Between Us 3


Angin dan hujan berlomba menunjukkan kehebatannya, sementara tak satu pun taksi online yang bisa menjemputku di tempat ini. Mereka kompak mengatasnamakan banjir.

 Beruntung tidak hanya aku yang terjebak dalam badai ini. Ada beberapa orang yang juga menunggu hingga badai ini selesai. Sementara pria pemaksa itu terlihat asyik dengan ponselnya. Sesekali dia menerima telepon dan tertawa lalu berbincang dengan suara rendah. 

Semakin malam tentu cuaca semakin menggigit, terlebih memang kondisi akhir-akhir ini sedang turun hujan. Diam-diam aku menyesal abai dengan pesan mama untuk selalu membawa jaket saat cuaca dingin meski aku sendiri kurang suka mengenakan mantel kedodoran itu.

"Kamu nggak pulang?" tanyanya saat sudah beranjak dari duduk.

"Masih belum ada taksi online yang menjemput?" tanyanya lagi. 

Aku hanya menggeleng. 

"Rumah kamu di mana? Aku antar!"

Rupanya dia melihat keraguan di wajahku, pria pemaksa itu tersenyum tipis lalu mengedikkan bahu.

"Oke, kamu nggak percaya aku? Apa perlu aku tinggalkan KTP di tasmu supaya kamu percaya?"

Kutarik tas yang sejak tadi meja sembari berpikir tidak ada salahnya menerima tawaran pria yang sekilas terlihat mirip aktor utama Wedding Agreement itu. Ah! Sial! Kenapa aku jadi ngelantur?

"Gimana? Mau aku antar?"

Aku hanya mengangguk lalu beranjak mengikuti langkahnya. 

"Sabuk pengaman, jangan lupa!"

Masih tak bersuara, kuikuti saja titahnya. Mobil meluncur pelan membelah jalanan yang masih dinaungi hujan. Petir, dan guntur tak juga berhenti membuat langit sekejap menyala untuk kemudian kembali gelap.

"Ini kita lurus aja atau gimana?" 

Pria yang sampai detik ini aku belum tahu namanya itu bertanya tanpa menoleh membuat siluet parasnya terlihat nyata.

"Lurus aja, nanti ada pertigaan belok kanan."

Dia mengangguk lalu sedikit melajukan mobilnya. Jalanan tidak begitu ramai, tentu saja karena hujan yang tak kunjung reda dan cuaca yang menggigit membuat sebagian orang memilih berdiam diri di rumah mereka. Andai saja besok hari Minggu, pasti akan sangat membahagiakan. Namun, banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan besok sebelum aku mengambil cuti untuk pernikahan Mas Danu.

"Rumah kamu yang mana?" Suara berat pria di balik kemudi menyadarkanku.

"Oh, udah sampai. Makasih, saya turun di sini." Gegas kukemas tas tanganku lalu kembali mengucapkan terima kasih.

Aku bukan perempuan yang bisa dengan mudah menunjukkan tempat tinggalku, terlebih pada orang asing. Cukup sudah pengalaman bersama Andika menjadi catatan buruk dalam perjalanan hidupku.

Pria itu mengangguk lalu melambaikan tangan dan kemudian mobil hitam itu kembali meluncur meninggalkan cipratan kecil di celana denimku.

**

Kupelankan langkah saat mendekati ruangan Mas Tomi. Terdengar dua orang tengah bercakap-cakap di dalam sana. Kutajamkan pendengaran, bukan! Itu bukan suara Mas Tomi, tapi aku pernah mendengar suara berat itu.

"Kalau mau masuk, masuk aja! Ini kantormu!" Tepukan tangan di bahu membuatku hampir berteriak kaget.

"Mas Tomi! Ngagetin deh!"

Pria berkemeja kotak-kotak itu terkekeh seolah sukses membuat jantungku berpindah tempat.

"Masuk! Kita udah ditunggu klien yang waktu itu aku ceritakan." Bos-ku itu langsung masuk tanpa menoleh lagi.

"Aku?"

"Iya, di dalam ada Alya! Dia juga baru datang."

Kuhela napas lega. Ternyata aku bukan perempuan sendiri di ruangan itu nanti. Tiga ketukan di pintu membawaku masuk ke ruangan yang biasanya aku bertukar pikiran dengan klien. Sejenak  aku terkejut melihat sosok yang tak asing berada di sana bersama dua orang lainnya yang aku pikir adalah timmya atau entah.

"Kami sudah menunggu! Sini Kania!" Mas Tomi melambaikan tangan.

"Hai, kita ketemu di sini," sapanya bangkit sembari menjabat tanganku.

"Kalian sudah saling kenal?" Mas Tomi menatapku curiga.

"Iya, kebetulan kenal." Pria itu menyudahi pikiranku untuk mencari kalimat yang tepat. 

Suasana kembali formal. Aku  mulai menunjukkan gagasanku untuk promosi cottage yang diinginkan perusahaan milik pribadi pria di depanku itu.

