Bab 11. Tanda Bahaya
(Sepertinya aku harus mulai menyelipkan sedikit cuplikan chapter sebelumnya, mengingat cerita ini updatenya lamaaaaa banget)
~○●♢●○~
Detik selanjutnya, semuanya terjadi begitu cepat. Nicholas meluncurkan serangan tiba-tibanya pada Magnus dengan tongkat sihirnya hingga pria itu jatuh tak sadarkan diri sebelum sempat membalas, kemudian ia memutar tubuhnya untuk menghindari serangan Will, dan menarik Brianna ke bawah ketika sebuah kilatan merah tertuju pada gadis itu, lalu meluncurkan serangan lagi pada Will, tapi berhasil ditangkis.
~○●♢●○~
11. TANDA BAHAYA
Brianna terhuyung, sepatu bots rendahnya tenggelam beberapa senti di atas salju tebal, dan ia nyaris terhempas ke salah satu pohon besar ketika Nicholas tiba-tiba melepaskan cengkramannya, sebelum akhirnya gadis itu berhasil menyeimbangkan diri. Brianna menatap ke sekelilingnya, dan menyadari kalau kini mereka berada di tengah hutan, dipenuhi oleh semak dan pohon-pohon dedalu terbesar yang pernah ia lihat. Salju turun sedikit lebih lebat di tempat ini, hingga Brianna harus merapatkan mantelnya.
"Kita akan berjalan menuju Revorlaud Hill, desa muggle yang katanya terdapat banyak markas rahasia Dissentum," jelas Nicholas sambil membungkuk dan membuka kopernya. "Desa yang dikenal di dunia muggle sebagai salah satu tempat yang paling berhantu, padahal sebenarnya itu karena tempat ini dipenuhi oleh dementor liar. Terutama di sini, Hutan Rev." Kemudian ia kembali menegakkan tubuhnya dan melepaskan sebuah bola kristal biru seukuran kasti yang melayang di udara ("Dementrac--pelacak Dementor. Berubah hitam ketika ada Dementor yang berjarak dua puluh meter di sekitarnya.")
Brianna tergelitik untuk bertanya apakah di dunia sihir nyata juga ada Azkaban (penjara sihir) yang dijaga oleh Dementor. Tapi saat ini ia ingin menuntut Nicholas atas semua kejadian di Ollivander's tadi.
"Ayo." Nicholas memposisikan kopernya, kemudian memberi isyarat pada Brianna untuk mengikutinya.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Brianna.
Nicholas menatap Brianna seolah gadis itu gila. "Membawamu piknik," dengusnya dengan wajah malas. "Yang benar saja."
"Maksudku, soal tadi!" seru Brianna sambil mengejar Nicholas ketika pria itu mulai melangkah tanpa menunggunya. "Magnus sudah tahu kalau Casey menghilang. Casey ... dia benar-benar diculik Dissentum. Artinya surat itu bukan dari ayahnya, karena ayahnya memang sudah meninggal. Seharusnya tidak masalah jika kita meminta bantuan Magnus!"
Sebenarnya Brianna juga ingin memprotes soal Nicholas yang dengan seenaknya membuat pengakuan tidak benar mengenai masalah asmaranya. Tapi akhirnya ia mengurungkan niat itu karena merasa konyol.
Selama beberapa saat tidak terdengar suara apa pun selain embusan angin dan cakar Brie yang menggesek sangkar besi. Pendar kebiruan Dementrac terpantul di mata gelap Nicholas yang menatap Brianna dengan cemberut. "Lepaskan Brie. Dia mengenali wilayah ini," komentarnya sambil melirik tangan Brianna yang menenteng sangkar burung hantu itu.
"Apa?" Brianna mengernyitkan alisnya ketika mendengar respon aneh Nicholas. Namun ia tetap membuka sangkar Brie, walaupun burung hantu itu tidak menunjukkan tanda-tanda ingin keluar. Tapi setidaknya Brie sudah jauh lebih tenang.
