Between Us 6
Selamat hari raya IdulFitri buat teman-teman semua yang merayakan. Mohon maaf lahir batin yaa.
Semoga kita semua bisa kembali bertemu dengan Ramadhan selanjutnya dan seterusnya. Aamiin ya rabbal aalamiin.
**
"Kita bicara di mobil atau ...."
Sejenak aku berpikir, kita? Dia bicara seolah aku dan dia sudah sedemikian dekat. Lalu bicara di mobil? Nggaklah! Ngapain harus bicara di mobil.
"Nggak! Kita bicara di ...." Sadar aku hampir saja menunjukkan di mana tempat tinggalku.
"Di?"
"Di sini aja!" Ku basahi tenggorokan yang tiba-tiba mengering. Tidak boleh ada siapa pun yang tahu di mana aku tinggal terlebih makhluk bernama laki-laki. Terlalu suram jika aku harus kembali menceritakan alasannya.
"Di sini?" Dia mengernyit menatapku.
"Iya, nggak lama, 'kan?" Kurapikan anak rambut yang berserak diterpa angin.
"Oke, aku bisa minta tolong kamu jagain Shanum besok?" Matanya memindai penuh permohonan.
Tunggu, tunggu! Dia memanggil dirinya aku? Oke, benar apa yang dikatakan Alya, dia pria flamboyan
"Gimana? Kamu bisa, 'kan?"
"What? Besok?"
Dia mengangguk lalu mengusap tengkuk.
"Besok hari Minggu, aku harus keluar kota dan kemungkinan berangkat subuh, dan Mbok Nung nggak datang besok karena suaminya sakit jadi ... aku berharap kamu bisa menolongku dan Shanum."
"Kenapa aku?"
"Karena kamu sudah kenal bagaimana Shanum dan kupikir dia menyukaimu sejak pertama bertemu."
"Please, aku nggak bisa menyerahkan begitu saja pengasuhan anakku ke orang yang belum kukenal. Please, aku akan bay ...."
"Oke! Sehari aja, 'kan?" Ku potong ucapannya, yang aku yakin kalimat itu menyatakan akan membayarku. Dia pikir dia siapa? Meski aku nggak bohong sedang butuh uang tambahan untuk membeli sepatu cantik di butik langganan Kak Mira.
"Iya, sehari, eum ... aku berangkat subuh dan mungkin akan pulang malam." Aku menangkap binar di matanya.
Ya, Tuhan, sulit dipercaya, aku sekarang sedang berhadapan dengan bapak beranak satu yang memiliki track record cowok red flag!
"Oke, pembicaraan selesai dan besok aku akan menemani Shanum." Kutarik kedua sudut bibir berharap dia segera pergi dari sini. Akan tetapi, salah! Dia justru memicingkan matanya.
"Kenapa?"
"Kamu tahu rumahku?" tanyanya menyelidik.
"Nggak!"
"Lalu bagaimana kamu bisa menemani Shanum kalau kamu nggak tahu di mana kami tinggal?"
Ku tepuk dahi merutuki kebodohan.
"Lalu?" Kutatap matanya.
"Kamu ikut aku sekarang!" titahnya membuat jantungku hampir melompat dari tempatnya.
"Ikut kamu sekarang?"
"Iya, eum, maksudku, malam ini kamu tinggal di rumahku, karena aku harus berangkat subuh dan aku nggak mungkin ninggalin anakku sendirian, 'kan?"
Ya, Tuhan, cobaan apa lagi ini? Aku tinggal di rumah pria itu? Pria yang baru kukenal? Astaga, nggak! Ini nggak boleh terjadi.
"Nggak, nggak! Aku nggak mungkin tidur di rumahmu. Nggak!" Aku menggeleng cepat sembari melipat kedua tangan di dada. Dia pikir aku perempuan apaan? Meskipun tujuannya untuk Shanum, tetap saja hal itu tidak mungkin kulakukan.
Kudengar Damar menarik napas dalam-dalam, jelas terlihat dia juga berpikir.
"Di rumahku ada beberapa kamar, dan kamu bisa pilih di kamar mana kamu mau tinggal, dan Shanum pun tidur di boxnya di dalam kamarnya. Sementara aku ... malam ini kalau kamu berdoa tinggal di rumah, aku akan langsung ke hotel dekat bandara biar bisa langsung berangkat subuh besok," terangnya panjang lebar.
Aku memilih tak bereaksi.
"Atau gini aja, aku jemput Shanum, biar dia tinggal di sini, tapi ...."
"Tapi kenapa?"
"Aku harus membawa semua perlengkapan dan semua mainannya, dan itu tidak sedikit. Apa kamu mau bantu?"
Ku kepalkan tangan menutup mulut yang hampir saja mengucap kalimat tak baik. Bukankah aku harus menjaga image sebagai perempuan baik-baik, 'kan? Meskipun sungguh apa yang sedang terjadi saat ini di luar nalarku.
Seharusnya malam ini hingga besok adalah hari paling membahagiakan. Aku bisa tidur sepuasnya, kulineran di mana pun dan ... main game sesukaku. Akan tetapi, tiba-tiba aku harus mengasuh anak bayi yang tentu bukan keahlianku meskipun mungkin tidak susah juga.
"Kania?" Dia menatapku lekat.
"Yang itu aja. Aku pilih opsi kedua. Aku bantu bawain perlengkapan Shanum!"
Damar menghela napasnya.
"Oke, kita berangkat sekarang!" ajaknya.
