hingga bayangan lumba-lumba tersebut terbuyar di tengah udara. "Tidak seganas elang," kekehnya.
"Itu imut," aku Brianna, menyunggingkan senyum terpana. Seminggu sebelumnya, dia akan menganggap semua ini sebagai mimpi yang indah. Namun kejadian yang menimpanya beberapa hari ini terlalu nyata. Bahkan Patronus elang yang ia hasilkan tadi.
Gadis itu berhenti di salah satu pintu batu berpahat lambang segitiga dengan lingkaran dan garis tegak di tengahnya. Dia menarik kalung perak dari dalam mantel, lalu meraba lambang pada permukaan pintu yang kasar, serupa dengan simbol pada kalungnya. "The Deathly Hallows."
Casey ikut menghentikan langkah, tatapannya menyiratkan kalau mereka harus buru-buru.
"Aku harus ke sini," kata Brianna tiba-tiba.
"Kenapa?" tanya Casey tidak mengerti.
"Entahlah." Brianna menggeleng. "Tapi ada sesuatu yang membuatku merasa harus ke sini, Case. Kurasa ini efek ramuan Keberuntungan."
"Bri ...."
Brianna menyentuh sisi wajah Casey yang memar. Sama sepertinya, rambut Casey yang tidak terawat selama berhari-hari terasa kasar dan lengket. "Aku akan baik-baik saja. Ada Felix yang melindungiku, ingat?" Dia mencondongkan wajahnya untuk mengecup bibir Casey pelan. "Dan ini sedikit keberuntungan untukmu."
Mengikuti insting Felix Felicis, Brianna melepas kalung Deathly Hallows-nya dan menempelkan benda itu ke depan lambang di pintu. Pintu itu bergeser ke samping, diiringi suara gemuruh bebatuan yang bergema di sepanjang lorong. Brianna dan Casey sama-sama mengeratkan pegangan tongkat sihir, memandang waspada ke sekeliling seandainya ada penyihir atau makhluk yang muncul.
"Aku ikut—"
"Tidak, Case, kau harus segera mencari ayahmu," potong Brianna. Dia menatap ke dalam tangga naik melingkar di dalam pintu yang baru saja terbuka. "Aku akan menyusulmu nanti."
Casey melirik Brianna dengan bimbang sebelum akhirnya berkata, "Kau harus."
Setelah mengangguk mantap pada kekasihnya, Brianna berjalan ke undakan batu rendah dan menaikinya perlahan. Tangga melingkar ini mengingatkannya pada ruang kantor Dumbledore, tokoh fiksi kepala sekolah Hogwarts. Brianna kembali memakai kalungnya, lalu mengarahkan cahaya tongkat pada kaki agar ia tidak tersandung. Jantungnya berpacu oleh adrenalin.
Brianna berhenti setelah setidaknya dua puluh anak tangga, matanya yang terbiasa oleh keremangan obor silau oleh cahaya alami matahari di koridor. Suara seperti orang yang mengetik terdengar dari kejauhan. Ia berbelok di koridor, dan berhenti di ruang kerja persegi dengan sebuah jendela besar yang menampilkan pemandangan hutan bersalju. Seperti aula besar Hogwarts, atap ruangan ini terlihat seolah terbuka. Brianna bisa melihat salju-salju kecil turun dari atas langit, tapi tidak menembus ke dalam ruangan. Perapian bata di salah satu sisinya memberi kesan bahwa kau pun bisa merasa hangat di tengah-tengah salju.
Yang menarik perhatian Brianna adalah, di atas perapian itu terdapat sebuah papan bertuliskan nama dan profil singkatnya. 'BRIANNA JEANINE ASHTON (18), MENGIRA DIRINYA MUGGLE SAMPAI KEKASIHNYA, CASEY DOUGHERTY MENGHILANG, KEMUDIAN MENEMUKAN SURAT HOGWARTS YANG TIDAK PERNAH DITERIMANYA SAAT KECIL'
Namun ada hal yang lebih membuat napas Brianna tercekat lagi, saat ia memandang wajah seorang wanita yang memutar tubuh ke arahnya dari balik meja kerja. Wanita itu memiliki rambut pirang panjang di bawah bahu, dan tersenyum pada Brianna, seperti yang pernah ia lihat di berbagai media cetak selama ini.
Dia adalah Joanne Kathleen Rowling.
-------------------
⚠️PENTING UNTUK DIBACA⚠️
Cerita Bewitched sudah tamat sejak dua yang lalu dan memang tidak akan direncanakan untuk direvisi. Tapi ada satu masalah yang mengganjal sampai sekarang: aku tidak suka dengan ending cerita ini (iya, maafkan aku, aku juga menyesal). Jadi saya memutuskan menulis alternatif ending yang bahagia. Setelah bab 21, cerita ini akan dibagi menjadi dua bagian, yaitu Alternatif I yang mengarah ke akhir tragis dan Alternatif II yang mengarah ke akhir bahagia. Kalian bisa memilih akhir seperti apa yang kalian inginkan sesuai selera.
Jangan dibaca berurutan. Bacalah sesuai pilihan berikut:
1. Untuk akhir tragis yang menyebalkan: pilih bab yang di dalam kurungnya (Alt-I). Contoh: Bab 22. Pelarian (Alt-I), Bab 23. Pertempuran Akhir (Alt-I), Epilog (Alt-I)
2. Untuk akhir bahagia: pilih bab yang di dalam kurungnya (Alt-II). Contoh: Bab 22. Pelarian (Alt-II), Bab 23. Pertempuran akhir (Alt-II), Epilog (Alt-II)
JANGAN MEMBACA ALT-I DAN ALT-II SEKALIGUS, NANTI BINGUNG.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top