"Kau cukup cerdas. Tapi terlalu gegabah," kata Nicholas sambil melanjutkan perjalanannya. Dementrac di depan mereka ikut bergerak maju, melayang naik turun, dan menimbulkan cahaya putih silau setiap kali salju mengenai kristal itu. "Jika mereka mengetahui penyebab Casey bisa terjebak, dan ternyata itu karena selama ini Casey diam-diam mencari ayahnya yang masih dicap pengkhianat, apa menurutmu mereka masih akan membiarkan Casey menjadi Auror?"
Sejujurnya Brianna tidak memikirkan hal itu sama sekali. Gadis itu hanya ingin Casey cepat-cepat ditemukan sebelum kekasihnya terseret lebih jauh ke dalam bahaya yang tidak ingin ia bayangkan.
"Kupikir kau tidak menyukai profesi Auror," gumam Brianna.
"Yeah," dengus Nicholas. "Tapi itu adalah sebagian jiwa pacarmu. Menyatu, seperti horcrux. Dan aku yakin, kita akan menemukan Casey jauh lebih cepat."
Brianna tertawa kecil membayangkan Casey yang terobsesi dengan pekerjaannya. Seingatnya, Casey belum pernah terobsesi pada apa pun, kecuali jika mengoleksi barang-barang bercorak burung hantu bisa ia sebut sebagai obsesi. Gadis itu menundukkan kepalanya, menatap Brie yang mulai tertidur. Ia penasaran, apa mungkin Casey lebih menyayangi Brie dibanding dirinya?
"Keluarkan tongkat sihirmu," kata Nicholas tiba-tiba, yang membuat Brianna segera mengeluarkan tongkat sihir dari balik mantelnya dengan tegang dan was-was. "Sekarang coba lucuti senjataku," lanjutnya. Nicholas sendiri juga sudah siap dengan tongkat.
Tanpa sadar Brianna menghembuskan napas lega. Ia sempat berpikir kalau akan ada makhluk gelap atau semacamnya yang mendekat.
"Expelliarmus!" Tongkat Brianna tergelincir dari genggamannya, kemudian melayang tinggi di atas kepala gadis itu hingga Nicholas menangkapnya.
Nicholas telah menyerangnya tiba-tiba, bahkan sebelum Brianna sempat mengucapkan mantranya.
"Terlalu lambat. Ulangi." Nicholas melempar tongkat itu ke Brianna.
"Aku belum siap!" seru Brianna agak kesal.
"Coba saja katakan itu pada musuh yang menyerangmu," Nicholas mendengus.
"Expelliarmus!" Kali ini Brianna langsung melancarkan mantra itu. Sebuah kilatan merah meluncur dari ujung tongkatnya, menuju ke arah Nicholas. Tapi pria itu dengan mudah menepis kilat tersebut dengan tongkat sihirnya, hingga mantra itu memantul dan menghancurkan sebagian semak di belakang Brianna.
"Masih kurang cepat," kekeh Nicholas meremehkan.
"Petrificus--"
"Protego!" seru Nicholas di saat yang sama.
"Aah!" Mantra perlindungan itu menimbulkan efek pada Brianna, hingga gadis itu tersentak beberapa langkah ke belakang dan hampir menjatuhkan sangkar Brie. Tapi tampaknya burung hantu itu mulai merasa tidak aman dan memutuskan untuk terbang keluar sangkar sambil ber-uhu marah.
"Aku hanya menyuruhmu melucuti senjataku," kata Nicholas sambil melipat lengannya dan menatap tajam ke Brianna.
Brianna meletakkan sangkar tersebut di atas tanah, menegakkan tubuh rampingnya, kemudian bergerak maju dan membalas tatapan Nicholas dengan menantang. "Kenapa kita tidak coba duel benaran saja?"
"Cih, kau bahkan belum satu jam memegang tongkat." Nicholas tertawa geli.
"Rictusempra!"
Nicholas melompat untuk menghindari kilatan yang meledak di bawah kakinya, kemudian ia memelototi Brianna. "Demi jari kaki Merlin! Kau berusaha menggelitik-ku?" serunya, seolah-olah itu adalah tindakan yang tidak senonoh.
