Bab 12. Kenangan Brianna

~○●♢●○~

Brianna mengangguk lagi, lebih pelan dan nyaris tidak kentara karena tiba-tiba saja suhu udara semakin menurun. Saat itulah ia mendapat firasat yang tidak bagus, dan ketika ia merapatkan mantel dan menengadahkan kepalanya, mengira akan melihat salju yang semakin lebat, ia mendapati kalau Dementrac yang melayang di atas kepala mereka tersebut telah berubah menjadi hitam pekat.

Ada Dementor yang berjarak kurang dari dua puluh meter di sekitar mereka.

~○●♢●○~

12. KENANGAN BRIANNA

Brianna mencengram tongkat sihir dengan erat sampai bisa merasakan kalau buku jarinya yang memutih sedikit gemetaran. Langit menggelap seolah ada awan hitam besar yang menyelubungi mereka. Udara di sekitarnya terus menurun dengan cepat, menekan paru-paru Brianna begitu kuat hingga ia kesulitan untuk bernapas. Ia bisa merasakan Brie yang terbang memutar satu meter di atas mereka sambil mengeluarkan suara panik, sebelum burung hantu itu melesat menjauh, menghindari marabahaya.

"Expecto Patronum!" teriakan Nicholas menyadarkan Brianna. Musang keperakan--Patronus Nicholas--yang melayang mengelilingi mereka membuat otot Brianna lebih rileks. Suhu udara sedikit meningkat. Napasnya lebih teratur.

Gadis itu memejamkan matanya. Yang harus ia lakukan hanyalah membayangkan hal-hal yang bahagia dan menciptakan Patronus. Brianna akan segera menemukan Casey, lalu pulang ke rumah. Mereka akan mengunjungi Hogsmeade, menonton piala dunia Quidditch bersama, dan barangkali berkeliling Hogwarts. Hogwarts. Brianna berjanji setelah semua ini selesai, ia akan ke Hogwarts dan mencari Kamar Kebutuhan--tempat kesukaannya. 

"Expecto Patronum!" Brianna setengah berteriak ketika menyebut mantra itu, tapi tidak ada yang terjadi selain percikan biru keperakan di ujung tongkatnya. Titik-titik hitam di kejauhan membuat isi perutnya serasa teraduk. Ia hampir meledak oleh detak jantungnya sendiri.

Mereka akan berhasil. Brianna berusaha memikirkan Owen dan Oscar yang mendapat surat Hogwarts dan ia akan mengantar kedua adiknya ke Hogwart Express, melewati peron 9 3/4.

"EXPECTO PATRONUM!" Brianna berteriak lebih keras. Asap biru keperakan yang lebih besar terbentuk, tapi langsung menguap dengan cepat.

Bayangan hitam itu semakin dekat.

Mereka akan gagal.

"Tetap berlindung di dekatku," seru Nicholas. Tidak seperti Brianna, pijakannya masih mantap. "Pikirkan hal-hal yang bagus. Casey--atau apalah."

Brianna merapat ke tubuh Nicholas ketika salah satu sosok hitam bertudung melayang ke arahnya. Nicholas mengarahkan Patronusnya untuk menerjang dementor-dementor yang mendekat, membuat makhluk itu mundur menyebar. Udara dingin kembali menerjang, menusuk hingga ke tulang Brianna ketika Patronus Nicholas berlarian agak jauh darinya untuk menyerang sosok-sosok hitam itu.

Nicholas melambaikan tongkat sihirnya, mengendalikan musang keperakan tersebut untuk mengusir dementor. Sebagian dementor terhempas di udara dan menjauh, tapi selalu ada dementor lain lagi yang berusaha mendekati mereka. Lingkaran di sekitar Brianna dan Nicholas semakin sempit. Jumlah makhluk mengerikan itu terlalu banyak ...

Tangan-tangan keabuan yang membusuk di balik jubah hitam itu terjulur ke arah Brianna, berusaha meraihnya, sekaligus menyedot seluruh udara yang tersisa di dekat gadis itu.

