Bab 10. Ollivander

"Jadi Ollivanders itu benar-benar ada! Bukan tokoh fiktif!" seru Brianna kegirangan ketika mereka selesai sarapan dan menuju ke toko penjual tongkat. Gadis itu agak kesusahan menenteng sangkar Brie, karena burung hantu itu terus mengepakkan sayapnya dengan agresif sejak Nicholas memutuskan untuk menutup sangkarnya dengan kain. Tapi Brianna tidak memedulikannya, karena ia terlalu sibuk membayangkan tongkat sihir model apa yang akan ia dapatkan nanti.

"Tidak seperti Ollivander yang kau lihat di film konyol itu. Ollivander itu semacam merk," kata Nicholas. "Seperti ketika kau menyebut minuman soda yang terkenal, kau akan memikirkan Coca Cola dan Pepsi. Jika tongkat sihir, maka Ollivander dan Gregorovitch."

Mereka tiba di bangunan cukup luas yang berdesain klasik, dengan puluhan tongkat yang dipajang di etalase kaca yang menghadap luar. Salju yang menutupi kaca luar tampak sudah dibersihkan, tapi tampaknya si pemilik toko melupakan salju yang menumpuk di depan pintu.

Tapi ternyata hal itu bukan masalah, karena keset yang tergeletak di tengah pintu menyerap semua noda salju bercampur lumpur di sepatu mereka. Jadi tidak ada jejak sepatu yang terlihat ketika mereka melangkah masuk ke dalam toko, diiringi oleh bunyi bel yang berdentang cukup keras.

"Selamat datang di Ollivanders, Sir, pembuat tongkat terbaik di Eropa," sapa seorang pria berambut kelabu dengan jubah coklat bercorak mirip kayu di balik etalase rendah. "Penyihir dewasa yang membeli tongkat di bulan Desember? Kuasumsikan salah satu dari kalian telah menghilangkan atau mematahkan tongkat kalian."

Brianna mengedarkan pandangannya ke sekeliling toko, menatap barisan rak tinggi yang berisi laci-laci kecil, menempel ke setiap sisi dinding toko. Berjarak kurang lebih dua meter, di depan rak tersebut terdapat etalase-etalase rendah yang memamerkan berbagai model tongkat yang diletakkan di atas bantalan beludru persegi panjang. Tongkat yang paling ramping dan pendek berada di tingkat teratas, hingga di bagian dasar etalase terdapat tongkat yang nyaris mencapai setengah meter, dengan ukiran kasar. Barangkali itu untuk troll atau raksasa, jika mereka butuh tongkat sihir.

Brianna sedang membayangkan bagaimana cara troll masuk ke toko penuh rak ini ketika Nicholas menyahut pria itu. "Yeah, benar. Tongkat gadis ini patah."

Pria itu mengangguk seolah paham. "Agresif dan keras kepala," gumam pria itu. "Aku bisa melihatnya."

"Mari kita lihat tongkat apa yang kau dapat dulu. Siapa namamu?" Pria itu mengulurkan tongkatnya ke rak teratas hingga sebuah buku yang sangat tebal melayang pelan ke arahnya, lalu dia meletakkan buku itu ke atas kaca etalase rendah.

"Brianna Ashton," jawab Brianna spontan, lalu gadis itu segera mengutuki kebodohannya sendiri. Dia jelas belum pernah membeli tongkat sebelumnya.

"Dulu dia memakai Gregorovitch," sergah Nicholas sebelum pria itu kebingungan karena tidak menemukan nama Brianna di dalam daftar pelanggannya.

"Oh?" Pria itu mengernyit. "Kenapa kau tidak mencarinya saja?"

"Aku ingin mencoba Ollivanders, yang katanya terbaik," kata Brianna.

"Kau ingin mencobaiku?" Kedua alis pria itu semakin bertautan. Sedangkan Nicholas mulai mengerling pada Brianna seolah berharap bisa melancarkan mantra silencio (mantra diam) melalui tatapannya.

Brianna ikut bingung. "Bukan, maksudku Ollivanders." Di saat itulah Brianna membaca jahitan nama pria itu di jubahnya--James Ollivander-- dan sadar kalau ia telah salah bicara.

Karena selanjutnya Mr. Ollivander--yang ternyata merupakan generasi ke-sepuluh Ollivander--mulai menggerutu tentang walaupun tongkat karyanya sudah terkenal, mereka tetap menyebut tongkat sihir itu sebagai karya Mr. Ollivander, dan menyebut namanya sebagai merk adalah tindakan yang mengurangi rasa hormat pada karya-karyanya. Tidak ada istilah merk di dunia penyihir.

