Bab 15. Pesta Duel

(Untuk pembaca cerita ini sejak zaman purba disarankan untuk membaca ulang dari awal, karena aku sendiri pun harus begitu saat ingin melanjutkan ini. hehehe. //digampar

abaikan pesan ini jika ingatanmu kuat)      

~○●♢●○~      

Dan segalanya terjadi dengan cepat. Gilbert mendadak bangkit hingga kursi drumnya terjungkal dan menggelinding di belakang. Sebuah tongkat sihir yang agak panjang tergenggam dengan mantap di tangannya, terarah ke Arnold. "Simpan tongkatmu, Dissentum," perintah Gilbert tajam. Lalu ia melirik Nicholas dengan alis terangkat, "Bagaimana kau bisa tahu?"  

Sebuah suara lain menyahut. Brianna menoleh dan mendapati Magnus mengacungkan tongkatnya ke arah Arnold. Beberapa pengunjung bar lain ikut berdiri dari beberapa meja, dan semuanya ikut memegang tongkat. Brianna refleks memalingkan pandangannya ketika matanya tanpa sengaja bertubrukan pada pria jangkung botak. Gadis itu tidak yakin apakah sekarang ia bisa menganggap Occultis sebagai lawan, tapi yang jelas ia tetap tidak begitu suka pikirannya dibaca begitu saja.  

      ~○●♢●○~      


Detik setelah puluhan penyihir muncul bersamaan dalam beberapa titik di udara dalam bar, pekikan duel menggema hingga ke atap kayu. Suara drum yang jatuh dan menggelinding memekakkan telinga, membuat sisa pengunjung yang bukan penyihir menjerit keras dan berlomba-lomba menuju pintu keluar. Arnold mengarahkan tongkat sihirnya pada Brianna. Mantra pelindung yang gadis itu ciptakan hanya mampu menangkis setengah kekuatannya hingga Brianna terhempas ke dinding kayu, persis di bawah pajangan kepala rusa.

"Expelliarmus!" Nicholas berhasil melucuti senjata penyihir gempal tersebut. Menggunakan kesempatan itu, Gilbert segera menghantam wajah Arnold dengan tinjunya yang besar hingga ia pingsan.

"Efek terbiasa melakukan pekerjaan kasar," jelas Gilbert sambil mengangkat bahu, kemudian berbalik untuk melawan penyihir Dissentum yang menyelinap di belakangnya.

Nicholas berhadapan dengan dua Dissentum berjubah hijau tua, satu wanita tinggi dengan cat kuku hitam, sedangkan yang lain pria yang sejajar dengannya, dengan sebelah mata tertutup oleh jahitan. Kilatan cahaya menyambar tubuh Nicholas, tapi berhasil ditangkisnya dengan lambaian tongkat beserta maneuver tak terbaca.

Seorang Dissentum berjanggut kasar lain menghampiri Nicholas dengan tongkat sihir teracung mantap di tangan. Merasa Nicholas akan kewalahan melawan tiga penyihir sekaligus, Brianna bergerak mendekati pria itu, hendak mencoba berduel sebelum kilatan berwarna hijau melintas sesenti di depan tubuhnya dan menghantam rak berisi bir.

Brianna menyaksikan beberapa botol bir yang pecah dan tumpah ke lantai dengan darah berdesir. Jika tangannya maju sedikit lagi, ia akan mati. Mencengkram erat tongkat sihir dengan telapak tangan berkeringat, Brianna menoleh pada seorang penyihir wanita berambut merah menyala yang menyeringai, menerima tantangannya.

"Kau si gadis Casey," serunya di tengah keributan. Wanita itu melangkah mendekati Brianna, terlihat lebih santai dengan tongkat sihir yang ia pelintir di samping tubuh. Ia memiliki tulang rahang yang tegas sampai Brianna hampir mengira kalau penyihir itu adalah laki-laki jika tidak melihat bentuk tubuh di balik mantel tipisnya. "Dari mana kau curi tongkat sihir itu, Muggle?"

"Aku penyihir," balas Brianna defensif. "Tongkat ini memilihku."