"Expecto ..."  lirih Brianna. Suaranya tercekat, pandangannya mulai buram. Keringat dingin mengalir di dahinya, sementara ia berusaha keras agar tidak terjatuh. "... Patronum."

Bahkan tidak terjadi apa-apa pada tongkatnya sekarang.

Kaki Brianna tidak bisa menahan berat tubuhnya lagi. Sangkar Brie menghantam sepatunya dan berguling, sementara ia terjatuh dengan bertumpu pada lutut, sebelum bahunya juga terhempas pada salju di tanah. 

Ia gagal.

Casey, bahkan dirinya, tidak akan selamat.

Semuanya menjadi gelap. Brianna tidak bisa mendengar dan merasakan apa pun, bahkan tubuhnya sendiri. Rasanya seperti tenggelam di dalam air nyaris beku, dan ia sendiri tidak yakin dengan arah gerak tubuhnya, atau apakah tubuhnya memang benar-benar bergerak sekarang.

Hal terakhir yang ia ingat adalah pekikan samar-samar, bunyi tubrukan yang memekakkan telinga, kemudian jeritan keras seseorang. Lalu genangan darah. Jeritan itu masih terdengar, semakin keras hingga kepalanya terasa mau pecah, kemudian ia tidak ingat apa-apa lagi setelah energinya terkuras habis.

***

Langit sudah lebih terang ketika Brianna membuka matanya.

Brianna mendapati dirinya tengah bersandar di batang pohon dedalu, duduk di atas tumpukan mantel. Mantel yang Brianna kenakan sendiri terasa sedikit lembab oleh keringat. Kepalanya pusing ketika ia mencoba untuk menegakkan punggung. Baik fisik dan mentalnya terasa lelah.

"Makan ini."

Seseorang menyodorkan sebongkah coklat berbentuk kodok di depan wajahnya. Terkesan karena ini adalah pertama kalinya melihat Cokelat Kodok penyihir asli, Brianna segera menyambar cokelat tersebut dengan wajah berseri.

Sebelum wajah datar Nicholas yang berdiri di depannya kembali menghantam benak Brianna dan mengingatkan gadis itu akan kejadian yang baru saja mereka alami.

"Maafkan aku," desah Brianna dengan suara serak. Saat ini ia benar-benar merasa telah menjadi beban bagi Nicholas, padahal perjalanan mereka baru saja dimulai. Brianna mengutuki ketidakmampuannya.

"Jangan katakan apa pun sebelum kau menghabiskan cokelat itu."

"Apakah salah satu dementor itu berusaha menciumku?" tanyanya, teringat dengan penderitaan yang ia rasakan sebelum pingsan. Brianna bergidik ketika membayangkan seandainya Nicholas tidak menyelamatkannya tepat waktu saat itu. Ia tidak hanya akan mati jika itu terjadi, tapi jiwanya bahkan tidak akan berada di mana pun--jiwanya akan lenyap.

Nicholas melompat ke samping Brianna dan duduk di atas kopernya sendiri dalam satu gerakan. "Kau hanya terjatuh dan berteriak saat sekurangnya ada tiga dementor yang mengelilingimu, tidak lebih," katanya, dan Brianna terkejut ketika tidak mendapati nada sinisnya yang biasa. Sebaliknya, suara Nicholas justru terdengar muram.

"Aku harus banyak berlatih mantra Patronus," cetus Brianna, merasa jauh lebih baik ketika lelehan cokelat mulai menuruni kerongkongannya. Ia sempat melirik sangkar kosong Brie yang tergeletak terbuka di sampingnya, dan rasa cemas menjalari tubuhnya. Brie belum kembali.

"Burung hantu itu akan kembali ke tempatnya di mana pun ia berada," jelas Nicholas seolah membaca pikirannya. "Percayalah, Brie sudah sering berkelana jauh. Sayangnya agak pengecut."