"Jadi tongkat jenis apa yang kau punya dulu?" tanya Mr. Ollivander, sekarang ia sudah tidak seramah tadi.

"Er . . . Kayu holly, dua puluh tujuh setengah senti, inti bulu phoenix," jawab Brianna, spontan menjawab tongkat sihir yang dimiliki Harry Potter.

Kesalahan lagi. Bukan karena Mr. Ollivander juga membaca novel Harry Potter, tapi ia berkata dengan mata menyipit, "Gregorovitch tidak pernah memakai bulu phoenix sejak dua puluh tahun yang lalu."

Untunglah Nicholas segera menyambar, "Dia memakai tongkat peninggalan kakeknya yang kebetulan cocok untuknya. Bisakah kau memilihkan ulang tongkat sihir untuknya?" Nicholas memberi Brianna tatapan tajam, hingga gadis itu mendadak kehilangan suaranya. Tapi Brianna menangkap gerakan kecil ketika Nicholas menyembunyikan tongkat sihirnya di balik jubahnya.

Brianna menghela napas kesal. Ia telah disihir.

Mr. Ollivander tampak ingin mengatakan sesuatu, tapi ia diam saja, kemudian mulai mengukur panjang lengan, bahu, dan tinggi tubuh Brianna sementara beberapa kotak tongkat sihir mulai melayang turun dari bagian atas rak.

Brianna meletakkan sangkar burung Brie yang sudah lebih tenang di atas lantai batu, lalu mengambil salah satu tongkat sihir yang agak kaku tersebut dengan jantung berdegup kencang. Ia melambaikannya sambil mengucapkan, "Lumos." Suaranya telah kembali. Tapi tidak ada yang terjadi. Tongkat sihir itu tidak menyala.

Nicholas mendengus keras.

"Kau tidak perlu melambaikan tongkat untuk mengucapkan mantra itu," kata Mr. Ollivander dengan heran sambil mengambil tongkat di tangan Brianna, lalu memberikan tongkat yang lain.

Setelah mencoba beberapa tongkat, akhirnya Brianna merasakan aliran hangat pada jari-jarinya ketika ia menggenggam salah satu tongkat yang paling ramping dengan ujung yang agak pipih. Semburat bunga api merah keemasan meluncur dari ujung tongkat sihir itu ketika ia melambaikan tangannya. Gadis itu terpekik pelan oleh kekagumannya.

"Bagus. Kayu Ash, dua puluh enam setengah senti, inti bulu Phoenix, lentur. Ekspresimu persis seperti anak sepuluh tahun yang baru pertama kali membeli tongkat," komentar Mr. Ollivander.

"Biarkan dia." Nicholas mengeluarkan beberapa koin emas dan membayarnya pada Mr. Ollivander. Sementara Brianna sibuk menggumamkan beberapa mantra dan menjerit senang.

"Wingar-"

Nicholas menahan pergelangan tangan Brianna yang memegang tongkat, lalu menatapnya malas sambil berbisik, "Kau mau aku meluncurkan mantra silencio lagi?"

Tiba-tiba terdengar bunyi bel yang berdentang, membuat Brianna terlonjak dan Nicholas melepaskan cengkramannya. Bunyi keras dadakan tersebut bukan apa-apanya dibanding dengan dua sosok yang berdiri di ujung pintu.

"Halo, Nicholas." Alih-alih menatap Nicholas, kedua mata Magnus lurus kea rah Brianna sementara ia melangkahkan kakinya ke dalam toko, diikuti pria yang lebih jangkung di belakangnya yang membisikkan sesuatu pada Magnus. Jika kepala Magnus masih ditumbuhi sebagian rambut pirang tipis, pria di belakangnya benar-benar botak, dengan kulit pucat, tatapan dingin, dan gerakan anggun, sehingga mau tidak mau Brianna teringat dengan Voldemort.

"Jangan menatap mata Si Botak," bisik Nicholas pelan, tapi masih bisa didengar Brianna. Kemudian ia melangkah ke depan, menghalangi pandangan mereka pada gadis itu.

"Selamat pagi, Mr. Backstorm dan Mr. Malvis," sapa Mr. Ollivander sopan. "Membeli tongkat sihir baru?"

"Tidak, James," balas Magnus. Tatapannya tidak berpindah dari Brianna. "Hanya mencari kawan lama."

"Aku tidak ingat pernah berkawan denganmu," cetus Nicholas.