Sekilas dari apa yang dia ucapkan, pria ini begitu detail dan sedikit rewel sih menurutku.

"Jadi lo udah kenal sama cowok itu, Kan?" bisik Alya menyenggol lenganku. "Dia teman kakak gue, Kan!" imbuhnya.

"Iya, terus? Kenapa?"

"Ganteng sih, tapi ...." Alya menghentikan kalimatnya.

Kulirik rekanku itu dengan harapan dia melanjutkan ucapannya, tetapi rupanya Alya lebih suka membuat penasaran. 

"Tapi apa? Lo selalu begitu. Kebiasaan deh!"

"Lo udah lama kenal dia, Kania?"

"Nggak! Gue ...."

"Kania, tolong kamu kirim konsep promosi waterboom untuk medsos  ke email Nuansa Properti, ya!" Suara Mas Tomi menghentikan obrolan kami.

"Oke, Mas." 

Tak lama kesepakatan sudah terjadi dan tentu aku dan tim merasa bahagia karena berarti uang akan segera cair untuk kami. Bukankah itu yang diinginkan oleh setiap orang yang bekerja?

Setelah kembali bersalaman, aku dan Alya memilih menetap di ruangan itu dan melupakan waktu makan siang. Karena ada hal yang sangat serius untuk dituntaskan.

"Jadi ... lo bisa nraktir gue sama Yeni tempo hari itu karena lo dapat bayaran dari dia?" Alya terlihat sangat kaget.

"Iya. Halal, kok! Lo kenapa sih?"

"Iya, gue tahu itu halal, tapi gue saranin lo hati-hati, deh!"

"Hati-hati kenapa?"

"Dia itu ... pacarnya banyak, dan ...."

"Punya anak di luar nikah?" 

Alya mengangguk dengan bibir mengerucut.

"Lo pasti kenal Agni Ayesha, 'kan?"

"Nggak! Emang dia siapa?"

"Ish! Dia terkenal di Instagram, Kania!"

"Ya terus?"

"Nah, dia juga pernah jadi pacar Damar Fabiandi ini!"

Tiba-tiba saja aku teringat bayi mungil waktu itu.

"Shanum? Jadi Shanum itu benar anak dia?"

"Shanum siapa, Kan?" Alya menautkan alisnya.

"Ya, Shanum anak bayi yang aku ceritakan ke kalian waktu itu!"

"Oh, iya, sori! Gue nggak tahu kalau namanya Shanum, tapi ... ada kemungkinan anak itu anak dia  dari Agni."

Aku bergidik. Gila! Zaman sekarang memang sepertinya sudah lazim hal semacam itu terjadi. Asal cinta, ditiduri pun tak apa meski hanya sebatas pacaran. 

"Gue saranin lo hati-hati, Kan! Ya, mana tahu lo yang bakal jadi target dia selanjutnya." Alya meraih tas tangannya berkemas meninggalkan tempat itu.

"Eh, lo mau ke mana?"

"Laper gue! Yeni udah nungguin di kantin! Ayo, lo nggak laper?"

Mengangguk, gegas aku mengemas map dan beberapa kertas yang berserak dan tak lupa memasukkan laptop ke dalam tas. Hari inii kerjaan sudah selesai, aku bisa pulang lebih cepat, dan tentu saja berkemas untuk pulang ke rumah bertemu Mama. Mendadak aku rindu masakan Mama. 

"Eh, gue serius loh, soal yang tadi." Alya kembali mengingatkan.

"Santai, Al, gue nggak semudah itu bisa dideketin."

Kukibaskan tangan sembari tersenyum lebar melihat Yeni yang penasaran.

"Dia itu tipe playboy, dan merasa apa saja bisa dia beli. You know lah, dia kaya dan tampan," imbuhnya.

"Kalian bicarain siapa sih?" Yeni yang berada di antara kami akhirnya angkat bicara.

"Damar Fabiandi, bukan? Gue speechless bisa-bisanya klien kita kali ini cowok itu!" Yeni mulai menebak dan tentu saja tebakannya tidak salah.

"Lo tahu juga, Yen?" Alya menoleh.

"Siapa yang nggak kenal Damar?"

"Tuh, Kania!"

"Kania mah yang dia kenal cuma Andika!" celetuk Yeni.

"Yeni! Loe ah!" Kucubit lengan perempuan berkacamata itu. 

Benar, aku jadi malas berinteraksi dengan media sosial apa pun belakangan ini semenjak kisahku bersama Andika berantakan. Aku bahkan me-nonaktifkan IG-ku karena ingin hidup tenang.

"Jadi gini, Yen! Kania ini ...." Alya memulai ceritanya tentang aku hingga kami sampai di kantin. Seperti biasa, ibu kantin tahu pesanan kami. Soto ayam lengkap dengan irisan keripik kentang plus minuman air jeruk lemon hangat tanpa gula. Untuk yang satu ini khusus untukku.

**

Udah baca sampai part 3? Btw gimana suka? Atau kurang menarik? Boleh minta komentarnya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top