"Kau tidak bisa berharap banyak dari burung hantu yang bahkan tidak terlalu mengenalmu." Brianna tersenyum ketika teringat Brie yang hanya menyukai tuannya, Casey. "Aku bahkan lebih payah darinya." Menjadi potterhead biasa jelas tidak membuatnya serta merta menjadi ahli sihir.

"Kau hanya memiliki kenangan yang sangat buruk," kata Nicholas, yang kembali membuat Brianna terkejut karena kali ini pria itu terdengar tulus. "Aku tidak akan memintamu untuk menceritakannya."

Tapi gadis itu malah terdorong untuk membuka suara. "Ayahku meninggal delapan tahun yang lalu," jelasnya. "Ia mendorongku di tengah jalan, menggantikan posisiku yang seharusnya terkapar di depan mobil. Aku menyaksikan sendiri bagaimana kakinya tergeletak dalam posisi tidak wajar ... dan genangan darah di bawah kepalanya yang pecah."

Brianna tidak bisa menahan diri untuk tidak menangis, hal yang selama ini ia hindari agar tidak dicap cengeng. Pengalaman tidak mengenakkan bersama dementor tadi membuat gadis itu seperti kembali menyaksikan kematian ayahnya sekali lagi.

Dulu, setiap bangun pagi ia selalu berharap kalau ayahnya muncul secara ajaib, dan ternyata semua itu hanya mimpi buruk. Brianna pernah membayangkan, jika ia memiliki tongkat sihir untuk membangkitkan ayahnya ...

Tapi ia tahu, hal itu tidak akan pernah bisa terjadi, walaupun tongkat sihir sudah berada di depannya sekarang.

"Sudah kubilang kau tidak perlu menceritakannya," gerutu Nicholas pelan.  "Sekarang aku tidak tahu bagaimana menghadapi wanita yang menangis."

"Aku tidak butuh penghiburan," Brianna mengedikkan bahu dan mengusap pipinya dengan telapak tangan yang dibungkus sarung, lalu menyimpan tongkat sihir ke dalam saku mantelnya setelah seluruh cokelatnya habis. Ia sudah jauh lebih bertenaga dan bersiap untuk melanjutkan perjalanan. "Jadi, kemana kita setelah ini?" tanyanya seraya bangkit dan menatap Nicholas.

Nicholas mengangkat kedua alisnya selama sedetik, lalu berbalik untuk menyimpan mantel-mantel yang Brianna duduki tadi ke dalam koper sambil menyahut, "Pemukiman Revorlaud Hill, berburu sedikit Butterbeer."

"Dan lebih banyak Dissentum," tambahnya, lalu bangkit menghadap Brianna dengan senyum miring.

"Er, Nicholas," panggil Brianna sedikit gugup. Ia berniat mengutarakan permintaan yang sempat tertahan di pita suaranya sedari tadi. "Kau masih punya kotak Cokelat Kodok-nya?"

Pria itu hanya mendengus sambil mengangkat sangkar Brie dan menyodorkannya pada Brianna. "Aku tahu kau akan mencari ini, dasar muggle."

Sebuah kartu kecil berbentuk segi lima terselip di antara telapak tangannya dan bagian bawah pegangan sangkar. Tanpa menghiraukan ejekannya barusan, Brianna menyambut kedua benda itu dengan semangat, membiarkan Nicholas berjalan lebih dulu sementara ia mengangkat kartu itu untuk melihat lebih jelas foto seorang wanita berambut pirang dengan jubah penyihir yang sedang tersenyum anggun padanya, sebelum kemudian melangkah pergi dari kotak foto.

Itu adalah gambar J. K. Rowling.

--------

(siap-siap digampar sama fans harry potter)

Mungkin kalian berpikir, "Lancang sekali melibatkan si master dalam cerita ecek-ecek ini."

Untuk ke-sejibun kalinya, ini hanya fanfiction, oke?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top