Hal itu membuat Brianna menyunggingkan senyum miringnya, karena setidaknya sekarang ia tahu satu hal yang mengganggu Nicholas, sementara selama ini Nicholas lah yang menjadi sumber segala hal yang menyebalkan. Gadis itu membayangkan, pasti lucu sekali melihat wajah yang senantiasa cemberut itu mendadak tertawa tanpa henti sambil berteriak minta ampun.
"Expelliar--"
"Protego!" seru Brianna spontan. Kali ini ia yang melindungi diri.
"Kau belajar dengan cepat," kata Nicholas sambil tersenyum miring.
"Kau tidak tahu siapa yang kau hadapi," balas Brianna, berusaha sedikit menyombong.
"Hanya seorang Potterhead," jawab Nicholas tak acuh.
"Rictum--Aah!" Brianna terjatuh dalam posisi duduk di atas tanah ketika Nicholas menepis mantra itu dengan cukup kasar.
"Jangan coba-coba," desis Nicholas dengan mata menyipit.
Brianna melompat berdiri, berusaha untuk tidak tertawa, kemudian melancarkan serangan berikutnya. "Stup--"
"Impedimenta!" seru Nicholas sebelum Brianna sempat mengucapkan mantranya.
"--pe ... fy...." Mendadak seluruh otot Brianna terasa kaku dan berat, begitu juga lidahnya, hingga mantra yang ia ucapkan terasa lambat dan Nicholas berhasil mengelak dengan mudah. Rasanya seluruh gravitasi di sekitar Brianna meningkat berkali-kali lipat, sehingga butuh usaha keras bagi gadis itu untuk menggerakkan tubuhnya. Brianna mengumpat dalam hati. Nicholas telah menghambat pergerakannya.
"Expelliarmus," ucap Nicholas tenang. Tongkat sihir Brianna terlepas dari genggamannya lagi, tanpa bisa Brianna pertahankan karena gadis itu masih terjebak dalam mantra Nicholas. "Payah. Seranganmu mudah ditebak, bahkan bagi penyihir yang tidak menguasai Legilimens."
Brianna mendelik pada Nicholas, dalam hati memikirkan cara untuk mendapatkan kembali tongkat sihirnya yang berada di tangan Nicholas, sampai tiba-tiba pria itu melepaskan kutukan penghambatnya dan mengembalikan tongkat sihir pada gadis itu. Entah kenapa, ekspresi wajah Nicholas mendadak berubah tegang.
"Ada apa?" tanya Brianna sambil mengambil tongkatnya dengan waspada, curiga jika seandainya ini adalah jebakan.
"Apa kau tahu cara menggunakan mantra penghasil Patronus?" bisik Nicholas dengan suara rendah.
Brianna mengangguk pelan. Ia tidak menyangka kalau Nicholas akan langsung menyuruhnya mencoba mantra pelindung yang sangat sulit. Bahkan Harry Potter saja baru bisa menggunakan mantra itu dengan sempurna di tahun ketiganya.
"Bagus," kata Nicholas, terlalu pelan hingga Brianna mulai merinding. "Aku ingin kau mengerahkan seluruh kemampuanmu untuk melakukannya, mengerti?"
Brianna mengangguk lagi, lebih pelan dan nyaris tidak kentara karena tiba-tiba saja suhu udara semakin menurun. Saat itulah ia mendapat firasat yang tidak bagus, dan ketika ia merapatkan mantel dan menengadahkan kepalanya, mengira akan melihat salju yang semakin lebat, ia mendapati kalau Dementrac yang melayang di atas kepala mereka tersebut telah berubah menjadi hitam pekat.
Dengan cemas, gadis itu melirik Nicholas yang sudah menggenggam tongkat sihirnya dengan mantap. Ketegangan di wajah pria itu semakin menegaskan dugaan yang timbul di pikirannya.
Ada Dementor (atau Dementor-dementor) yang berjarak kurang dari dua puluh meter di sekitar mereka.
---------------
Keterangan:
Dementrac: (murni ciptaan Penulis), untuk mendeteksi kehadiran Dementor.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top