"Buktikan," katanya dingin, tepat sebelum melancarkan serangan lainnya. "Sectumsem—"

"Protego!" Brianna berseru, puas melihat wanita itu melompat mundur beberapa inchi. Lawannya belum menyerah, terus melancarkan kilatan beraneka warna lain ke berbagai titik pada tubuh Brianna, hingga gadis itu tidak sempat mengucapkan mantra lain selain untuk melindungi diri.

"Petrificus Totalus!" pekik Brianna setelah menangkis kilatan merah dari tongkat sihir si Dissentum. Serangan Brianna dibalikkan oleh wanita itu dengan kibasan tongkat sihir, dan akibatnya ia terlempar ke bawah rak bir, menimpa pecahan kaca.

Terengah-engah sambil menahan sakit akibat tusukan pecahan kaca di sekujur lengannya, Brianna mengedarkan matanya ke seluruh sudut bar. Nicholas tidak terlihat dari sudut pandangnya, entah tertutup oleh tubuh besar Gilbert yang kini mengangkat drum besar dengan luka di bagian pipi, atau seperti Brianna, tersudut. Gadis itu menengadah ke rak di atasnya saat si penyihir Dissentum menghampiri. Masih mencengkram tongkat sihir, Brianna memfokuskan seluruh energinya pada barisan botol bir tersebut.

"Kau ingin tahu dimana Casey-mu berada, Sayang?" Tawa melengkingnya tidak enak didengar.

Kau adalah penyihir, Brianna, dia mengulang kalimat tersebut dalam hati bagai mantra, kau bisa.

Botol-botol bir beserta papan kayu yang patah terangkat dan melayang di antara mereka. Si penyihir Dissentum terpaku di depan seakan tidak memperkirakan hal tersebut. Menggunakan kesempatan itu, Brianna mengerahkan perhatian pada wanita itu dan mengucap sebuah mantra menyerang yang ia ingat.

"Oppugno."

Bagai prajurit yang dikomando, belasan botol dan patahan kayu menerjang penyihir Dissentum dengan keras, membuatnya menjerit sambil melambaikan tongkat sihir ke segala arah. Wanita Dissentum itu terperenyak dengan luka lecet dan darah di wajah, kemudian bangkit dengan susah payah dengan mata menyala. "Cruc—"

"Protego!" Entah muncul dari mana, tiba-tiba Nicholas mengibaskan tongkat sihirnya pada wanita itu. Pria itu tidak berlama-lama menunggu reaksi lawan untuk melancarkan serangan selanjutnya yang membuat penyihir Dissentum itu akhirnya benar-benar tak sadarkan diri lagi.

Dengan cepat Nicholas membantu Brianna berdiri dengan sebelah tangan yang tidak menenteng koper dan sangkar burung hantu. Brianna meringis saat Nicholas menyerahkan sangkar burung Brie untuk ia bawa dengan terburu, sampai tidak sengaja menyenggol lengan kirinya yang terluka. "Kita harus pergi!" teriak Nicholas, mengatasi raungan Gilbert saat menghancurkan drum lain ke atas salah satu kepala Dissentum. Brianna sempat khawatir penyihir itu mulai lupa menggunakan tongkat sihir dan malah menggunakan kayu itu untuk memukul kepala orang.

"Sekarang?" balas Brianna tidak yakin.

Nicholas tidak sempat membalas. Ia menoleh untuk meluncurkan serangan ke penyihir di samping kirinya yang bahkan tidak sempat Brianna lihat. Tidak menjawab pertanyaan gadis itu lagi, Nicholas meraih pergelangan tangan Brianna dan mereka berputar dalam pusaran angin.

***

Brianna benar-benar muntah kali ini. Ia tidak bisa menahan dorongan makanan yang naik ke kerongkongannya lagi setelah mereka muncul di tepi hutan yang gelap. Ber-Apparate dengan perut penuh dan luka di sekujur lengan adalah pengalaman terburuknya setelah dikerubungi dementor.