"Sekarang?" tanyaku heran. Lagi-lagi dia memaksa. Apa dia tidak lihat kondisiku yang baru saja pulang kerja?
"Iya, sudah sore, Mbok Nung akan pulang sebentar lagi. Please," mohonnya. "Aku nggak tahu harus minta tolong ke siapa lagi."
Ku pejamkan mata, mencoba mengatur emosi yang bisa saja meledak. Jika tidak karena bayi mungil menggemaskan itu, tentu aku tak akan Sudi mengikuti keinginannya. Sungguh! Shanum adalah bayi manis yang sanggup membuat hatiku jatuh padanya.
"Oke, oke!" Aku mengangguk lalu masuk ke mobil yang pintunya sudah dibuka oleh Damar.
"Thank you. Aku pastikan kamu nggak akan menyesal sudah membersamai anakku," tuturnya sembari menutup pintu.
**
Damar berhenti di sebuah rumah berpagar tinggi berwarna hitam. Dari luar terlihat rumah besar berwarna putih dengan halaman luas dan tanaman hias yang indah. Ku lirik dia yang sedang menelepon seseorang. Tak lama pagar dibuka. Seorang pria berperawakan kurus membungkuk hormat saat mobil masuk ke halaman.
"Makasih, Pak Jono," tuturnya disambut anggukan.
"Ini rumahku dan Shanum. Ayo, ikut aku!"
Damar membuka pintu, kemudian aku mengikuti. Sungguh! Rumah yang nyaman dan besar untuk seorang pria dengan seorang anak bayi. Jika benar anak itu anak dari Agni Ayesha, kenapa perempuan itu tidak ingin melanjutkan hidupnya bersama Damar dan putrinya? Bukankah Damar bertanggung jawab atas anaknya?
"Selamat sore, Mas Damar," sapa perempuan paruh baya dengan sopan.
"Sore, Mbok. Eum, Shanum mana?"
"Barusan saja tidur habis minum susu tadi," jelasnya menatapku sekilas lalu tersenyum.
"Oh iya, Mbok Nung sudah mau pulang?"
"Iya, Mas. Saya kepikiran suami saya."
Damar mengangguk. "Oke, jangan lupa bawa ke dokter malam ini. Saya sudah hubungi dokter Romi."
Perempuan yang dipanggil Mbok Nung itu mengangguk sembari mengucapkan terima kasih.
"Kalau begitu, saya pamit dulu, Mas, Mbak." Dia mengulurkan tangan mengajakku berjabatan.
Kutarik kedua sudut bibir sembari tersenyum menyambut tangannya.
"Kita ke kamar Shanum, ayo!" ajaknya saat pengasuh Shanum sudah pergi.
Kakiku mengikuti langkah Damar. Sungguh! Rumah ini sangat apik. Desain modern minimalis dan tidak terlalu banyak perabot menjadi rumah ini terlihat sangat lega. Mungkin tidak banyak pernak pernik karena tidak ada perempuan yang memang menyukai pernak pernik untuk rumahnya. Kesan luas juga mungkin karena seluruh dinding berwarna putih sementara sofa, dan meja sepertinya sengaja dipilih warna hitam.
Damar membuka pintu kamar, dengan isyarat dia mempersilakan aku masuk. Kamar Shanum sangat luas dengan cat berwarna pink serta aneka boneka dan hiasan dinding princess menjadi khas kamar anak perempuan.
Aku melangkah mendekat ke box bayi. Aroma minyak telon khas bayi sangat menyegarkan. Kulihat Shanum sedang tidur nyenyak. Pipinya merona dengan bibir mungil yang merah. Ya Tuhan, bayi ini sangat cantik!
Menatap Shanum membuatku tak sadar jika harus bergegas mengemas semua perlengkapan bayi cantik itu. Karena malam ini dia akan tinggal di tempat kost-ku, tapi tunggu! Kamar kost-ku tak ada apa-apanya dibanding luasnya kamar bayi mungil ini. Sial! Mendadak aku insecure padanya. Pada seorang bayi!
Aku masih menatap gemas pada Shanum saat mendengar Damar menerima telepon. Pria itu keluar kamar dan menutup pintu seolah tak ingin suaranya membuat gadis kecilnya terjaga.
Tak tahu harus mengemas apa saja, aku memilih mengumpulkan perlengkapan setelah mandi. Bedak, minyak telon, parfum bayi. Semua ku satukan di meja yang terletak tak jauh dari box Shanum.
Mengedarkan pandangan, mataku tertumbuk pada figura. Damar tengah menggendong Shanum yang mungkin kala itu masih baby born. Kalau dipikir-pikir, benar kata Yeni, Damar pria yang sangat bertanggung jawab.
Gegas ku letakkan figura itu kembali ke tempatnya saat mendengar suara pintu kamar dibuka. Kulihat dia membuka lemari lalu mengambil tas berwarna pink.
"Kamu bisa masukkan baju dan segala macam keperluan Shanum di sini. Aku mau mandi sebentar. Bisa?"
Dia mendekat menyerahkan tas itu padaku. "Baju Shanum ada di lemari itu. Terserah kamu mau bawakan berapa baju."
Aku hanya mengangguk.
"Oh iya, kamu belum makan, 'kan? Kita makan dulu sebelum ke tempatmu. Barusan aku pesan makanan."
Kembali aku mengangguk. Karena memang tidak ada yang bisa ku jawab selain anggukan.
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top