"Oh, aku sedang berbicara tentang gadis di belakangmu." Magnus bergeser sehingga ia bisa melihat Brianna lebih jelas. "Brigitta, katanya? Aku tidak tahu kalau Brianna Ashton telah mengganti nama. Mungkin kau tidak mengingatku, Ms. Ashton, tapi aku pernah menyelamatkan kau dan Casey dari serangan ular raksasa beberapa bulan yang lalu."

Brianna terbelalak menatap Magnus, tongkat sihir di tangannya dipegang lebih erat. Sementara kepalanya memikirkan mantra-mantra penyerang yang ampuh yang pernah ia baca di novel Harry Potter. Stupefy? Agar mereka semua pingsan kemudian ia dan Nicholas bisa kabur dari sini?

"Setahuku, beberapa bulan yang lalu kau masih muggle." Magnus menyipit menatap Brianna yang mulai mengangkat tongkat sihirnya.

"Apa?" seru Mr. Ollivander terkejut.

"Sayangnya bukan," kata Nicholas. "Kalau kau tidak keberatan, kami masih ada urusan-"

"Kalian?" Magnus masih menatap Brianna. "Ada apa dengan kau dan Casey? Kalian berpisah dan sekarang kau bersama sepupunya?" Ia mengernyit ketika menyebut Nicholas seolah itu adalah hal yang aneh.

"Lucu sekali melihatmu begitu mencampuri urusan orang lain," cemooh Nicholas.

"Ini bukan hal yang lucu, Nicholas," kata Magnus dengan suara rendah. "Jika aku melapor pada kementerian kalau kau telah memberi tongkat sihir pada muggle."

Brianna tidak tahan lagi mendengar sebutan itu. "Aku bukan muggle. Aku mendapat surat dari Hogwarts ketika umur sepuluh! Hanya saja aku baru menyadarinya sekarang."

Magnus menyipitkan matanya. "Kalau begitu setidaknya harus ada surat izin dari kementerian untuk membeli tongkat. Bukankah begitu, James?" Sekarang ia menatap tajam pada Mr. Ollivander hingga pria itu bergerak gelisah di tempatnya.

"Maaf, Mr. Backstorm, aku tidak tahu kalau gadis ini seorang muggle-"

"Aku bukan muggle! Kau lihat sendiri bagaimana tongkat sihir ini bekerja padaku!" seru Brianna sambil melambaikan tongkatnya dengan marah hingga memercikkan semburat bunga api kemerahan.

Nicholas menoleh dan menatap tajam pada Brianna seolah menyuruhnya diam. Akhirnya gadis itu menurunkan tongkatnya sambil membuang muka.

"Tenang, Ms. Ashton, aku tidak menuduhmu. Kau hanya perlu melapor ke kementerian hingga mereka mengurus surat-surat untukmu sebelum memiiki tongkat itu. Seharusnya kau juga mengetahui ini, Nicholas." Kali ini Magnus menatap Nicholas. "Kecuali ada hal mendesak yang akan kalian lakukan sekarang juga."

Nicholas tidak menjawab, tapi wajahnya tampak tenang.

"Ms. Ashton," panggil pria jangkung botak. Suaranya sedingin tatapannya.

"Stop." Nicholas mengambil langkah di depan Brianna lagi. "Kami akan segera melapor ke kementerian. Akan kupastikan itu."

"Expelliarmus," seru Magnus hingga tongkat Brianna terlucut dari cengkramannya, lalu ia menangkap tongkat itu dan menyimpannya ke dalam jubah. "Tongkat ini kami sita sementara. Apa yang akan Casey katakan jika ia melihatmu berbelanja tongkat bersama sepupunya, Ms. Ashton?"

Brianna mengepalkan tangannya. "Kau tidak tahu-" TIba-tiba suaranya hilang. Nicholas menyihirnya lagi.

"Cukup, Nicholas." Sekarang Magnus mulai terlihat marah. "Berhenti menyembunyikan apa pun lagi. Apa yang kalian ketahui tentang Casey?"

"Mengenai Casey, Magnus," kata Nicholas kalem. "Sudah bukan urusan kami lagi. Kau benar, Casey dan Brianna sudah berpisah, dan sekarang Brianna bersamaku."

Brianna membuka mulutnya, ingin membantah keras, tapi masih tidak ada suara yang keluar. Ia berjanji dalam hati akan mencekik Nicholas nanti.

"Jika begitu, kenapa kau berusaha menutup pikiranmu?" tanya Si Botak.

"Dan kenapa aku harus membuka pikiranku pada orang lain?" balas Nicholas.

"Kau juga menghalangi gadis itu dariku," tuntut Si Botak.

"Tidak baik mengintip privasi orang, Will," kata Nicholas dingin.

