Between Us 4
Pulang dan berkumpul dengan keluarga adalah hal paling menyenangkan. Akan tetapi, ada saja hal yang membuatku terganggu. Seperti biasa, tetangga dan keluarga besar terkadang masih saja bertanya soal Andika dan kisahku. Meski Mama sering memberi kode pada mereka untuk tidak lagi mengungkit cerita lama tersebut.
"Bude benar-benar nggak nyangka kalau akhirnya kalian bercerai, Kania. Padahal Andika terlihat seperti pria baik dan jauh dari hal yang Bude dengar," tutur saudara tertua Mama.
Meski Bude Lina ini orang yang sangat baik, tetapi tentu ucapannya kal ini sangat tidak aku inginkan.
"Jadi sekarang di mana Andika?"
"Nggak tahu, Bude," jawabku malas.
"Tapi kamu harus bersyukur, kamu punya keberanian untuk menggugat cerai dia."
Aku hanya mengangguk dan tersenyum tipis.
"Bude, maaf ya, Kania lapar, Kania ke dapur, ya."
"Iya, iya. Makan sana yang banyak! Bude lihat kamu seperti orang depresi, kurus banget!"
Oke, aku depresi dan kurus! Kesal bukan? Tapi ya sudahlah, kuanggap itu adalah bentuk perhatian budeku meski ujungnya bikin dongkol. Depresi? Iya, mungkin aku pernah pada titik itu, tapi itu dulu. Aku depresi justru saat berpisah belum berpisah dengan Andika.
Siapa yang tidak depresi, jika hampir setiap malam aku disiksa fisik untuk memenuhi kebutuhannya soal sex. Belum lagi sikapnya yang over protektif sehingga mempersempit ruang gerakku. Sampai saat ini beberapa luka masih membekas di punggung dan lengan. Jangan ditanya seperti apa luka yang ku derita kala itu. Kelembutan Andika lenyap seketika setelah kami menikah.
Memang kala itu aku lah yang meminta dia agar segera meresmikan hubungan kami. Bukan apa-apa, aku nggak ingin tetangga bergunjing soal hubungan kami yang bisa dikatakan sangat dekat dan sudah lama sekali. Bohong kalau pacaran kami biasa-biasa saja. Kami pasangan normal yang terkadang setan datang membumbui hal yang tak layak menjadi sangat indah.
"Kania? Kok malah ngelamun? Kamu bilang tadi mau makan?" Mama ternyata sudah berada di depanku sejak tadi.
"Kamu mau makan apa? Ada sambel goreng ati ampela, ada rendang, ada mie telur, ada opor ada ...."
"Ma, biar Kania yang ambil sendiri. Mama istirahat aja, besok pagi-pagi sekali kita harus ke gedung, 'kan?"
Mama mengangguk lalu mencubit pipiku pelan.
"Makasih, ya, kamu sudah mau pulang. Pesta ini nggak akan sempurna tanpa kamu, Sayang."
Aku mengangguk. Trauma dan beragam perasaan tentu saja berkecamuk di hatiku. Bagaimanapun tidak, pesta pernikahanku yang dulu tak jauh beda gegap gempitanya, meski seumur jagung dan berakhir luka.
Jika kini aku hadir tentu saja akan banyak mata menatap dan bertanya-tanya. Buat mereka yang tahu mungkin akan bersikap biasa dan menghargai, tetapi bagi yang tidak tahu, tentu akan muncul kasak-kusuk baru. Namun, mau tidak mau aku harus ada di tengah pesta Mas Danu, 'kan?
Aku terkesiap saat tangan seseorang menutup mataku. Dari aromanya, jelas Mas Danu. Iya! Aku hapal dengan parfum kesukaan kakakku itu.
"Mas Danu! Ih! Aku laper nih!"
Tawa kecilnya terdengar renyah.
"Bawa apa buat Masmu ini?" todongnya sembari mengusap puncak kepalaku.
"Let me guess! Parfum, jam tangan atau ...."
"Tuh, kan, Ma? Mas Danu emang paling bisa nebak!" Bibirku mengerucut. Pria bertubuh tinggi itu memang paling tahu apa yang ada di kepalaku.
"Itu artinya kalian sehati." Papa tiba-tiba muncul di tengah-tengah kami.
"Makan, Pa?" tawarku setelah memasukkan satu suap ke mulut.
"Boleh, Papa juga lapar."
Sigap Mama menyiapkan makan malam untuk Papa. Melihat kemesraan kedua orang tuaku, jujur aku sangat bersyukur, meski diam-diam iri. Aku iri karena mereka berdua nyaris tidak pernah menunjukkan kesalahpahaman di depan kami. Sepanjang perjalanan aku membersamai mereka, tak pernah sekalipun kudengar Mama mengeluh soal Papa, begitu juga sebaliknya.
Sementara aku? Tiga bulan sudah cukup membuatku trauma yang sangat dalam.