"Kita ... di mana," katanya susah payah, menopang sebelah tangan pada batang pohon dedalu. Udara dingin menusuk lengan kiri gadis itu jauh lebih kuat, salju yang jatuh menimpanya bagai terjangan ribuan jarum. Brianna memalingkan wajah dari genangan sisa separuh pencernaan di rerumputan dekat sepatu botsnya.

Berdiri sekitar satu meter darinya, Nicholas melipat lengan tanpa berniat menoleh pada gadis yang baru mengeluarkan isi perutnya itu. "Bagian utara Revorlaud Hill, tiga mil dari bar Revorus Dissentum."

"Bagaimana dengan Magnus dan yang lain?" tanya Brianna. Dia mengambil sangkar Brie yang ia letakkan di dekatnya, kemudian berjalan setengah terhuyung menghampiri Nicholas yang langsung melangkah di jalan setapak.

Tidak ada bulan yang terlihat malam ini, dan bintang-bintang di langit tertutup oleh daun pohon yang lebat. Mereka hanya mampu mengandalkan penerangan minim yang bersumber dari lampu jalanan beberapa meter di samping. Brianna menciptakan cahaya dari tongkat sihirnya.

"Setengah Dissentum tumbang. Mereka bisa mengatasi sisanya. Terjebak bersama Occultis tidak jauh lebih baik dibanding ditangkap Dissentum," jelas Nicholas. Pria itu melirik tongkat sihir Brianna sejenak sambil memicingkan mata, tapi kemudian kembali menatap ke depan jalan tanpa mengucapkan protes seperti yang Brianna kira. Nicholas mengeluarkan Dementrac dari sakunya, bola kaca seukuran kasti itu melayang di depan mereka bagai bulan biru mini. "Matikan tongkat sihirmu."

Menuruti perintah Nicholas, Brianna menyimpan kembali tongkat sihir ke balik mantel. Ia masih tidak mengerti apa yang sedang mereka lakukan saat ini. "Kita akan ke mana?"

"Menemui seseorang." Nicholas memberi isyarat pada gadis itu untuk mengikutinya ke arah jalan beraspal. Mereka menunduk di balik semak sementara pemuda itu menyapu matanya ke deretan rumah kayu yang terpisah satu sama lain. Tidak ada siapa pun yang terlihat di sekitar jalan. Beberapa jendela rumah tampak lebih terang—Brianna yakin berasal dari perapian, karena bayangan yang terpantul di balik gorden tampak menari-nari.

Nicholas menyimpan Dementrac di dalam saku, sebagai gantinya pemantik persegi panjang berwarna perak berada dalam genggaman pria itu. Kemudian dia menyalakan benda tersebut. Alih-alih mengeluarkan api, pemantik itu menghisap seluruh cahaya lampu jalan di sekitar mereka dengan bunyi pop pelan.

"Pemantik Dumbledore!" Brianna tidak bisa menahan diri untuk tidak memekik antusias.

Nicholas berdecak dengan tatapan mencela sambil menyimpan benda itu, kemudian menarik tangan Brianna untuk berlari bersamanya, menuju sebuah rumah satu tingkat dengan atap paling rendah di antara yang lain. Mereka berhenti di pintu belakang bangunan itu, lalu Nicholas mengeluarkan tongkat sihir dan mengetuk pintu kayu dengan pola khusus.

Beberapa saat kemudian, pintu itu berderit dan menampilkan sosok pria berwajah bulat dengan pipi kemerahan.

"Lama tidak berjumpa, Bernardus," sapa Nicholas. Brianna cukup terkejut kali ini pemuda itu tidak menggunakan nada ketusnya yang biasa.

"Oh, Nicholas, kawan lamaku!" sambut Bernardus, tersenyum lebar dengan dua gigi depan yang menonjol.

-------------------------------


*curhat lagi*

Aku sadar gaya bahasa di cerita ini sedikit berbeda dari cerita-cerita lainku. saat ingin melanjutkan Bewitched, aku harus beradaptasi dengan gaya dari bab-bab sebelumnya, dan beberapa kali salah menggunakan sudut pandang (lol). Jadi kalau ada yang salah silakan dikomentari. Dan dan ... eng, gaya bahasaku berubah tidak ya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top