"Hentikan!" bentak Magnus. Ia mengarahkan tongkat sihirnya ke dada Nicholas dengan kasar. "Cukup omong kosongnya! Jika kau masih punya hati, Nicholas, beritahu kami informasi mengenai Casey. Karena kami baru saja mendapat surat tadi pagi, kalau Casey telah diculik oleh golongan Dissentum."

Brianna berjengit, tanpa suara. Ia berusaha menghindari menatap Will, walaupun ia merasa kalau pria jangkung itu terus menatapnya.

"Apa yang terjadi di sini?" tanya Mr. Ollivander kebingungan. Tapi tidak ada yang memedulikannya.

"Apa ada informasi lain selain itu?" tanya Nicholas.

"Tidak."

Detik selanjutnya, semuanya terjadi begitu cepat. Nicholas meluncurkan serangan tiba-tibanya pada Magnus dengan tongkat sihirnya hingga pria itu jatuh tak sadarkan diri sebelum sempat membalas, kemudian ia memutar tubuhnya untuk menghindari serangan Will, dan menarik Brianna ke bawah ketika sebuah kilatan merah tertuju pada gadis itu, lalu meluncurkan serangan lagi pada Will, tapi berhasil ditangkis.

"Apa yang kalian lakukan di tokoku?" seru Mr. Ollivander marah. Ia mulai mengeluarkan tongkat sihirnya.

"Stupef-"

"Expelliarmus!"

Tongkat Will terlepas dari genggamannya dan terlempar jauh. Nicholas tidak menunggu sedetik lebih lama lagi untuk berseru, "Petrificus Totalus!" hingga tubuh Will terjatuh dengan kaku. Masih sadar, tapi tidak bisa bergerak sama sekali.

"Hentikan," kata Mr. Ollivander dengan suara yang berusaha dimantapkan. Tongkat sihirnya sudah teracung tinggi ke arah Nicholas.

Nicholas ikut mengarahkan tongkatnya ke Mr. Ollivander. "Brianna, ambil tongkatmu," katanya dengan tenang.

"Jangan macam-macam. Atau aku akan melapor ke kementerian atas segala hal yang kau lakukan," ancam Mr. Ollivander.

Brianna merangkak ke arah Magnus yang terbaring pingsan, berusaha agar tidak gemetaran atau melirik Will yang melotot marah padanya. Tangannya menjamah bagian dalam saku Magnus dan menemukan sebatang tongkat sihir ramping miliknya. Gadis itu ingin berseru lega, tapi ia masih belum mendapatkan kembali suaranya.

"Mr. Ollivander," kata Nicholas, masih dengan suara yang menenangkan. Di titik ini Brianna menemukan kemiripan Nicholas dengan Casey. "Kami tidak akan melakukan apa-apa selain pergi dari sini dengan damai."

"Apa yang barusan kau lakukan itu tidak damai, bung. Dan aku tidak bisa membiarkan kalian pergi setelah semua ini." Tangan Mr. Ollivander mulai sedikit gemetaran.

"Kalau begitu," ucap Nicholas, "Petrificus Totalus."

Brianna sudah bangkit, memegang tongkatnya, dengan sebelah tangan mengangkat sangkar Brie yang kembali berisik-kali ini lebih hebat dari sebelumnya. Ia menatap dengan perasaan bersalah pada Mr. Ollivander yang melotot tak bergerak, sementara tongkat sihir pria itu sudah terjatuh entah di mana.

"Maafkan kami, Mr. Ollivander," lirihnya. Akhirnya suaranya telah kembali.

Brianna baru saja ingin melayangkan tatapan tajam ke Nicholas, tapi pemuda itu sudah berdiri di luar toko sambil menenteng kopernya dengan santai seolah tidak pernah terjadi sesuatu. Akhirnya gadis itu melangkah ke luar sambil menghela napas.

"Apa yang kau-" belum sempat Brianna menyelesaikan kata-katanya, tiba-tiba Nicholas sudah meraih pergelangan lengan gadis itu, sampai perasaan menekan yang tidak mengenakkan tersebut kembali melilit tubuhnya.

Nicholas membawa Brianna ber-Disapparate lagi.

-------------

Setelah ke Diagon Alley, habis itu ke Ollivander, tapi umm, maaf! Sementara ini belum akan ke Hogwarts T.T

Setelah membaca ulang chapter-chapter sebelumnya, akhirnya aku sadar juga kalau tiap chapter itu memang singkat ya (jika dibandingkan dengan cerita yang kuketik akhir-akhir ini). Jadi inilah hasilnya, chapter terpanjang sejauh ini (1900an kata).

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top