**
"Aku ikut sedih, Kania. Aku berharap kamu bisa menemukan pria yang tepat, ya." Alisa, sepupuku menghampiri sembari menjabat tangan.
"Makasih, Al."
"Jadi sekarang di mana Andika?" tanyanya duduk di sebelahku.
"Aku nggak tahu, dan nggak mau tahu."
Dia mengedikkan bahu kemudian mengangguk.
"Iya, sih. Nggak ada gunanya juga, iya, kan?"
Seulas senyum rasanya cukup untuk mengakhirinya obrolan itu. Aku fokus melihat bahagianya Mas Danu yang tengah menerima ucapan selamat dari rekan-rekannya. Sesekali tampak Mbak Ranti menatap manja pada kakakku.
Kutarik napas dalam-dalam. Mengedarkan pandangan ke sekeliling. Pesta indah dan meriah, semua terlihat bahagia. Lalu aku? Bahagia? Tentu saja, karena Mas Danu akhirnya menemukan perempuan pilihannya.
"Maafkan Mas Danu, Kania. Mas Danu kecolongan membiarkan kamu bersama Andika," sesalnya kala tahu aku sudah tidak mampu lagi bertahan.
Andika adalah kakak kelasku saat kami kuliah. Pembawaan yang santai dan penuh perhatian membuat aku dengan cepat menjatuhkan hati padanya. Kupikir semua mahasiswi akan takluk jika diperhatikan sedemikian rupa terlebih siapa yang tidak kenal dengan Andika. Kakak senior tampan dan sangat kharismatik.
Namun, semua berubah. Hidup dengan Andika sama saja dengan menciptakan nerakaku sendiri. Entah apa yang terjadi pada masa lalunya, tetapi yang jelas, hampir setiap hari aku harus menyembunyikan lebam di seluruh bagian tubuhku. Hingga puncaknya aku keguguran saat kandunganku masih berusia empat minggu.
"Kania, Kania ... Kaniaaa," panggil Mama sembari melambaikan tangannya padaku.
"Ya, Ma?"
Kulihat Mama tengah berdiri tak jauh dariku. Di sebelahnya ada perempuan seusia beliau bersama seorang pria. Tanpa dijelaskan, aku tahu ke mana arah pembicaraan yang akan dibahas. Dengan senyum lebar, aku menghampiri. Setelah bersalaman dengan teman Mama. Kusambut jabat tangan pria di sebelahnya.
"Dia Haris, anak Tante Anggraini, sahabat Mama. Dia ini kerja di salah satu bank swasta terkemuka, loh! Kamu ajak ngobrol dulu, ya. Biar Mama sama Tante Anggraini temu kangen dulu. Oke?"
Karena sudah terbiasa diperlakukan seperti ini, aku hanya mengangguk lalu memberi isyarat agar pria itu mengikutiku.
Basa-basi kami bicara, dia pria yang baik. Setidaknya kesan pertama itulah yang kudapat. Ternyata kami bekerja di kota yang sama dan kantor dia pun tidak jauh dari tempat kerjaku.
"Kapan balik?" tanyanya. "Mungkin kita bisa bareng?"
"Aku ngambil cuti cukup lama. Mungkin next, tapi nggak dalam waktu dekat."
Pria bernama Haris itu mengangguk sambil tersenyum.
"Kamu mau makan?" tawarku.
"Boleh, ayo!"
Aku menarik napas lega, Haris ternyata pria sopan dan santai. Bukan pemaksa seperti Damar. What? Kenapa tiba-tiba aku teringat dia?
Menggeleng cepat, aku tersenyum menerima piring dari tangan Haris. Setelah mengambil makan dan kudapan, kami berdua kembali duduk di tempat yang tadi.
Baru saja hendak menikmati daging halus yang dimasak dalam kaldu menyerupai sosis berukuran besar, ponselku bergetar.
[Kania, Damar tadi dari sini.] Pesan dari Alya membuatku menarik napas.
[Apa urusannya sama gue?]
[Dia nyariin lo.]
[Ngapain?]
[Ngembaliin ikat rambut lo yang ketinggalan di mobilnya.]
[Jangan bilang lo udah pernah nge-date sama dia!] Kembali Alya mengetik.
[Ya, Tuhan, Alya. Udah, ah! Asli ya, pesan lo bikin selera makan gue buyar!]
Alya hanya mengirim stiker anak kecil tertawa. Sepertinya dia puas ngerjain aku hari ini.
Bicara soal ikat rambut, aku jadi ingat kalau ternyata ikat rambut berwarna lilac dengan hiasan bintang itu sempat dipegang oleh Shanum saat kami pertama kali bertemu waktu itu.
Untuk apa dikembalikan? Toh hanya sekadar ikat rambut? Dan aku pun tak merasa kehilangan atau tak merasa benda itu penting. Oke, selain pria pemaksa, dia juga pria yang aneh.
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top